Makalah Perkembangan Tauhid pada Masa Bani Abbasiyah

sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan makalah tentang perkembangan tauhid pada masa bani abbasiyah silahkan disimak dibawah ini.

2.3 Perkembangan Ilmu Tauhid Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
2.3.1 Tauhid pada masa bani Abbasiyah
Khalifah-khalifah Abbasiyah yang bertindak atas nama agama dan untuk agama, menganjurkan kepada para ulama’ supaya menyusun kitab. Karena itu bergeraklah para ulama mengumpulkan hadits, membahas sanadnya, meneliti riwayat-riwayatnya, sebagaimana mereka berusaha membukukan fiqh (hukum Islam), ushulnya, tafsir, qira’at, ilmu kalam, ilmu balaghah, falsafah dan mantiq. Dan pada ketika itu pesatlah usaha terjemah. Bahkan dimasa itu para ulama mempelajari pula agama-agama lain.
Daulat Abbasiyah mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh bangsa Persia dalam menegakkan kerajaan mereka dan menggulingkan kerajaan Bani Umaiyah. Untuk itu mereka menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia, di antaranya jabatan Mentri dan jabatan Wakil Mentri, walaupun kebanyakan orang-orang Persia itu tidak mengerti masalah-masalah agama. Di antara orang-orang Persia yang diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat pengikut-pengikut madzhab al-Manawy dan Yazidiyah, serta orang-orang yang tidak menganut agama sama sekali. Dengan kedudukan dan jabatan yang mereka pegang, orang-orang Persia itu mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk menghembuskan buah pikiran mereka, baik dangan cara halus atau terus terang, agar orang tertarik dengan buah pikiran mereka, dan kemudian mengekor kepadanya. Akibatnya lahirlah kekafiran dan muncullah tokoh-tokoh kaum zindik (sesat), hingga datang pula Khalifah al-Mansur, yang memerintahkan supaya menerbitkan buku-buku baru guna membukakan tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pendapat yang diindoktrinasikan selama ini.
Sekitar masa inilah tumbuhlah Ilmu Tauhid, tetapi belum begitu sempurna berkembang dan belum begitu tinggi mutunya. Dan mulailah pembicaraan tentang Ilmu Kalam, yakni dengan menghubungkannya dengan pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al Qur’an tentang hal itu. Kemudian timbullah masalah yang menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalah tentang kejadian Al Qur’an. Apakah Al Qur’an itu makhluk atau barang yang azali yang tidak ada permulaan.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifah Abbasiyah (Al Makmun dan Muktazilah), sedang keyakinan yang kedua, yakni yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu azali, dipegang teguh oleh kelompok-kelompok yang bersandar kepada nas-nas Al Qur’an dan Sunnah Rasul, atau oleh mereka yang menjaga dirinya untuk berbicara tentang hal-hal yang mugkin membawa bid’ah (termasuk Imam Ahmad Ibn Hambal). Oleh karena perbedaan pendapat yang seperti itu, mengalir pulalah darah dengan cara yang tidak wajar dan banyak pulalah ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang takwa mendapat bencana. Begitulah keadaannya, orang-orang melanggar batas-batas agama dengan memakai nama  agama itu sendiri.
2.3.2 Perkembangan Ilmu Tauhid di Masa Daulah Bani Abbasiyah
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.[ix]
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Multiplan Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma baina Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.[x]

Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan tentang perkembangan tauhid pada masa daulah bani abbasiyah semoga bermanfaat.