FARMAKOLOGI (FARMASETIK, FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK)

Kali ini admin postingkan bacaan farmakologi silahkan simak di bawah ini.

PENDAHULUAN
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase : farmasetik (disolusi), farmakokinetik dan farmakodinamik agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler, atau intravena maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua yaitu farmakokinetik terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolism (atau biotransformasi) dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respon biologis atau fisiologis.

FASE FARMASETIK
Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut, oleh karena itu farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut  ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolousi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat seperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk di absorpsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium kedalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorpsi. Sekresi gaster bayi mempunyai pH yang lebih tinggi (basa) daripada orang dewasa, sehingga bayi menyerap lebih banyak penisilin.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH1 atau 2 daripada basa.
Obat-obat dengan enteric-coated, EC (selaput enteric) tidak dapat didisintegrasi oleh asam lambung, sehingga didisintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa didalam usus halus. Tablet enteric coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama, sehingga oleh karenanya obat-obat  yang demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.

FARMAKO KINETIK
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah :absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi) dan ekskresi (atau eliminasi).
a. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan villi mukosa yang luas. Jika sebagian dari villi ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein seperti insulin dan hormone pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan.
Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk menembus membrane. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus membrane. Pinositiosis berarti membawa obat menembus membrane dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stresss, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuscular dapat diabsorpsi lebih cepat di otot-otot yang memilki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.
Beberapa obat tidak langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini dimana obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai  efek first-pass, atau first-pass hepatic. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolism first pass adalah warfarin (Coumadin) dan morfin. Lidokain dan nitro-gliserin tidak diberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolism first pass yang luas, sehingga sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.


b. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat. Antibiotik tidak dapat dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.
c. Metabolisme atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat.
Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan secara terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
d. Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat dan air susu ibu. Obat bebas yang tidak berikatan yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang  berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannnya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urine.
 pH urine mempengaruhi ekskresi obat. pH urine bervariasi dri 4,5 sampai 8. Urine yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah diekskresikan dengan cepat dalam urine yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebihan, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urine menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urine, sehingga terbentuk urine yang asam

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologis dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk
Mula, Puncak dan Lama Kerja
Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif  minimum (MEC=minimum effective concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons-waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun dibawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
Teori Reseptor
Kebanyakan reseptor berstruktur protein, ditemukan pada membrane sel. Obat-obat yang bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis. Obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada resptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormone.
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh mikroorganisme dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel dan mengurangi fungsi organ tertentu. Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang essensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organism menghambat pertumbuhan sel bacteria.
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.


Daftar Pustaka
Kee,joyce L. Farmakologi: pendekatan proses keperawatan / Joyce L. Kee
Evelyn R. Hayes ; alih bahasa, Peter Anugerah ; editor, Yasmin Asih.
Jakarta : EGC, 1996

Demikianlah yang saya bagikan mengenai farmakologi semoga bermanfaat.