Makalah Hukum Perikatan dan Kontrak Perusahaan PT. FREEPORT
Table of Contents
Kali ini admin postingkan makalah hukum perikatan dan kontrak perusahaan silahkan simak di bawah ini.
HUKUM PERIKATAN & KONTRAK
KONTRAK PT. FREEPORT YANG MERUGIKAN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Aktivitas
pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua, dimulai sejak
tahun 1967 hingga saat ini, berlangsung selama 45 tahun. Selama ini, kegiatan
bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang
sangat besar bagi perusahaan asing tersebut.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang
mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PTFI merupakan penghasil terbesar konsentrat
tembaga dari bijih mineral yang juga mengandung emas dalam jumlah yang berarti.
PTFI tidak hanya mendukung kebutuhan ekonomi tetapi juga mendukung kebutuhan
sosial dan lingkungan hidup, sehingga tidak mengganggu kesinambungan kehidupan
generasi di masa akan datang.
Awal berdirinya
PT Freeport Indonesia (PTFI) bermula saat seorang manajer eksplorasi Freeport
Minerals Company; Forbes Wilson, melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke Papua
setelah membaca sebuah laporan tentang ditemukannya Ertsberg (Gunung Bijih),
sebuah cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda; Jean Jacques Dozy, pada
tahun 1936.
Setelah
ditandatanganinya Kontrak Karya pertama dengan Pemerintah Indonesia bulan
April 1967, PTFI memulai kegiatan eksplorasi di Ertsberg pada Desember 1967.
Konstruksi skala besar dimulai bulan Mei 1970, dilanjutkan dengan ekspor
perdana konsentrat tembaga pada bulan Desember 1972.
Setelah para
geolog menemukan cadangan kelas dunia Grasberg pada tahun 1988, operasi PTFI
menjadi salah satu proyek tambang tembaga/emas terbesar di dunia. Di akhir
tahun 1991, Kontrak Karya kedua ditandatangani dan PTFI diberikan hak oleh
Pemerintah Indonesia
untuk meneruskan operasinya selama 30 tahun.
PTFI merupakan
salah satu pembayar pajak terbesar bagi Negara Indonesia. Sejak tahun 1992 sampai
dengan 2005, manfaat langsung dari operasi perusahaan terhadap Indonesia dalam
bentuk dividen, royalti dan pajak mencapai sekitar 3,9 miliar dolar AS. Selain
itu, PTFI juga telah memberikan manfaat tidak langsung dalam bentuk upah, gaji
dan tunjangan, reinvestasi dalam negeri, pembelian barang dan jasa, serta
pembangunan daerah dan donasi. Dalam tahun 2005, PTFI telah menghasilkan dan
menjual konsentrat yang mengandung 1,7 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons
emas.
B.RUMUSAN
MASALAH
Fenomena yang
terjadi dalam Freeport Indonesia ini
sudah diluar kendali. Keuntungan, kerugian, semua dialami oleh satu pihak,
yaitu Indonesia.
Semua dikarenakan oleh pemerintahan yang semakin lama semakin tidak
menghiraukan kerusakan yang dialami. Semua masyarakat pun mempertanyakan
kebijakan pemerintah yang tidak pernah bijak dalam masalah ini. Banyak kejadian
yang sangat merugikan Indonesia
dan masyarakat papua. Pemerintah hanya tergiur oleh pendapatan pajak dari PTFI,
tetapi tidak melihat dampak-dampak yang terjadi dalam masyarakatnya. Padahal
dalam perbandingan pajak dengan pendapatan PTFI sangatlah berbeda. Mereka lebih
mendapat untung daripada Negara ini yang memiliki itu semua secara utuh. Tetapi
hanya mendapat seperempat penghasilan yang mereka raup dari semua kerusakan
yang diperbuat di Indonesia
ini.
Dalam wawancara
di Metro TV, Marwan batubara (Direktur
Resources Studies) mengatakan Pemerintah harus lebih serius menuntut freeport
mematuhi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara bahwa
divestasi saham diharuskan. Dalam UU tersebut Pasal 112 Ayat 1 disebutkan
setelah lima tahun berproduksi, badan usaha asing pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan
divestasi saham.
Ketua DPN
Repdem, Masinton Pasaribu menjelaskan, penghasilan bersih PT Freeport
Indonesia, perharinya mencapai US$ 20 juta atau jika dikalikan dengan 31 hari
hasilnya adalah: US$ 620 Juta (jika dirupiahkan sekitar 5,5 triliun). Apabila
penghasilan PT Freeport Indonesia sebesar US$589 juta per bulan, maka
penghasilan bersih Freeport pertahunnya kurang lebih 70 triliun rupiah, kalau
dikalikan dengan 44 tahun keberadaan Freeport di Indonesia maka keuntungan
bersihnya mencapai 3.000 triliun, sebuah jumlah yang cukup fantastis.
“Keuntungan
Freeport bisa untuk menutupi utang luar negeri Indonesia
sejumlah 1.700 triliun rupiah yang selama ini bebannya ditanggung oleh rakyat Indonesia.”
Kehadiran
Freeport, menurut Masinton, menjadi sumber segala masalah untuk rakyat Papua,
kekayaan alam yang dikeruk tidak digunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat
Papua.
Bahkan,
ungkapnya, Freeport memobilisasi aparat militer
TNI/Polri untuk mengamankan kepentingannya di Papua, dengan menggelontorkan
uang triliunan rupiah kepada TNI/Polri Freeport merubah loyalitas abdi negara
dan rakyat menjadi abdi Freeport.
“99% keuntungan
Freeport dari tanah Papua dibawa ke Amerika Serikat, hanya 1 persen yang
diberikan kepada Indonesia, dari secuil keuntungan yang diserahkan kepada
Indonesia, itupun hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan pejabat pusat
di Jakarta seperti Ginanjar Kartasasmita,Bakrie corporation,Abdul Latif, serta
pejabat daerah di Papua,” tuturnya.
Untuk itu,
agenda perjuangan, usir Freeport dari Indonesia, menjadi penting karena
Freeport adalah kunci utama yang harus dibuka untuk mulai menasionalisasi
seluruh aset-kekayaan Indonesia yang dikuasai asing seperti Chevron, Exxon,
Total, Shell, Newmont, CNOOC, dan lain-lainnya.
Ada
perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di zaman Pak Soekarno
dengan zaman Pak Harto dan para pewarisnya. Soekarno bersikap, “Biarkan
kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya
sendiri.” Sedangkan Pak Harto dan para pewarisnya hingga sekarang bersikap,
“Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan Mister…”
Merupakan fakta
sejarah jika di awal kekuasaan Pak Harto, kekayaan alam Indonesia yang
melimpah-ruah digadaikan kepada blok imperialisme Barat yang dipimpin Amerika
Serikat. Sebelumnya Pak Harto dan Washington
agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Pak Soekarno berhasil dikudeta maka
Harto yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa penyerahan negara dan
bangsa ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule
di Washington. Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan
kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan
tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah, rezim Jenderal Harto
mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai negeri
terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh semua
pewarisnya termasuk rezim yang tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh
lebih edan” ketimbang Jenderal Harto dulu.
Sampai sekarang,
hampir semua cabang produksi yang amat vital bagi negara dan bangsa ini telah
dikuasai asing. Banyak buku yang telah memaparkan dengan jujur kenyataan
menyedihkan ini. Beberapa di anaranya adalah buku berjudul “Di Bawah
Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk
Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” (Wawan Tunggul Alam: 2009), dan “Agenda
Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!”
(Amien Rais, 2008). Dengan bahasa jurnalisme yang sangat mengalir namun amat
kaya data, Wawan memaparkan dengan lugas hampir seluruh fakta yang patut
diketahui generasi muda bangsa ini, agar kita bisa sadar sesadar-sadarnya jika
Indonesia itu, negeri kita ini, sekarang masih merupakan negeri terjajah! Dan
untuk buku yang kedua yang ditulis oleh Amien Rais, isinya benar-benar bagus
dan sangat anti dengan neo-liberal. Namun dalam faktanya sangat ironis, karena
entah dengan alasan apa, Amien Rais sekarang malah jelas-jelas menjadi bagian
dari kelompok NeoLib dengan berterus-terang menyatakan dukungannya pada rezim
yang berkuasa sekarang. Disadari atau tidak, dia sekarang telah menjadi part of
problem bagi bangsa ini dan menjadi salah satu penghalang bagi gerakan
pemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialisme asing.
Jika
Imperialisme dan Kolonialisme Kuno (Spanyol, Portugis, VOC, Fasis Jepang, dan
NICA) menggunakan senjata api untuk menjajah suatu negeri, maka sekarang,
Imperialisme dan Kolonialisme Modern (Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme,
Nekolim) lebih pintar dengan tidak lagi memakai senjata api namun mempergunakan
kekuatan uang (baca: kekuatan utang).
JFK, CIA, dan
Freeport Di atas telah disebutkan, hanya beberapa bulan setelah secara de-facto
berkuasa, Jenderal Harto menggadaikan nyaris seluruh kekayaan alam negeri ini
kepada blok imperialisme asing. Salah satu cerita yang paling menyedihkan
adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung emas yang sekarang secara
salah kaprah disebut sebagai Tembagapura, merupakan sebuah gunung dimana
cadangan tembaga dan emas berada di atas tanahnya, tersebar dan siap dipungut
dalam radius yang amat luas.
Lisa
Pease
menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia,
CIA, and Freeport”
dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam
National
Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika
dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun
1967, namun kiprahnya di Indonesia
sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama
perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi
pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan
asing di
negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak
melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan
terjadi.
Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya
pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah
situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang
menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur
Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen
bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg
(Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936.
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan
selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen
tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika
selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis
tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di
seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg
itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson
sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek
kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka
perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang
sudah di depan mata.
Selama beberapa
bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan
juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson
menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya
tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di
permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan
ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris
membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata
juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut
diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai
seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan
jika Freeport
akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan
Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport
Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi
gunung tersebut.
Namun lagi-lagi
Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah
dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah
mengancam. Hubungan Indonesia
dan Belanda telah memanas dan Pak Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya
di Irian Barat. Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John
Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah
sepertinya mendukung Pak Soekarno.
Kennedy
mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot
mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar
untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia
II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu
sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung
banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta
sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak
ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari
sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama
dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar
Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan
melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya
berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak
pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson
yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia,
kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan
Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah
Augustus C. Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu
ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga
memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of
California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak
perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas
sangat terpukul oleh kebijakan soekarno ini.
Augustus C. Long
amat marah terhadap Pak Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini
disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long
juga aktif di Presbysterian Hospital
NY di mana dia pernah dua kali
menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease
dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai
1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan
orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang
paling krusial.
Pease mendapakan
data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical
Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi
anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di
negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta
terhadap Pak Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti
adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang
menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar
mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Pak Soekarno berhalangan. Mantan
pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November
1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon
dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah
Freeport sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih
sah sebagai presiden Indonesia
bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat
akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease
mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport
ternyata sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius
Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo
dengan Freeport.
Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah
yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah,
ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya
dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967,
maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Pak Suharto adalah
Freeport.
Inilah kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Pak
Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa,
kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun
konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport
menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA.
Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur
CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng
McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba
lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif
Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu
memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati
urutan ketiga terbesar.
Maley menulis,
data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga
sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar
dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley
dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga
terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota
Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena
gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena
kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian
baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan
emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura
sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu
kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika.
“Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport
merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan
alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya
malah digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya
diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih
berlangsung sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar dan menumbangkan
penguasa korup.
SARANA PENDUKUNG
KEGIATAN OPERASIONAL PERUSAHAAN
a. Pembangunan Pembangkit Daya Listrik.
Memiliki
kapasitas pembangkitan sekitar 385MW listrik (250MW kapasitas tetap) terdiri
dari PLTU berbahan bakar batubara berkapasitas 195MW di Portsite dan pembangkit
diesel (terutama diMil l). Jaringan distribusi memasok listrik dari PLTU
menujuMill.
b. Perkotaan
& Camp.
Lokasi kota
menyediakan berbagai jasa untuk memenuhi kebutuhan karyawan PTFI , mulai dari
toko retail, restoran, sarana hunian, sekolah, sarana kesehatan, perpustakaan,
bank, jasa pos, sarana pelatihan, hingga sarana rekreasi.
c. Klinik
Kesehatan & Rumah Sakit.
PT. Freeport
memiliki rumah sakit untuk karyawan berkapasitas 100 tempat tidur di
Tembagapura dan banyak klinik di daerah sekitar. Selain itu, juga memberikan
dana rumah sakit berkapasitas 74 tempat tidur di desa Waa-Banti yang
berdekatan, dan sebuah rumah sakit berkapasitas 101 tempat tidur di Timika.
d. Penerbangan.
Bandara di
Timika merupakan sentra bagi penerbangan ke/dari wilayah proyek PTFI. Melalui
salah satu mitra, PTFI menjalankan penerbangancharter untuk mengangkut karyawan
antara Papua dan kota asal mereka di bagian lain
Indonesia.
Bandara tersebut juga telah menarik beberapa penerbangan komersial. PTFI
menyediakan pesawat helikopter dan dukungan sarana penerbangan lainnya dalam
rangka upaya operasional dan eksplorasi PTFI.
e. Pabrik
Pengolahan Batu Gamping.
PTFI telah
membangun tambang (quarry) dan pabrik pengolahan batu gamping. Pabrik tersebut
menghasilkan batu gamping yang dikonsumsi di tambang maupun Mill.
f. Sarana
Perbengkelan & Perawatan.
PTFI memiliki
sejumlah bengkel berlokasi di wilayah proyek, mulai dari bengkel perawatan
peralatan hingga bengkel fabrikasi baja di daerah dataran rendah. Beberapa
mitra juga telah mendirikan sarana-sarana di daerah dataran rendah dalam rangka
mendukung usaha mereka untuk menyediakan jasa bagi kegiatan operasional PTFI
sendiri.
g. Logistik.
PTFI mempunyai
jaringan terbukti untuk memasok bahan-bahan ke Portsite – berikut armada
kendaraan yang diperlukan untuk mengangkut bahan-bahan dari Portsite menuju
lokasi operasional PTFI di seluruh wilayah proyek. Salah satu mitra PTFI
lainnya menjalankan operasi logistik dilokasi dari pelabuhan kepada pengguna,
selain kegiatan perawatan tertentu untuk peralatan non tambang, perawatan jalan,
dan angkutan bus karyawan.
h. Jasa boga.
Mengingat jumlah
orang yang berada di lokasi, maka salah satu mitra PTFI menyediakan jasa boga
untuk menyediakan makanan bagi pekerja PTFI, selain jasa pengelolaan barak dan
pembersihan.
BAB II
PEMBAHASAN
Dari awal sudah
tertera bahwa perbedaan dalam pemerintahan Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan
alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya
sendiri.” Sedangkan Pak Harto dan para pewarisnya hingga sekarang bersikap,
“Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan Mister…”
Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan Pak Harto, kekayaan alam Indonesia yang
melimpah-ruah digadaikan kepada blok imperialisme Barat yang dipimpin Amerika
Serikat. Sebelumnya Pak Harto dan Washington
agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Pak Soekarno berhasil dikudeta maka
Harto yang menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa penyerahan negara dan
bangsa ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule
di Washington. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh semua
pewarisnya termasuk rezim yang tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh
lebih edan” ketimbang Jenderal Harto dulu.
Maley menulis,
data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga
sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar
dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley
dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga
terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Mengapa demikian, karena pembagian laba yang sangat berbeda dan menguntungkan
pihak mereka disbanding Indonesia.
Mungkin hanya sebagian kecil dari uang mereka diberikan kepada kita bangsa Indonesia.
Hanya sebagai ucapan terimakasih atas semua pemberian Indonesia
kepada mereka yang menguasai PTFI.
KESIMPULAN DAN SARAN
Semua kesalahan
yang terjadi dalam Freeport Indonesia ini disebabkan oleh pemerintahan Indonesia
sendiri. Mengapa demikian, karena pemerintahan asal menandatangani kontrak yang
terlihat menguntungkan sedangkan membuntungkan. Selama bertahun-tahun Indonesia
mengalami ini semua, tetapi pemerintah tidak mengambil kebijakan yang mungkin
bisa merubah kebuntungan menjadi keuntungan walaupun hanya sedikit. Daripada
selalu terpuruk dalam iming-iming yang kecil, tetapi mendapat kerusakan alam
yang menyedihkan untuk dilihat dan dimiliki. Sangatlah tidak benar jika Indonesia hanya
mendapat itu semua bukan keuntungan yang mendasar bagi masyarakatnya. Apakah
pemerintahan yang selanjutnya akan tetap meneruskan kontrak ini, atau melakukan
penambangan itu semua sendiri tanpa bantuan Negara asing? Jawaban yang akan
sulit sekali dicari mengingat semua alat-alat berat dan masa kontrak yang telah
di perhitungkan sejak awal. Alat-alat berat yang hanya bisa dibeli dari Negara
luar membuat pemerintah memiliki kendala dalam mendatangkannya, jika mereka
sudah marah atas pemutusan kontrak tersebut. Mungkin masa kontrak sudah
diperkirakan se-lama tambang tersebut masih berproduksi (untuk apa membeli
tanah yang sudah tidak bernilai jual lagi).
Saran untuk
pemerintah hanya satu, yaitu kebijakan yang menguntungkan (menguntungkan
masyarakat dan Negara kita yang tercinta ini).
Demikianlah yang saya bagikan mengenai makalah hukum perikatan dan kontrak freeport semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai makalah hukum perikatan dan kontrak freeport semoga bermanfaat.