ANALISIS CERPEN | TINJAUAN PRAGMATIK | EKSPRESIF DALAM CERPEN

ANALISIS CERPEN | TINJAUAN PRAGMATIK  - Kali ini admin postingkan contoh analisis cerpen silahkan simak dibawah ini.

CERPEN “SODOM DAN GOMORA” KARYA AGUS VRISABA
(Suatu Tinjauan Pragmatik)
Karya sastra secara objektif dapat didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Abrams, 1981). Karya sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan, karena karya sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari yang jarang kita temukan. Teks-teks yang dipakai dalam sebuah karya sastra tak lain untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan hanya berlangsung untuk sementara waktu saja dalam situasi komunikasi antara pengarang dengan pembaca.
Sastra menurut Wellek dan Warren dalam Wiyatmi (2006) dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (‘tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Perancis), kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra. Definisi ini mengarahkan kita untuk memahami sastra dengan lebih dahulu melihat aspek bahasa. Bahasa yang bagaimanakah yang khas sastra itu? Untuk itu diperlukan perbandingan beberapa ragam bahasa, antara bahasa sastra, bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari.
Luxemburg (1989) mengemukakan beberapa ciri sastra, pertama: sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua: sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra khususnya puisi, terungkapkan napsu-napsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam. Ketiga: sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain. Sastra hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalam pengertian ini, apa yang pernah diucapkan Sartre pada tahun 1948, seorang filsuf Perancis, bahwa kata-kata dalam puisi tidak merupakan “tanda-tanda”, melainkan “benda-benda” (mots-choses) menemukan relevansi pemahamannya. Keempat: otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isi. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal balik antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya. Kelima: sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang bertentangan. Keenam: sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang kita temukan.
Pengkajian karya sastra didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam), penelaahan. Dengan demikian pengkajian sastra diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan, luapan perasaan dan pikiran sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu berdasarkan teori pragmatik karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca.
Dalam kamus sosiologi kata pragmatik (pragmatics) diartikan sebagai telaah terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994). Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM menyatakan bahwa tolak ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’.
Hubungan antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:
Karya sastra Pembaca Dalam praktiknya, mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, maka makin tinggi nilai karya sastra tersebut. Cerpen “Sodom Dan Gomora” karya Agus Vrisaba, merupakan salah satu cerpen pilihan kompas 1970-1980, yang termuat dalam buku Dua Kelamin bagi MidinDalam cerpen ini penulis sangat berinovatif menceritakan karyanya dengan memanfaatkan teknik “surprise” di akhir cerita.

Tokoh utama yang diceritakan adalah seorang pendeta bernama bapak Lutus. Penulis menggunakan tokoh utama ini sebagai media untuk penyampaian tujuan yang hendak dicapai. Seperti pada kutipan cerita berikut ini:
Dalam pertemuan mingguan, bapak Lutus memberikan wejangan pada para anggota jemaah mengenai kisah sodom dan gomora. Ia mengambil peristiwa sodom dan gomora “manusia sekarang,” kata bapak Lutus, “serupa dengan penduduk kedua kota yang terletak di ujung selatan Laut Mati pada zamannya itu. Kejahatan terjadi di mana-mana dan Tuhan hanya menjadikan dunia ini sebagai sodom dan gomora. Dan, hanya orang-orang yang menghadirkan Tuhan ka dalam batinnya, bukan hanya sekedar ucapan di bibir saja yang akan diselamatkan seperti Lut dan kedua orang anak gadisnya itu”.
Dengan mengutip setiap kalimat yang termaktub, ‘maka bini Lut itu menoleh ke belakang, lalu jadilah ia sebatang tiang garam”. Seorang di antara mereka hendak mengajukan pertanyaan: “tapi mengapa bininya Lut menoleh ke belakang?” –, tapi membatalkannya karena bapak Lutus sudah bangkit berdiri dan pamitan kapada bapak Martin, diiringi oleh yang lain.

Pada awal cerita ini, penulis yang seolah-olah menempatkan dirinya sebagai bapak Lutus sengaja tidak melanjutkan kisahnya sampai “mengapa bini Lut menoleh kebelakang”. Hal ini disebabkan, agar pada karyanya terjadi sebuah efek “surprise”. Dalam karyanya tersebut, Agus Vrisaba sangat jeli dalam menyusun kata-katanya, ide kreatifnya ia tuang dalam ceritanya, sehingga membangkitkan rasa ingin tahu pembaca untuk lebih mendalami kisah selanjutnya.
Konflik demi konflik oleh penulis diceritakan secara lugas, dan bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami, sehingga dapat mengajak pembaca untuk mengerti kisahnya. Nampak pada sebuah konflik dibawah ini, konflik utamanya diawali:
Suatu ketika, sepulang dari memberi wejangan Bapak Lutus mendapati sepeda motor yang baru dua hari ia beli  dipakai oleh anaknya. Ia sangat  khawatir terhadap motor yang ia punyai itu. Ketika sedang menyaksikan acara televisi, anaknya datang tanpa di awali deru sepeda-motornya. Wajahnya pucat. “mana sepeda-motornya?” tanya bapak Lutus. Tapi anaknya jadi geragapan, dan ia mulai bicara pada bapak Lutus bahwa sepeda-motornya hilang. Ia kaget, lantas menampar pipi kiri anaknya, dan menghardik serta menampar pipi kanan istrinya pula.

Selanjutnya pada konfik kedua saling berkesinambungan dengan konflik pertama, seperti yang terurai pada kutipan cerita berikut ini:
....hilangnya sepeda motor itu membuatnya sangat kesal, kecewa, dan menyesal. Tanpa berdoa lagi dia banting tubuhnya ke atas pembaringannya.Tidak ada waktu untuk menghadirkan Tuhan kedalam batinnya. Pikirannya penuh diliputi kekecewaan dan sesal. Baru dua kali ia memakai sepeda motornya itu. Setelah semalaman tidak tidur, besok paginya hari minggu Bapak Lutus masih uring-urigan. Dan, untuk pertama kalinya dia lupa ke gereja. Sepanjang hari kerjanya hanya uring-uringan atau duduk berwajah mendung. Makan tanpa selera, minum tak disentuhnya. Malamnya dia tak tidur lagi.
Keesokan harinya seisi rumah gempar. Istrinya menemukan dia sedang berdiri kaku di belakang jendela dalam kamarnya, dengan kepala menoleh kebelakang, dan sudah mati. Kulitnya begitu kering dan bergaram.

Lalu pada antiklimaks berikutnya, penulis memberikan penjelasan yang sangat terperinci di akhir ceritanya. Nampak pada kutipan di bawah ini:
Pada pertemuan jamaah minggu berikutnya, sekali ini di rumah bapak Netano, seseorang mengatakan “Sekarang saya mengetahui, kenapa bininya Lut dalam peristiwa sodom dan gomora menoleh ke belakang dan jadi tiang garam”. “mangapa?” tanya bapak Netano yang hadir juga ketika bapak Lutus memberikan wejangan sodom dan gomora. “Rupanya, ketika meninggalkan rumahnya, di pertengah jalan, bininya Lut teringat kepada harta bendanya yang ditinggalkannya dan karena itu ia menoleh kebelakan, lalu jadi tiang garam”. Lalu semuanya teringat kepada bapak Lutus almarhum dengan sepeda motornya.
Situasi yang digambarkan dalam cerita ini telah membuat pembaca dapat menarik sebuah benang merah. Penulis hendak menyampaikan sebuah amanat menegenai pendidikan     (ajaran) agama. Dalam kehidupan ini, setiap manusia harus selalu ingat akan keberadaan Tuhan. Hal ini tampak pada kutipan  cerpen Sodom dan Gomora berikut.
Tanpa berdoa lagi dia banting tubuhnya ke atas pembaringan. Tidak ada waktu baginya untuk menghadirkan Tuhan dalam ke dalam batinnya.

Dan setiap manusia yang meninggal tidak akan membawa harta benda yang dimilikinya. Hal ini secara eksplisit disampaikan oleh pengarang, harta benda mampu menggelapkan mata seseorang. Sebagaimana tampak pada kutipan berikut ini.
“Rupanya, ketika meninggalkan rumahnya, di pertengahan jalan, bininya Lut teringat akan harta bendanya yang ditinggalkannyadan karena itu ia menoleh ke belakang, lalu jadi tiang garam”. Lalu semua teringat akan bapak Lutus almarhum dengan sepeda-motornya.

Selain itu, dalam cerpen ”Sodom dan Gomora”, pengarang juga menyampaikan suatu pesan, Sebagai orang yang dipandang dan disegani oleh masyarakat seharusnya kita mampu menjaga perilaku-perilaku kita. Seperti pada kutipan berikut.
....kalau dia memakai sepeda motor, hadirin dipertemuan minggu itu tentu akan memandangnya sebagai orang yang masih dipengaruhi harta dunia. Di depan mata mereka ia harus tetap kelihatan seperti orang yang sederhana, tidak tergoyahkan oleh godaan, yang sering di katakan kepada mereka...

Pada kutipan cerpen “Sodom dan Gomora” di atas nilai-nilai yang sangat menonjol dipaparkan oleh Agus Vrisaba yaitu mengenai pendidikan (ajaran) moral.



PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”
By: Ayu I'u_Gek

      Ali Akbar Navis yang merupakan pengarang dari cerita pendek ini merupakan seorang tokoh sastra yang terkenal dengan berbagai macam karya sastranya. A.A. Navis mendapat julukan SANG KEPALA PENCEMOOH, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang 17 November 1924. A.A. Navis adalah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir dengan begitu liat untuk membangunkan setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia pernah mengatakan bahwa kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tetapi bila ia diberi pilihan ia akan lebih memilih menjadi penguasa untuk menangkap para koruptor. Semangat yang begitu besar dan mungkin sangat jarang ditemukan pada generasi sekarang ini.
    A.A. Navis melahirkan banyak karya monumental, mulai dari cerpen, puisi, novel, cerita anak-anak, penulisan biografi dan otobiografi, sandiwara radio, esai mengenai sosial budaya. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan.  Ia sudah mulai menulis sejak tahun 1950, namun karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak saat tahun 1955. Saat itu ia telah menghasilkan 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia memiliki banyak karya sastra yang terkenal dan salah satunya adalah  cerita pendek Robohnya Surau Kami (1955).
     Karya-karya lainnya yang terkenal diantaranya adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), hingga karya terakhirnya yang bertajuk Jodoh (1998). Namun sayangnya sastrawan ini kini telah tiada, ia meninggal pada Sabtu, 22 Maret 2003. Tapi karyanya masih tetap hidup sampai sekarang.

      Robohnya Surau Kami adalah sebuah karya yang sangat unik dan menarik. Dalam cerita pendek ini A.A Navis mengisahkan tentang sesuatu yang berbeda pada masanya. Dimana pada saat itu belum banyak kisah-kisah seperti yang ia angkat dalam ceritanya.
      Judul dari kisah ini sebenarnya sudah merupakan salah satu dari keunikannya. Pada kenyataannya penggunaan judul ini hanya bersifat simbolis karena tidak ada surau yang dikatakan runtuh. Yang dimaksudkan runtuh dalam kisah ini bukanlah hal yang sebenarnya melainkan lebih kepada robohnya nilai-nilai agama dan kepercayaan yang selama ini telah berkembang di masyarakat  dan telah disalah artikan atau diabaikan oleh beberapa orang, terutama di Indonesia.
     Cerita pendek “Robohnya Surau Kami” terpilih menjadi satu dari tiga cerita pendek terbaik majalah sastra tahun 1955 dan merupakan sebuah cerita pendek yang dinilai sangat berani. Kisahnya menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin dan menelantarkan anak cucu mereka. Selain itu latar dari cerita ini pun tidaklah biasa karena manampilkan sisi dua dunia yaitu dunia alam nyata dengan alam surga dan neraka. Ditambah lagi dengan ditampilkannya dialog yang terjadi antara Tuhan dan manusia. Sungguh sesuatu hal yang tidak mungkin dan berada di luar logika manusia apalagi cerita ini diciptakan dalam atmosfir kehidupan pada era 50-an.
       Dalam cerita dikisahkan ada sekelompok orang yang mengajukan protes kepada Tuhan sebab telah diputuskan bahwa mereka dimasukkan ke neraka. Padahal semasa hidupnya mereka adalah orang-orang yang telah melaksanakan segala perintah Tuhan. Setelah bertemu dengan Tuhan untuk mengajukan protes dan bertanya jawab dengan Tuhan, pada akhirnya mereka tetap dimasukkan ke neraka. Ini adalah hal yang sangat ironis mengingat mereka adalah orang-orang yang taat dalam melaksanakan perintah-Nya dan selalu berserah diri kepadanya. Ternyata semua yang telah mereka lakukan tidak mendapat ganjaran yang setimpal berupa kebahagiaan pada akhirnya.
       Cerita ini diawali dengan dikisahkannya eskelompok orang yang sedang berangkat untuk bertemu dengan Tuhan. Saat bertemu dengan Tuhan, Tuhan pun bertanya tentang alasan mereka untuk bertemu dengan-Nya. Lalu pimpinan rombongan itu pun maju dan menuntut Tuhan untuk meninjau kembali hukuman yang telah dijatuhkan kepada mereka. Pimpinan rombongan itu adalah seseorang yang bernama Haji Saleh. Sesuatu yang sangat membingungkan karena seorang haji yang bernama Saleh bisa juga ikut dimasukkan ke dalam neraka bersama sekelompok orang yang menurut Haji Saleh adalah orang-orang yang selalu menyembah-Nya, selalu memuji-muji-Nya, dan mempropagandakan keadilan-Nya, selain itu mereka juga selalu menghafal kitab suci-Nya. Ternyata pemilihan nama yang agamais sekalipun tidak dapat menjamin seseorang untuk masuk surga.
       Cerita pendek ini mengindikasikan sebuah kisah yang berlatarbelakangkan kehidupan akhirat dimana manusia akan menghadap Tuhan dan menerima keputusan-Nya apakah mereka mereka akan dimasukkan ke dalam surga atau neraka berdasarkan apa yang telah mereka lakukan di dunia.
Selanjutnya Tuhan menanyakan daerah asal mereka. Dan Haji Saleh pun menjawab bahwa mereka berasal dari Indonesia. Selanjutnya pertanyaan Tuhan adalah poertanyaan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban “iya atau benar”. Hal ini membuat mereka senang dan menyangka bahwa Tuhan memang telah salah memasukkan mereka ke neraka.
      Pertanyaan selanjutnya Tuhan bertanya apakah Indonesia itukah negeri yang penduduknya sendiri melarat dan lama diperbudak oleh orang lain, lama dijajah oleh kaum penjajah, selalu berkelahi dengan sesame sedang hasil tanahnya orang lain yang mengeruknya, dan karena hasil kekayaan alamnya dikeruk oleh orang lain, maka anak cucu mereka pun ikut melarat.
      Mereka pun mengiyakan bahwa benarlah begitu adanya penduduk Indonesia. Meskipun demikian mereka mengaatkan bahwa mereka sudah tak peduli dengan harta benda itu, yang terpenting adalah mereka beribadat kepada Tuhan saja. Walaupun mereka melarat tapi mereka dan anak cucunya tetap menghafal kitab-Nya di luar kepala.
     Maka sampailah pada pertanyaan dimana Tuhan berkata “ Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke dalam hatinya, bukan?”
       Namun hal ini disangkal oleh mereka semua. Kemudian Tuhan menjelaskan bahwa jika memang benar mereka telah membaca kitab suci-Nya, maka tentulah mereka tidak hanya akan beribadah saja, melainkan juga beramal. Bekerja dan beramal untuk memperbaiki nasib mereka dan anak cucu mereka. Akhirnya Tuhan pun mengakhiri kata-katanya dengan  menetapkan bahwa mereka memang sudah tepat untuk masuk dan berada di dalam neraka.
      Melalui perkataannya Tuhan ingin menyadarkan mereka bahwa persepsi agama bukan hanya ditekankan pada menyembah dan memuji Tuhan. Namun harus ada keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat / rohani. Haji Saleh adalah contoh yang paling nyata yang dapat diambil dari kutipan cerita ini. Segala title, nama, dan amal ibadahnya tidak bisa menolongnya untuk mengantarkannya masuk ke dalam surga.
        Di akhir kutipan cerita dikisahkan bahwa Tuhan akhirnya menjelaskan alasannya mengapa Dia memutuskan untuk memasukkan mereka ke dalam neraka. Tuhan mengatakan bahwa mereka lebih suka beribadah dibandingkan mengerjakan yang lainnya. Itu disebabkan karena beribadah tidak mengeluarkan peluh dan tidak membanting tulang. Tuhan juga mengatakan bahwa mereka hanya bias membaca dan menghafal isi kitab-Nya di luar kepala tanpa mau menjalankan isinya. Sedang Tuhan menyuruh semua umat-Nya untuk beramal disamping beribadah.
      Disini Tuhan melihat dan mengetahui bahwa segala amal ibadah mereka bukan lagi berdasarkan atas kesadaran mereka untuk menjalankan perintah agama, melainkan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melelahkan sebab setiap orang harus berusaha dan bekerja untuk bertahan hidup. Segala amal ibadah yang mereka lakukan selama di dunia tidak lagi berdasarkan niat yang ikhlas berasal dari hati mereka sehingga semua itu tidak berarti apa-apa dihadapan Tuhan. Dan jika mereka mengaku telah menjadi pemuja-Nya yang taat dan patuh, tentunya mereka tidak akan saling menipu dan saling memeras.
       Kembali lagi mengenai pemunculan karakter Tuhan dalam cerita pendek ini. Pemunculan seperti ini hanya ada dalam cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin dan cerita pendek “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Akan tetapi, kedua cerita pendek ini tetap saja berbeda. Cerita pendek A.A. Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah seorang muslim. Sungguh sebuah cerita yang dapat digolongkan sebagai cerita pendek yang  relijius, namun begitu ringkas dengan kesan mendalamnya bagi orang-orang yang berpikir.
       Cerita pendek Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang begitu luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerita pendek A.A. Navis muncul dengan membawa “kejutan” karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerita pendek “Langit Makin Mendung” Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali, jelas jika kemudian hal ini mengundang kontroversi karena dalam agama islam itu sendiri terdapat larangan untuk melukiskan atau mengimajinasikan rupa Tuhan. Sedangkan dalam cerita pendek “Robohnya Surau Kami” tidaklah seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum.

       Dari kutipan cerita pendek yang berjudul “Robohnya Surau Kami” kita dapat mengambil banyak pesan yang sangat penting dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita. Pesan-pesan itu antara lain:
  • Jadilah umat / penyembah Tuhan yang berbakti tinggi kepada-Nya, namun jangan pernah melupakan tugas dan kewajiban kita sebagai manusia, yaitu untuk selalu bekerja, beramal, dan berbuat baik kepada sesame. Sebab kita hidup tidaklah sendiri melainkan dengan banyak orang lain disekitar kita.
  • Berhati-hatilah dalam berbicara, sebab apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Lidah adalah senjata yang paling tajam untuk melukai seseorang dan hanya karena lidah dapat membuat kita saling membunuh satu sama lain.
  • Belajarlah untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang kita lakukan dan jangan pernah lari dari masalah. Hadapilah masalah itu sebagai ujian yang akan membawa kita pada pendewasaan diri dan spiritual yang akan membuahkan kedamaian hidup.
  • Hiduplah sesuai dengan kodrat kita sebagai mekhluk sosial dan jangan hanya mementingkan diri sendiri.
  • Bunuh diri bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan masalah tapi hanya akan menimbulkan masalah yang baru.
  • Lakukanlah segala sesuatunya dengan ikhlas dan tanpa berdasarkan pamrih atau takut akan sesuatu yang berakibat buruk.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai analisis cerpen semoga bermanfaat.