Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Table of Contents
Kali ini admin postingkan bacaan tentang farmakoninetik dan farmakodinamik silahkan simak dibawah ini.
Bab i
Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik.
Di tubuh manusia obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai
jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan
dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu
peristiwa terpenting dalam prose farmakokinetik ialah transport lintas
membrane.
Membrane sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik
di kedua sisi membrane dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul
protein yang tertanam di kedua sisi membrane atau menembus membrane berupa
mozaik pada membrane. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik
untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
Cara-cara transport obat lintas membrane yang terpenting ialah difusi
pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponen-komponen membrane
sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara
transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat
ionisasi, dan kelarutan dalam lemak.
Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif.
Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membrane sel,
kemudian molekul obat akan melintasi membrane dengan melarut dalam lemak membrane.
Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi
lain. Setelah taraf mantap (steady state) dicapai, kadar bentuk obat non-ion di
kesua sisi membrane akan sama.
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah.
Dalam larutan, elektrolit lemh ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini
tergantung dari pKa obat dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti
repatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat. Bentuk
non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi
membrane. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membrane karena sukar larut
dalam lemak. Pada tarap mantap, kadar obat bentuk non-ion saja yang sama
dikedua sisi membrane, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari
perbedaan pH di kedua sisi membrane.
Membrane sel merupakan membrane semipermeabel, artinya hanya dapat
dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui
kanal hidrofilik pada membrane akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun
tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion
yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol, dan antipirin.
Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat
air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah
ditemukan kanal selektif untuk ion-ion Na, K, Ca.
Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui calah-celah
antarsel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antarsel endotel kapiler
demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya
kurang dari 69.000 (BM albumin), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak
larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absorpsi
obat setelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membrane glomerulus
di ginjal.
Pinositosis ialah cara transpirt dengan membentuk vesikel, misalnya untuk
makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang di angkut dengan cara ini sangat
sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan
tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas
membrane sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau
potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini
bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami
kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen,
dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh obat lain.
Difusi terfasilitasi (facilitated diffusion) ialah suatu proses transport
yang terjadi dengan bantuan suatu factor pembawa (carrier) yang merupakan
komponen membrane sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan
perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat
selektif, terjadi pada zat endogen yang trasportnya secara difusi biasa terlalu
lambat, misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.
A. Absorpsi dan Bioavilabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi,
yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen
dari jumlah obat yang di berikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah
bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap
dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi
karena, untuk obat-obatan tertentu, tidak semua yang di absorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan di metabolisme oleh
enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme
atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau
eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak
begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah
bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus
metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama
ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya
lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rectal, atau memberikannya
bersama makanan.
Berbagai factor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat pada pemberian oral dapat juga di lihat pada table 1.1
1. Bioekuivalensi
Ekuivalensi kimia-kesetaraan jumlah obat dalam sediaan
belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu
yang disebut ekuivalensi biologic atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang
berekuivalensi kimia tetapi tidak berekuivalensi biologic di katakan
memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang
absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya
digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama
absorpsinya, misalnya eritromisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilita
sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek
kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat
yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin, difenilhidantion, teofilin.
2. Pemberian Obat Per Oral
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak factor
dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (lihat table 1-1), obat dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita; tidak bias
dilakukan bila pasien koma.
Tabel 1 berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat oral
1.
factor obat
|
Keterangan
|
a.
sifat-sifat
fisikokimia obat
-
stabilitas pada
pH lambung
-
stabilitas
terhadap enzim-enzim pencernaan
-
stabilitas
terhadap flora usus
|
Menentukan jumlah obat yang
tersedia untuk di absorpsi
|
-
kelarutan dalam
air/cairan saluran cerna
-
ukuran molekul
-
derajat
ionisasi pada pH saluran cerna
-
kelarutan
bentuk non-ion dalam lemak
|
Menentukan kecepatan absorpsi obat
|
-
stabilitas
terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna
-
stabilitas terhadap
enzim-enzim dalam hati
|
Menentukan jumlah obat yang
mencapai sirkulasi sistemik
|
b.
formulasi obat
- keadaan fisik obat (ukuran
partikel, bentuk kristal/bubuk, dll)
- eksipien (zat-zat pengisi,
pengikat, pelican, penyalut, dll)
|
Menentukan kecepatan disintegrasi
dan disolusi obat
|
2.
factor penderita
|
|
-
pH saluran cerna, fungsi empedu
|
Mempengaruhi kecepatan disintegrasi
dan disolusi obat
|
-
kecepatan pengosongan lambung (motilitas saluran cerna, pH lambung, adanya
makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik yang berat, stress, nyeri hebat, ulkus
peptikum, stenosis pilorus, gangguan fungsi tiroid)
|
Mempengaruhi kecepatan absorpsi,
dan dapat juga jumlah obat yang diserap
|
-
waktu transit dalam saluran cerna (motilitas saluran cerna dan gangguannya)
|
Dapat mempengaruhi jumlah obat yang
diserap
|
Perfusi
saluran cerna ( makanan, aktivitas fisik yang berat, penyakit kardiovaskuler)
|
Dapat mempengaruhi kecepatan atau
jumlah absorpsi obat
|
-
kapasitas absorpsi (luas permukaan absorpsi, sindrom malabsorpsi, usia
lanjut)
|
Dapat mempengaruhi kecepatan
absorpsi atau jumlah obat yang diserap
|
-
metabolisme dalam lumen saluran cerna (pH lambung, enzim-enzim pencernaan,
flora usus)
|
Menentukan jumlah obat yang
tersedia untuk diserap
|
-
kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati (aktivitas
enzim metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati, factor genetic,
aliran darah portal, penyakit hati)
|
Menentukan jumlah obat yang
mencapai sirkulasi sistemik
|
3.
interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
|
|
-
adanya makanan
-
perubahan pH
saluran cerna (antacid)
-
perubahan
motilitas saluran cerna (katartik, opiate, antikolinergik)
-
perubahan
perfusi saluran cerna (obat-obat kardiovaskuler)
-
gangguan pada
fungsi normal mukosa usus (neomisin, kolkisin)
-
interaksi
langsung (kelasi, adsorpsi, terikat pada resin, larut dalam cairan yang tidak
diabsorpsi)
|
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya
terjadi secara difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam
bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu
jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus
jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung
tertutup lapisan mucus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi.
Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan
meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan
dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak
mempengaruhi jumlah obat yang di absorpsi atau yang mencapai sirkulasi
sistemik, kecuali pada tiga hal berikut ini. (1) obat yang absorpsinya lambat
karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya digoksin, difenilhidantoin,
prednisone)memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang
untuk kelengkapan absorpsinya. (2) sediaan salut enteric atau sediaan lepas
lambat yang absorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan
penglepasan obat dilingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam
usus untuk meningkatkan jumlah yang diserap. (3) pada obat-obat yang mengalami
metabolisme di saluran cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam
lambung, levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna,
pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengurangi
jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang
waktu paruh eliminasinya pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan
menyebabkan kadar terapi tidak dapat dicapai, meskipun jumlah absorpsinya tidak
berkurang.
Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama di
usus halus untuk zat-zat makana; glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin
dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat
yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa,
metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.
Kecepatan absorpsi obat bentuk padat ditentukan oleh
kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik
yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Ada kalanya sengaja dibuat
sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi
sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut
sediaan lepas lambat (sustained-releasae). Obat yang dirusak oleh asam lambung
atau yang menyebabkan iritas lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi di
lambung yaitu sebagai sediaan salut enteric (enteric coated).
Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rectum
walaupun permukaan absorpsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat
yang sangat poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau
perkutan sudah cukup untuk menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari
metabolisme lintas pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui
hati melainkan langsung ke vena cava superior. Pemberian perektal sering
diperlukan pada penderita yang muntah-muntah, tidak sadar dan pasca bedah.
Metabolisme tingkat pertama di hati lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian
peroral karena hanya sekitar 50% obat yang diabsorpsi dari rectum akan melalui
sirkulasi portal. Namun banyak obat mengiritasi mukosa rectum dan absorpsi di
sana sering tidak lengkap dan tidak teratur.
3. Pemberian Secara Suntikan
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral)
ialah :
1). Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
dibandingkan pemberian peroral, 2). Dapat diberikan pada penderita yang tidak
kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah, dan 3). Sangat berguna dalam
keadaan darurat. Kerugiannya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa
nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh
penderita, dan tidak ekonomis.
Pemberian secara intra vena (iv) tidak mengalami tahap
absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat
disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif
hanya dapat diberikan dengan cara ini, karena dinding pembuluh darah relatif
tidak sensitive dan bila disuntikkan perlahan-lahan, obat segera diencerkan
oleh darah.
Suntikan subkutan hanya boleh digunakan untuk yang
tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan
konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan
dibawah kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pemberian suntikan intra muscular (IM), kelarutan obat
dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut
dalam air pada PH fisiologik akan mengendap di tempat suntikan sehingga
absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan tidak teratur. Obat yang larut
dalam air diserap cukup sepat,tergantung dari aliran darah ditempat suntikan.
Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus latelaris daripada gluteus
maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi
dengan sangat lambat dn konstan.
Suntikan intratekal, yakni suntikan lansung ke dalam
ruang subarakhnoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan
setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anestesi
spinal atau pengobatan infeksi SSP.
Suntikan intraperitonial tidak dilakukan pada manusia
karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.
4. Pemberian Melalui Paru-paru
Cara inhalasi ini hanya dapat dilakukan untuk obat
yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap misalnya anestetik umum, dan
untuk obat lain yang diberikan dalam bentuk aerosol. Absorpsi terjadi melalui
epitel paru dan mukosa saluran nafas. Absorpsi terjadi secara cepat karena
permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati,
dan pada penyakit paru misalnya asma bronchiale obat dapat diberikan langsung
pada bronkus
5. Pemberian Topikal
Jumlah obat yang diserap bergantung pada luas
permukaan kulit yang terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis
bertindak sebagai sawar lemak. Dermis permeable terhadap banyak zat sehingga
absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit terkelupas atau terbakar. Absorpsi
dapat ditingkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan
menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggunakan penutup diatas kulit yang
terpajan.
Pemberian topical pada mata dimaksudkan agar
mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi melalui
kornea. Absorpsi jauh lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma.
B. Distribusi
Distribusi adalah
proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh.
Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan)
terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan
berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat yang berbeda-beda.
Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai
obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang
berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (valium): yaitu 98% berikatan
dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang
berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif,
dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya
obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat
aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat
bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan
dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat
yang dalam bentuk bebas.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu
distribusi obat. Antibiotik tidak dapat dapat didistribusi dengan baik pada
tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam
jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.
C. Metabolisme dan Biotransformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses
perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan di kaltalisis oleh
enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih
mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi
melalui ginjal. Pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi ada obat yang metabolitnya
sama aktif, lebih aktif, atau lebih toksik.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas
reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk reaksi fase I adalah oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis. Reaksi fase ini mengubah obat menjadi metabolit yang
lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif dari
bentuk aslinya. Reaksi fase II yang disebut juga reaksi sintetik, merupakan
konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen.
Hasil konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga
lebih mudah diekskresi. Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase ini,
ada obat yang hanya mengalami fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi)
atau fase II saja. Tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui bebrapa reaksi
sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.
Enzim yang berperan dalam biotrnsformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya didalam sel, yakni enzim mikrosom dan enzim
nonmikrosom. Enzim mikrosom mengkatalis reaksi konyugasi glukuroid, sebagian
reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim
nonmikrosom mengkatalis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi,
serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
D. Ekskresi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal,
rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru,
saliva, keringat dan air susu ibu. Obat bebas yang tidak berikatan yang larut
dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat
yang berikatan dengan protein tidak
dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannnya dengan protein,
maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urine.
pH urine
mempengaruhi ekskresi obat. pH urine bervariasi dri 4,5 sampai 8. Urine yang
asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu
asam lemah diekskresikan dengan cepat dalam urine yang basa. Jika seseorang
meminum aspirin dalam dosis berlebihan, natrium bikarbonat dapat diberikan
untuk mengubah pH urine menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak
dapat menurunkan pH urine, sehingga terbentuk urine yang asam
Bab
ii
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimiawi dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja
obat ialah untuk meneliti efek obat utama, mengetahui interaksi obat dengan
sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang
terjadi.
A.
Mekanisme kerja obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya
mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk
obat tersebut. Reseptor merupakan komponen makromolekul fungsional yang
mencakup dua konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu efek baru,
tetapi hanya memodulasi efek yang sudah ada.
B.
Reseptor obat
Sifat kimia. Komponen yang paling penting dalam
reseptor obat ialah protein (misalnya, asetilkolinesterase, tubulin, dsb). Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk
sitostatika,. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen,
hidrofobik, van der Walls, atau kovalen.
Hubungan struktur-aktivitas. Struktur kimia suatu obat
berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas instrinsiknya,
sehingga perubahan kecil dalam molekul obat.
Reseptor fisiologis. Fungsi reseptor ini meliputi
pengikatan ligand yang sesuai yang dapat secara langsung menimbulkan efek
intrasel atau secara tak langsug memulai sintesis maupun pelepasan molekul
intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger.
C.
Transmisi sinyal biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang
menyebabkan suatu substansi ekstraseluler menimbulkan suatu respon seluler
fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan penempatan
transmitor pada reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma.
Reseptor di membrane sel bekerja dengan cara mengikat
ligand yang sesuai kemudian meneruskan sinyalnya ke target tersebut baik secara
langsung ke intra sel atau dengan cara memproduksi molekul pengatur lainnya di
intra sel.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma merupakan
protein teralrut pengikat DNA (soluble
DNA-binding protein) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu.
Sejumlah reseptor untuk neurotransmitter tertentu
membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan sinyal
biologisnya dengan cara mengubah potensial membrane atau komponen ion.
Pengaturan fungsi reseptor. Reseptor tidak hanya
berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan biokimia, tetapi juga diatur atau
dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel dirangsang oleh
agonisnya secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi yang menyebabkan
efek perangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama berkurang atau hilang.
Sebaliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang secara kronik, seringkali
terjadi hipereaktivitas karena supersensitivitas tehadap agonis (akibat
bertambahnya jumlah reseptor).
D.
Interaksi obat-reseptor
Ikatan antar obat dan reseptor merupakan ikatan lemah
dan jarang berupa ikatan kovalen. Menurut teori pendudukan reseptor, intensitas
efek obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya,
dan intensitas efek mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat,
hubungan dosis dan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah
sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek.
Efek maksimal adalah respons maksimal yang ditimbulkan obat bila diberikan pada
dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas instrinsik obat dan ditunjukan
oleh dataran (plateu) pada DEC.
tetapi dalam klinik, dosis obat dibatasi oleh timbulnya efek samping, dalam hal
ini efek maksimal yang dicapai dalam klinik mungkin kurang dari efek maksimal
yang sesungguhnya.
E.
Antagonisme farmakodinamik
Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis
antagonisme, yakni antagonisme fisiologik dan antgonisme pada reseptor. Selain
itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
Antagonisme
fisiologik terjadi pada orfgan yang sama, terapi pada sistem reseptor yang
berlainan. Misalnya efek bronkokonstriksi histamine pada bronkus lewat reseptor
histamine, dapat dilawan dengan pemberian adrenalin yang bekerja pada
adrenoreseptor betha.
Antagonisme
pada reseptor terjadi melalui sistem reseptor yang sama. Artinya antagonis
mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor
site atau active site) sehingga
terjadi antagonisme antara agonis dengan antagonisnya. Misalnya efek histamine
yang dilepskan dalan reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin
yang menduduki reseptor yang sama.
Agonis adalah obat yang bila menduduki reseptor
menimbulkan efek farmakologi secara instinsik, sedangkan antagonis ialah obat
yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara instinsik tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi. Jadi antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan
agonisnya sehingga kerja agonis terhambat.
Pada antagonis kompetitif, antagonis berikatan dengan
receptor site secara reversible sehingga dapat digeser oleh agonis kadar
tinggi. Dengan demikian penghambatan efek agonis dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal.
Pada antagonis nonkompetititf, penghambatan efek
agonis tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya efek
maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap
reseptornya tidak berubah. Antagonis nonkompetitif terjadi bila antagonis
mengikat reseptor secara irreversible, di receptor site maupun di tempat lain,
sehinggga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian
antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan
agonisnya sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis
terhadap reseptor bebas tidak berubah.
F.
Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor.
Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi
dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik semoga bermanfaat.