Makalah ushul fiqhi (Zhâhir, Nash, Mufassar, Muhkam, Khafi, Musykil, Mujmal, dan Mutasyâbih)

kali ini admin postingkan makalah ushul fikih silahkan simak dibawah ini.


Pendahuluan
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tingkatan-tingkatan yang terkait dengan lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya, yakni mengenai zhâhir, nash, mufassar, muhkam, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyâbih.


Pembahasan


A. Zhâhir
Terdapat beberapa rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul mengenai definisi zhâhir, di antaranya:
a. Menurut Al-Sarkhisi, zhâhir adalah
مَا يُفْهَمُ الْمُرَادُ مِنْهُ بِنَفْسِ السَّمَاعِ مِنْ غَيْرِ تَأَمُّلٍ
Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu.
b. Zhâhir, yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil. Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah. Tidak ada maksud asli dari pembicaraan. Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz zhâhir:
a. QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya. Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.
b. QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat tersebut begitu jelas artinya, yaitu keharusan menaati apa yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat (mudah).Namun, bukan ini maksud pokok pembicaraan. Yang menjadi pokok ialah harta rampasan yang diberikan oleh Rasul, ketika dia membagi-bagikannya, maka ambillah. Dan apa-apa yang dilarangnya maka hentikanlah.
Ketentuan yang menyangkut lafaz zhâhir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafaz itu. Dia juga mengandung takwil, artinya penyimpangan dari zahirnya dan ada maksud lain dari artinya itu.
B. Nash
Seperti halnya zhâhir, terhadap nash pun para ulama ushul berbeda dalam merumuskan definisinya, di antaranya:
a. Menurut Ulama Hanafiyah, nash adalah:
هُوَ مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ أَصَالَةً عَلَى مَا سِيْقَ لَهُ وَ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلِ
Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan ditakwilkan.
b. Nash, yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan. Dan mengandung takwil. Apabila maksud itu cepat difahami dari lafadznya dan tidak terhalang memahaminya terhadap urusan luar, adalah maksud pokok pembicaraan.
Berikut adalah beberapa contoh dari lafaz nash:
a. QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhâhir.
b. QS. Al-Hasyr (59) ayat 7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya secara zhâhir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan “asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.
C. Mufassar
Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya:
a. Menurut Abdul Wahab Khalaf, mufassar adalah:
مَا دَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْمُفَصَّلِ تَفْصِيْلًا بِحَيْثُ لَايَبْقَى مَعَهُ احْتِمَالٌ لِلتَّأْوِيْلِ
Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya shingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.
b. Menurut Al-Uddah, mufassar adalah:
مَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى قَرِيْنَةِ تَفْسِيْرِهِ
Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.
Mufassar terbagi dalam dua macam, yaitu:
a. Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut.Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
b. Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”. Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.
Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya.
Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhâhir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash dan zhâhir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang mufassar.
D. Muhkam
Lafaz yang muhkam ialah:
مَادَلَّ بِنَفْسِ صِيْغَتِهِ عَلَى مَعْنَاهُ الْوَضْعِىِّ دَلَالَةً وَاضِحَةً بِحَيْثُ لَايَقْبَلُ الْإِبْطَالَ وَ التَّبْدِيْلَ وَ التَّأْوِيْلَ
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
Muhkam juga dapat berarti lafal yang menujukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di-ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, kewajiban beriman kepada rasul dan kitab-kitab-Nya, dan pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua, dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak pula ada kemungkinan telah di-nasakh pada masa Rasulullah.
Berikut ini adalah contoh dari lafaz muhkam, yaitu:
a. Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.
b. QS. An-Nur (24) ayat 4:
Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamnya.
Kata #Y‰t/r& (selama-lamanya) dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Lafaz muhkam terbagi atas dua macam, yaitu:
a. Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh.
b. Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak didapatnya lafaz itu di-nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash me-nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafaz yang qath’i penunjukannya terhadap hukum.
Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula di-naskh oleh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.
E. Khafi
Lafaz khafi ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ فِى بَعْضِ مَدْلُوْ لَاتِهِ لِعَارِضِ غَيْرِ الصِّغَةِ
Suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz.
Menurut Abd. Al-Wahhab Khallaf, khafi adalah lafal yang dari segi penujukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukan oleh suatu dalil.
Lafaz khafi itu sebenarnya dari segi lafaz-nya menunjukkan arti jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus ditetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafaz atau “penyempitan” dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam perluasan dan penyempitan tersebut, selama suatu lafaz dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.
Contoh dari lafaz khafi ini adalah lafaz السَّارِقُ (pencuri) pada QS. Al-Maidah (5) ayat 38:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Lafaz السَّارِقُ pada ayat di atas artinya jelas, yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu bentuk yang samar dan tidak jelas. Seperti النَّشَالُ (pencopet) dan النَّبَاشُ (pencuri barang-barang di dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Yusuf keduanya tergolong pencuri, maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah pencopet digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya potong tangan, tapi pencuri barang-barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya cukup dengan ta’zir.
F. Musykil
Lafaz musykil ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ بِسَبَبٍ فِى ذَاتِ الَّلفْظِ
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
Sumber kesamaran dari lafaz itu adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz tersebut.
Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini. Mungkin pula ketidakjelasan lafaz itu karena ada pertentangan antara apa yang dipahami dari suatu nash dengan apa yang dipahami dari nash lain. Dalam memahami lafaz jenis ini diperlukan petunjuk dari luar lafaz, sehingga dalam penemuan petunjuk dari luar itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Contohnya lafaz quru’ dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 228:
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah ber’iddah selama tiga quru’.
Lafaz quru’ dalam ayat tersebut bermakna ganda, yaitu “suci” dan “haid”. Karena lafaz tersebut memiliki arti ganda, sehingga diperlukan adanya qarînah yang akan menjelaskannya. Dan karena qarînah yang digunakan ulama berbeda, sehingga hukum yang dihasilkan pun akan berbeda pula.
Imam Syafi’i dan sebagian para mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafadh “al-qar-u” dalam ayat tersebut adalah suci. Qarinahnya adalah adanya tanda muannats (perempuan) pada kata bilangan, yang menurut bahasa ma’dudnya (yang dibilang) adalah mudzakkar, yaitu اَلطُّهْرُ (suci).
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah dan segolongan mujtahidin bahwa lafadh “al-qar-u” dalam ayat tersebut adalah haid. Qarinahnya:
a. Hikmah disyariatkannya iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim dari kehamilan. Dan untuk mengetahui masalah ini dengan cara memperhatikan haid.
b. QS. At-Thalaq (65) ayat 4:
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Ayat tersebut di atas menghubungkan hitungan bulan dengan ketiadaan haid. Maka berarti bahwa yang asal adalah hitungan dengan haid.
c. Dalam riwayat ad Daruquthni dari Ibnu ‘Amr:
طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيْقَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ

Thalaq bagi hamba sahaya itu dua kali dan iddahnya dua kali haid.
Adanya ketegasan bahwa iddah bagi hamba sahaya dua kali haid ini merupakan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “quru” adalah haid untuk masa iddah bagi wanita merdeka.
G. Mujmal
Menurut bahasa al-mujmal berari samar. Dan menurut istilah berarti: lafaz yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinat-qarinat lafaz atau keadaan yang dapat menjelskannya. Maka sebab kesamaran di dalam al-mujmal ini bersifat lafzhiy, bukan bersifat ‘aridhiy (sifat yang baru datang dari luar lafaznya).
Contoh lafaz mujmal ialah lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafaz salat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz salat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunah qauliyah dan sunah fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’. Sabda Rasulullah s.a.w.:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ
Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat.
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat, puasa, hajji, dan riba, serta segala sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash Al-Qur’an
Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam QS. Al-Qari’ah (101) ayat 1-5:
Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Apabila penjelasan terhadap mujmal datang dari syari’, akan tetapi penjelasan itu tidak tuntas untuk dapat menghilangkan kemujmalan itu, maka dengan penjelasan itu mujmal menjadi musykil. Jalanpun terbuka untuk ijtihad dan pembahasan untuk menghilangkan ke-musykil-annya.
H. Mutasyâbbih
Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
Di antara lafaz mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم, ق, ص, الم . Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka Contohnya:
a. QS. Hud (11) ayat 37:
Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata Kami.
b. QS. Al-Fath (48) ayat 10:
Tangan Allah di atas tangan mereka.
c. QS. Ar-Rahman (55) ayat 27:
Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hija’iyah dan ayat-ayat tersebut dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya.
Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhâhir-nya mustahil seperti Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari arti zhâhir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun dengan jalan majaz.
Sebab terjadinya perbedaan antara ulama salaf dengan ulama khalaf disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami surat Ali ‘Imran (3) ayat 7, yaitu:
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbbihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Dalam ayat ini ulama salaf memberi tanda waqf (berhenti) pada lafaz ª!$# (Allah). Atas dasar ini hanya Allahlah yang dapat mengetahui arti ayat-ayat al-mutasyâbbihat itu. Namun demikian kita wajib mengimaninya dan menyerahkan pemaknaannya kepada Allah. Oleh karena itu, menurut mereka, kita tidak punya kewajiban untuk membicarakan dan membahas ta’wil-nya.
Sedang ulama khalaf memberi tanda waqf pada lafaz tbqã‚Å™º§9$#ur ’Îû ÉOù=Ïèø9$# (dan orang-orang yang mendalam ilmunya). Atas dasar ini ayat-ayat al-mutasyâbbihat itu dapat diketahui arti-artinya oleh Allah dan orang-orang yang sangat dalam ilmunya. Mereka men-ta’wil-kan ayat-ayat itu sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab. Dan mereka memahasucikan al-Khaliq dari hal-hal yang meyerupai makhluk-Nya.


Penutup


Zhâhir adalah lafaz yang menunjukkan maknanya dengan menggunakan sighatnya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, tetapi memiliki maksud lain dari maksud ungkapan tersebut yang merupakan pokok pembicaraannya serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Nash adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara asli dan langsung sesuai dengan apa yang diungkapkannya, dan ada kemungkinan ditakwilkan. Mufassar adalah lafaz yang penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, dan penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin ditakwilkan. Muhkam adalah lafaz yang menujukkan kepada makna yang jelas dan tidak memerlukan qarînah dari luar sehingga tertutup kemungkinan untuk ditakwilkan, diganti maupun dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya.
Khafi adalah lafaz yang dari segi penujukan maknanya adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan bagian dari satuan-satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan analisis dan pemikiran yang mendalam. Musykil adalah lafaz yang memiliki kesamaran yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz tersebut. Karena hal tersebut, sehingga diperlukan qarînah untuk menjelaskan maksudnya. Mujmal adalah lafaz yang dengan sighatnya tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak terdapat pula qarînah- qarînah yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga sebab kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan bukan hal yang datang kemudian. Mutasyâbbih adalah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada qarînah yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.


Lafadz Dipandang Dari Ketidak-Jelasannya Karena membanjirnya serbuan ilmu-ilmu social barat, saat ini banyak cendikiawan muslim yang menyerukan perlunya pembaharuan pemikiran keagamaan Islam. Namun kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa pembaharuan dimaksud adalah pembaharuan di bidang Fiqh dan Usul Fiqh. Padahal kedua ilmu ini memiliki konstuk epistemologinya sendiri yang tidak terlepas dari prinsip-prinsip ilmu dalam pandangan hidup Islam yang jelas berbeda dari Barat. Bagi yang tidak memahami hal ini jalan yang ditempuh adalan dekonstruksi epistemology ilmu Fiqh dan Usul Fiqh, tanpa memperdulikan konstruk epistemologinya. Agar lebih bijaksana, tidak terburu-buru menolak pembaharuan dan juga tidak latah meninggalkan khazanah keilmuan Islam klasik
Para Ulama mendefinisikan Fiqh sebagai “pengetahuan tentanghukum syara’ praktis beserta dengan dallil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia” definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian Fiqh adalah perbuatan manusia, mengenai halal, haram,wajib, mubah, dan sebagainya. Kehadiran ilmu ini mutlak diperlikan manusia. Karena ia menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata ibnu khaldun, adalah “domenieering being” yang punya ambisi dan kecenderungan menguasai dan menaklukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan menctuskan kanflik dan peperangan
Sebagai ilmu yang diderivasi dari alqran dan Sunnah, Fiqh memerlukan kerangka teoretik atau metodolgi berfikir yang disebut Usul fiqh. Usul Fiqh adalah pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara menggunakannya, serta pengetahuan oran-orang yang menggunakan dalili-dalil tersbut. Ia begitu penting dalam menderivasi hukum dan karena itu fungsi dan perannya mirip logikan dan filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari melakukan kesalahan (fallacies) dalam berargumentsi, maka Usul Fiqh mencegah seorang faqih dari berbuat kesalahan dalam menderivasi hukum. Sehingga tidak berlebihan jika para Ulama enetapkan ilmu Usul Fiqh sebagai salah satu persyaratan terpenting yang mesti dimiliki oleh seorang mujtahid
Menurut analisa penulis dalam berbagai kajian-kajian ilmu Usul Fiqh, mereka (usuliyyin) libih menitik beratkan pada dua metode, yaitu kaidah-kaidah kebahasaan (lafdziyyah) dan maqoshid al-syari’ah. Metode yang pertama mereka lebih memfokuskan pada penelitiannya terhadap teks-teks suci Alquan dan Sunnah secara lansung, seperti zhahir, nash, mufassar, khafi, mujmal, musykil,dan mutasyabih. Sementara metode yang kedua mereka titik beratkan pada penelitian yang tidak secara langsung pada teks, dengan memperhatikan tujuan yang diinginkan syari’. Pada makalah ini penulis akan mengurai metode yang pertama dalam hal ini akan lebih banyak menggambarkan ketidak-jelasan teks-teks (al-fadz ghairu al- wadlih) berbeda dengan teman kami lebih menitik beratkan pada kajian kejelasan teks-teks (al-fadz al- wadlih).
Alquran diturunkan dalam keadaan berbahasa Arab sementara makna yang dikehendaki tuhan sangat samar, namun demikian keberdaan rasulullah menjelaskan ayat-ayat alquan yang tidak jelas yang populer disebut hadist (sabda, perbuatan, dan ketetapan Nabi), selanjutnya pada gilirannya penjelasan raulullah-pun juga tidak jelas arti yang dimaksudnya. Oleh karena itu Usulyyin merumuskan konstruk kaidah-kaidah untuk dijadikan sarana memahami kedua sumber hukum islam tersebut. Dalam alquran dan hadist banyak sekali ketentuan hukum yang tidak jelas yang oleh mayoritas Ulama di katagorikan pada empat macam, pertama khafi, mujmal, musykil dan yang keempat adalah mutasyabih.
Sebelum kami uraikan pengertian dan objek kajiannya, terlebih dahulu perlu kami utarakan pengertian lafadz dari ketidak-jelasannya, ketidak jelasan lafadz (al-fadz ghairu al- wadlih) adalah suatu lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendaki secara mutlak atau tidak jelas maknanya pada sebagian indikasi yang dapat memperjelas maknanya memang demikian karena lafadz tersebut tidak bentuknya memang tidak jelas dan jenis lafadz seperti ini hanya tuhan yang mengetahuinya, sepeti permulaan surat-surat dalam alquran sebagai contoh (الم, الر, كهيعص) karena memang lafadz-lafadz ini tidak jelas bagi kita, sementara ayat-ayat yang laini tidak pernah menjelaskan kandungan maknanya. Ada juga ketidak-jelasan lafadz (al-fadz ghairu al- wadlih) dapat dideteksi maknanya melalui pelacakan terhadap ayat-ayat lain atau dari Sunnah, karena antara keduanya saling menafsirkan satu sama lain. Selain itu ketidak-jelasan lafadz (al-fadz ghairu al- wadlih) bukan faktor dari bentuk lafadz itu sendiri, bahakan perlu untuk mencocokkanya dengan beberapa madlulnya. Agar lebih jelasnya masing-masing istilah di atas dapat dilihat pada uraian berikut:
Khafi adalah lafadz yang dapat menun jukkan kepada artinya secara jelas, namun ketika arti tersebut diaplikasikan kepada kasus tertentu, maka ia menjadi samar dan tidak jelas. Hal tersebut terjadi karena faktor kasus tersebut tidak sama persis dengan kasus yang dibicarakan oleh dalil yang ada. Sebagai contoh pencuri pada ayat 38 surah al-Maidah :

والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما والله جزاء بما كسبا نكالامن الله عزيز حكيم Artinya: pencuri laki l-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan keduanya (sebagian) sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana (QS.5:38)
Jika kita amati makna pencuri (والسارق) dalam ayat di atas, sangat jelas maknanya yaitu setiap orang yang mengambil harta milik orang lain secara tersembunyi dari tempat yang layak seperti umumnya orang menyimpan harta antara lain lemari, kotak, penyimpan harta. Namun jika ayat di atas dibenturkan dengan kasus yang lain, seperti pencopet (الطرار) yang melakukan pencurian secara terang-terangan dan pencuri kafan mayat (النباش)di kuburan yang tidak jelas pemiliknya, hal ini disebabkan mayat tidak punya hak memiliki harta benda. Oleh karena itu kedua istilah baru ini berdampak kesamaran bagi sebagian jenis pencuri dalam mengeneralkan penyebutan istilah pencuri. Untuk mengetahui hal ini masih membutuhkan pemikiran lebih mendalam.
Ulama telah berpandangan dalam kasus di atas bahwa pencuri (والسارق) mencuri harta benda secara tersembunyi sementara pencopet myencuri secara teranng-terangan. Karena hal ini mereka berkonsensus bahwa pencopet dihukumi sama dengan pencuri, artinya wajib memotong tangan pencopet, bahkan ia lebih berhak untuk dipotong. Sementara untuk kasus pencuri kain kafan mayoritas Ulama Hanafiyyah sepakat bahwa pencuri kafan tidak dikatagorikan sebagai pencuri pada umumnya karena sesuatu yang terdapat dalam kuburan tidak terhitung sebagai harta benda dan kafan tidak termasuk harta yang disenagi masyarakat pada umumnya, sehingga sipelaku tidak dikatagorikan sebagai pencuri yang dapat menyebabkan kewajiban potong tangan tetapi hanya dita’zir. Sementara Ulama lain dan Abu Yusup berpendapat sebaliknya yaitu ia terhitung sebagai pencuri pada umumnya dan wajib dipotong tangannya.
Hukum khafi yaitu wajib berupaya memperjelas makna yang dikehendaki, atrinya wajib menganalisa terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan adanya kesamaran.
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya karena banyak makna yang dikandungnya sementara tidak ada lafadz lain yang mengindikasikan untuk dimaknai tertentu, oleh karena itu untuk mengungkap maknanya hanya dengan wujudnya indikator setelah melakukan analisis. Sebagai contoh lafadz اني dalam firman Allah seperti فاتوا حرثكم اني شئتم lafadz ini memiliki banyak makna seperti makna bagaimana caranya (كيف) seprti firman Allah yang lain اني يكون لى غلام Ia memiliki makna bagaimana caranya (كيف). ada juga makna lain seperti makna (من اين) seperti firman Allah اني لك هذا yang berariمن اين . Dengan demikian dari contoh di atas sangat sulit untuk mengungkap makna yang dikehendaki, setelah melalui analisis Ulama usuliyyin lebih memperoritaskan makna bagaimana caranya (كيف), dengan kata lain cara yang disukai melakukan hubungan intim pasutri baik dilakukan dengan model duduk, berdiri, tidur terlentang, atau fagina sang istri diserang dari belakang. Ulama usuliyyin lebih memperoritaskan makna ini karena dalam analisisnya memfokuskan pada lafadz الحرث Yaitu tempat untuk memperoleh keturunan. Sementara dubur bukan tempat untuk memperoleh keturunan.
Hukum musykil yaitu wajib menganalisa sebagai upaya memperjelas makna yang dikehendaki dari lafadz musykil.
Mujmal adalah lafadz yang tidak jelas makna yang dikehendakinya pada bentuk lafadz itu sendiri, dengan kata lain kesamaran itu hanya bisa dipahami dengan penjelasan mutakallim, sehingga tidak mungkin bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan akal tetapi perlu juga melibatkan dalil naqli (penjelasan Allah atau rasulullah). Sebagai contoh, lafadz (حق) pada ayat 141 surat al-An’am:.

واتو حقه يوم حصاده — الاية Artinya: “dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya” (QS. 6:141)
Lafadz حق Pada ayat di atas pengertiannya tidak jelas, sehingga perlu dalil-dalil lain untuk menperjelasnya. Penjelasan dari lafadz mujmal ini disebut dengan al-Bayan. Al-Bayan dalam istilah Usul Fiqh adalah dalil yang mengeluarkan suatu lafadz dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertian yang jelas. Selanjutnya, menurut Abu Ishaq al-syirazi (w.476 H/1083 M) ahli Usul Fiqh kalangan Syafi’iyyah, al-bayan terdiri dari:
a. Al-bayan bi al-qaul, yzitu penjelasan melalui sabda rasulullah atau firman Allah swt. Contoh hadist riwayat Abu Dawud:

في خمس من الابل شاة —- الحديث (رواه ابودود) Artinya : untuk setiap lima ekor unta (zakatnya)seekor kambing (HR.Abu Dawud).
Hadist ini merupaka al-bayan dari hitungan zakat unta

وفي سائمة الغمم الزكاة (رواه ابوداود) Artnya: dan pada kambing yang tidak dicarikan makanannya dikenakan kewajiban zakat…(HR Abu Dawud).
Mafhum makhalafah dari hadist di atas adalah, bahwa kambing yang dicarikan makanannya tidak wajib dizakati. Mafhum mukhalafah tersebut merupakan al-Bayan dari hadist tentang kewajiban zakat kambing di atas.

خذوا مناسككم— الحديث (رواه ابوداود) Artinya :…. Hendaknya kalian menagmbil (dariku) cara-cara pelaksanaan haji kalian ….(HR.Abu Dawud).
Praktek ibadah haji Rasulullah merupakan al-bayan dari perintah Allah untuk melalukan ibadah haji, seperti yang terdapat p[ada firman Allah pada surat Ali ‘Imran ayat 97 sebagai berikut:

ولله علي الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا --- الاية Artinya: …….. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) setiap orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …….. (QS. 3:97).

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم نهي عن الصلاة بعد الفجر حتي تطلع الشمش --- الحديث (رواه البخاري) Artinya : dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari. (HR.bukhari)

عن النبي صلي الله عليه وسلم انه قال الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
(رواه البخاري) Artinya: Dari Nabi saw, sesungguhnya beliau bersabda “bulan itu (bintangnya)sekian dan sekian, yakni kadang-kadang 29 haridan kadang-kadang 30 hari. (HR. bukhari).
Hadist ini merupakan al-bayan dari jumlah hari pada bulan-bulan qamariah.

عن سالم عن ابيه قال كتب رسول الله صلي الله عليه وسلم كتاب الصدقة فلم يخرجه الي عماله حتي قبض الحديث (رواه ابوداود) Artinya : “Dari Salim, dari ayahnya, dia berkata bahwa Rasulullah telah menulis tentang (kewajiaban) zakat, dan tidak mengeluarkannya pada para petugasnya sampai beliau wafat…” (HR. Abu Dawud).
Panjelsan tentang kewajiban zakat yang termuat dalam tulisan seperti yang terdapat dalam hadist riwayat dari Salim tersebut merupakan al-bayan dari perintah untuk m,enunaikan zakat.
انما الخمر والميسر والنصاب والازلام رجس من عمل الشيطان . فاجتنبوه الاية
Artinya : sesungguhnya minuman khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhalamengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan tersebut….”(QS.5:90)
Demikian jenis-jenis al-bayan seperti yang dikemukakan Abu Ishaq al-Syirazi. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa al-bayan bisa diperoleh melalui alquran, sunnah, dan ijtihad.
Selanjutnya, kalangan Hanafiyyah mengartikan mujmal sebagai lafadz yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali ada penjelasan dari mujmal itu sendiri. Maksudnya lafadz mujmal merupakan lafadz yang tersembunyi pengertiannya, dan penjelasan lafadznya hanya diperoleh dari syar’I, oleh karena itu menurut aliran ini penjelasan lafadz mujmal bukan dengan jalan ijtihad, tetapi merupakan hasil produk syari’at sendiri.
Jika dilihat dari sisi yang lain, lafadz mujma dapat berbentuk lafadz yang asing, kemudian secara langsung dijelaskan maksudnya secara husus oleh nash sendiri, seperti lafadz القارعة dalam firman Allah :القارعة. ماالقارعة الاية Lafadz tersebut hanya dapat dipahami maksudnya setelah ada penjelasan dari Allah, semetara maksudnya adalah hari kiamat. Selain itu lafadz mujmal bisa berupa pindahan dari makna lughawi kepada makna istilahi seperti lafadz الصلاة yaitu lafadz yang makna lughawinya dapat dipindah kepada makna istilahi, lafadz ini memiliki makna lughawi yang berarti do’a dan selanjutnya, maknanya dipindah kepada istilahi yang berarti ucapan dan perbuatan khusus yang di awali dengan takbir dan di akhiri denga salam. Bentuk mujmal ini hanya dapat dijelaskan oleh hadist.
Hukum mujmal yaitu pada masa risalah dalam menentukan makna yang dikehendakinya dipending terlebih dahulu sampai terdapat penjelasan dari mutakallim.
Mutasyabih adalah lafadz yang samar maknanya, tidak mungkin untuk dapat memahami maknanya, oleh karena itu tidak ada harapan untuk bisa memahaminya karena memang tidak ada penjelasan dalam alquran dan assunnah Model lafadz seperi ini tidak terdapat pada ayat-ayat dan hadist-hadist yang berkaitan dengan hukum. Tetapi bisa ditemui pada permulaan surat seperti الم, الر sedangkan model yang kedua berupa lafadz yang kemungkinan bisa dita’wil seperti firman Allah pada surat thaha ayat 5 sebagai berikut:

الرحمن علي العرش استوي Artinya : (yaitu) Tuhan yang maha pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.
( QS. 20: 5).
Selanjutnya menurut Abd al-Wahhab khallaf , lafadz mutasyabih ini tidak ditemukan dalam ayat-ayat hukum. Oleh karena itu secara praktis lafadz-lafadz mutasyabih ini hanya didapati pada ayat-ayat di luar hukum.

Demikianlah makalah ushul fikih semoga bermanfaat.