Makalah Salaf dan Khalaf
sahabat sejuta warna kali ini admin postingakn materi dalam bentuk makalah tentang safafiyah dan kholafiyah silahkan disimak dibawah ini.
2.4 Awal Penggunaan Salafiyah
2.5 Penggunaan Salafiyah Masa Kini
SALAFIYAH DAN KHALAF
2.1
Pengertian Khalaf
Ahli
kalaf merupakan gerakan ulama yang menghidupkan dan meneruskan tradisi salaf,
menolak bid’ah dan khurafat supaya kembali kepada al-qur’an dan as-sunah
perkembangan zaman ini terutama dalam pemikiran dan kebudayaan asing telah mulai
menyelinap masuk ke dalam pemikiran dan kebudayaan umat islam.
Dalam
memahami isi aqidah ahli khalaf berpegang dengan sumber al-qur’an dan as-sunnah
serta menggunakan pendekatan akal logika, biarpun memperkenalkan konsep takwil
dalam mentafsirkan nusuz /ayat mutasyabihat mereka tidak keluar dari wahyu
ilahi karna mereka tidakmengangkat martabat akal melebih agama.Salah satu tokoh
khalaf adalah imam ghazali.
2.2 Pengertian Salafiyah
Kata
salafiyah diambil dari kata "Salaf"
adalah kependekan dari "Salaf al-shahih, yang
berarti "pendahulu yang sholih". Dalam terminologi Islam, secara umum
digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut
tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik
dalam menjalankan syariat Islam.
Salafiyah
adalah salah satu metode dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni
tanpa adanya tambahan dan pengurangan, berdasarkan syariat yang ada pada
generasi Muhammad dan para sahabat kemudian
setelah mereka (murid para sahabat) dan setelahnya (murid dari murid para
sahabat).
Seseorang yang
mengikuti aliran salafiyah ini disebut dengan salafi (as-salafy),
jamaknya adalah salafiyyun (as-salafiyyun). Ada seorang syekh
yang mengatakan bahwa siapa saja yang berpendapat sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah mengenai
aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman salaf, maka ia disebut salafi, jika
pendapat mereka sebaliknya maka, mereka itu bukan salafi meskipun mereka hidup
pada zaman sahabat, tabi'in & tabi'ut tabi'in.
2.3 Macam-macam
Salafiyah
Penggunaan
istilah salafiyah, generasi salafi, dan al-salaf al-shalih digelorakan dalam
rangka memperjuangkan “kebenaran” atau “Islam murni” mereka. Namun kata
salafiyah sering dipakai tanpa pertimbangan yang cermatmengenai berbagai arti
yang dimilikinya. Seringkali istilah salafiyah dipandang sebagai jenis “kata
sakti atau sakral” dalam sebuah organisme atau sistem perjuangan tentang
kebenaran atau al-haqq. Berikut adalah macam-macam hasil dari klasifikasi para
pengkajian salafisme yang seringkali mengarah pada salafiyah sebagai sebuah
gerakan dan doktrin keagamaan. Pembahasan ini sekaligus untuk merunut akar kata
dan substansi makna kata salafiyah itu sendiri.
1. Al-Salafiyah
al-Tarikhiyah
Al-Salafiyah
al-Tarikhiyah merupakan istilah yang erat hubungannya dengan aliran pemikiran
dan ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahl al-Hadits. Kelahiran Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah
diantaranya dimotivasi oleh perlawanan terhadap yang bid’ah dan dalam rangka
memangkas pemikiran-pemikiran aliran Ahl al-Aql atau Ahl al-Ra’y yang terdiri
dari para ulama kalam, falsafat dan ra’y (logika). Perseteruan utamnya adalah
seputar al-marja’iyah al-syar’iyah (sumber utama) dalam mentrasformasikan
interpretasi teks-teks suci (al-Qur‘an dan hadis) sepeninggal Rasul.
Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah melihat kaum generasi salaf (para sahabat nabi dan
generasi berikutnya, yaitu para tabi’in dan tabi’t tabi’in) merupakan
satu-satunya referensi utama dalam memahami praktik keagamaan setelah masa
kenabian. Kaum salaf dianggap memiliki otoritas keagamaan dan kepemimpinan
secara otomatis. Segala bentuk pemahaman (penafsiran: al-Qur‘an dan hadis)
validasinya adalah generasi Salaf ini. Generasi berikutnya (Khalaf) tidak
memiliki otoritas apapun, kecuali kepatuhan di hadapan absolutisme kebenaran
yang telah diproduksi oleh generasi Salaf. Fokus pemikiran kaum Salaf adalah
seputar al-tanzih fi altauhid (pemurnian aqidah), mendahulukan syari‘at dari
pada akal, menolak segala bentuk penafsiran yang didasarkan pada lafadz dan
batin, melawan segala bentuk pemikiran yang bersumber dari kelompok-kelompok
seperti, Mu‘tazilah, Musyabahah, Jabariyah, Qadariyah, Syi‘ah dan vonis kafir
bagi kaum Sufi.
Kelompok
ini berusaha keras agar tetap menjadi pemegang kendali kepemimpinan atas umat
Islam. Kepemiminan atas umat adalah kelaziman yang membawa misi besar demi
tercapainya sebuah tujuan. Tidak ada satu pun alasan untuk keluar dari batas
kepemimpinan dan kekuasaan, kecuali secara eksplisit menempatkan kepemimpinan
itu berhadap-hadapan dengan hukum Allah atau menolaknya. Mereka menamakan diri
mereka dengan alSalafiyah al-Tarikhiyah.
1. Al-Salafiyah
al-Wahabiyah
Istilah ini ditujukan kepada para pengikut
Muhammad bin Abd alWahhab (1703-1791). Berbeda dengan sebelumnya, kelompok ini
lebih cenderung kepada gerakan politik, dari pada gerakan keagamaan, meskipun
sebenarnya tujuan utamanya adalah gerakan pemurnian agama. Jargon yang diusung
pun seputar, gerakan pemurnian aqidah, membersihkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, kembali kepada kemurnian
Islam zaman Rasul dan berusaha mempraktikkan hukum Islam secara utuh.
Referensi
utamanya adalah al-Qur‘an, hadis, warisan kaum al-Salaf alShalih (para sahabat
nabi dan generasi berikutnya yang shalih) seperti, Ahmad bin Hanbal, Ibn
Taimiyah dan Ibn al-Qayim al-Jauziyah). Kelompok ini nyaris berhasil mendirikan
satu generasi kepemimpinan politik di Najd yang independen dari kepemimpinan
al-Utsmaniyah. Kepemimpinan politik ini mendapat dukungan dari sejumlah klan
yang dikuasai di semenanjung Arab, khususnya dari dari klan Su‘ud. Kelompok ini
berhasil mengusung ideide pemikiran Islam ke dalam situasi politik mereka.
Mereka mengklasifikasi negara menjadi dua bagian, yaitu negara kafir dan Negara
muslim. Sedangkan ideologi yang diusung adalah prinsip al-wala wa al-bara’
(mencintai Allah, Rasul dan para sahabatnya serta orang-orang yang
mempraktikkan agama sesuai dengan sunnah). Sebaliknya, mereka memerangi
orang-orang yang menolak aturan Allah, rasul dan para sahabatnya secara
terang-terangan.
Atas
dasar prinsip nawaqidh al-Islam wa qawa’id al-takfir (hal-hal yang membatalkan
keislaman seseorang dan kaidah pengkafiran) kelompok ini cenderung lebih
longgar memberikan stereotip “wajib dimusuhi” bagi orang-orang yang masih setia
menjalankan tradisi atau bid’ah. Mislanya, praktik-praktik yang tidak
mengkafirkan praktik kemusyrikan (sekalipun ia beriman), yang melecehkan Islam,
membantu praktik kemusyrikan, tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim,
orang-orang yang menjalankan dan menjunjung tinggi hukum positif dari pada
syari‘at Islam, orang-orang yang meyakini hukum potong tangan bagi pencuri dan
rajam bagi pelaku perzinahan merupakan kejahatan kemanusiaan tidak sesuai
dengan hokum kekinian serta orang-orang yang meminta pertolongan orang-orang
yang sudah meninggal dunia, para wali dan leluhur mereka. Meskipun perspektif
fiqih lebih dominan dari pada perspektif politiknya, namun ide-ide dasar ini
akan memberikan dampak serius pada kelompok Salafiyah Takfīriyah pada generasi
berikutnya. Namun perlu diingat, salafisme tidak selalu identik dengan
Wahabiyah. Mengingat konsep salafiyah –sebagai komunitas yang berpegang pada
tindak-tanduk keberagamaan generasi awal periode Nabi Muhammad – telah lahir
lebih dahulu daripada Muhammad ibn Abdul Wahab sendiri, maka paradigma
penyamaan salafisme dengan wahabisme ini sudah terpatahkan.
3.
Al-Salafiyah al-Ishlahiyah
Terminologi Salafiyah modern ini muncul
pertama kali di Mesir, selama kurun waktu penjajahan Inggris atas negara itu.
Setelah Kekhalifahan Utsmaniyyah mendapatkan kemerdekaannya, istilah ini
semakin santer terdengar di kalangan umat Islam. Beberapa hal yang sangat
mendukung gerakan al-Salafiyah pada saat itu di antaranya, pertama, munculnya
gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah Eropa di negara-negara Arab. Kedua,
momen kepemimpinan Muhammad Ali sebagai simbol perlawanan terhadap negara kafir
(penjajah). Ketiga, pada saat yang bersamaan pula, kaum intelektual Muslim
sudah banyak yang dikirim ke Eropa. Mereka mendapati kemajuan negara-negara
Eropa di bidang ilmu pengetahuan. Keempat, Mesir masih didominasi oleh
praktik-praktik kaum Sufi yang identik dengan praktik-praktik bid‟ah dan khurafat yang
diprakarsai oleh para ulama alAzhar.
Keempat
faktor tersebut tidak hanya memicu gerakan anti penjajah di negara-negara
Islam, tetapi sekaligus memotivasi kaum intelektualnya untuk segera bangkit
dari keterpurukan. Mereka menilai realitas kehidupan umat Islam yang terpuruk
di bidang politik dan keilmuan sama sangat jauh dengan zaman keemasan yang
pernah diraih oleh para pendahulu, yaitu yang mereka sebut sebagai generasi
al-Salaf al-Shalih. Mereka melihat, kejayaan harus dikembalikan ke tangan umat
Islam sebagaimana yang pernah terjadi pada generasi awal umat ini. Akan tetapi,
untuk mencapai kejayaan yang gemilang tidak mungkin berkiblat kepada Eropa yang
diyakini sebagai negara kafir. Satu-satunya jalan agar umat ini mampu berdiri
dan mengembalikan kejayaannya adalah melacak dan mengamalkan sistem kejayaan
yang pernah diraih oleh generasi al-Salaf al-Shālih. Itulah sebabnya, pada tahap kesadaran
berikutnya, mereka mengusung sebuah metode yang disebut dengan manhaj al-Salaf
al-Shālih
(metode atau system generasi awal Islam yang lurus). Kembali kepada manhaj
al-Salaf al-Shālih
digadang-gadang sebagai satusatunya solusi atas krisis politik dan krisis
intelektual di negara-negara Arab (Islam) saat ini. Kesuksesan mengembalikan
Islam kepada sumber aslinya (generasi awal) berarti menjauhkan Islam dari unsur
bid’ah dan khurafat. Dengan pemahaman ini, tugas politik dan juga agama telah
maju satu langkah penting di dalam merestrukturisasi dan merenovasi rumah Islam
yang dianggap telah rapuh.
Gerakan
Salafiyah dengan terminologi ini, menjadi Salafiyah yang konstruktif dan
mengilhami bangunan masyarakat Islam yang ideologinya adalah masyarakat
berperadaban maju. Namun sayang, seiring dengan perkembangan ide dan gagasan
gerakan Salafiyah yang konstruktif ini bergeser menjadi gerakan madhab yang
menegakkan prinsip: la yashluhu akhir hādzihi al-ummah illa bima shaluha bihi awwaluha
(tidak akan pernah menjadi baik umat ini, kecuali mereka menempuh jalan
kebaikan generasi awalnya). Padahal, generasi awal bukan saja kejayaan, tetapi
juga kemenangan yang kombinatif antara politik, intelektual dan spiritual.
Menempuh jalan mereka berarti menempuh jalan ketiga jalan sekaligus.
Rifa‘ah
Thahthawi adalah tokoh sentral dalam gerakan reformasi ini. Ia memilih jalan
moderasi antara tradisi dan perilaku generasi awal, kemudian menciptakan
peradaban baru untuk menandingi peradaban Eropa. Revolusi Perancis dipilih
sebagai titik awal untuk membangkitkan semangat keilmuan Islam, bukan semangat
keagamaan, meskipun ia meyakini revolusi Perancis sangat dilatarbelakangi oleh
semangat keagamaan. Oleh karena itu, ia menginstruksikan pentingnya lembaga
penelitian di bidang ilmu pengetahuan umum, seni dan industri. Menurutnya,
negara-negara Eropa (Perancis) merupakan negara yang sangat ideal, karena
kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapainya saat ini. Kemajuan ini tidak ada di
dalam dunia Islam saat ini. Dalam pandangannya, tidak ada yang salah jika
negara-negara Islam mencontoh negara-negara eropa dalam hal ini.
Setelah kembalinya al-Thahthawi dari Paris, ia
banyak mengambil pelajaran positif yang dekembangkannya. Ia merumuskan sejumlah
prinsip dasar pengembangan diantaranya: pertama, mendorong semua pihak untuk
mempelajari berbagai macam ilmu dan memberikan sarana-prasarana demi
tercapainya tujuan ilmu pengetahuan. Kedua, memberikan persamaan hak antar
sesama manusia. Ketiga, membuka pintu kebebasan dalam berpikir, berperilaku,
budaya kritik, toleransi beragama dan pentingnya pendidikan bagi generasi baru,
baik laki-laki maupun perempuan. Al-Thahthāwi mencetuskan kaidah al-Salafiyah al-Mutanawwirah
(kaidah kaum Salaf yang beragam), namun tetap dalam batasan, bahwa Islam
merupakan prinsip dasar yang mutlak. Menurutnya, al-Qur‘an tidak pernah
bertentangan dengan berbagai perkembangan zaman. Keterlibatan umat Islam dalam
perkembangan zaman adalah suatu kelaziman. Sebab jika tidak, maka umat Islam
tidak akan pernah mampu keluar dari episode keterpurukan abad modern ini.
Gagasan
besar ini selanjutnya ditangkap secara sempurna oleh Muhammad Abduh. Ia
mengajak umat Islam agar mampu membebaskan diri mereka dan keluar dari jerat
tradisi. Lebih dari itu, ia juga mengajak umat Islam untuk membuka diri
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia Barat. Tidak ada alasan
untuk menolak kemajuan yang telah dicapai oleh Barat, justru umat Islam harus
mampu menirunya. Ia juga menentang keras setiap gagasan yang pada akhirnya
melarang umat Islam untuk mempelajari kemajuan Barat. Ia mempersilahkan umat
Islam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat (ilmu pengetahuan) secara
teori dan praktik. Menurutnya, logika merupakan kekuatan modal utama secara
keseluruhan. Namun demikian, ia tetap mengawali gagasannya itu dengan
peringatan harus didasarkan pada aqidah yang benar, bebas dari unsur bid‟ah dan tetap melakukan
perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang lebih mengutamakan gagasan atau
pemikiran murni seseorang dari pada hokum Allah (al-Qur‘an). Inilah pembeda
antara dirinya dengan kaum Salafiyah Raj’iyyah.
Sejak
saat itu, Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang tokoh yang gigih melakukan
gerakan pembebasan pemikiran dari unsur bid‟ah dan khurafat. Sejalan dengan kelompok
Salafiyah lainnya, ia tetap menganjurkan umat Islam berpegang teguh pada
prinsip orisinalitas Islam. Tidak ada kemajuan tanpa Islam. Tidak ada pemikiran
yang benar tanpa Islam. Demi tercapainya kemajuan itu, umat Islam harus
membangun kembali pusat peradaban Islam dalam satu klaster, yaitu peradaban
al-Azhar. Abduh menilai tidak ada instrument yang valid untuk membangkitkan dan
menghubungkan umat Islam saat itu, keculai dengan revolusi ta’ashubiyah
Islamiyah (fanatisme Islam) yang radikal. Tidak ada komunitas (persekutuan),
kecuali persekutuan Islam dan tidak ada fanatisme, kecuali fanatisme Islam.
Selanjutnya Abduh menyerukan prinsip dasarnya dalam menegaskan posisi dan
statemennya: irtafa’a shauti bi al-da’wah ila amraini adzimaini: tahrir al-fikr
min qaid al-taqlid wa fahm al-din ‘ala thariqah salaf al-ummah dhimna mawazin
al-aql al-bashari (saya menyerukan dua hal yang sangat penting: pembebasan
pemikiran (akal) dari jerat tradisi dan memahami agama melalui cara yang pernah
ditempuh- oleh para pendahulu (generasi ulama salaf ) sesuai dengan akal
pemikiran manusia.
4.
Al-Salafiyah al-Ta’siliyah
Gerakan reformasi yang diperuntukkan bagi
kebangkitan pemikiran Islam merupakan fase pendahuluan bagi gerakan-gerakan
Islam yang muncul belakangan. Gerakan-gerakan Islam itu sengaja didirikan
sebagai pemandu bagi orisinalitas Islam. Sebab, Islam yang ada dinilai sebagai
Islam yang telah kehilangan autentisitasnya, Islam yang sudah tidak sesuai
dengan al-Qur‘an dan hadis. Kelompok ini merasa yakin mampu menyajikan Islam
yang sesungguhnya, yaitu Islam yang asli, orisinil dan bebas dari unsur-unsur
bid‟ah.
Kelompok ini mengusung semangat kembalinya Islam kepada alQur‘an dan hadis.
Tidak hanya itu, kelompok ini juga tetap menjadikan misi sosial (al-thabi’
al-fikri) lebih dominan dari pada misi pemikiran (al- thabi’ al-suluki). Pendek
kata, kelompok gerakan ini memprioritaskan sasaran utamanya, yaitu perubahan
sosial dari pada sasaran pemikiran, karena politik -dalam perspektif kelompok
ini- merupakan realitas yang paling memungkinkan untuk merealisasikan bahwa,
Islam adalah agama dan negara. Meskipun demikian, gerakan ini sebenarnya
mengkombinasikan antara yang al-madani (sipil atau sosial) dan yang al-siyasi
(penguasa atau politik).
Gerakan reformasi Islam yang tergabung dalam
al-Ikhwan al-Muslimun mencatat kegagalan politik dan ideologi modern. Umat
Islam harus selalu mengingat pentingnya kegagalan tersebut melalui kegagalan
paham sosialis dan kapitalis. Tidak ada solusi yang dapat menggantikan
kegagalan ideologi modern tersebut, kecuali kembali kepada prinsip-prinsip
Islam. Hasan alBanna sebagai pendiri kelompok ini menegaskan, generasi awal
umat Islam telah mencapai kejayaannya, karena itu umat Islam kini harus
menempuh metode generasi awal untuk melanjutkan reformulasi demi merealisasikan
misi generasi awal dalam konteks modern. Berangkat dari prinsip
profesionalistas Islam yang merupakan inti pokok dari misi dakwah Islam, maka
al-Banna menyatakan al-Qur‘an telah memberikan posisi kepada umat Islam yang
sangat tinggi dan kepemimpinan atas dunia ini. Oleh karena itu, al-Banna juga
telah merintis fase-fase berdirinya Madinah al-Islam (Kota Islam) sebagai ganti
dari Madinah al-Madah (Kota Materialistik). Kelompok Ikhwan meyakini kekuatan
paling utama adalah kekuatan akidah dan kekuatan iman. Kekuatan selanjutnya
adalah kekuatan kesatuan dan persatuan serta keamanan. Bagi kelompok Ikhwan,
al-quwwah al-‘amaliyah (kekuatan revolusi) adalah solusi satu-satunya yang
harus ditempuh. Salafiyah semacam ini tidak segan untuk terjun dalam ranah
politik. Mereka melakukan reformasi keagamaan dari kalangan masyarakat lokal
(sharia from bellow), masyarakat akar rumput yang memiliki kekuatan militansi
yang kuat berdasarkan akar-akar primordialisme seperti etnis ataupun ikatan
kekeluargaan. Ragam salafi seperti ini bahkan menyebar hingga ke Ethiopia.
Hasan al-Banna pun tampil sebagai mentor utama
dalam kelompok alIkhwan. Tidak kalah dengan Hasan al-Banna, Sayid Quthb memoles
langkah politik al-Banna dengan ide dan gagasannya mengenai misi Ikhwan. Oleh
karena itu, sepeninggal al-Banna, kelompok ini memasuki era baru yang banyak
dipengaruhi oleh Sayid Quthb dan al-Maududi. Sayid Quthb banyak terinspirasi
oleh pemikiran al-Salafi al-Wahhabi yang sangat keras, terutama konsep al-wala’
wa al-bara’. Sayid Quthb juga mengkombinasikan kaidah itu dengan fatwa-fatwa
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah serta pemikiran Abu al-‘Ala
al-Maududi. Al-Maududi merenovasi pemikirannya dengan mengangkat isu-isu
seputar jahiliyah al-ummah (krisis intelektual umat) dan hakimiyatullah
(otoritas Tuhan). Sekumpulan pemikiran ini kemudian dirangkum dalam pemikiran
al-Ikhwan dan pemikiran al-Maududi. Kehadiran karya, Madza Khasr al-Alam bi Takhalluf
al-Muslimin (Kerugian yang akan ditanggung dunia, jika umat Islam tertinggal
atau dalam bahasa lain, ketertinggalan Umat Islam merupakan Kerugian bagi
Dunia) merupakan fase penting dalam sejarah kebangkitan prinsip dasar
pentingnya kembalinya kepada al-Qur‘an. Standarisasi kekuatan dasar atas nama
al-Qur‘an harus segera direalisasikan dalam lini kehidupan umat manusia saat
ini. Meninggalkan prinsip dasar ini, berarti kehancuran bagi umat manusia
keseluruhan. Sayid Quthb menutup pemikirannya melalui karya al-Adālah al-Ijtimāiyah fi al-Islām (Keadilan Sosial dalam
Islam). Sayid Quthb menilai bahwa, pertarungan yang akan datang bukan
pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme, tetapi antara kelompok-kelompok
materialime dengan Islam.
5.
Al-Salafiyah al-Jihadiyah al-Takfiriyah
Mencermati
kelompok Salafiyah Wahabiyah yang lahir dalam rangka mencerminkan otentisitas
Islam yang difahami dari gagasan al-Maududi akhirnya mengkristal dalam
al-Salafiyah al-Jihadiyah al-Takfiriyah. Afganistan merupakan lahan yang sesui
untuk menggambarkan ilustrasi di atas. Afganistan mencoba keluar dari belenggu
kolonialisme Negara kafir (Uni Sovyet) melalui lompatan Iman kepada praktis.
Selanjutnya, mereka mendeklarasikan al-Jabhah al-Isamiyah al-Alamiyah li Jihad
al-Yahud wa al-Shalibiyin (Perserikatan Islam Internasional untuk Perlawanan
Yahudi dan Nasrani). Gerakan ini mengkombinasikan antara pemikiran Wahabi yang
dipresentasikan oleh Saudi (Osama bin Ladin, komandan kelompok al-Qaida) dan
pemikiran al-Ikhwan Sayid Quthb yang dipresentasikan oleh Mesir (Aiman
al-Zawahiri,pemimpin Panglima Jihad Islam). Aiman al-Zawahiri inilah yang
proaktif dan menyumbang andil besar dalam perjuangan Negara Islam di beberapa
negara Arab seperti Irak, Suriah.
Sayid Quthb membuka kran pengkafiran melalui
pernyataannya: Inna al-Nās Laisū Muslimin kama Yadda’un, wa
Hum Yahyuna Hayat alJahiliyah, Laisa Hadza Islaman wa laisa Ha’ula
Muslimin. Secara massif gerakan ini
mengajak para Muslim mengembalikan umat Islam kembali kepada apa yang mereka
sebut Islam “sesungguhnya”, meskipun harus “perang” berhadapan dengan umat
Islam itu sendiri. Jihad merupakan satusatunya istilah yang paling tepat untuk
mengembalikan umat Islam kepada keislamannya. Jihad juga dibangun dalam rangka
merekonstruksi pilar peradaban umat Islam yang masih jahiliyah (mengalami
kemunduran). Tidak ada hukum, kecuali hokum Tuhan. Tidak ada negara, kecuali
yang negara Islam. Prinsip politik Islam harus mampu mengintervensi dan mampu
menentukan bagi keseluruh aturan yang dijalankan di dunia ini, yaitu konsep
Khilafah Islamiyah. Proliferasi macam Salafi semacam ini banyak ditemukan di
berbagai negara seperti Irak, Suriah, bahkan hingga Nigeria di kawasan Afrika.
Secara singkat ide dan gagasan kelompok ini
dapat dipresentasikan ke dalam beberapa poin berikut.
a. Al-Hakimiyah
Lillah
Negara Islam harus berdiri di atas prinsip
al-Hakimiyah al-Ilahiyah. Kawan dan lawan didasarkan pada komitmen manusia
terhadap ketaatannya kepada aturan Tuhan. Dalam prinsip ini, kepatuhan dihasilkan
berdasarkan pada komitmen aqidah dan Islam, bukan kepada orang Islam, Negara
atau pemikiran manusia, seperti nasionalisme, Arabisme atau persatuan-persatuan
lainnya yang tidak didasarkan pada persamaan aqidah dan agama
b. Jahiliyah
al-Mujtama’
Masyarakat terbelakang atau masyarakat kafir
dan musyrik adalah masyarakat yang didirikan pada prinsip Hakimiyah al-Basyar
(aturan manusia), bukan aturan Tuhan. Baik yang bersumber dari pemikiran
seseorang, kelompok, negara maupun mayoritas. Sayid Quthb dan alMaududi melihat
umat manusia saat ini hidup dalam keterbelakang-an social yang diakibatkan dari
ketidakpahaman mereka atas istilah La ilaha ilallah. Oleh karena itu harus ada
revolusi yang menyeluruh atas segala aspek kehidupan umat manusia.
c.
Takfīr al-Andzimah
Umat
Islam harus mampu merealisasikan kepemimpinan yang Islami. Setiap kepemimpinan
yang tidak merepresentasikan kepemimpinan Islam, maka ia masuk dalam kategori
kafir yang wajib ditolak. Sebagaimana firman Allah: Dan barang siapa yang tidak
menghukumi dengan hukum Allah, maka mereka adalah termasuk orang-orang yang
kafir`
d.
Al-Unf al-Musallah
Fase selanjutnya dari gerakan ini -setelah
menuntaskan ketergantungannya terhadap pemikiran Barat- adalah jihad dengan
senjata. Kondisi umat Islam saat ini idak akan mampu mengukuhkan reformasi dan
revolusinya, kecuali dengan metode ini.
Empat
prinsip di atas merupakan inti pokok dari gerakan takfīri. Fakta yang ironi justru
dapat dilihat bahwa ketika kelompok ini mengusung ide dan gagasan reformasi dan
kebangkitan Islam melalui nilai-nilai al-Qur‘an, namun justru gerakan-gerakan
ini memberikan karakter negatif pada Islam. Simbolisasi Islam dalam wajah yang
garang dan dalam bentuk kekerasan, konflik dan kebencian terhadap orang atau
kelompok lain. Bagaimana mungkin gerakan yang mengusung pembebasan dan
menjadikan al-Qur‘an sebagai benteng pertahanan akidah, pada kenyataannya
justru menjadi peradaban yang menghancurkan Islam itu sendiri. Fenomena bom
bunuh diri dengan mengatasnamakan agama merupakan bukti riil bagaimana
ilustrasi tersebut di atas dapat dipahami. Memilih kematian dengan metode bunuh
diri atau bunuh diri dengan cara mengajak orang lain, menghancurkan gedung dan
menghembuskan ketakutan di berbagai lapisan masyarakat tentu tidak dapat
dicarikan pembenarannya di dalam teks-teks suci keagamaan. Seruan untuk kembali
kepada al-Qur‘an dengan menjaga kemurnian aqidah, menjaga dari segala sesuatu
yang berbau bid‘ah nampaknya agak janggal, karena pada kenyataannya berbanding
terbalik dengan image yang dipresentasikan saja.
2.4 Awal Penggunaan Salafiyah
Istilah salafy ini telah digunakan
sejak zaman Rasulullah sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis yang
shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa
penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah
Radhiallahu 'anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan
bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”
Saat ini kata salafi sering
dihubungkan dengan Wahhabisme (untuk
sebagian umatnya nama Wahabi ini dianggap menghina, mereka lebih memilih
istilah Salafisme), sehingga dua istilah ini sering dipandang sebagai sinonim. Wahabisme
ini banyak diartikan dengan pengikut atau nisbah kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, padahal jika
dilihat dari cara penisbahan adalah suatu halyang tidak lazim. Karena jika
menisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab seharusnya menjadi Muhammadiyyah
bukan wahabiyah karena Abdul Wahhab bukan namanya namun nama ayahnya. Para
pengikut salafy meyakini bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengajarkan
agama (aliran) baru dalam syariat Islam, ia hanya berusaha memurnikan Islam
yang telah bercampur dengan adat istiadat lokal.
Para pengikut
salafy menganggap Muhammad bin Abdul Wahhab hanya sebagai seorang pemikir besar
dalam agama Islam, sebuah fakta yang dikonfirmasikan oleh mereka menutup
ketaatan kepada ajaran doktrinal. Biasanya, penganutnya dari gerakan salafy
menjelaskan dirinya sebagai "Muwahidin," "Ahl Hadits," atau
"Ahl at-Tauhid."
Istilah salafy ini
juga muncul di dalam kitab Al-Ansab karangan Abu Sa'd Abd
al-Kareem al-Sam'ani, yang meninggal pada tahun 1166 (562 dari kalender Islam).
Di bawah untuk masuk dalam pemikiran al-salafi ujarnya,
"Ini merupakan pemikiran ke salaf, atau pendahulu, dan mereka mengadopsi
pengajaran pemikiran berdasarkan apa yang saya telah mendengar."
Salafy melihat
tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu Muhammad dan para sahabatnya, dan dua generasi
berikut setelah mereka, tabi'in dan tabi 'ut-tabi'in,
sebagai contoh bagaimana Islam harus dilakukan. Prinsip ini berasal dari aliran
Sunni, hadits (petunjuk) yang telah diberikan oleh Nabi Muhammad:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para
Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya
(Tabi’ut Tabi’in)”.
|
Dalam hal akidah,
Salafy mengikuti Imam 4 Mazhab yang semua adalah sama dalam hal akidah. Namun
dalam hal furu' (cabang) mereka mengikuti yang paling kuat dalilnya yang datang
dari Nabi Muhammad.
Dahulu pada zaman
Nabi dan para sahabat hanya ada nama "Islam" setelah adanya penyusup
di dalam Islam yang membuat-buat ajaran baru sehingga membuat para sahabat
ingin menjelaskan keadaan mereka kepada manusia maka dibuatlah nama Ahlusunnah Wal Jama'ah yang artinya
pengikut sunnah yaitu mereka yang mempertahankan syariat Islam seseuai dengan
petunjuk (sunnah) Nabi Muhammad, lawannya adalah Ahlul Bid'ah yaitu mereka yang
membuat ajaraan-ajaran baru dalam Agama Islam
Pokok ajaran dari
ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan
selesai pada waktu masa Muhammad dan para
sahabatnya, oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya inovasi atau tambahan
dalam syariat Islam karena pengaruh adat dan budaya.Paham ideologi Salafi
berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang sesuai dengan agama
Muhammad pertama kali berdakwah.
Salafisme juga
telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam, di mana
penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik yang hanya sesuai dengan
petunjuk Nabi Muhammad.
Para Salafy sangat
berhati-hati dalam agama, apalagi dalam urusan aqidah dan fiqh.Salafy sangat
berpatokan kepada salaf
as-shalih. Bukan hanya masalah agama saja mereka perhatikan, tetapi masalah
berpakaian, salafy sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman salaf
as-shalih seperti memanjangkan jenggot, memakai gamis bagi laki-laki atau
memaki celana menggantung (tidak melebihi mata kaki), dan juga memakai cadar
bagi beberapa wanita salafy.
2.5 Penggunaan Salafiyah Masa Kini
Pada zaman modern,
kata salafy memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama,
digunakan oleh akademisi dan sejarawan, merujuk pada "aliran pemikiran
yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran
ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali
ajaran yang telah dibawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke-bid'ah-an,
khurafat, syirik dalam agama Islam"
Penggunaan
"yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para salafy
kontemporer secara sepihak, mendefinisikan seorang salafi sebagai muslim yang
mengikuti "perintah kitab suci ... secara literal, tradisional" dan
bukannya "penafsiran yang nampak tak berbatas" dari "salafi"
awal. Para Salafi ini melihat ke Ibnu Taimiyah, bukan ke figur
abad ke 19 Muhammad Abduh, Jamal al-Din, Rashid Rida. Golongan Neo sufisme pula merujuk
kepada sekumpulan minoriti yang mengkaji tentang fiqh tasawwuf secara mendalam
yang berasaskan pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ciri-ciri
golongan ini ialah mempunyai perwatakan yang baik dan tutur kata lembut, persis
seorang ahli sufi.
Para ulama yang
tergolong salaf yaitu:
·Imam Bukhari
·Imam Muslim
·Imam Abu Dawud
·Imam At-Tirmidzi
·Imam An-Nasa'i
·Imam Hanbali
·Imam Syafi'i
Imam Malik
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai makalah salaf dan kholaf semoga bermanfaat.