Jurnal Manajemen Perubahan

Kali ini admin postingkan jurnal manajemen perubahan silahkan simak dibawah ini.

MANAJEMEN PERUBAHAN

Oleh Muhyadi

A. Pengantar
Semua organisasi merupakan bagian dari sistem sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat itu sendiri memiliki sifat dinamis, selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karakteristik masyarakat seperti itu menuntut organisasi untuk juga memiliki sifat dinamis. Tanpa dinamika yang sejalan dengan dinamika masyarakat, organisasi tidak akansurvive apalagi berkembang. Ini berarti bahwa perubahan dalam suatu organisasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Secara terus menerus organisasi harus menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Proses penyesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu permasalahan besar yang dihadapi organisasi modern. Kecuali perubahan yang bertujuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, organisasi kadang-kadang menganggap perlu secara sengaja melakukan perubahan guna meningkatkan keefektifan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Karena sifat dan tujuan setiap organisasi berbeda satu sama lain maka frekuensi dan kadar perubahan yang terjadinya pun tidak selalu sama. Organisasi-organisasi tertentu lebih sering mengalami perubahan, sementara organisasi lain relatif jarang melakukannya.
Menghadapi kondisi lingkungan yang selalu berubah tersebut, tidak ada cara lain yang lebih bijaksana bagi seorang pimpinan kecuali dengan memahami hakekat perubahan itu sendiri danmenyiapkan strategi yang tepat untuk menghadapinya. Sekolah (sebagai bagian dari organisasi sosial) tidak luput dari kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, yang berarti jika sekolah ingin survive apalagi berkembang dituntut untuk tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi dan mampu merespon dengan benar.

B. Penyebab Perubahan
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya perubahan dapat dikelompokkan  menjadi dua, yaitu: faktor eksternal dan internal.
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar sekolah atau sering disebut lingkungan. Sekolah sebagai organisasi modern menganut asas sistem terbuka. Konsekuensinya, sekolah harus responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dalam kenyataannya, banyak sekali penyebab perubahan yang termasuk faktor eksternal, antara lain:teknologi, pemerintah, tuntutan pasar, dan arus globalisasi.
Perkembangan dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan pada hampir semua jenis organisasi, termasuk sekolah. Berbagai temuan teknologi (misalnya ICT) memaksa sekolah untuk menerapkannya, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam mendukung proses administrasi. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan  perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan, jumlah,kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan,  sistem penggajian yang diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada atau berubahnya pola hubungan kerja antara karyawan.
Sekolah juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu. Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka sekolah harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, maupun  kompetensi lulusan yang dihasilkan. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.
Sebagaimana organisasi yang lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang keberadaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar terkait dengan jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus mengakomodasi jika ingin lulusannya diterima pasar.
Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar global sudah tentu harus  tanggap terhadap tuntutan itu. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh oleh sekolah seperti penerapan ISO, total quality management, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya. Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal sekolah, khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.

2. Faktor Internal
Faktor internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah yang bersangkutan, antara lain:
1)      Persoalan hubungan antar komponen sekolah.
2)      Persoalanterkait dengan mekanisme kerja.
3)      Persoalan keuangan.
Hubungan antar komponen sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan munculnyaberbagai perilaku negatif pada bawahan yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak  bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.
Problem yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah) pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar atau macetnya komunikasi antar warga), dan juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan, misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang digunakan.
Di samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah sekolah kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.
            Pengoperasian sebuah lembaga pendidikansudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan keuangan yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur organisasi, dan sebagainya.

C. Tahap-tahap Perubahan
Setiap perubahan memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru yang diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya peningkatan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih baik.  Apa pun jenis tujuan yang hendak dicapai, setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah tertentu.Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
  1. Menyadarkan seluruh warga sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan
(unfreezing).
  1. Melaksanakan perubahan/menerapkan sesuatu yang baru(changing).
  2. Menstabilkan situasi setelah perubahan dilaksanakan (refreezing).
Tahap pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perubahan. Tahapan ini berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal ini seluruh warga sekolah. Manusia  memegang posisi kunci dalam proses perubahan. Mereka dapat merupakan kunci keberhasilan tetapi sebaliknya dapat juga merupakan faktor penyebab gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh karena itu faktor manusianya harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik sebelum perubahan dilaksanakan.
Setelah anggota menyadari arti pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah perubahan yang sesungguhnya dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut bisa sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat perubahan berlangsung, sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi tetapi aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna. Kondisi seperti itu wajar karena memang sedang dalam masa transisi.Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti dengan perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah.
Tahapan berikutnya ialah mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali. Setelah perubahan dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai kondisi organisasi yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah stabil sengaja ’dibuka’ sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang terakhir ini kondisi yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.
Secara lebih rinci, Wallace dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses perubahan organisasi yang direncanakan (planned change) mencakup enam tahapan, yaitu:
a.       Dirasakannya kebutuhan untuk melakukan perubahan
b.      Pengenalan bidang permasalahan
c.       Identifikasi hambatan
d.      Pemilihan strategi perubahan
e.       Pelaksanaan
f.       Evaluasi
Urutan proses perubahan yang mencakup tahapan-tahapan tersebut ditunjukkan pada
Dirasakan kebutuhan utk melakukan perubahan: Faktor intern dan ekstern
Perbedaan bobot permasalahan yang dihadapi oleh sebuah sekolah, menyebabkan perbedaan intensitas perubahan yang dituntut. Permasalahan-permasalahan yang tergolong kecil menuntut perubahan yang berskala kecil pulasedangkan permasalahan yang tergolong besar menuntut perubahan yang berskala besar. Terhadap perubahan-perubahan yang  berskala kecil, pimpinan biasanya sanggup menghadapi sendiri (mendiagnosa dan menentukan strateginya),akan tetapi terhadap perubahan yang tergolong besar, biasanya pimpinan membentuk satuan tugas khusus untuk melakukan diagnosis, menentukan tujuan, dan strategi yang akan ditempuh.
 Tahap berikutnya ialah identifikasi terhadap berbagai keterbatasan (constraints) yang dihadapi oganisasi dalam melakukan perubahan. Berbagai keterbatasan itu mencakup iklim kepemimpinan, struktur, organisasi, dan karakteristik anggota. Iklim kepemimpinan ialah suasana kerja yang ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan seseorang. Apakah suasana kerja cenderung menerima atau menolak terjadinya perubahan banyak ditentukan oleh praktik kepemimpinan yang diterapkan seseorang. Struktur yang fleksibel memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi keberhasilan suatu program perubahan dibandingkan dengan struktur yang kaku dan birokratis, kecuali jika strukturnya itu sendiri yang hendak diubah.
Berbagai karakteristik individu (anggota) yang ikut menentukan keberhasilan program perubahan organisasi antara lain: sikap, kepribadian, dan harapan. Karakteristik-karakteristik tersebut harus ikut dipertimbangkan sehingga aspek-aspek yang tidak mendukung dapat dihilangkan (setidak-tidaknya dikurangi), sementara itu aspek-aspek yang mendukung dapat lebih ditingkatkan perannya dalam mencapai keberhasilan perubahan yang dilaksanakan.
Setelah mengenali berbagai keterbatasan yang ada, tahapan berikutnya ialah memilih strategi perubahan yang sesuai. Harold Levitt (Wallace J.M. & A.D. Szilagy: 389) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan perubahan organisasi ada empat macam strategi yang dapat dipilih, yaitu :
a.       Perubahan struktur organisasi.
b.      Perubahan teknologi.
c.       Perubahan tugas.
d.      Perubahan manusianya.
Perubahan struktur berkenaan dengan pola hubungan kerja antar anggota. Sebagai contoh perubahan dari pola sentralisasi ke dalam desentralisasi atau sebaliknya, perubahan dari bentuk fungsional ke bentuk matrik, perubahan dari struktur yang memiliki tingkat formalitas tinggi ke tingkat formalitas rendah, dan sebagainya.
Perubahan teknologi terutama berkaitan dengan proses dan metode kerja yang digunakan, misalnya penggantian sistem manual dengan mesin, penggunaan komputer, dan penggunaan ICT. Perubahan tugas berkaitan dengan perubahan jenis, macam, maupun jumlah satuan tugas yang dikerjakan anggota. Termasuk dalam katagori ini misalnya mutasi kerja, rotasi kerja, dan penambahan serta pengurangan tugas-tugas yang dibebankan kepada anggota.
Perubahan manusianya ialah perubahan organisasi yang menyangkut faktor orang dalam kedudukannya sebagai warga sekolah. Termasuk dalam katagori ini misalnya program-program latihan, penataran, bimbingan & konseling, dan pemecahan masalah (problem solving).

D. Problem Pelaksanaan Perubahan dan Cara Mengatasinya
Sekolah merupakan sebuah sistem yang  terdiri dari berbagai komponen. Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. Manusia merupakan komponen yang paling sulit diprediksi dan dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, merupakan persoalan yang paling rumit. Orang memiliki kecenderungan menolak adanya perubahan sebab perubahan akan membawa mereka ke dalam situasi yang tidak menentu. Pada umumnya orang menginginkan situasi yang stabil sehingga cenderung mempertahankan kondisi dan kedudukan yang telah mapan.
Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga problem yang dihadapi, yaitu :
a.       resistensi atau penolakan terhadap perubahan,
b.      pengawasan organisasi, dan
c.       kekuasaan
Yang dimaksud resistensi terhadap perubahan ialah bahwa orang (anggota) cenderung menolak  perubahan dan berusaha mempertahankan  status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perubahan akan membawa mereka kepada situasi yang kacau sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam hilang, setidaknya mengalami perubahan. Mereka sudah terbiasa dengan lingkungannya, menjalin hubungan baik dengan teman-teman sejawatdan juga pimpinannya. Perubahan organisasi akan merusak berbagai hubungan yang sudah terjalin tersebut. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru nanti tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Problem kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan, situasinya menjadi lain. Organisasi diliputi suasana kacau, paling tidak selama masa transisi. Dalam keadaan seperti itu sukar memantau tingkahlaku dan penampilan anggota. Dengan demikian sukar pula melakukan tindakan perbaikan jika ternyata terjadi penyimpangan.Mekanisme pengawasan sebagaimana tergambar dalam struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan.
Problem yang ketiga menyangkut masalah kekuasaan. Pada umumnya dalam sebuah organisasi(termasuk sekolah) terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok seperti itu memiliki pengaruh yang besar terhadap pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis daripada rasional organisatoris. Mereka sudah memiliki ’kedudukan’ yang mapan dalam struktur yang berlaku. Dengan adanya perubahan organisasi, suasana menjadi kacau sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan juga kelompok-kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat menyebabkan tujuan perubahan itu sendiri tidak tercapai,atau setidak-tidaknya mengurangi keefektifan pencapaian tujuan perubahan.
Implikasi ketiga problem tersebut terhadap pengelolaan perubahan ditunjukkan pada gambar 2. Terhadap problem resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program perubahan yang dilaksanakan. Terhadap problem pengawasan, perlu dilakukan persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidakmenentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali. Sementaraitu terhadap problem kekuasaan, perlu diciptakan mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan organisasi.

E. Penutup

Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi sebuah sekolah, perubahan merupakan suatu keniscayaan. Menghadapi situasi seperti itu, yang diperlukan dari seorang pimpinan sekolah bukanlah menghindari atau mencegah terjadinya perubahan melainkan memanage perubahan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi sekolah yang dipimpinnya. Faktor terpenting yang harus  mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dalam setiap proses perubahan organisasi adalah manusianya, dalam hal ini warga sekolah. Keberhasilan atau kegagalan perubahan yang dilakukan sekolah banyak ditentukan oleh warga sekolah. Pada kenyataannya, faktor manusia ini terdiri dari 3 level: individu, group/kelompok, dan organisasi/sekolah (Cheng, 1996: 163). Dalam konteks perubahan, kunci keberhasilannya terletak pada level individu. Implikasinya, setiap orang harus diyakinkan akan pentingnya arti sebuah perubahan sehingga secara individual mereka memahami dan pada akhirnya mendukung program perubahan yang dirancang oleh pimpinan. Jika hal ini terwujuid maka pada gilirannya, perilaku positif pada level kelompok dan organisasi/sekolah akan terbentuk.   


DAFTAR PUSTAKA

Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness & School-based Management: A Mechanism
for Development. London: The Falmer Press.

Nadler, D.A. and Thusman, M.L. 1983. A General Diagnostic Model for Organizational
      Behavior. New York: MacGraw Hill.

Wallace Jr. M.J. & A.D. Szilagy Jr. 1982. Managing Behavior in Organization. Glenview:
      Scott, Foresman and Company.

Demikianlah yang saya sampaikan mengenai manajemen perubahan semoga bermanfaat.