MAKALAH SEJARAH AL QUR'AN DAN PEMELIHARAANYA
Table of Contents
Kali ini admin postingkan makalah sejarah al quran dan pemeliharaannya silahkan simak di bawah ini.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti bacaan
yang sempurna merupakan nama pilihan Allah SWT., yang sungguh tepat, karena
tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis yang dapat
menandinginya. Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., yang merupakan penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, berfungsi
sebagai petunjuk bagi umat manusia serta pembeda antara yang haq dan yang
batil, dan merupakan kitab undang-undang hukum yang paling sempurna yang bisa
menjawab segala persoalan umat manusia.
Tiada satu bacaan pun seperti Al-Qur’an yang
dipelajari redaksinya bukan hanya dari segi penempatan kata demi kata, tetapi
juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai pada kesan-kesan yang
ditimbulkan oleh pembacanya. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang
dipelajari, dibaca dengan berbagai macam lirik dan lagu serta diriwayatkan oleh
banyak orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berbohong.
Dengan demikian Al-Qur’an telah terpelihara
keotentikannya, tidak ada satu surat, satu ayat atau satu huruf pun yang
berubah dari redaksi aslinya sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sampai
sekarang. Meskipun semua kitab Al-Qur’an terbakar, ataupun hilang, ayat-ayat
Al-Qur’an tidak akan ikut hilang karena redaksi Al-Quran telah dihafal oleh
ribuan umat muslim di seluruh dunia. Lain halnya dengan para ahli kitab tidak
ada yang menghafal Kitab Taurat dan Injil, dan dalam menjaga keduanya, mereka
hanya membaca tulisan yang telah dibukukan saja, mereka selalu membacanya dengan
mata kepala namun tidak hafal diluar kepala, oleh karena itu keduanya bisa saja
terjadi perubahan.
Al-Qur’an adalah sebuah keajaiban yang luar
biasa yang diberikan Allah SWT., kepada Nabi-Nya yang mulia. Kemudian
diteruskan kepada umat yang beriman untuk dijadikan pedoman yang abadi dalam
kehidupan.
Dari kenyataan diatas maka sepantasnyalah umat
Islam untuk senantiasa memelihara Al-Qur’an, karena Al-Qur’an disatu sisi
adalah kitab yang sumbernya dari Allah SWT, juga disisi lain sarat dengan
nilai-nilai ilmiah yang dapat dijadikan rujukan manusia dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab umat Islam
untuk senantiasa memelihara Al-Qur’an.
BAB II PEMBAHASAN
A. Al-Qur'an
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن)
adalah kitab suci agama Islam.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup
wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan
bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraanMalaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh
Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
Etimologi
Ditinjau
dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
"bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata
Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat
juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Sebuah sampul dari mushaf Al-Qur'an.
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi danRasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Nama-nama lain
Al-Qur'an
Dalam
Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
· Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
· Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
· Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
· Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
· Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
· Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
· Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
· Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
· At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
· Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
· Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
· Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
· Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
· Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
· An-Nur (cahaya): QS(4:174)
· Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
· Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
· Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
Al-Qur'an yang sedang terbuka.
Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan
Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah keMadinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat
yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut
prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia.
Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang,
menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan
atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan
sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
Juz dan manzil
Dalam
skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang
sama yang dikenal dengan nama juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an
dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an
menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu).
Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek
bahasan tertentu.
Menurut ukuran surat
Kemudian
dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:
· As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
· Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
· Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
· Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
B. Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an
memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil,
objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an,
sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan
penanggalan astronomis.
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an
tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2
periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian RasulullahSAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrahberlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur'an
dan perkembangannya
Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini
selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an
pada masa Rasullulah SAW
Pada
masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang
ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu
tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu
berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga
sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur'an
pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang
dikenal dengan nama perang Ridda)
yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang
signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir
akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan
seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi
dalam satu mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut
hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah
penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga
istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan
Pada
masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara
pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang
Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut,
yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang
digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf
yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan
(dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya
perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur'an.
Mengutip
hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif,
dengan sanad yang shahih:
“
|
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan:
Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah
dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami.
Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat
berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari
qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata,
'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada
satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami
berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
|
”
|
Menurut
Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan
Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman
mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu
Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika
ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah
ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.
Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan
tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan
sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya penerjemahan
dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya
untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses
penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam
berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha
manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli
dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama
dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan
Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang
tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal
tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an
menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang
bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.
Al-Qur'an
dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
2.
Terjemah
Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
3.
An-Nur,
oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
4.
Al-Furqan,
oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan
dalam bahasa Inggris antara lain:
1.
The
Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2.
The
Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan
dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.
Qur'an
Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
2.
Qur'an
Suadawiah (bahasa Sunda)
3.
Qur'an
bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
4.
Al-Ibriz
(bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
5.
Al-Qur'an
Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad
Adnan
6.
Al-Amin
(bahasa Sunda)
7.
Terjemahan
Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf
(Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
Tafsir
Upaya
penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat
itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan
atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini
usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan
(metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik,
hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat
tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan
corak ilmiah.
Adab terhadap
Al-Qur'an
Ada
dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang
junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika
seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an
sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk
menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]
Pendapat pertama
Sebelum
menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan
dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara
literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga
79.
Terjemahannya
antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan
terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan
bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja
terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim,
hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan
bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat
kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang
sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh
Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah
diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh
menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar
dan hadats kecil.
Pendapat
kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang
firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an
kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku)
bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang
menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan
bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci
tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak
najis”[5]
Hubungan dengan
kitab-kitab lain
Berkaitan
dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya
terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang
tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab
tersebut:
· Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan
ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
· Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai
pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
· Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi
untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang
berbeda. QS(16:63-64)
· Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah.
Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu,
juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita
tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada
teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
C. Pengertian dan dasar
Pemeliharaan Al-Qur’an
1. Pengertian Pemeliharaan al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur’an terdiri atas dua kata
yaitu pemeliharaan dan Al-Qur’an. Pemeliharaan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah proses pembuatan, penjagaan dan perawatan. Sedangkan Al-Qur’an
adalah :
Kitab suci umat islam yang berisi
firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan
perantaraan Malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai
petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.
Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa yang
dimaksud pemeliharaan Al-Qur’an Adalah proses pengumpulan, penulisan dan
pembukuan serta perawatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah kitab
seperti yang kita baca sekarang.
Dalam sebagian besar literatur yang membahas
tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, istilah yang dipakai untuk menunjukkan arti
penulisan, pembukuan, atau pemeliharaan Al-Qur’an adalah Jam’ul Qur’an yang
artinya pengumpulan Al-Qur’an. hanya sebagian kecil literatur yang memakai
istilah Kitabat Al-Qur’an yang artinya penulisan Al-Quran, serta Tadwin
Al-Qur’an yang artinya pembukuan Al-Qur’an.
Apabila mencermati batasan pengertian yang
terdapat dalam literatur di atas, pada dasarnya istilah-istilah yang digunakan
mempunyai maksud yang sama, yaitu proses pemeliharaan Al-Qur’an yang dimulai
pada turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw., kemudian disampaikan kepada para
sahabat untuk dihafal dan ditulis sampai dihimpunnya catatan-catatan tersebut
dalam satu mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib.
Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahits
fii Ulumil Qur’an memberikan pengertian pemeliharaan Al-Qur’an dalam dua
kategori yaitu : pemeliharaan Al-Qur’an dalam arti menghafalnya dalam hati dan
pemeliharaan Al-Qur’an dalam arti penulisannya. \
2. Dasar pemeliharaan al-Qur’an
Sejak awal diturunkannya Empat belas abad yang
lalu Sampai masa modern saat ini Al-Qur’an senantiasa terjaga kemurnian dan
kesuciannya. Karena Al-Qur’an satu-satunya kitab yang dijaga oleh Allah
keotentikannya, sebagiamana firman Allah SWT., dalam Q.S. Al-Hijr (15) : 9
sebagai berikut :
Terjemahnya :
Sesungguhnya kami telah menurunkan peringatan
(Al-Qur’an) dan sesungguhnya kamilah yang memeliharanya.
Demikianlah Allah SWT., menjamin keaslian
Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan
kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh
mahluk-mahluk-Nya, terutama oleh manusia.
Tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW.
belum terkumpul dalam satu mushaf, di mana setiap ayat yang turun Rasulullah
Muhammad SAW., hanya memerintahkan kepada para sahabat yang pandai untuk
menulisnya di pelepah-pelepah tamar, di kulit hewan, serta di atas batu.
Rasulullah berpulang ke rahmatullah di saat
Al-Qur’an belum dikumpulkan sama sekali, maksudnya ayat-ayatnya belum
dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Ayat-ayat dan surat-surat
dipisah-pisahkan, dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah.
Al-Khattabi dalam Jalaluddin Assuyuti mengatakan:
Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam
satu mushaf karena Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu kewaktu.
Susunan penulisan Al-Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat
yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Oleh
sebab itu penulisannya dilakukan kemudian setelah Al-Qur’an turun semua pada
saat Nabi Muhammad SAW., telah wafat.
Pada masa Abu Bakar menjalankan urusan-urusan
Islam sesudah Rasulullah, ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan
dengan kemurtadan. Oleh sebab ia segera menyiapkan pasukan memerangi
orang-orang murtad itu, sehingga pada tahun ke dua belas hijra terjadilah
peperangan yamamah. Dalam peperangan itu ada tujuh puluh qari’ dan huffadz dari
para sahabat yang gugur. Kenyataan ini membuat Umar bin Khattab cemas dan
khawatir, jangan sampai terjadi lagi peperangan yang lain sehingga jumlah
jumlah sahabat yang hafidz Qur’an bertambah banyak yang gugur. Apabila hal ini
terjadi maka Al-Qur’an bisa saja akan musnah dan hilang seiring dengan
hilangnya para huffadz.
Inilah yang menjadi dasar dan alasan bagi Umar
bin Khattab, sehingga dia mendesak Khalifah Abu Bakar agar segera mengumpulkan
tulisan al-Qur’an yang pernah ada pada masa Rasulullah Muhammad saw.
B. Proses Pemeliharaan a-Qur’an di Masa Nabi
Muhammad saw., di Masa Sahabat dan di Masa Sekarang
Sejarah Al-Qur’an demikian jelas sejak
turunnya sampai masa kini dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai
sekarang, sehingga Al-Qur’an sangat terbukti keotentikannya. Al-Qur’an
membuktikan dirinya sebagai firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan
menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Dengan demikian apa yang
dibaca sebagai al-Qur’an pada hari ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa
yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW., empat belas abad yang lalu.
Terpeliharanya keotentikan redaksi al-Qur’an
tersebut tiadak lain karena andil dari Rasulullah saw dan para sahabatnya serta
segenap umat Islam yang lain.
1. Proses Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa
Nabi Muhammad SAW.
Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah
SAW. dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu :
a. Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada
Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada sering juga
disebut pengumpulan Al-Qur’an dalam arti hifzuhu atau menghafalnya dalam hati.
kondisi masyarakat arab yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an adalah
masyarakat yang tidak mengenal baca tulis karena itu satu-satunya andalan
mereka adalah hafalan, mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang sederhana
dan bersahaja. Kesederhanaan ini yang membuat mereka memiliki waktu luang yang
cukup yang digunakan unrtuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
Masyarakat arab waktu itu sangat gandrung lagi
membanggakan kesusatraan, mereka membuat ratusan ribu syair kemudian dihafalnya
diluar kepala, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini
pada waktu-waktu tertentu. Akan tetapi ketika Al-Qur’an datang dengan langgam
bahasa yang sangat memukau, pemberiataan gaib yang terbukti, isyarat ilmiah
yang mantap serta keseimbangan bahasa yang jelas mampu mengalahkan
syair-syairnya, sehingga mereka mengalihkan perhatian kepada kitab yang mulia
ini dengan sepenuh hati menghafal ayat-ayat dan surat-suratnya, kemudian secara
perlahan-lahan mereka meninggalkan syair-syairnya karena telah menemukan cahaya
kehidupan dalam Al-Qur’an.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi yang ummi,
maka otomatis untuk memelihara apa yang yang diturunkannya kepadanya haruslah
di hafal. Usaha keras Nabi Muhammad SAW., untuk menghafal Al-Qur’an terbukti
setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah untuk
merenungkan maknanya. Rasulullah sangat ingin segera menguasai Al-Qur’an yang
diturunkan, kepadanya belum selesai Malaikat Jibril membacakan ayatnya, beliau
sudah menggerakkan lidahnya untuk menghafal apa yang sedang diturunkan, karena
takut apa yang turun itu terlewatkan sehingga Allah SWT., menurunkan firman-Nya
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Qiyamah (75) : 16-19 sebagai berikut:
Terjemahnya :
Janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk
membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami telah selesai mebacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian atas tanggungna kamilah penjelasannya.
Ayat di atas bagaikan mengatakan janganlah
engkau wahai Nabi Muhammad menggerakkan lidahmu untuk membacanya sebelum
Malaikat Jibril selesai membacakannya kepadamu, jangan sampai engkau tidak
menghafalnya atau melupakan satu bagian darinya. Allah SWT., melarang
ketergesa-gesaan agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran.
Kata jam’ahu (penghimpunannya) dari ayat diatas
bermakna penghafalannya, oleh karena itu orang-orang yang hafal Qur’an disebut
Jumma’ul Qur’an atau Huffadzul Qur’an. Makna yang lain dari Jam’ahu adalah
penulisan seluruh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW., setelah menerima wahyu
langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya sesuai denagn
hapalan Nabi, tidak kurang tidak lebih. Sehingga sahabat pun banyak sekali yang
hafiz Qur’an. Manna Khlil Al-Qattan mengutip hadits dari kitab shahih Buhari
bahwa Ada tujuh hafiz di zaman Rasulullah yaitu : Abdullah Bin Mas’ud, Salim
bin Maqal, Muadz bin Jabal, Ubai Bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
Zakan, dan Abu darda.
Penyebutan para hafiz yang tujuh di atas bukan
berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah
menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Al-Qur’an dan mereka
memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka
membacanya dalam shalat sehingga alunan suaranya seperti suara lebah.
b.Pemeliharaan Al-Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad SAW., dan para sahabat
menghafal ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, namun guna menjamin
terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga
tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun Nabi
Muhammad SAW., memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis.
Rasulullah mengangkat beberapa orang penulis (kuttab) wahyu seperti Ali,
Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Ayat-ayat Al-Qur’an mereka tulis
dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian
sahabat ada juga sahabat yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi.
Namun karena keterbatasan alat tulis dan kemanpuan sehingga tidak banyak yang
melakukannya.
Hal lain yang menjadi bukti bahwa Penulisan
Al-Qur’an telah ada sejak zaman Rasulullah SAW., dikemukkan oleh Ibrahim
al-Abyari, tentang sekelumit historis Umar bin Khattab ketika mendapat
informasi bahwa saudaranya masuk islam, lalu ia marah besar kepada adiknya
setelah ditemuinya sedang membca Al-Qur’an. Namun ketika Umar telah reda
marahnya, ia melihat lembaran-lembaran di sudut rumahnya yang di dalamnya
terdapat tulisan ayat-ayat Al-Qur’an.Kemudian Umar masuk Islam setelah
mendapatkan kalimat-kalimat yang mengandung mukjizat yang bukan perkataan
manusia.
Dari beberapa pernyataan tersebut, maka
jelaslah bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW., telah terjadi pengumpulan
Al-Qur’an yang dilakukan dengan dua cara yaitu menghafalnya dalam hati dan
menulisnya di atas pelbagai jenis bahan yang ada pada saat itu. Meskipun
Al-Qur’an saat itu belum tertulis dalam lembaran yang berbentuk mushaf
sebagaimana sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan
Al-Qur’an pada Zaman Nabi Muhammad SAW., bahwa pemeliharaan Al-Qur’an di masa Nabi
ini dinamakan pembukuan yang pertama.
2.Pemeliharaan AL-Qur’an pada Masa Sahabat
a.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Tragedi berdarah di peperangan Yamamah yang
menggugurkan 70 orang sahabat yang hafidz Qur’an dicermati secara kritis oleh
Umar bin Khattab, sehingga muncullah ide brilian dari beliau dengan mengusulkan
kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang pernah
ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar,
dengan alasan belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., tetapi akhirnya
Umar Behasil meyakinkannya sehingga dibentuklah sebuah timyang dipimpin oleh
Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut.Abu
Bakar memilih Zaid mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman,
dan kecerdasannya serta dia juga hadir pada saat Al-Qur’an dibacakan oleh
Rasulullah terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat
dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan
Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafal
oleh para sahabat dan yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi. Di samping itu
untuk lebih mengetahui kalau catatan yang berisi ayat Al-Qur’an benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad SAW., maka harus menghadirkan dua orang saksi yang
adil.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan
terberat dialaminya pada saat tidak menemukan naskah mengenai Ayat 128 dari
Surat At-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh banyak sahabat termasuk Zaid
sendiri, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan. Kesulitan itu nanti
berakhir ketika naskah dari ayat tersebuit ditemukan ditangan seorang bernama
Abu Khuzaimah Al-Anshari.
Hasil kerja yang beruapa mushaf Al-Qur’an
disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan
Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar Mushaf di ambil oleh hafsah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas diketahui bahwa
Abu Bakar yang memerintahkan pertama penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khattab
adalah pencetus ide yang brilian, serta Zaid bin Tsabit adalah aktor utama yang
melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan sekaligus
menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur’an dimasa Abu Bakar
dinamakan pengumpulan yang kedua.
b. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Usman bin
Affan
Pada masa pemerintahan Usman, wilayah Negara
Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu
itu Islam sudah masuk wilayah Afrika, Syiriah dan Persia. Para hafidz pun
tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat mengenai
qiraat Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan
diantara orang yang ikut menyerbu kedua kota tersebut adalah Khuzaifah bin
al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an,
bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan dengan kesalahan. Masing-masing
mempertahankan bacaannya serta menetang setiap bacaaan yang tidak berasal dari
gurunya. Melihat kedaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera melaporkan
kepada Khalifah Usman tentang sesuatu yang telah dilihatnya.
Usman segara mengundang para sahabat
bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius tersebut. Akhirnya
dicapai suatu kesepakatan agar Mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi
beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang
cara membaca Al-Qur’an. Untuk terlaksananya tugas tersebut Usman menunjuk satu
tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam.
Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf
Al-Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirm ke Syam, Kufah dan Basrah, dan satu
mushaf ditinggalakan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal
dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat
diselesaikan dengan tuntas maka usman memerintahkan semua mushaf yang berbeda
dengan hasil kerja panitia yang empat ini untuk dibakar.
Dengan usahanya itu usman telah berhasil
menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga
Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang zaman. mushaf yang ditulis
dimasa usman inilah yang kemudian menjadi rujukan sampai sekarang.
C. Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Sekarang
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa
Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada
perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang
lalu. Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan
Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير النص القرأن yaitu perubahan terhadap
isi Al-Qu’ran dengan merubah sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص القرأن yaitu merubah satu huruf
yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan
maknanya.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah
mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal
Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti
ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain
dengan melakukan تأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran
tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat
yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam
tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu
Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan
oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak
dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan
pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di
samping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna
yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu
makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan
dengannya.
Menurut para ulama, seseorang yang hendak
menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut
di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu bersifat global di
suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain),
terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya
ditemukan di tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an
secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir
bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah merupakan
penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah hendaklah
merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal
itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan
sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka
juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal
shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan
Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di situ, melainkan umat Islam di masa
sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga keotentikan al-Qur’an
dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an, serta
memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap
perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai
dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.
Dengan mengetahui secara mendalam tentang
pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya dengan menghafal dan memahami
maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman yang diyakini kebenarannya
karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan keotentikannya sehingga
tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan keotentikan sebuah
kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun ataupun
cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat
setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an.
D. Manfaat Pemeliharaan al-Qur’an
Pemeliharaan al-Qur’an, yang dimulai dengan
penghafalan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw., pengumpulan berupa
mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar dan penulisannya pada masa Usman bin Affan
manfaatnya telah dirasakan di masa sekarang ini, yaitu terpeliharanya keaslian
dan keotentikan redaksi al-Qur’an. Sekiranya ayat-ayat Al-Qur’an sampai kini
masih diatas pelepah tamar atau yang lainnya, maka sudah barang tentu pelepah
tamar tersebut lama kelamaan akan lapuk dan hancur bercerai berai. Demikian pula
yang dihafal oleh para sahabat akan hilang seiring dengan wafatnya banyak
sahabat yang hafal al-Qur’an di medan perang.
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil oleh
umat manusia dengan terpeliranya al-Qur’an yaitu :
1.Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab suci
yang sama sekali redaksinya tidak pernah mengalami perubahan. Apa yang dibaca
dari isi Al-Qur’an sekarang adalah sama dengan apa yang dibaca oleh para
sahabat empat belas abad yang lalu.
2. Terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an
menjadikannya sebagai sumber pertama ajaran Islam, ia berisi nilai-nilai ajaran
yang bersifat global, unversal, dan mendalam karena itu perlu penjelasan lebih
lanjut. Di sinilah pentingnya peranan tafsir guna menjelaskan lebih lanjut
mengenai apa yang dimaksud Al-Qur’an.
3. Al-Qur’an menjadi al-furqan yang berarti
pembeda. Dengan membaca dan memahami al-Qur’an, orang dapat membedakan dan
memisahkan antara yang hak dan yang batil. Selain itu al-Qur’an juga menjadi
az-zikra, yaitu peringatan yang mengingatkan manusia akan posisinya sebagai
mahluk Allah yang memiliki tanggung jawab.
4.Terpeliharanya keotentikan dan keaslian
redaksi Al-Qur’an, menjadikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di dalamnya
terdapat berbagai petunjuk yang tersurat dan tersirat yang berkaitan dengan
ilmu pengetauan. Isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an ternyata dapat dibuktikan
kebenarannya oleh ilmuan di abad modern saat ini.
Fungsi- fungsi al-Qur’an tersebut di atas
tidak mungkin dapat tercapai seandainya al-Qur’an tidak dijaga keaslian dan
keotentikan redaksinya, sejak masa turunnya samapai sekarang, oleh karena itu
menjadi tanggaung jawab setiap umat islam untuk senatiasa menghafal, memehami
dan mengkaji isi al-Qur’an.
BAB III KESIMPULAN
Al-Qur’an
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن)
adalah kitab suci agama Islam.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup
wahyu Allahyang diperuntukkan bagi manusia, dan
bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraanMalaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh
Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an
tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2
periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian RasulullahSAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak
peristiwa hijrahberlangsung
selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Pengertian Pemeliharaan
al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur’an terdiri atas dua kata
yaitu pemeliharaan dan Al-Qur’an. Pemeliharaan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah proses pembuatan, penjagaan dan perawatan. Sedangkan Al-Qur’an
adalah :
Kitab suci umat islam yang berisi
firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan
perantaraan Malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai
petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.
Referensi
1. ^ Al-A'zami,
M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi,
(terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN
979-561-937-3.
2. ^ Rahman,
A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap
Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit
Mizania, ISBN
979-8394-43-7
3. ^ www.almanhaj.or.id Hukum Menyentuh Atau
Memegang Al-Qur'an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas (diakses
pada 8 Juli 2010)
4. ^ Shahih
riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam
diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan
Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh
Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh
Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul
Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya
shahih.
5. ^ Shahih
riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan
lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang
ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi
dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau
bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam
keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih
(suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu
tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang
muslim itu tidak najis”).
Daftar Kepustakaan
·
Departemen Agama Republik Indonesia
-- Al-Qur'an dan
Terjemahannya.
·
Baidan, Nashruddin. 2003.
Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
·
Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi
Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta.
Khalifa.
·
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus
--Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung,
1989 M.
·
Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki
Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
·
------------------------------.
2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern.
Yogyakarta. Menara Kudus.
·
Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam
Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·
al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu
Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta.
Adab Press.
·
al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam
Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul
Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
·
Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana
Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka
Al-Kautsar.
·
al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
·
al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil.
2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan:
H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
·
ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996.
Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh.
Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
·
ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi.
2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al
Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
·
Shihab, Muhammad Quraish. 1993.
Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
·
-----------------------------------.
2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta.
Lentera hati.
·
Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an
Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.
·
http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2010/12/pemeliharaan-al-quran.html
Demikianlah yang saya bagikan mengenai sejarah al quran dan pemeliharaannya semoga bermanfaat.