Makalah Fiqih Masa Imam Ahmad bin Hambal
Makalah Fiqih Masa Imam Ahmad bin Hambal - sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan makalah fikih tentang fiqih pada masa imam ahmad bin hambal silahkan simak dibawah ini.
(FIQH
PADA ZAMAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL)
2.1
Biografi Imam
Hambali
Nama lengkap Imam Hambali adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syaibani
Al-Marwazi, dilahirkan pada bulan Rabiul Awal tahun
164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti
Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindun Asyaibni. Jadi, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal
dari keturunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdiam di Semenanjung
Arabia. Dari
ayahnya, ia mewarisi sifat tekad yang kuat, kehormatan diri, kesabaran, dan
kemampuan memikul berbagai kesulitan. Ia adalah imam yang kukuh dan kuat.
Ayahnya wafat ketika Imam Hambali masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan mengarahkan
Imam Hambali untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
Ia pun menghafal Al-Quran dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas
tahun, ia mulai mempelajari hadis dan menghafalnya. Pada umur dua puluh tahun,
ia mulai mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke kota Kufah,
Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu kembali ke Baghdad.
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun
195 sampai 197 H, ia mengajar berdasarkan mazhab Syafi’i. Ia termasuk murid
Imam Syafi’i yang paling senior di Baghdad. Hambali juga belajar dari banyak
ulama di Irak, diantaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin
Said, Yazid bin Harun, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Waki bin Al-Jarrah, dan
Abdurrahman bin Mahdi. Setelah itu, ia menjadi seorang mujtahid yang mempunyai
mazhab sendiri dan mengungguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal
As-Sunnah dan mengumpulkan bagian-bagiannya yang terpisah, sehingga ia menjadi
imam para muhaddist pada masanya.
Kepandaian
Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi, menurut putra sulungnya
Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala.
Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam
kitabnya Al Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama-nama sahabat
yang meriwayatkan.
Dengan kemampuan dan kepandaiannya, mengundang banyak tokoh ulama yang berguru
kepadan yang melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam
Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud.
1)
Awal
mula menuntut ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga
beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna
hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.Lalu beliau mulai
konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah
mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah
pindah atau menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu
Zur’ah mengatakan bahwa kitabnya yang
sebanyak 12 buah sudah beliau hafal di luar kepala. Belaiu menghafal sampai
sejuta hadits. Imam
Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad sebagai berikut
:
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau
pernah berkata,"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara'
Ahmad Bin Hanbal".
2)
Keadaan
fisik Imam Hambali
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat
Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak
terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang
berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain
mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”.
3)
Kecerdasan
Imam Hambali
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah
bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu
saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain
mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushanaf Waki’ mana saja
yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti
kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti
kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang
lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab,
“Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya
mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena
beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu
melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta
hadits”.
4)
Pujian
ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat
pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak
berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut
orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang
indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan
wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta
menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan
hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al
Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam
dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin
Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang
belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
5)
Pujian
ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat
pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak
berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut
orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang
indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan
wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam
hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam
kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah
Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan
dari berbagai disiplin ilmu”.
6)
Pujian
ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat
pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak
berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut
orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang
indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan
wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta
menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan
hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al
Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam
dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin
Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan
orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
7)
Kezuhudan
Imam Hambali
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau
keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang
juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu
membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
8)
Wara’ dan menjaga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki
membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau
menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus
dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada
yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.
9) Tawadlu’ dengan
kebaikannya dan kesabaran dalam mencari ilmu
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang
yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh
tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada
padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi
di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al
Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang
lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir
dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan
tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi
ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam
karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu
tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya
kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di
Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat ldtih dan
capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan
dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzak”.
Guru-guru
dan murid-murid Imam Hambali
Imam
Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan
puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah,
Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1.
Ismail bin Ja’far
2.
Abbad bin Abbad Al-Ataky
3.
Umari bin Abdillah bin Khalid
4.
Hasyim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5.
Imam Syafi’i
6.
Waki’ bin Jarrah
7.
Ismail bin Ulayyah
8.
Sufyan bin ‘Uyainah
9.
Abdurrazaq
10. Ibrahim bin
Ma’qil
11. Hasyim bin
Basyir bin Khazim Al-Wasithi
Dan
murid-muridnya antara lain :
1.
Shalih bin Ahmad bin Hambali
2.
Abdullah bin Ahmad bin Hambali
3.
Ahmad bin Muhammad bin Hani Abu Bakar
4.
Abdul Malik bin Abd Al-Hamid
5.
Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj
2.2 Sumber Hukum
Madzhab Hambali
Dalam pengambilan sumber hukum, Imam
Hambali menjadikan lima dasar sebagai berikut.
1. Nash-nash
Al-Qur’an dan Al-Sunah
Ahmad bin
Hambal, dalam proses kajian hukumnya, senantiasa bersumber pperada nash-nash
Al-Qur’an dan Al-Sunah yang marfu’, dan senantiasa mengutamakan nash-nash
tersebut dari perkataan sahabat, termasuk pemahaman mereka terhadap nash
tersebut.Seperti tentang idah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Dia meninggalkan pendapat Ali yang berpendapat bahwa masa idahnya adalah
rentang waktu terpanjang dari dua ketentuan masa idah (idah hamil dan ditinggal
mati suami), untuk tetap berpegang pada nash Al-Qur’an, yaitu empat bulan
sepuluh hari. Dan jika ia menemukan nash (maka Al-Qur’an/As-Sunah) ia akan
menggunakannya dalam berfatwa dan tidak menggunakan yang lain, tidak
mendahulukan pendapat sahabat daripada hadist shahih, atau amalan penduduk
madinah atau yang lainnya. Tidak pula logika, qiyas, atau ketidaktahuan akan
adanya nash yang menentangnya yaitu apa yang dinamakan ijma’.
2. Perkataan-perkataan
Sahabat
Selain dengan
nash-nash diatas, Ahmad juga menerima fatwa-fatwa sahabat yang tidak terbantah
oleh fatwa sahabat lainnya, yang dalam pandangan ulama lainnya disebut sebagai
ijma’. Namun karena dia menolak ijma’ sebagai sumber hukum terutama ijma’dalam
konteks kesepakatan para mujtahid yang hidup pada zamannya, maka istilah
tersebut tidak bisa dia gunakan. Imam Ahmad bin Hambal menjadikan fatwa sahabat
sebagai standar
hukum nomor 3 setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena menurut Imam Hambal fatwa
sahabat diambil dari hadist shahih. Dalam hal ini ulama yang banyak
mengeluarkan fatwa adalah “Umar bin Khatab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin
Abi Mas’ud, ‘Abdullah bin Abbas, Zaid bin Sabit
Sayidah ‘Aisyah (ummul mu’minin)” serta sahabat yang sedikit memberikan
fatwa adalah” Abu Bakar As-Sidiq, ‘Usman bin ‘Affan mu’ad bin Jabal al-anshari,
Sa’ad bin abi Waqasy, Talkhah bin ‘Ubaidillah, Zubair binn ‘Awam, ‘Abdulah bin
Umar bin al-‘as, dan Salman al-Farisi”. Namun
diantara kesekian banyaknya sahabat yang paling banyak mengeluarkan
fatwanya adalah ‘Umar bin Khatab dan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka bredua
merupakan hakim dari orang muslim pada waktu itu maka tidak heran bila banyak
sekali fatwa yang dikeluarkan oleh mereka
3. Hadist Mursal
Ahmad tergolong
mujtahid yang amat berani. Tanpa ragu dia mengangkat hadist mursal sebagai
rujukan dan penyelesaian persoalan-persoalan furu yang dihadapinya. Padahal
Syafi’i sendiri sebagai tokoh aliran tradisional sudah meninggalkannya, karen
ahadist mursal tergolong hadist dha’if. Namun Ahmad berpendapat sejauh
kelemahan hadist tersebut dalam segi persambungan sanad dalam konotasi mursal,
yakni hilangnya perawi di tingkat sahabat, maka hadist itu masih bisa diterima,
karena kendati sahabat yang ditinggal itu kurang populer atau diragukan oleh
tabi’in, menurut Ahmad masih lebih baik daripada dirinya sendiri. Oleh sebab
itu, sebelum melakukan qias, menurutnya lebih baik mengkaji hadist-hadist Nabi
termasuk hadist-hadist mursal. Dan hadits mursal menurut imam hambali bukanlah
haits batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tida boleh
diambil haditsnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadits dhaif adalah orang
yang belum mencapai derajat tsiqqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan
jika memang demikian maka ia pun bagian dari hadits yang shahih.
4. Qiyas
Dalam keadaan
terpaksa, yakni dalam keadaan semua rujukan diatas tidak menyatakan langsung
tentang ketentuan-ketentuan hukum persoalan-persoalan yang dihadapinya, Ahmad
melakukan kajian Qiyas tapi dalam hal ini Imam Hambali hanya mengambil qiyas
yang berasal dari ulama terdahulu.
5. Istiskhab
Maksudnya
adalah melangsungkan keberlakuan ketentuan hukum yang ada sehingga terdapat
ketentuan dalil yang mengubahnya. Istiskhab yang dimaksud baik berupa istiskhab
‘aqli (melangsungkan keberlakuan hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal
pada saat tidak dijumpai dalil yang mengubahnya), maupun istiskhab syar’i
(melangsungkan keberlakuan hukum syara’ berdasarkan suatu dalil dan tidak ada
dalil yang mengubahnya).
6. Syad adz-Zara’i
Maksudnya
adalah menghambat, menghalangi dan menyumbat segala hukum yang menuju kepada
kerusakn atau maksiat.Tujuan dari metode ini adalah untuk menarik kemaslahatan
dan menjauhi karusakan. Pada awalnya perbuatan yang dimaksud tidak memiliki
hukum, tapi apabila di biarkan akan menjerumuskan manusia perbuatan dosa, seperti
permainan yang lazimnya berujung pada perjudian.
2.3 Metode Ijtihad Imam
Hambali dalam Madzhabnya
Metode yang dikembankan oleh Ahmad bin Hambal adalah
metode dialektika, yang mana dapat dilihat dari cara beliau menjelaskan tentang
suatu hukum, Fiqih ini menjelaskan tentang syrat-syarat penegakan sanksi.
Dalam bidang pemerintahan Imam
Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpim adalah dari kalangan Quraisy
sedangkan taat kepada Khalifah adalah mutlak.
Dalam bidang Mu’amalah terutama
tentang khiyar al-majis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jua beli belum dianggap
lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul ) apabila penjual dan pembeli
masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.Apabila keduanya
atau salah satunya tidak ditempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim.
Alasannya adalah hadits riwayat Nafi dan Abdullah bin umar r.a yang menyatakan
bahwa nabi Muhammad Saw bersabda:
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (
pilih ) selama keduanya belum berpisah.
2.4 Penulisan Mahzab
Hambali
Imam Hambali tidak pernah
menuliskan madzhabnya, bahkan beliau tidak suka jika ada yang menulis pendapat
dan fatwanya. Kalaupun ada, paling hanya berupa catatan kecil khusus untuknya
yang memuat beberapa masalah fiqih dan tidak ditulis ulang oleh orang lain
karena ia berpendapat bahwa yang boleh ditulis hanyalah Al Qur’an dan sunnah
agar ia tetap menjadi referensi utama masyarakat untik mempelajari hukum
taklif.
Salah seorang muridnya yang bernama
Ishaq Al Kusaj pernah menulis pendapatnya kemudian menyebarkan di Khurasan.
Mengetahui hal tersebut, Imam Hambali menunjukkan ketidaksukaannya dan
berkata,”saksikan bahwa saya sudah menarik kembali pendapat saya.”
Oleh karena itu, kalangan yang
berjasa menuliskan madzhab Imam Hambali adalah murid-muridnya. Merekalah yang
mengumpulkan pendapat dan fatwa sang imam, lalu menyusunnya sesuai dengan
urutan bab fiqih. Adapun orang pertama yang menyebarkan madzhab imam hambali
adalah putranya yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H). Beliau
menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada orang yang
bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan oleh ayahnya, beliau pernah
menjabat sebagai hakim, menukil pendapat ayahnya dan diterapkan langsung.
Putra Imam Hambali yang bernama
Abdulloh bin Ahmad (wafat 266 H) juga melakukan hal yang sama dengan
mengumpulkan kitab Al musnad dan menyusunnya serta menukilkan fiqih sang ayah,
walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadits. Beberapa murid imam hambali
yang bergiat menulis madzhab dan menyebarkannya antara lain: Abu bakar Al
Asyram, Abdul Malik Al Maimuni, Abu bakar Al Mawaruzi.
Di samping mereka, masih ada lagi
para fuqoha’ yang menjadi murid Imam Hambali. Mereka menulis dan mengumpulkan
pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan. Salah satu di antara mereka
adalah Umar bin Ali bin Husain al Hazmi (wafat 234 H) yang menulis kitab
monumental, Mukhtashar Al Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh ibnu qudamah
menjadi kitab Al Mughni.
Setelah mereka datanglah dua imam besar
yang mengafilisasikan diri pada madzhab Imam Ahmad, yaitu Ahmad Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibnu al Qoyyim
al Jauziyah (wafat 751 H). Keduanya dikenal sebagai
orang yang menisbahkan diri pada madzhab hambali, baik dalam dasar maupun
kaidahnya[8]
Awal perkembangannya, mazhab
Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada
abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul
Aziz As Su’udi. Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman
dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah.
Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
2.5 Karya-Karya Imam
Hambali
1. Al-Musnad, dalam kitab ini,
beliau mengumpulkan hadis - hadis berdasarkan urutan nama
perawi dari sahabat, kitab ini berisi 30.000 hadis.
perawi dari sahabat, kitab ini berisi 30.000 hadis.
2. Risalah Shalat, Kitab ini
ditulis oleh beliau sebagai bagian dari nasihat terhadap
kesalahan-kesalahan ketika shalat berjamaah yang dilakukan di masjid dekat tempat
tinggalnya.
kesalahan-kesalahan ketika shalat berjamaah yang dilakukan di masjid dekat tempat
tinggalnya.
3. Al-Masali, Kitab ini merupakan
kumpulan fatwa-fatwa Imam Ahmad yang ditanyakan
oleh putra dan murid-muridnya. Sehingga kitab ini banyak sekali sesuai dengan nama
penanyanya.
oleh putra dan murid-muridnya. Sehingga kitab ini banyak sekali sesuai dengan nama
penanyanya.
4. Al-Syribah, Memuat penjelasan
beliau tentang Khamar dan batasan-batasan minuman
yang diharmkan.
yang diharmkan.
5. Fadhail Ash-Shahabah,
Menjelaskan tentang dalil-dalil keutamaan sahabat.Pada
hakikatnya buku ini merupakan bantahan untuk kaum Rafidhah yang mengkafirkan para sahabat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai fikih pada masa imam ahmad bin hambal semoga bermanfaat.
hakikatnya buku ini merupakan bantahan untuk kaum Rafidhah yang mengkafirkan para sahabat.