Kesempurnaan Agama Islam
Table of Contents
KesempurnaanAgama Islam - Kali ini admin postingkan materi islami silahkan simak dibawah ini.
Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
Islam sebagai satu-satunya agama yang dipilih
oleh Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya : "Sesungguhnya agama di sisi
Allah adalah Islam" (Ali Imran : 19)
Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta'ala dan tidak ada
kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia
memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi.
Allah Ta'ala berfirman : "Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka
inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa
yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan
hanya kepada-Nya mereka dikembalikan." (Ali Imran : 83) "Dan siapa
yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya
agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali
Imran : 85).
Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta'ala dalam segala segi,
segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah
dijelaskan, sehingga
tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya.
Allah Ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian
agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam
sebagai agama kalian." (Al Maidah : 3)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : "Ini
merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah
menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada
selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka
shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini
(Muhammad shallallahu alahi wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan
Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang
haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia
syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran
tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan." (Tafsir Al Quranul
Adzim 3/14. Dar Al Ma'rifat).
Pernah datang seorang Yahudi kepada Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu 'anhu lalu
ia berkata : [ Wahai Amirul Mukminin! Seandainya ayat ini : "Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kusempurnakan
nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian."... turun
atas kami, niscaya kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari
raya. Maka Umar menjawab : "Sesungguhnya aku tahu pada hari apa turun ayat
tersebut, ayat ini turun pada hari Arafah bertepatan dengan hari Jum'at."
(Riwayat Bukhari dalam
Shahih-nya nomor 45,4407,4606).
Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari
turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu
membuat-buat hari raya baru karena Allah menurunkannya tepat pada hari besar
yang dirayakan oleh seluruh kaum Muslimin, yaitu hari Arafah dan hari Jum'at.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta'ala kepada ummat
ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan
sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan
beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata : "Sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah di
hadapan kami dengan suatu khutbah yang beliau tidak meninggalkan sedikitpun
perkara yang akan berlangsung sampai hari kiamat kecuali beliau sebutkan
ilmunya ... ."
(Shahih Bukhari nomor 6604).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (juz 4 halaman 2217) dari Abu Zaid
Amr bin Akhthab radhiallahu 'anhu, ia berkata : "Rasullullah shallallahu
alaihi wasallam shalat Shubuh bersama kami.(Selesai shalat) beliau naik ke
mimbar lalu berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Dhuhur, beliau turun
dari mimbar dan shalat Dhuhur. Kemudian beliau naik lagi ke mimbar lalu
berkhutbah di hadapan kami hingga tiba waktu Ashar, kemudian beliau turun dari
mimbar dan shalat Ashar. (Setelah shalat Ashar) beliau naik ke mimbar lalu
mengkhutbahi kami hingga tenggelam matahari. Dalam khutbah tersebut beliau
mengabarkan pada kami apa yang telah berlangsung dan apa yang akan berlangsung
... ."
Bid'ah Adalah Kesesatan
Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan
penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini
diistilahkan bid'ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau : "Sesungguhnya
sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran
Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan
(dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah kesesatan." (HR.
Muslim no. 867)
Mengapa Bid'ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat ?
Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap ajaran agama ini belum
sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan
anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta'ala yang memberikan
kesempurnaan agama ini.
Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang
belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang berarti ia
menuduh
beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian
risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu
mempersaksikan : "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada
seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali
beliau menyebutkan ilmunya pada kami."
Abu Dzar kemudian berkata :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Tidaklah tertinggal
sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali
telah diterangkan
pada kalian." (HR. Thabrani dalam Mu'jamul Kabir, lihat As Shahihah karya
Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat
lain).
Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam
sesuatu kebid'ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah
telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.
Karena Allah telah berfirman : "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi
kalian agama kalian." Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan
para shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan
bagiandari agama." (Lihat Al I'tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)
Ketiga, bisa jadi pembuat bid'ah itu menganggap dirinya lebih berilmu dibanding
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang
tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Apakah Teranggap Niat Baik Seseorang Ketika Berbuat Bid'ah ?
Bagaimana bila ada orang yang berkata bahwa ia membuat-buat amalan bid'ah atau
mengerjakannya dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah ? Maka dijawab
bahwa syarat diterimanya suatu amalan tidaklah sekedar niat baik atau ikhlas,
namun juga harus dibarengi dengan Mutaba'ah Ar Rasul (mengikuti Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam), adakah contohnya dari beliau atau tidak.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala (yang artinya)
:"Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia
melakukan amal shalih dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang
pun dalam peribadatan kepada-Nya." (QS. Al Kahfi : 10)
Beliau rahimahullah berkata : [ Firman Allah : " ... hendaklah ia
melakukan amal shalih ... ." Yang cocok/sesuai dengan syariat Allah. Dan
firman-Nya : " ... dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorang
pun dalam peribadatan kepada-Nya." Yang diinginkan dalam beribadah
tersebut adalah wajah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya. Dua rukun diterimanya
amalan adalah (pertama) harus dilakukan ikhlas karena Allah dan (kedua) amalan
tersebut benar dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam." (Tafsir Ibnu Katsir 3/114) ].
Terhadap firman Allah Ta'ala : "Dialah yang menciptakan kematian dan
kehidupan agar Dia menguji kalian siapa yang paling baik di antara kalian
amalannya." (QS. Al Mulk : 2) Al Fudlail bin Iyadl rahimahullah berkata :
"Amalan yang paling baik adalah amalan yang paling ikhlas dan paling
benar/tetap. Karena amalan yang hanya disertai keikhlasan namun tidak benar
maka amalan itu tidak diterima. Dan sebaliknya, bila amalan itu benar namun
tidak dibarengi keikhlasan juga tidak akan diterima."
Pernah datang tiga orang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ke rumah
istri-istri beliau guna menanyakan tentang ibadah beliau. Tatkala diberitahukan
kepada mereka, mereka menganggapnya kecil dan mereka berkata : "Apa
kedudukan kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau telah
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang belakangan." Berkata salah
seorang dari mereka : "Aku akan shalat sepanjang malam tanpa tidur
selamanya." Yang kedua berkata : "Aku akan berpuasa sepanjang tahun
dan tidak akan berbuka." Yang terakhir berkata : "Aku akan menjauhi
wanita maka aku tidak akan menikah selamanya."
Lalu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ucapan-ucapan mereka
disampaikan kepada beliau, maka beliau bersabda : "Apakah kalian yang
mengatakan begini dan begitu ?! Ketahuilah! Demi Allah, aku adalah orang yang
paling takut kepada Allah dibanding kalian dan paling bertakwa kepada-Nya, akan
tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku juga
menikahi wanita. Siapa yang benci (berpaling) terhadap sunnahku maka ia bukan
dari golonganku (orang-orang yang menjalankan sunnahku)." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kalau kita lihat keberadaan tiga orang ini maka kita dapatkan niatan mereka
yang baik yaitu untuk bersungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Allah, namun
apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyetujui perbuatan mereka?
Jawabannya bisa kita lihat dari pernyataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas.
Benar sekali apa yang diucapkan oleh shahabat Nabi, Abdullah bin Mas'ud
radhiyallahu anhu : "Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada
bersungguh-sungguh dalam perbuatan bid'ah."
Orang-orang yang mengadakan bid'ah itu walaupun niatnya baik tetap tertolak
dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam : "Siapa yang
mengada-adakan sesuatu amalan di dalam urusan (agama) kami ini dengan yang
bukan bagian dari agama ini maka amalan itu tertolak." (HR. Bukhari dan
Muslim dalam Shahih keduanya)
Dan beliau bersabda :"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim). Karena itu
yang wajib bagi kaum Muslimin adalah mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang
telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa menambah
ataupun menguranginya.
Adakah Bid'ah Hasanah ?
Tidak ada dalam agama ini istilah pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah
(bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang jelek) karena Rasulullah
shallallahu alaihi
wasallam telah menegaskan : "Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap
kesesatan tempatnya
di neraka." (HR. Muslim dalam Shahih-nya, sedang tambahannya diriwayatkan
dalam Sunan Nasa'i) Lalu bagaimana dengan ucapan Umar radhiallahu anhu ketika
melihat pelaksanaan shalat tarawih secara berjama'ah : "Sebaik-baik bid'ah
adalah perbuatan ini." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya)
Maka kita katakan bahwa yang dimaukan oleh Umar dengan ucapannya tersebut
adalah pengertian bid'ah secara bahasa, bukan secara syari'at, karena Umar
mengucapkan perkataan demikian sehubungan dengan berkumpulnya manusia di bawah
satu imam dalam pelaksanaan shalat tarawih, sementara shalat tarawih secara berjama'ah
telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dimana beliau
sempat mengerjakannya selama beberapa malam secara berjama'ah dengan para
shahabatnya, kemudian beliau tinggalkan karena khawatir hal itu diwajibkan atas
mereka. Sehingga setelah itu manusia mengerjakan tarawih secara sendiri-sendiri
atau dengan jama'ah yang terpisah-pisah (berbilang/berkelompok-kelompok).
Lalu pada masa pemerintahannya Umar radhiallahu 'anhu, Umar radhiallahu 'anhu
mengumpulkan mereka di bawah pimpinan satu imam sebagaimana pernah dilakukan di
zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena wahyu telah berhenti turun
dengan meninggalnya beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berarti tidak ada
lagi kekhawatiran diwajibkannya perkara tersebut.
Dengan demikian Umar radhiallahu 'anhu menghidupkan kembali sunnah tarawih
secara berjama'ah dan ia mengembalikan sesuatu yang sempat terputus, maka
teranggaplah perbuatannya tersebut sebagai bid'ah dalam pengertian bahasa,
bukan pengertian syari'at, karena bid'ah yang syar'i hukumnya haram, tidak
mungkin Umar radhiallahu 'anhu ataupun selainnya dari kalangan shahabat
melakukan hal tersebut, sementara mereka tahu peringatan keras dari Nabi
radhiallahu 'anhu akan perbuatan bid'ah. (Dzahirut Tabdi’, halaman 43-44).
Adapun di masa Abu Bakar radiallahu anhu, sunnah tarawih secara berjama'ah ini
tidak sempat dihidupkan karena khilafah beliau hanya sebentar dan ketika itu
beliau disibukkan dengan orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat,
demikian keterangan Imam Syathibi dalam kitabnya Al I'tisham, wallahu a'lam.
Semoga Allah merahmati shahabat Nabi, Abdullah Bin Umar radiallahu anhuma yang
berkata : "Setiap bid'ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya
baik."
Hukum Membuat Bid'ah Dalam Agama
Hukum membuat bid'ah dalam agama adalah haram berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah,
dan ijma’ (kesepakatan ulama), karena membuat bid'ah berarti menetapkan syariat
yang menyaingi syariat Allah, yang berarti menentang dan mengadakan permusuhan
terhadap Allah dan Rasul-Nya. (Hurmatul Ibtida' fid Dien wa Kullu Bid'atin
Dlalalah, Abu Bakar Jabir Al Jazairi, halaman 8)
Contoh Bid'ah Dalam Hari Raya/Hari Besar Yang Disandarkan Kepada Islam
Dalam syariat agama yang mulia ini hanya dikenal adanya dua hari raya/ied,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu 'anhu :
Nabi shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah dan ketika itu penduduk
Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bisa bersenang-senang di dalamnya
pada masa
jahiliyyah, maka beliau bersabda : "Aku datang pada kalian dalam keadaan
kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersenang-senang di dalamnya pada
masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari
tersebut dengan yang lebih baik yaitu hari Nahr (Iedul Adha) dan Iedul
Fitri." (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Baghawi)
Iedul Adha dan Iedul Fitri lebih baik daripada dua hari raya yang dimiliki
penduduk Madinah karena Iedul Adha dan Iedul Fitri ditetapkan dengan syariat
Allah yang dipilih-Nya untuk hamba-Nya dan kedua hari raya tersebut mengiringi
dua amalan besar dalam Islam yaitu haji dan puasa. Sedangkan hari Nairuz dan
Mahrajan ditetapkan dengan pilihan manusia. (Ahkamul Iedain fis Sunnatil
Muthahharah, halaman15-16)
Apabila kita telah mengetahui bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, maka
selain dari dua hari raya ini adalah hari raya yang diada-adakan (bid'ah),
kemudian dinisbahkan kepada agama.
Contohnya seperti :
- Isra' Mi'raj. Perayaan ini meniru perayaan Paskah (kenaikan Isa Al Masih)
umat Nashrani, padahal kita dilarang meniru orang-orang kafir, Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam sendiri memperingatkan : "Siapa yang meniru-niru suatu
kaum maka ia termasuk golongan kaum
tersebut."
- Perayaan Nuzul Qur'an
- Perayaan tahun baru Islam 1 Muharram, yang meniru perayaan tahun baru Masehi.
- Maulid Nabi, yang meniru Nashrani dalam perayaan Natal.
- Dan lain-lain.
Bila ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengadakan dan merayakan
perayaan seperti Maulid Nabi adalah karena cinta kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam dan mengagungkan beliau, maka kita jawab bahwa para shahabat
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan generasi terbaik setelah mereka (generasi
Salafus Shalih) tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah
orang-orang
yang tidak diragukan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dan tidak disangsikan pengagungan mereka kepada beliau, serta mereka
adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk melakukan amalan kebajikan.
Seandainya perayaan Maulid itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang
melakukannya. Dan demikian yang kita katakan terhadap setiap amalan yang
diada-adakan dalam agama ini. Seandainya amalan itu baik maka para pendahulu
kita yang shalih tentunya telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Ketahuilah, pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bukan diwujudkan dengan mengadakan perayaan seperti Maulid, namun bukti cinta
kepada beliau diwujudkan (dibuktikan) dengan mengikuti beliau, menaati,
mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya baik secara lahir maupun batin,
menyebarkan dakwah beliau, berjihad untuk menegakkan dakwah baik dengan hati,
lisan, maupun anggota badan. Inilah jalan yang ditempuh oleh As Sabiqunal
Awwaluna dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik.
Jalan Keluar dari Kebid'ahan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya
jalan keluar dari kebid'ahan jauh sebelum terjadinya bid'ah. Beliau bersabda :
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang
teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya,
yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul
Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)
Beliau juga menasehatkan : "Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada
Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang
hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari
perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid'ah itu sesat." (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid'ah adalah berpegang teguh pada
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta
Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka
terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya
kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba'-nya, paling dalam ilmunya dan
paling luas pemahamannya terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan
bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid'ahan yang
menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bishawwab.
(Dikutip dari majalah Salafy)
Demikianlah artikel tentang kesempurnaan islam semoga bermanfaat.