Makalah Hukum Waris Islam di Indonesia
Table of Contents
I. Pendahuluan
Di
negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1]
Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita
sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya
hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum
perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar
hidup di masyarakat.
Karena
itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2]
Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum
warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam
menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok
hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya
atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3]
II. Pembahasan tentang Hukum
Waris Islam
Setiap
masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah),
di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil
saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement),
sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an
atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan
yang jelas dan pasti.
Hal
yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam
mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan
Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise
bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh
Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan
Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian
menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad
guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan
perkemmbangan kemajuannya.[4]
Masalah-masalah
yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia
ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi,
bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya
kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli
waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya
masing-masing.[5]
Selain
dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.
Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut
kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga,
sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut
berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6]
Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai
ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik
melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]
Penyebab
timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris
adalah cukup banyak.[8]
Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :
1. Metode dan pendekatan yang
digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan
2. Kondisi masyarakat dan
waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal
tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam
hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan
memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa
(wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun
sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah
Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat
respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan
pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya
belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan
Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam,
karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu
tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.
Turki
adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum
Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan
diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di
Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli
hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari
hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan
dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56
tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur
masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah,
nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih
diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat
sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin
dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian
tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl
menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan
UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan
sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap.
Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama
ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh
kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula
pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9]
Di
Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang
lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang
tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan
kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu
dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan
(seorang ulama).
III. Pelaksanaan Hukum Waris
Islam di Indonesia
Sejak
berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga
pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena
itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10]
Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah
dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni
semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah,
sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan
wakaf.[11]
Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada
tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan
keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor
638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]
Pengadilan
Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang
meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan
agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau
Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang
mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan
wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang
perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah,
dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan
Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]
Menurut
Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in
Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa
pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas
perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan
perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti,
bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama
daripada ke Pengadilan Negeri.[14]
Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang
tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris
Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai
alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu.
Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]
Pada
tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas
Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I.
Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima
daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak
91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa
waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih
Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian
kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di
sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota
Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan
sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di
sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk
mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat
bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau terjadi sengketa
waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya
sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena
itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai
dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi
golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris
Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law
dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]
Karena
itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus
warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada
tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan
antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam
di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena
almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.
Jelaslah,
bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut
masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai
konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai
konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17]
Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan,
ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan
penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan
perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima
oleh hukum ada”.[18]
IV. Penutup
Dari
uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan
dan saran/harapan sebagai berikut :
1. Hukum Islam khususnya hukum
keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh
umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan
penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut
hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional
(mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum
agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia
2. Di Indonesia hingga kini
belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum
keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional
maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim
segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu
madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa
keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.
3. Akibat politik hukum
pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari
negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step
Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan
akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam
Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang
bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka
hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat
segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa
keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
4. Khusus hukum waris Islam
yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua
daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun
1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang
sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang
Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang
Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti
benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan
Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti
semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan
de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam,
Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di
Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia
Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam,
Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario
(Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh
al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam
Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai hukum waris islam semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai hukum waris islam semoga bermanfaat.