Makalah Perkembangan Tauhid pada Masa Bani Umayyah
Sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan materi ilmu tauhid dalam bentuk makalah tentang perkembangan tauhid pada msa bani umayyah silahkan disimak dibawah ini.
2.1
Pengertian Ilmu Tauhid
Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata ÙˆØّد
– يوØّد. Secara Etimologis, tauhid berarti
Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan
bahwa AllahSWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini
sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “
Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan
Allah.
Menurut Imam Junayd al - Baghdadi Tauhid adalah mensucikan yang tidak
mempunyai permulaan (Al - Qodim / Allah) dari menyerupai ciptaan-Nya (mukhdas /
makhluk-Nya).
Menurut A. Hanafi Tauhid ialah percaya tentang wujud Tuhan yang Maha
Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, sifat, maupun perbuatanNya.
Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan mempergunakan
dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil itu naqli, aqli, maupun dalil wijdani
(perasaan yang halus)
Jadi pengertian Tauhid menurut para ahli adalah suatu ilmu yang membahas
tentang pokok-pokok akidah agama dengan berlandaskan dalil-dalil yang pasti
terutama sekali yang berhubungan dengan wujud Allah s.w.t dengan kesempurnaan
sifat-sifat Nya.
2.2
Perkembangan Ilmu Tauhid Pada Masa Daulah Bani Ummayah
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga
kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untukmempertahankan Islam seperti masa
sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan
pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan
berduyun-duyunnya pemeluk agama lain masuk dan memeluk agama islam, yang
jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan
beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan
berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan salaf.
Dalam
masa ini muncul aliran Jabariah yang mana Jabariyah merupakan aliran yang
berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendak dan perbuatannya tak ubahnya
seperti ranting kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka (segala atas kodrat
Tuhan semata). Dan aliran ini di angkat oleh 5 tokoh, yakni Ja’d bin Dirham,
Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dhiror, Dhiror bin Amr, dan Hasf al-fard.
Kemunculan jabariyah mengakibatkan kemunculan sekelompok
umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) berasal dari kata qodaro yang
berarti kemampuan atau kekuatan. Aliran ini menetapkan bahwa manusia mempunyai
kekuasaan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatannya
sesuai dengan keinginan tanpa adanya intervensi dari Tuhan. Aliran ini
didirikan oleh Ghailan ad-Dimasyqi dan Ma’bad al Juhani pada masa khalifah
Hisyam bin Abdul Malik. Aliran ini mengajarkan mengenai adanya kebebasanikhtiar. Qodariyah
kebebasan bagi manusia tidak mungkin terwujud jika tidak ada kebebasan
bekehendak.
Menurut mereka, manusia adalahfa’il (pelaku)
dari kebaikan dan kejahatan, keimanan dan kekafiran. Dan ia mendapat
balasan karena perbuatannya. Tuhan memberikan kemampuan untuk semua itu. Tuhan
tidak mungkin menyampaikan perintah-Nya kepada seseorang padahal orang
itu tidak dapat bekerja atau tidak merasakan didalam dirinya kemampuan
dan kerja. Dan menurut mereka, manusia memiliki kemampuan dalam dirinya untuk
berbuat baik atau sebalikya, karena ia memang diciptakan demikian.
Menurut mereka pula iman cukup dengan ma’rifat (pengenalan),
dan perbuatan tidak termasuk dalam iman. Dan mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an
itu makhluk. Dan yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Qodim maka ia telah
syirik. Qodariyah pun meniadakan sifat-sifat tsubutiyah pada Allah.
Akan tetapi kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan
melebur dalam Mazhab mu’tazilah (menjauh atau menjauhkan diri) yang menganggap
bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu
al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak
tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya
dengan “ahlu at-Tauhid”).
Dalam kesejarahannya, mu’tazilah didirikan oleh Washil bin
‘Atha’. Pendiri aliran ini memisahkan diri dari gurunya seorang tokoh tabi’in
Hasan al-Bashri. Diceritakan pada suatu hari seperti biasa Hasan al-Bashri di
masjid Basroh dalam pengajian menjelaskan status orang islam yang melakukan
dosa besar. Hasan menjelaskan, orang tersebut tetap beriman kepada Allah dan
Rosul-Nya meskipun tergolong mukmin yang durhaka. Jikalau ia tidak mau
bertaubat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka untuk sementara, kemudian
dimasukkan surga bersama orang-orang mukmin lainnya. Washil menolak pendapat
Hasan ini, ia menyatakan bahwa orang yang demikian itu bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tapi ia berada diantara dua posisi. Setelah itu Washil beserta
temannya memisahkan diri dan membentuk halaqoh sendiri akan tetapi masih dalam
lingkungan masjid Basroh. Dan ketika washil dan Amr keluar dari majlis, Hasan
pun berkata,” I’tazala ‘anna”. Sejak itulah Washil beserta
pengikutnya dinamakan mu’tazilah.
Mu’tazilah dikenal sebagai golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa aliran-aliran teologi lainnya. Mereka membangun
pemahamannya berdasarkan akal atau rasio sehingga terkenal dengan “kaum
rasionalis Islam”. Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang lebih
mengutamakan akal daripada wahyu. Tatkala menemukan kontradiktif antar akal dan
wahyu, mu’tazilah lebih mendahulukan akal. Jadi Al-qur’an dan As-Sunnah harus
ditakwil hingga sesuai dengan pemahaman akal. Berikut ini adalah beberapa
pemikiran yang berasala dari mu’tazilah:
1. Baik buruk ditentukan oleh akal
Menurut mu’tazilah, sumber pengetahuan berasal dari akal
manusia, termasuk pengetahuan tentang baik dan buruk. Oleh sebab itu bersyukur
pada Allah wajib menurut akal sebelum diturunkannya wahyu. Sumber penetapan
hukum agama adalah akal. Sesuatu yang menurut akal dianggap baik adalah
kebaikan meskipun bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah, begitu pula
sebaliknya.
2. Manusia menciptakan perbuatannya sendiri
Menurut mereka manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Kebebasan untuk melakukan dan menciptakan sesuatu tanpa ada campur tangan dari
Tuhan. Manusia memiliki hak untuk menentukan perbuatannya, baik atau jahat
sesuai kehendaknya tanpa ada paksaan dari Tuhan dalam hal ini Tuhan tidak
memiliki hak untuk mengatur perbuatan manusia. Tuhan hanya memerintahkan pada
hamba-Nya untuk berbuat baik dan meninggalkan kejelekan..manusialah yang
menentukan nasib mereka
3. Penghuni neraka
tidak kekal
Umar bin al-Bahar, salah satu tokoh mu’tazilah berpendapat
bahwa penghuni neraka tidak kekal didalam neraka. Tapi bersatu dalam neraka
sehingga tidak merasakannya siksaan neraka. Penghuni neraka tidak dimasukkan
dalam neraka, melainkan neraka yang menarik bagaikan magnet. Sebagian mereka
berpendapat bahwa penghuni surga dan neraka tidak kekal. Setelah mereka
mendapat ganjaran atau hukuman, kemudian mereka dilenyapkan. Surga dan neraka
pun dilenyapkan. Pada akhirnya yang kekal hanyalah Allah SWT.
4.Menolak
kemungkinan melihat dzat Allah di akhirat
Menurut mu’tazilah bila dzat Allah dapat dilihat berarti
dzat-Nya sama dengan dzat yang lain, padahal dzat Allah tidak berada pada arah
tertentu, tidak memliki tempat, tidak menempati ruang, tidak berebentuk, tidak
menyerupai rupa, bukan berupa materi, tidak berubah dan tidak terpengaruh.
Dalam mu’tazilah terkenal konsep teologi yang mereka
namakan al-Ushul al-Khomsah atau lima ajaran pokok.lima
ajaran pokok ini merupakan pijakan dasar kaum mu’tazilah dalam
berteologi. Adapun lima ajaran pokok tersebut sebagaimana berikut:
1.
Tauhid
Menurut kaum mu’tazilah, tauhid tidak hanya diartikan Tuhan
adalah dzat yang Maha Esa dan tidak ada sekutu baginya, namun Tuhan harus
benar-benar disucikan dari hal-hal yang dapat mengurangi ke-Esaan-Nya.
Tuhanlah satu-satunya yang Esa. Artinya tuhan tmemiliki sifat ma’ani dan
sifat-sifat lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka mentakwilkan sifat
dengan nama-nama Allah. Than menurut mereka adalah yang Maha hidup,
berkuasa, maha mengetahui, maha mendengar, maha melihat bukan karena
seifatnya, melainkan dengan dzat-Nya sendiri.
2.
Al-‘adl
Keadilan menurut konsep mu’tazilah ialah Tuhan tidak pernah
berbuat buruk atau jahat kepada hamba-hamba-Nya. Segala sesuatu yang dilakukan
oleh-Nya adalah baik. Tuhan hanya memerintahkan yang baik dan melarang segala
hal yang buruk, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan manusia itu sendiri
mengetahui hikmah-hikmah ketuhanannya. Dan Allah wajib berbuat baik
kepada hamba-Nya, maksudnya Allah wajib memasukan orang yang baik ke surga dan
orang jahat ke neraka.
3. Al-wa’du wal-Wa’id
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah wajib memenuhi dan tidak
boleh melanggar janji-Nya. Menurut mereka hamba yang baik pasti mendapatkan
pahala dan masuk surga, sebab Tuhan telah berjanji akan memberikan pahala
kepada orang-orang yang berbuat baik. Tuhan tidak akan mengingkari janji-Nya.
Dan berlaku pula dengan sebaliknya
4. Al-Manzilah baina al-manzilataini
Ajaran inilah yang menjadi factor utama munculnya kaum
Mu’tazilah. Washil bin ‘Atha’ menjelaskan bahwa orang Islam yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir dan bukan pula muslim. Dalam ajaran mereka disebut
dengan fasiq. Dan orang yang demikian ini , bila meninggal dunia
sebelum bertaubat maka ia akan dimasukkan didalam neraka untuk selama-lamanya,
namun tidak sama dengan neraka yang ditempati oleh orang kafir. Sehingga
siksaannya lebih ringan daripada siksaannya orang kafir. Yaitu posisi di antara
surga dan neraka.
5. Al-‘amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil mungkar
Ajaran amar ma’ruf nahi mungkar sebenarnya juga dimiliki
oleh aliran-aliran lain. Akan tetapi mu’tazilah memiliki konsep yang khas yang
terletak pada metode serta dalam tatanan pelaksanaanya. Menurut mu’tazilah
ajaran ini boleh diterapkan dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan,
sehingga data menimbulkan kekerasan, kekacauan dan kedzaliman. Sejarah pernah
mencatat kaum mu’tazilah pernah membantai ribuan ulama besar dalam “peristiwa
Al-qur’an Makhluk”.
Dan pada tubuh kaum mu’tazilah pun terjadi perpecahan yang
disebabkan karena mereka mempunyai pemikiran yang berbeda-beda sesuai dengan
akal pikirannya. Oleh karena itu tidak ada satupun ajaran-ajaran teologi yang
mereka sepakati. Dan para pakar sejarah hampir semua sepakat bahwa
perbuatan manusia semuanya tidak ada yang dijadikan Tuhan. Sebagian mereka
mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh dirinya sendiri. Sebagian
mengatakan tidak diciptakan melainkan tercipta dengan sendirinya dll.
Di penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij
yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada
mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri
karena tidak sepakat dengan keputusan Ali bin Abi Tholib yang menerima tahkim
dengan pihak Mu’awiyah dalam perang siffin pada tahun 37H/648M. Pada masa
dinasti Ummayah dengan gencar kaum khawarij menentang dan terkadang melakukan
pemberontakan walaupun dapat digagalkan. Kaum khawarij pada saat itu menjadi
satu kekuatan yang sangat membahayakan kekuasaan bani Ummayah.
Perkembangan kaum khawarij pada awalnya hanyalah sebuah
partai politik murni menjadi sebuah aliran teologi yang mencampur adukan urusan
politik dengan akidah terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
Pada prinsipnya teologi yang dikembangkan oleh khawarij dikelompokan menjadi
dua, yakni persoalan khilafah dan keimanan. Persoalan politik merupakan doktrin
sentral kaum Khawarij. Kaum khawarij mengatakan bahwa pemerintahan Abu Bakar
dan Umar adalah pemerintahan yang sah, sebab mereka dipilih dan diangkat sebagi
kholifah berdasarkan kesepakatan umat Islam. Mereka pun mengakui kekhalifahan
Usman bin Affan, namun dianggap menyeleweng dan menyimpang dari norma pada masa
pemerintahannya 6 tahun terakhir. Mereka pun mengakui kekhalifahan Ali,
sebagaimana kekhalifaahan Usman, Ali pun dianggap menyeleweng dengan menerima
tahkim.
Menurut mereka khalifah harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat islam, dan khalifah yang terpilih tidak boleh dijatuhkan dan
dikudeta selama ia mampu berbuat adil dan tidak melakukan hal-hal yang
menyimpang dari ajaran Islam. Pemerintah menurut mereka tidak harus berasal
dari suku Quraish-Arab. Setiap Muslim berhak untuk mencalonkan diri sebagai
kholifah, meskipun ia adalah budak. Dan pandangan seperti inilah yang memicu
kaum khawarij untuk memberontak untuk menggulingkan kekuasaan bani Umayyah.
Untuk masalah keimanan, mereka mempunyai pandangan
bahwa keimanan bukan hanya sekedar yakin dan percaya pada Allah dan Rosul-Nya,
melainkan harus diwujudkan dengan amal perbuatan. Iman tidak hanya dalam hati,
tapi harus disertai dengan amal perbuatan. Menurut mereka, amal perbuatan
seperti sholat, puasa, zakat, haji dll merupakan bagian dari keimanan. Maka
barang siapa yang tidak mengerakannya, maka ia adalah kafir, dan wajib dibunuh.
Kaum khawarij tidak dapat memelihara kesatuan akidah mereka.
Hal ini disebabkan oleh asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badui
yang memiliki karakter serta pola pikir yang keras, radikal, berani, serta
fanatic dalam mempertahankan pendapat sehingga sangat rentan menimbulkan
perpecahan, baik secara internal maupun eksternal.
Kaum kahwarij adalah kaum yang sungguh-sungguh dan
senantiasa hanyut dalam beribadah. Dan mereka adalah orang yang sangat teguh
menjaga kemurnian akidahnya, mereka rela berperang demi menjaga kemurnian
akidah. Mereka pun dikenal sebagai kaum yang berani dan gigih.
Kebalikan dari kaum khawarij adalah kaum syi’ah, kelompok
yang tetap memihak kepada Ali. Golngan ini mempunyai keyakinan bahwa Ali bin
Abi Tholib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak menjadi khalifah,
karena Nabi Muhammad pernah berwasiat bahwa pengganti beliau setelah wafat
adalah Ali. Kaum syi’ah mengaku mencintai ahlul bait dan
menyatakan terlepas dari Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’
adalah pendeta Yahudi yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam
dari dalam. Ia membangun gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman
dengan memanfaatkan kekisruhan politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan
misinya itu ia menggunakan figure Ali sebagai alat untuk menebar fitnah di
kalangan umat muslim. Ia melacarkan propaganda dengan melebih-lebihkan dan
mengagung-agungkan Ali. Ia juga merendahkan kholifah terdahulu. Usaha Abdulah
bin Saba’ tersebut mendapatkan perhatian yang besar, terutama dari kota-kota
besar seperti Mekah, Madinah, Basroh dll.
Ia mengajarkan bahwa Ali Berhak menjadi Khalifah karena
mendapatkan wasiat dari nabi Muahammad. Dan untuk selanjutnya imam diangkat
berdasarkan wasiat dari imam sebelumnya. Dan ia pun mengajarkan bahwa Ali bin
Abi Tholib tidak meninggal dibunuh, melainkan diangkat oleh Allah sebagaimana
Nabi Isa, dan Ali bin abi Tholib akan kembali ke dunia untuk menyebarkan agama
baru. dan Abdullah bin Saba’ mendustakan akan kembalinya nabi Isa kelak.
Abdullah bin Saba’ berpendapat bahwa dalam diri Ali terdapat sifat keuluhiyahan
yang bersatu padu dalam tubuhnya, hingga ia menghilangkan sifat kemanusiaan
dalam diri Ali.
Dalam doktrinnya, umat syiah berpendapat bahwa imamah tidak
dapat dilahirkan dari musyawarah seperti khalifah dalam Islam. Imamah harus
berdasarkan keturunan dari nabi Muhammad. Kaum syi’ah pun berpendapat bahwa
mereka mangakui akan adanya imam mahdi dan kebangkitannya menjelang hari
kiamat. Mereka meyakini bahwa imam Mahdi pernah terlahir didunia dari keturunan
nabi Muhammad. Namun ia bersembunyi hingga sekarang dan akan muncul
menjelang hari kiamat. Selain al-Mahdi mereka berasumsi bahwa semua
imam-imam mereka dan orang-orang yang memusuhinya pasca datangnya al-mahdi akan
dibangkitkan kembali dari kematian. Mereka akan berhadap-hadapan dalam
pertempuran. Dan imam mereka akan mebunuh Abu Bakar, Umar, Usman, Mua’awiyah
dan para sahabat Rosul yang lainnya. Dan dalam pertempuran itu dipimpn langsung
oleh Ali bin Abi Tholib.
Umat
syiah meyakini bahwa Allah berhak mengubah kehendaknya sejalan dengan perubahan
Ilmunya, serta dapat memerintahkan sesuatu perbuatan, lalu memerintahkan
sebaliknya (Bada’). Dan mereka juga meyakini taqiyyah, yakni
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan sendiri untuk
menyelamatkan diri dari orang-orang yang tidak sepaham dalam akidah dan
pemikiran. Tak ubahnya taqiyyah ini dijadikan tameng oleh kaum
syi’ah untuk menyelamatkan diri.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan tentang makalah tauhid pada masa dinasti umayyah semoga bermanfaat.