HADITS-HADITS LEMAH DALAM HISNUL MUSLIM
Table of Contents
HADITS-HADITSLEMAH DALAM HISNUL MUSLIM - Kali ini admin postingkan artikel islam tentang hadits yang lemah dalam hisnul muslim silahkan simak dibawah ini.
Oleh: Abu
Muhammad Abdurrahman Sarijan
1. Hukum Menggunakan Hadits-Hadits Lemah Dalam Keutamaan Amal
Berkata Syaikh Muhadits (=ahli hadits) Muhammad Nashiruddin
Al-Albanirahimahullah: ”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah
masyhur bahwa hadits dla’if (=lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul ‘amal
(=keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan.
Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau
bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi, pent.)
Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam hal ini
ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (=peneliti) berpendapat bahwa hadits dla’if
tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun
keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94 mengatakan
bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar
dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr
bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada
keraguan padanya karena bebarapa perkara;pertama: Hadits dla’if hanya
mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya
berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits
dla’if dalam keutamaan amal, hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat
jauh!. Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu
amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada
hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang
mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan
dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan amal itu tetapi
semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh
pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagaian ulama dimasukkan seperti ini.
Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa
hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung
secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih
berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits dla’if diperbolehkan jika
telah adanya hadits shahih yang menunjukkan disyari’atkannya amal itu. Akan
tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak dimaksudkan makna
seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits
dla’if yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih, seperti Imam An-Nawawi
dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang
mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat (=qadqa matis
shalah, qadqa matis shalah) dengan ucapan “aqamahala wa adamaha” (=semoga Allah
menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini adalah
dla’if . [Kelemahan hadits ini dapat dilihat pada; Irwa’ul Ghalil 241. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Ilmu Ushulil Bida’, hal: 157.
Syaikh ‘Ali Hasan bin Adul Hamid.]
Amal ini tidak ditetapkan pensyari’atannya kecuali pada hadits dla’if tersebut.
Meskipun demikian mereka menganggap hal itu merupakan suatu sunnah. Padahal
perkara sunnah adalah salah satu hukum diantara kelima hukum (yakni: wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram) yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyari’atkan dan disunnahkan
bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits lemah yang tidak ada asal
pensyari’atannya dalam hadits shahih. Akan tetapi disini tidak mungkin untuk
mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.
Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal
ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal
tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para
ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan
amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal
ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu
lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits
dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian
orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.
Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan
lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa salam:
(من حدث عني بحديث يرى أنه كذب
فهو أحد الكذبين)
“Barangsiapa menceritakan dariku
satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta”
[Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim,
juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad-Damsiqi rahimahullah.]
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara
mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal,
sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits dla’if
dalam keutamaan amal;
a. Hadits itu tidak maudlu’ (=palsu).
b. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu
adalah dla’if.
c. Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya.
Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama
lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu
hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah
kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh
diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan
hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin
yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang
diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar
ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun
diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh
beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa
tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau
dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.
Inilah yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan
adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan
oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if termasuk dalam ucapan
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”, yaitu
dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan
ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya”.
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu
terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk
dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu
Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika
ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ (=palsu) dan
tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari
konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits
dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu
Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if. Sebab
kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang
membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu’
(=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:”Jika kalian berpendapat
demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini”.
Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam
membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan syarat-syarat
itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami
terangkan.
Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal
tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang
yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan
hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah. [Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah, hal: 34-38.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy
edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.]
2.HADITS-HADITS LEMAH HISNUL MUSLIM
1. Do’a Ketika Masuk Rumah.
بسم الله ولجنا, وبسم الله خرجنا, وعلى ربنا توكلنا... (أخرجه أبو داود 4/325)
“Dengan
menyebut nama Allah kami masuk (ke rumah), dan dengan nama Allah kami keluar
(darinya) dan kepada Rabb kami, kami bertawakal...” (HR. Abu Dawud 4/325)
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Dla’if Abi Dawud no. 5096; Al-Kalamut Thayyib no. 62.
Ucapan salam ketika memasuki rumah merupakan perintah Allah Ta’ala, hal ini sebagaimana firman-Nya:
فإذا
دخلتم بيوتا فسلموا على أنفسكم تحيتة من عند الله مباركة طيبة (سورة النور:61)
“Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik”
(QS. An-Nuur: 61).
2. Do’a Al-Istiftah.
الله
أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا,
وسبحان الله بكرة وأصيلا (ثلاث) أعوذ
بالله من الشيطان: من نفخه, ونفثه, وهمزه (أخرجه أبو داود 1/ 203؛ إبن ماجة 1/256؛ أحمد 4/85)
“Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak,
segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan
pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore” (dibaca 3 kali).
“Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan Syaithan” (HR. Abu
Dawud 1/203; Ibnu Majah 1/256; Ahmad 4/85).
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Abu Dawud no. 764; Dla’if Ibnu Majah no. 155; Al-Misykah no. 817; Irwa’ul Ghalil no. 342.
3. Dzikir-dzikir di Waktu Pagi dan Sore.
اللهم
إني أصبحت أشهدك وأشهد حملة عرشك, وملائكتك وجميع خلقك, أنك أنت الله لا إله إلا أنت وحدك لا
شريك لك, وأن محمدا عبدك ورسولك (أربع مرات) (أخرجه أبو داود 4/317؛ البخاري في
الأدب المفرد برقم: 1201؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 9؛ إبن السني
برقم: 70).
“Ya Allah! Sesungguhnya aku di
waktu pagi mempersaksikan Engkau malaikat yang memikul Arsy-Mu,
malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Allah,
Tiada Rabb kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya
Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu” (dibaca 4 kali) (HR. Abu Dawud 4/317;
Bukhari dalamAdabul Mufrad no. 1201; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah
no. 9; Ibnu Sinni no. 70).
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Adabul Mufrad no. 1201; Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5729; Al-Kalamut Thayyib no. 25; Ad-Dla’ifah no. 1041.
Dan juga hadits:
اللهم
ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك, فلك الحمد ولك الشكر (أخرجه أبو
داود 4/318؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 7؛ إبن السني برقم: 41؛ إبن حبان
رقم: 2361)
“Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang diantara
makhluk-Mu di pagi ini adalah dari-Mu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu,
segala puji dan syukur kepada-Mu” (HR. Abu Dawud 4/318; An-Nasa’I dalam ‘Amal
Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 7; Ibnu Sinni no. 41; Ibnu Hibban no. 2361).
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if
Jami’ Ash-Shaghir no. 5730; Kalamut Thayyib no. 26.
Dan juga hadits:
حسبي
الله لا إله ألا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم (سبع مرات) (أخرجه إبن السني
برقم: 71؛ أبو داود 4/321)
“Allah-lah yang mencukupi (segala
kebutuhanku), tidak ada Rabb kecuali Dia, kepada-Nya aku bertawakal. Dialah
Rabb yang menguasai Arsy yang agung” (dibaca 7 kali) (HR. Ibnu Sinni no. 71;
Abu Dawud 4/321)
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ad-Dla’ifah no. 5286 bahkan hadits ini Maudlu’ [Lihat Dla’if Abi Dawud no. 5081.]
Dan juga hadits:
رضيت
بالله ربا, وبالإسلام دينا, وبمحمد –صلى الله عليه وسلم- نبيا (ثلاث مرات) (أخرجه أحمد 4/337؛
النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 4؛ إبن السني برقم: 68؛ أبو داود 4/418؛
الترمذي 5/465).
“Aku ridlo Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa salam adalah nabiku” (dibaca 3 kali) (HR. Ahmad 4/337;
An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 4; Ibnu Sinni no. 68; Abu Dawud
4/418; At-Tirmidzi 5/465)
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5734; Al-Misykah no. 2399; Kalamut Thayyib no. 24; Ad-Dla’ifah no. 5020; Shahih wa Dla’if Sunan At-Tirmidzi no. 3389.
Dan juga hadits:
أصبحنا
وأصبح الملك لله رب العالمين, اللهم إني أسألك خير هذا اليوم: فتحه,
ونصره ونوره, وبركته, وهداه, وأعوذ بك من شر ما فيه وشر ما بعده (أخرجه أبو داود 4/322)
“Kami masuk pagi, sedang kerajaan
hanya milik Allah, Rabb seru sekalian alam. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon
kepada-Mu agar memperoleh kebaikan, pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya,
berkah dan petunjuk di hari ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa
yang ada didalamnya dan kejahatan sesudahnya” (HR. Abu Dawud 4/322)
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dla’ifah no. 5606 dan Dla’if Sunan Abi Dawud no. 5084.
4. Dzikir-dzikir Ketika Tidur.
اللهم
قني عذابك يوم تبعث عبادك (ثلاث مرات) (أخرجه أبو داود 4/311؛ أنظر صحيح الترمذي 3/143).
“Ya Allah! Jauhkanlah aku dari
siksaan-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu” (dibaca 3 kali) (HR.
Abu Dawud 4/311 dan ini merupakan lafadznya. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/143).
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam As-Shahihah no. 2754; Shahih Adabul Mufrad no. 1215 jika tidak ada penambahan kalimat “dibaca 3 kali”.
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah:”Sedangkan penambahan kalimat ‘dibaca 3 kali’ adalah mungkar atau syadz. Sesungguhnya hadits ini telah dishahihkan oleh Al-Hafidz dan orang-orang yang taqlid kepadanya pada jaman sekarang…” . [Lihat Ta’liq pada kitab Shahih Adabul Mufrad, hal: 470]
Wallahu Ta’ala a’lam wa Ahkam
Demikianlah artikel islam mengenai hadits lemah dalam hisnul muslim semoga bermanfaat.