Makalah Relasi Agama dan Negara
Table of Contents
Kali ini admin postingkan makalah relasi agama dan negara silahkan simak di bawah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah
peradaban /kebiadaban umat manusia. Hubungan antara keduanya telah
melahirkan kemajuan besar dan menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada
bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama pra abad pertengahan,
ketika negara di bawah agama di abad pertengahan atau ketika negara
terpisah dari agama setelah abad pertengahan, atau di abad modern
sekarang ini.
Ketika negara diatas agama pra abad pertengahan dan ketika negara di
dibawah agama sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam
urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Akan
tetapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok
ketika negara terpisah dari agama pasca abad pertengahan, atau di abad
modern sekarang ini. Dalam ronde ini bisebut dengan ronde sekular, di
mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya
masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara
merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi
bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan;
demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan
penguasa.
Akan tetapi persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa
pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat
oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja,
kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya
bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar,
Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya.
- Rumusan Masalah
- Apa pengertian negara dari berbagai sudut pandang?
- Bagaimana hubungan antara negara dengan agama?
- Bagaimana Konsep Negara dengan agama ?
- Tujuan
Setelah kita mengkaji negara dan agama dari berbagai aspek, maka kita
akan dapat mengetahui bagaimana hubungan antara negara dan agama,
dimanakah letah titik temu antara negara dan agama.
Dalam hal ini perlu diperhatikan tentang pengertian negara dan agama
terlebih dahulu. Agar kita dapat menyimpulkan hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Negara
Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata asing, yakni
state(bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat
(bahasa Prancis). Kata state,staat, etat diambil dari kata bahasa latin
status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau
sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminology, Negara adalah organisasi tertinggi diantara satu
kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam
daerah tertentu dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian
unsur dalam sebuah Negara terdiri dari masyarakat(rakyat), adanya
wilayah(daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltao, Negara adalah alat (agency) atau wewenang yang mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat.
Sedangkan menurut islam, dalam Al-Qur’an dan Al- Sunnah pengertian
Negara tidak dijelaskan secara eksplinsit, hanya trdapat prinsip-prinsp
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan mengembangkan
paradigma tentang teori khifalah dan imamah.
Tujuan Negara ada bermacam-macam diantaranyalah adalah :
a) Memperluas kekuasaan.
b) Menyelenggarakan ketertiban hukum.
c) Mencapai kesejahteraan hukum.
Unsur-unsur negara Terdiri dari : rakyat, wilayah dan pemerintah.
Teori tentang terbentuknya negara
a) Teori Kontrak Sosial(Social Contract), dibentuk berdasarkan perjanjian – perjanjian masyarakat.
b) Teori Ketuhanan, dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan
c) Teori Kekuatan. dibentuk dengan penaklukan dan pendudukan.
d) Teori Organis
Negara disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu
yang merupakan komponen-komponen negara dianggap sebagai sel-sel dari
makhluk hidup itu.
e) Teori Historis
Lembaga-lembaga social tidak dibuat, tetapi tumbuh secara revolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Bentuk-bentuk Negara
a) Negara Kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
b) Negara serikat
Kekuasaan asli dalam negara federasi merupakan tugas Negara bagian,
karena ia berhubungan dengan rakyatntya, sementara Negara federasi
bertugas untuk menjalankan hubungan luar Negeri. Pertahanan Negara.
Keuangan dan urusan pos. selain kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk
Negara kedalam tiga kelompok yaitu: monarki, olgarki, dan demokrasi.
B. Negara dan Agama
Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan
perdebatan (discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli.
1. Hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di
jalankan berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam
masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan Agama dan Negara menurut paham sukuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan
agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan Agama dengan Kehidupan Manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian
menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai
realisasi fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk
tertindas.
C. Konsep Relasi Negara dan Agama
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara islam. Sebagai agama(din) dan Negara
(dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama.
1) Paradigma integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan
bahwa negara merupakan suatu lembaga.
2) Paradigma Simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi
saling membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam
paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi
bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at)
3) Paradigma Sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki dan satu sama lain memiliki garapannya bidangnya
masing-masing. Sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh
satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang
dikotomis ini. Maka hokum positif yang berlaku adalah hokum yang
betul-betul berasal dari kesepakatan manusia.
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan
persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk
Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga
menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam
mengenai hal tersebut maka hubungan agam dan negara dapat digolongkan
menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik .
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan
adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama.
Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah
dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan
negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara
untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi
politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an
ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan
islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok
belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini
sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.
Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa
cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai
persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan
tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama
dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.
Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka
juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas”
atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan
negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman
keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat
ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia
merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yangmemungkinkan antara
Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan
pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar
dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik,
formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis
Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih
pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,
di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial
dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri
pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan
Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam.
Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan
sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan
tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai
mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif.
Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam
serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh
sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum
luas, ada yang bersifat:
1. Struktural , yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya
infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan
“tugas-tugas” keagamaan.
4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu
menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun
politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam
politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun,
harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam
menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam
merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan
akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit.
Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang
tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman
yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya.
Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di
kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alas an yang dikemukakan menurut
Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam
mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan
ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru
Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang
lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul
ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat
diciptakan. Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang
legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam dan
negara. Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik
Islam yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru
Islam, merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara
Islam dan negara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan islam dan negara berawal dari
hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif dan sikap
akomodatif muncul ketika umat Islam Indonesia dinilai telah semakin
memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi pancasila.
Oleh karena itu sintesa dimungkinkan dapat terjadi. Artikulasi
pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik
sebagai penyebab ketegangan antara Islam dan negara. Sedangkan wacana
intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik
merupakan modal dasar.
DAFTAR PUSTAKA
• Azra, Azyumardi.2003.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakaarta : ICCE UIN
Demikianlah yang saya bagikan mengenai relasi agama dan negara semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai relasi agama dan negara semoga bermanfaat.