Makalah Kaidah Fiqhiyah

Makalah Kaidah Fiqhiyah - sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan materi fikih dalam bentuk makalah tentang kaidah fiqhiyah silahkan simak dibawah ini.


(KAIDAH-KAIDAH FIKHIYAH)

2.1       Definisi Kaidah-kaidah Fiqhiyah

            Qawa’id merupakan bentuk jamak dari qa’idah , yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan kaidah yang berarti aturan atau patokan.[1]
Menurut Rachmat Safe’i secara etimologi qaidah adalah al-asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Menurut Al-asfani dan Az-jaidu dalam Rachmat Syafe’i, qaidah bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).[2] Menurut Beni Ahmad Saebani (2009:251), qaidah adalah landasan, pedoman, asas, dan titik tolak pelaksanaan hukum Islam.[3] Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa qa’idah adalah al - asas (dasar, asas atau fondasi), al - mabda’ (prinsip) dan al - nasaq (metode atau cara). Sedangkan Musthafa Ahmad al-Zarqa menjelaskan bahwa arti kaidah secara bahasa adalah al asas , baik berupa asas yang konkrit (inderawi) maupun yang abstrak (ma’nawi).[4]
Sebagaimana nampak dalam firman Allah:



“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il.”


‛... Allah menghancurkan rumah - rumah mereka dari fondasinya ...‛
Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana di tulis dalam beberapa kitab berikut.
1.      Dalam Kitab At-Ta’rifat



Artinya:
Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian bagiannya (juzjuznya).”
(At-Ta’rifat: 171)
2.      Dalam Kitab Syarah Jamu’ Al-Jawami’



Artinya:
“Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”
(Al-Mahalli: 21)
3.      Dalam Kitab At-Talwih ‘ala At-Tawdih




Artinya:
“Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya.”
(At-Taftajani, 1 : 20)


4.      Dalam Kitab Al-Ashibah wa An-Nadzair



Artinya :
“Ketentuan universal bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.”
(Al-Subki : 1)
5.      Dalam Kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh



Artinya:
“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
(At-Taufi Al-Hambali, II : 95)
            Adapun pengertian kaidah secara terminologis cenderung berbeda-beda menurut para ulama. Perbedaan tersebut bersumber pada perbedaan mereka dalam memandang apakah kaidah merupakan aturan yang bersifat menyeluruh ataupun hanya bersifat pada umumnya. Sebagai contoh, ulama nahwu berbeda pendapat dalam memberikan arti kaidah dengan ulama ushul fiqh. Menurut ahli nahwu, kaidah semakna dengan al - dabith, yakni:


 “Aturan - aturan umum yang mencakup seluruh bagiannya”
 Menurut Muhamad Sidqi dalam Adib Hamzawi, Fiqiyah secara etimologis berasal dari kata fiqh yang berarti ilmu. Arti tersebut diambil dari pengertian fiqh dalam firman Allah dan hadis Nabi:


 “Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.”



 “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah, niscaya diberikan kepadanya pemahaman ilmu agama” (HR. Bukhari)
            Pengertian lain fiqh menurut tinjuan bahasa adalah mengetahui dan memahami sesuatu. Sedangkan arti fiqh secara terminologis ada beberapa macam. Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Muhlish Usman menyatakan bahwa fiqh adalah: ‚ Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berkaitan dengan seluruh tingkah laku mukallaf, (diistinbathkan) dari al - Qur ’an, Hadis, dan dari dalil - dalil yang ditegaskan berdasarkan syara’ melalui ijtihad .‛ Sedangkan definisi fiqh yang paling mashur adalah ungkapan imam Syafi’i bahwa fiqh merupakan pengetahuan mengenai hukum-hukum syariat amaliah yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.[5] Kemudian Ilmu Fiqh merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis Hukum Islam dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat dan seumum manusia.[6]
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dalam kaidah fiqh adalah aghlabiyat atau akthariyat . Dengan kata lain merupakan seperangkat hukum yang bersifat mayoritas, dan bukan keseluruhan. Oleh karena itu, ada kemungkinan adanya hukum yang menyimpang dari keumuman. Dan dalam hal ini ulama menyatakan bahwa penyimpangan merupakan hal yang jarang terjadi dan tidak mempengaruhi kaidah yang telah disusun. Sebagai kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa qawa’id  fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh dalam bentuk teks undang-undang yang ringkas, yang memuat hukum-hukum tasyri’ secara umum terhadap peristiwa-peristiwa yang menjadi obyeknya.[7]

2.2       Macam-macam Kaidah-kaidah Fiqiyah

            Ada lima kaidah fiqh yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh materi fiqh.
1.      (Setiap perkara itu menurut maksudnya)
Dalam Fiqh Jinayah ada perbuatan yang sengaja dan ada pula yang tidak sengaja, misalnya pembunuhan, pelukaan atau pemukulan. Dalam Fiqh Muamalah, setiap akad yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya dikembalikan kepada niat. Oleh karena itu, timbul kaidah lain yang berbunyi:


“Yang dipegangi di dalam aqad adalah maksud dan pengertiannya bukan ucapan dan bentuk perkataannya”.
Kaidah fiqh yang pertama ini mempunyai dasar antara lain dari Hadits Umar:



“Segala amal perbuatan itu semata-mata menurut niatnya dan bagi setiap manusia itu sesuai dengan apa yang ia niatkan”. (Rawahu Jamaah)
2.      (Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan)
Contohnya apabila ia yakin telah berwudhu, kemudian sesudah lama datang keraguan apakah sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya apabila dia yakin belum wudhu sebelumnya, sesudah lama timbul keraguan apakah sudah wudhu atau belum, maka ia tetap dalam dalam keadaan berhadast.
Yang digunakan adalah kaidah


            “Keyakinan bisa dihilankan dengan keyakinan lain yang tingkatnya sama”.
            Kaidah tersebut didasarkan kepada Hadits Abdullah bin Zaid.





            “Dikemukakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang selalu merasa berhadast dalam shalatnya Nabi menerangkan: Janganlah orang tersebut keluar dari shalatnya sampai dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya”. (Riawayat Bukhori-Muslim)

3.      (Kesukaran itu mendatangkan kemudahan)
Contohnya boleh batal puasa apabila berpergian, adanya aturan jama’ dan qasar dalam shalat, adanya aturan shalat bagi yang sakit dan lain sebagainya.

Kaidah ini banyak cabangnya diantaranya:


“Apabila sesuatu itu sempit, maka hukumnya menjadi luas dan apabila sesuatu itu luas, maka hukumnya menjadi sempit kembali”.
Sandaran kaidah tersebut antara lain:


“Dan dia tidak menjadikan untuk kamu dalam Agama suatu kesempitan”.
4.      (Kemudharatan itu harus dihilangkan)
Contohnya seperti makan barang yang haram karena terpaksa, tidak ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Kaidah ini penerapannya harus secara sangat hati-hati, kalau tidak akan melampaui batas-batas yang diperkenankan. Oleh karena itu, ada kaidah antara lain:


“Apa yang dibolehkan karena kemudharatan diukur sekadar kemudharatan itu saja”.
Kaidah tersebut didasarkan pada Hadits Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:


“Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”.
5.      (Adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum)
Misalnya menentukan waktu terpendek atau terpanjang dari haid, menentukan cacatnya barang yang diperjual belikan dalam kasus Khiyar al-Ayb. Kaidah ini berdasarkan kepada hadist dari Ibn Mas’ud diriwayatkan oleh Ahmad:


“Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka baik pula pada sisi Allah”.[8]

2.3       Proses Pembentukan Kaidah-kaidah Fiqiyah




            Secara sederhana proses pembentukan kaidah kaidah fiqh dapat digambarkan sebagai berikut:
            Al-Quran                Ushul Al-Fiqh                  Fiqh                 Kaidah Fiqh
            Al-sunnah
            Sehubungan dengan ilustrasi tersebut, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan dengan menempuh prosedur buku ushul fiqh, maka akan lahir fiqh. Melalui penalaran deduktif, maka lahirlah berbagai bidang dan cabang fiqh akan sangat banyak dan beragam. Hal ini berkaitan dengan cakupan dan kecenderungan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan menarik perhatian para ulama. Sebagian ulama meneliti ragam dan jumlah fiqh tersebut, dan melalui penalaran yang bersifat induktif berusaha menarik main stream nya . Produk penalaran ini melahirkan apa yang dikenal sebagai kaidah-kaidah fiqh. Selanjutnya kaidah-kaidah fiqh tadi di konformasi dengan semangat, dalil kulli, dan maqashid al-syari’ah yang termaktub didalam Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum islam yang pokok.
2.      Ulama ulama tertentu mencoba pula mengkritisi kaidah-kaidah fiqh tersebut. Pada umumnya, kritik-kritik tersebut merupakan pengujian atas kesahihan rasional dan empiris kaidah-kaidah fiqh.
3.      Dalam kapasitas sebagai kaidah yang telah mapan, kaidah-kaidah inklusif tersebut bersama-sama dengan ushul fiqh menjadi metodologi hukum islam. Berdasarkan proses pembentukan dan cakupannya, tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa kaidah fiqh merupakan inclusive-theory of fiqh, atau setara dengan grand thory, yang mencakup beberapa middle – range theory serta meliputi sejumlah parochial,unique,operational theory lainnya dalam ilmu sosial.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penjenjangan kaidah-kaidah fiqh mulai dari yang sangat luas hingga yang sangat sempit cakupannya, telah dilakukan oleh para ulama.[9]

2.4       Manfaat Kaidah-kaidah Fiqiyah

Kaidah-kaidah fiqh(Qawa’id al-fiqh) ini adalah sangat Penting di dalam ilmu fiqh.kepentingan kaidah fiqh ini antara lain:
1.      Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh. Sebab dengan kaidah-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah fiqh kita mengetahui benang merah yang mewarnai fiqh dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.      Dengan memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukanya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3.      Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda,untuk keadaan,dan adat yang berlainan.
4.      Meskipun kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah.dilihat dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga,meskipun dengan cara yang tidak langsung.[10]
5.      Dengan menguasai kaidah fiqiyah seseorang akan memiliki keluasan ilmu dan hasil 

Demikianlah yang saya bagikan mengenai kaidah fiqhiyah semoga bermanfaat.