Makalah Fiqih Masa Imam Hanafi

sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan makalah fiqih pada zaman imam hanafi silahkan simak dibawah ini.


( FIQH PADA ZAMAN IMAM HANAFI)

2.1  Riwayat Abu Hanifah ( 80- 150 H/ 696-767 M)
Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahu  80 H. Nama beliau adalah Nu’man bin Tsabit. Namun beliau lebih dikenal sebagai Abu Hanifah. Beliau bukan orangArab tetapi keturunan Persia yang meetap di Kuffah. Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali, Kakek dan Ayahnya pernah didoakan oleh Khalifah Ali agar mempunyai keturunan yang mencintai Allah dan beriman kepda Allah. Abu haniah berasal dari keluarga pedagang, maka tidak mengherankan abu Hanifah pun menjadi seorang pedagang. Dari kecil Abu Hanifah adalah penghapal al-Qur’an, kemudian berguru pada Imam Ashim salah seorang Imam Qiro’ah Sab’ah. Guru- guru Abu Hanifah yang terkenal diantaranya adalh Al-Sya’bi dan Hamdan bin Abi Sulayman di Kuffah, Hasan Basri di Basrah, Atha’ bin Rabbah di Mekkah, Sulayman, dan Salim di Madinah. [1]
Abu Hanifah hidup di Kuffah, Irak yang letaknya jauh dari Madinah tempat Nabi hidup dulu. Oleh karena itu, menurut Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam,  ada perbedaan antara masyarakat Kuffah dan Madinah pada saat itu, diantaranya:
1.      Madinah merupakan tempat banyak orang mendengar dan mengetahui Sunnah Nabi, sedangkan di Kuffah tidak banyak orang yang mengetahui Sunnah Nbai dikarenakan letaknya yang jauh dengan Madinah.
2.       Keadaan masyarakat Madinah bersifat homogeny dan hidup dalam suasana agraris, sedangkan di Kuffah masyarakatnya bersifat heterogen yang hidup dalam keberagaman suku. Hal ini menyebabkan pemecahan hukumnya pun berbeda diantara Madinah dan Kuffah
3.      Dalam intensitas penggunaan hukum juga berbeda, di Madinah menggunakan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum ke-2, sedangkan di Kuffah mereka cenderung menggunakan pemikiran qiyas karena tidak banyak yang mengetahui tentang Sunnah Nabi Saw.  [2]
Perbedaan- perbedaan inilah yang membuat timbulnya aliran-alian pemikiran dalam hukum fiqh Islam. Karena Abu Hanifah banyak menggunakan pikiran atau ra’yu dalam memecahkan masalah hukum, dalam kepustakaan Mazhab Hanafi ini dikenal dengan sebutan ahlur ra’yu.[3]
2.2  Ilmu dan Ketaqwaan Abu Hanifah
Sudah tidak diragukan lahi, Abu Hanifah mempunyai ilmu dan ketaqwaan yang sangat tinggi. Ia adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya. Semua literature yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang zuhud, ‘abid ( ahli ibadah), taqly, khusyu, dan tawadhu’.
Imam Malik ketika dimintai pendapat tentang Abu Hanifah bertamsil, “ Ya, aku telah mlihat seorang bila engkau tanyakan tentang awan ini untuk dijadikan emas, pastilah ia akan memberikan hujjah kepadamu.” Ketika Imam Syafi’I dimintai pendapat tentang hal yang sama mengungkapkan, “ semua manusia mengikti lima orang besa. Siapa saja yang ingin berpengetahuan luas dalam fiqh, ikutilah Abu Hanifah.” Sementara itu, yahya bin Mu’in menyatakan pendapat tentang Abu Hanifah, dengan mengatakan, “ Bacaan Al- Qur’anku adalah menurut Hamzah, sedangkan fiqhku adalah fiqh Abu Hanifah.”[4]
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa, Abu Hanifah memiliki ke- ilmuan dan ketaqwaan yang tinggi. Namun hanya dengan ilmu saja tidaklah cukup, karena harus ada ikatan yang sangat kuat dengan Rabb yang mencipta, dan Abu Hanifah dikenal mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan Rabbnya.  Sebuah riwayat yang otentik menyebutkan, bahwa Abu Hanifah melakukan solat subuh setelah ia berwudhu untuk solat Isya’ selama empat puluh tahun. Dengan kalimat lain, ia selalu berusaha dalam keadaan suci dan melewatkan malam harinya dengan mendekat kepada Rabbnya. Ketika Abu Hanifah wafat, Al Hasan bin Imarah memandikan jasadnya. Seusai melakukan tugasnya, dengan menghadap kepada jasad Abu Hanifah, ia menyatakan, “ Semoga Allah memberimu rahmat dan mengampunimu, engkau mendawamkan  (melakukan dengan konsisten berpuasa sela 30 tahun dan egaku tidak menggunakan bantal ketika tidur malam selama 40 tahun) sulit dan berat bagi orang mengikutimu dan engkau telah mengungguli para qura (ahli membaca Al-Qur’an ). [5]
Dengan ketinggian ilmunya tidak menjadikan Abu Hanifah menjadi uzub. Beliau tetap tawadhu dan dikenal sebagai ulama yang wara’. Sikap itulah yang mendorong Abu Hanifah untuk menolak jabatan hakim Negara ( qodhi) yang disodokan kepadanya, karena ia merasa takut menzhalimi dalam menjatuhkan vonis sekalipun tanpa disengaja. Ia dipaksa untuk menerima jabatan itu, tapi ia tetap menolak dan karenanya ia mendapatkan siksaan dan penganiayaan. Ibnu Hubairah yang menghendaki agar Abu Hanifah menerima jabatan tersebut merasa kecewa, sehingga menjatukn hukuman cambuk seratus kali kepada Abu Hanifah ditambah 10 kali cambukan setiap harinya. Kejenuhannyalah yang membuat Ibnu Hubairah kemudian membebaskan Abu Hanifah, karena ia tetap pada pendiriannya. Ketika Abbasiyah berkuasa dan Al Manshur membangun kota Baghdad, dia mendatagkan Abu Hanifah untuk menjadi hakim. Tapi Abu Hanifah tetap menolak, akibatnya abu hanifah mendapatkan siksaan dan penganiayaan dari penguasa.[6]

2.3  Hubungan Abu Hanifah dengan Elit Kekuasaan Bani Abbasiyyah
Menurut Mustofa ( 1994: 326 ), telah menjadi kelaziman jika keluarga keturunan Dinasti Abbasiyyah, abi Ja’far Al Manshur, menunjukan sikap penentangannya terhadap Abu Hanifah. Al Manshur merasa bahwa ia berselisih jalan dengan perasaan dan pemikiran Abu Hanifah. Banyak sekali keputusan ditetapkan pengadilan di masa pemerintahannya yang ditentang dan dipersalahkan oleh Abu Hanifah. Hal itu menambah beban Al Manshur. Maka Al Manshur dengan segenap aparatnya berusaha memojokkan Abu hanifah dengan berbagai cara.
Kritikan Abu Hanifah terhadap apapun sangat akurat. Tidak diperlukan lagi  satu penafsiran atas penilaian dan komentar fiqh yang dengan jelas dikemukakan Abu Hanifah terhadap vonis yang telah diambil Ibnu Abi Laila atas hukuman cambuk yang diberikannya kepada wanita tidak waras akalnya karena telah menuduh seseorang.[7]
Dengan keluasan ilmunya tersebut, Abu hanifah adalah seorang yang menyandarkan ijtihadnya tidak lepas dari Al- Qur’an dan Hadits. Abu hanifah menyimpulkan metode pemikirannya sebagai berikut:
1.      Mula- mula ia mengambil rujukan dari Al- Qur’an.
2.      Jika tidak mendapatkannya, ia mengambail dri Sunnah Nabi.
3.      Apabila dari ke-dua sumber hukum itu tidak ada, maka ia mengambil dari ucapan dan amalan sahabat Nabi.
Jika akal pikirannya belum dapat menyimpulkan sesuatu dari kitab Allah dan Sunnah Nabi, Abu Hanifah tidak memaksakan dirinya untuk mengikuti pendapat generasi sebelumnya (tabi’in dan sahabat). Hal itu ia lakukan tanpa mengurangi penghormatannya terhadap keadilan, kejujuran, dan kekuasaan ilmu generasi sebelumnya agar menghasilkan pendapat yang berguna bagi umat Islam.[8]


2.4  Abu Hanifah dan Politik
Menurut Dr. Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, dalam bukunya yang berjudul Islam Tidak Bermazhab, ijtihad yang dilakukan Abu Hanifah telah menjadikan ra’yu atau pedapat sebagai pokok yang mendorong pelaksanaan hukum berupa pembuatan aturan politik secara umum bagi umat Islam. Hal ini sesuai dengan kandungan ajaran syari’at yang mengharuskan kepemimpinan didasarkan  pada musyawarah, adil dan bersih, serta jauh dari permainan kotor atau paksaan. Karena itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir khilafah yang benar adalah setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masanya, Abu Hanifah mempunyai pendapat tersendiri tentang khalifah, yang sesuai dengan syari’at Islam baik secara nash maupun falsafahnya. Ia berbeda pandangan dalam berbagai hal dengan kelompok- kelompok Syi’ah, Khawarij, Bani Umayyah, dan Bani Abbasiyyah.
Abu Hanifah banyak berpendapat tentang para Khalifah, diantaranya pendapatmnya bahwa Khalifah yang direbut Bani Umayyah tidaklah sah. Karena itu, ia tidak keberatan membantu Zaid bin Ali Zainal Abidin dengan membawa senjata dan Bai’at umat Islam ketika menghadapi raja dari Dinasti Umayyah. Pendapat-pendapat Abu Hanifah sesuai dengan Syari’at Islam, kita tidak perlu menuduh Abu Hanifah bersikap tasyayyu’. Karena bila demikian berarti semua pendapat dan ijtihad hanyalah hasil dari rasa cinta, simpati, dan hawa nafsu. Maka hal ini sangat mustahil dan jauh dari kebenaran. [9]
Jadi jika sikap tasyayyu’ Abu Hanifah tumbuh karena rasa hormat, cinta dan iba. Hail tersebut merupakan perasaan yang sama yang dimiliki oleh umat Islam dalam mencintai dan menghormati Rasullulah Saw. perasaan yang sama dirasakan baik oleh pengikut Syi’ah ataupun non Syi’ah. Akan halnya Syi’ah yang mempunyai sikap berlebihan dan menyimpang, tentu saja dalam hal ini tidak dapat disamakan.
2.5  Fiqh Pada Zaman Imam Hanafi
Golongan Hanafiah mengklaim bahwa yang pertama- pertama menyusun ilmu ushul fiqh adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad Ibnu Ali Al- Hasan. Alasan mereka adalah bahwa Abu hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam bukunya Ar-Ra’y. Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam Mazhab Hanafi. Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun kitab ushul fiqh sebelum As-Syafi’I, bahkan As- Syafi’I adalah salah seorang muridnya. Begitu pula dengan golongan Mazhab lain yang mengklaim bawa golongannyalah yang mnyusun Ilmu fiqh.[10]
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yun, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, apabila tidak terdapat di dalam Nash, maka Mazhab Hanafi ini lebih mendahulukan istihsan daripada qiyas. Alasannya bahwa qiyas tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu Hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Pendiri Mazhab Hanafi yaitu Imam Hanifah, yang dikenal memilki kecerdasan ilmu yang luar biasa, memiliki ciri tersendiri dari fiqhnya yaitu:
1.      Sangat rasional, mementingkan maslahat, dan manfaat.
2.      Lebih mudah dipahami daripada Mazhab yang lain.
3.      Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis ( warga Negara yang non Muslim).[11]
Namun kesulitan terbesar dalam mengkaji pemikiran Abu Hanifah, seperti diakui Muhammad Abu Zahrah, terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara substansial memuat pemikiran dan metodologi Abu Hanifa. Metodologi Mazhab Hanafi berupa periwayatan dari murid-muridnya seperti yang ditulis oleh Abu Yusuf, dan Muhammad Al- Hasan Syaibani.
Abu Hanifah dan Mazhabnya selalu memudahkan umat Islam. Agama, jiwa, dan kedalaman ajaran- ajarannya juga mudah. Abu Hanifah selalu memudahkan umat Islam dalam hal peribadatan dan muamalat hingga sering mengundang tanggapan, misalnya: dalam syariat dijelaskan bahwa menghilangkan najis yang melekat di baju atau pakaian hendaknya dengan air yang suci. Tapi menurut pandangan Abu Hanifah, kasus  seperti itu cukup dihilangkan dengan air bung atau air asin sekalipun. Contoh lain, apabila seseorang mengalami kesulitan dalam menentukan arah kiblat karena gelap atau sedang berada diperjalanan atau hal lainnya, cukup dengan mengarahkannya kea rah manapun sesuai keyakinannya. Kalaupun arahnya salah, menurut Ab Hanifah sholatnya tetap sah.[12]
Kendati demikian, kitab- kitab yang ditulis Abu Hnaifah sangat minim yaitu, Al-Fiqhul Akbaar, Al ‘Alim Wal Muta’allim, Risalah Ilaa Utsman Al Biti, dan Ar Rad ‘Ala Al Qadariyyah.[13]
Dan kemudian, sekarang Mazhab Imam Hanafi ini banyak dianut di Turki, Syria, Afganistan, Pakistan, India, Cina, dan Uni Soviet. Di beberapa Negara Islam, seperti Syria, Libanon, dan Mesir, Mazhab Hanafi menjadi Mazhab hukum resmi.

Demikianlah yang saya bagikan mengenai fikih zaman imam hanafi semoga bermanfaat.