Makalah Ilmu Qiraat

sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan materi ulumul quran tentang ilmu qiro'at silahkan simak dibawah ini.

ILMU QIRA’AT
A.    Pengertian Qira’at
Kamal Muatafa A.H.(2009:190) mengemuakakan bahwa secara bahasa (etimologi) kata qira’at adalah bentuk mashdar dari kata qara’a, berarti bacaan. Sedangkan secara istilah (terminologi), para ulama memberikan redaksi berbeda-beda. Ada yang singkat dan terbatas pada beberapa hal dan ada pula yang luas meliputi berbagai aspeknya. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa qira’at adalah cara melafalkan atau mengucapkan lafazh-lafazh Al-Qur’an, baik secara ihtifak atau ihtilam.[1]

A.    Latar Belakang Adanya Perbedaan Qira’at
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal 2 Hijriah, tatkala para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-iamam lainnya. Qira’at tersebut diajarkan seara turun-temurun dar guru ke guru, sehingga sampa kepada para imam qira’at, baik yyang tujuh, sepuluh, atau empat belas.
Adapun menurut Hasanudddin AF (2009:223) faktor penyebab terjadinya perbedaan qira’at ialah disebabkan karena adanya perbedaan lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an. 
      Dengan adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam. Terlebih setelah terjadinya akulturasi bahasa akibat bersentuhan dengan bangsa non arab.
      Abu Syamah dipandang sebagai orang yang pertamakali berpendapat bahwa bacaan yang sesuai dengan bahasa arab walaupun hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf Imam ( Mushaf’Utsmani), serta sahih sanadnya, adalah bacan yang benar, tidak boleh di tolak. Jika salah satu kurang dari syarat-syarat tersebut, qira’at itu lemah atau syadz (aneh) atau batil.
      Ibnu Mujahid adalah orang yang meringkas qira’at menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan jumlah imam qari’. Ada beberapa pertimbangan mengapa Ibnu Mujahid hanya memilih tujuh qira’at dari sekian banyaknya . [2]
Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya  dengan pertimbangan  bahwa merekalah yang palig tekemuka , paling mahsyur paling bagus bacaannya, dan memiliki  kedalaman ilmu dan usia panjang.
      Dengan demikian, bila hanyatujuh tokoh yang diturunkan Ibnu Mujahid , tidaklah hanya ulama-ulama itu menguasai qira’at. Masih banyak ulama lain yang sangat kompeten dalam hal in, misalnya,Khala bin Hisyam dan Yazid Al-Qa’qa. Usaha Ibnu Mujahid untuk sampai ke imam yang tujuh menurut subhi Ash-shalih, hanya merupakan kebetulan saja. Oleh karena itu, menurut Al-Zarqani, seseorang tidak harus terpaku pada jumlah itu saja, tetapi harus menerima setiap qira’at yang telah memenuhi 3 persyaratan, yakni sesuai dengan salah atunya adalah Rasm’utsmani, sesuai dengan kaidah arab,dan sanadnya sahih. [3]
B.   Sebab Perbedaan Para Qari
Ada qiraat sab’ah (Qiraat Tujuh), qiraat ‘asyarah (qiraat sepuluh), qiraat arba’ata ‘asyar, dan seterusnya. Hal ini terjadi akibat salah satu atau beberapa sebab berikut ini.
1.      Perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna satu atau beberapa sebab berikut ini .
Misalnya pada firman Allah SWT yang berbunyi:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
... mereka yang kikir dan menyuruh orang berlaku kikir ...”(QS Ali’Imran[3]:180)
Kata البخلyang berarti kikir di sini bisa dibaca fathah pada huruf ba’-nya sehingga menjadi bi Al-bakhli. Bisa pula dibaca dengan dhammah pada huruf ba’-nya sehingga menjadi bi Al-bukhli.
2.      Perbedaan pada i’rab dan harakat(baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
Misalnya pada firman Allah SWT yang berbunyi:
رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
... Wahai Tuhan kami ,jauhkanlah jarak perjalanan kami ...”(QS Saba[34]:19)
Kata yang diterjemahkan menjadi “jauhkanlah” diatas adalah kata بَاعِدkarena statusnya sebagai fi’il Amar. Boleh juga dibacaبَاعَدَyang ebrarti kedudukannya menjadi fi’il madhi sehingga dalam Indonesia,kata itu menjadi “jauh”.
3.      Perbedaan pada perubahan huruf tanpa mengubah i’rab dan bentuk tulisannya,sementara maknanya berubah.
Misalnya pad firman Allah SWT yang berbunyi:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
Lihatlah tulang belulang,bagaimana kami menyusunnya kembali ...”(QS Al-Baqarah[2]:259)
 Kata نُنْشِزُهَا(kami menyusunnya kembali) yang ditulis dengan huruf zay(ز)diganti dengan huruf ra’(ر )sehingga berbunyiنَنْشِرُهَاyang berarti “Kami hidupkan kembali” [4]

4.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan bentuk tulisan, tetapi tanpa pengetahuan maknanya.
Misalnya pada firman Allah SWT yang berbunyi:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
Dan gunung-gunung bagaikan bulu-bulu yang bertebaran (QS Al-Qariah[105] :5)
Beberapa qiraat mengganti kata كَالْعِهْنِdengan كَآلصُّوْفِsehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini,berdasarkan ijma’ ulama ,tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Mushaf Ustmani.
5.      Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya.
Misalnya pada firman Allah SWT yang berbunyi:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya ...(QS Qaf[50]:19)
Konon, menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi:  وَجَاءَتْ سَكْرَةُ احَقِّ بِالْمَوْتِ . Abu Bakar menggesar kata Al-maui’ ke belakang . Setelah mengalami pergeseran ini, bila kalimat itu menjadi: “Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian” dalam bahasa indonesia. Qiraat semacam ini juga tidak bisa dipakai karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.
6.      Perbedaan dengan menambah satu atau mengurangi huruf  [5]
7.      Perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyangkut bacaan ayat-ayat tertentu serta perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsur etnik pada masa nabi Saw masih hidup.
8.      Adanya pengakuan Nabi Saw (taqrir) terhadap berbagai versi qira’ah di depan sahabat-sahabatnya. [6]




C.   Macam Macam Qira’at
1.        Dari Segi Kuantitas
a.        Qira’ah Sab’ah (Qira’ah Tujuh). Maksud sab’ah adalah imam-imam qira’at yang tujuh. Mereka adalah :
1)       Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w.120.H) dari Mekah.
2)       Nafi bin Abdurrahman bin Abu Na’im (w.169 H.) dari Madinah.
3)        Abdullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutan Abu’Amir Ad-Dimasyqi (w.118 H) dari Syam.
4)       Abu ‘Amar (w. 154 H) dari Bashrah.
5)       Ya’qub (w.205 H) dari Bashrah.
6)       Hamzah (w.118 H)
7)       Ashim. Adapun nama lengkap ashim adalah ibnu Abi al-Najub al-Asadi (w.127 H)
b.       Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh). Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut :
1)       Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani.
2)       Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani.
3)       Khallaf bin Hisyam (w. 229 H). Nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdadi.
c.        Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas). Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni :
1)               al-Hasan al-Bashri (w. 110 H).
2)               Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H)
3)               Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H).
4)               Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).[7]


2.        Dari Segi Kualitas
a.       Qiraat Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
b.       Qiraat Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
c.       Qiraat Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.     
d.      Qiraat Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.
e.       Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani. As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam.
f.        Qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.[8]
D.   Hikmah dengan adanya Keragaman Qiraat
Manna’ al-Qaththan menyebutkakan hikmah dari adanya keragaman qiraat diantaranya :
1.      Meringankan dan memudahkan bagi umat dalam membaca Al-Quran.
2.      Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Suci Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, sekalipun mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.      Bukti mujizat Al-Quran dari segi bahasa, karena perbedaan qiraat dapat menampug perbedaan ma’na tanpa harus mengulang lafadznya.
4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global pada ayat lain.[9]
5.      Mempersatukan umat Islam di kalangan bangsa Arab yang relatif baru dalam satu bahasa yang dapat mengikat persatuan di antara mereka,yaitu bahasa Quraisy yang dengannya Al-Qur’an diturunkan ,dan dapat mengakomodasi atau menampung unsur-unsur Arab dari kabilah-kabilah lainnya.
6.      Menunjukkan kelebihan (keutamaan) umat nabi Muhammad Saw dari umat nabi-nabi sebelumnya ,karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammaad Saw hanya terdiri atas satu versi qiraat.[10]


Demikianlah yang saya bagikan mengenai ilmu qiraat semoga bermanfaat.