Kewajiban Meneliti Suatu Riwayat dengan Ilmu Riwayah dan Dirayah

Kewajiban Meneliti Suatu Riwayat dengan Ilmu Riwayah dan Dirayah - Kaidah kelima (yang terakhir) dalam beramal dengan sunnah adalah tidak boleh mengamalkan suatu riwayat sebelum meneliti riwayat (hadits atau atsar) tersebut baik secara ilmu riwaayah yaitu ilmu untuk mengetahui derajat sanad suatu riwayat, apakah shahih, hasan ataukah dha'if, maupun ilmu diraayah yaitu ilmu untuk mengetahui istimbath/penarikan kesimpulan hukum dari riwayat tersebut atau pemahaman yang benar dari riwayat tersebut.
Apabila dinukilkan kepada kita suatu sunnah maka sesungguhnya kewajiban yang harus kita lakukan -sebelum beramal dengannya- ada dua hal:

Pertama: Mencari kepastian akan keshahihan sanadnya, mungkin dengan cara menerapkan kaidah-kaidah ilmu hadits pada sanadnya bagi yang mempunyai keahlian untuk itu atau mungkin dengan cara taqlid (mengikuti) kepada salah satu imam dalam masalah tersebut.
Berkata Asy-Syaikh Zakariya bin Muhammad Al-Anshariy dalam kitabnya: Fathul Baaqii 'alaa Al-fiyyatil 'Iraaqii (1/106):
"Cara (yang harus ditempuh) bagi orang yang ingin berhujjah dengan hadits dari sunan atau masaanid (musnad-musnad) adalah jika ia seorang yang memiliki keahlian untuk mengetahui apa yang akan digunakan(nya) sebagai hujjah dari selainnya, maka ia tidak boleh berhujjah dengannya sampai ia melihat sambungnya sanadnya dan juga melihat kondisi para perawinya (maksudnya keshahihan hadits tersebut). Jika ia tidak melakukan hal tersebut (mungkin karena kemampuannya terbatas -pent.), maka baginya untuk merujuk kepada tashhiih (penshahihan) dan tahsiin (penghasanannya) para imam yang ada. Apabila hal terakhir ini juga tidak dapat dilakukannya, maka tidak diperkenankan berhujjah dengan riwayat tersebut.
Maka beramal dengan sebuah hadits adalah sebagai dalil (bukti) bahwa pelakunya berhujjah dengan hadits tersebut, maka tidak ada jalan untuk berhujjah dengannya, kecuali setelah diketahui tentang tsubut-nya (keshahihan) hadits tersebut.
Adapun untuk riwayat yang tidak shahih, maka tidak boleh untuk menjadikan sesuatu itu wajib atau mustahab dengan berdasar dalil tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam: "Tidak diperkenankan menyandarkan urusan syari'at ini kepada hadits-hadits dha'if (lemah) yang bukan shahih dan bukan pula hasan."
Akan tetapi Al-Imam Ahmad bin Hambal dan beberapa 'ulama lainnya membolehkan meriwayatkan hadits (lemah -pent.) dalam fadhaa`ilul a'maal (keutamaan-keutamaan amalan) selama tidak diketahui bahwasanya riwayat itu tsaabit (shahih atau hasan), (dan juga) apabila tidak diketahui bahwasanya riwayat itu dusta.
Yang demikian itu (maksudnya) bahwa apabila suatu amalan diketahui telah disyari'atkan dengan dalil syar'i, lalu diriwayatkan tentang keutamaan amalannya dengan sebuah hadits yang tidak diketahui bahwa hadits itu dusta, maka boleh menetapkan bahwa pahalanya benar adanya.
Tidak ada seorang imam pun yang mengatakan, bahwa boleh menjadikan sesuatu (amalan) menjadi wajib atau mustahab dengan hadits dha'if dan barangsiapa yang mengatakan pernyataan tersebut, berarti ia telah menyelisihi ijma'." (Majmuu'ul Fataawaa 1/250-251)
Syaikhul Islam juga berkata: "Pendapat Al-Imam Ahmad bin Hambal: "Jika datang riwayat tentang halal dan haram, maka kita perketat dalam sanad-sanadnya. Apabila datang riwayat tentang at-targhiib wat-tarhiib (anjuran dan ancaman), kita mudahkan dalam sanad-sanadnya." Demikian juga yang dipegangi oleh para 'ulama tentang beramal dengan hadits dha'if dalam fadhaa`ilul a'maal, bukanlah bermakna: menetapkan kesunnahan suatu amalan dengan hadits yang tidak bisa dipakai sebagai hujjah (hadits dha'if -pent.), karena penetapan bahwa suatu amalan adalah sunnah merupakan penetapan hukum syar'i, tidaklah (amalan sunnah) akan dapat ditetapkan kecuali dengan dalil syar'i (yaitu hadits shahih/hasan atau ijma' -pent.).
Dan barangsiapa yang memberitakan dari Allah, bahwa Dia menyukai suatu amalan tanpa dalil syar'i, maka sungguh ia telah membuat syari'at dalam agama yang tidak diijinkan oleh Allah, seperti halnya jika ia mewajibkan atau mengharamkan sesuatu.
Maksud mereka (para 'ulama) dalam hal ini hanyalah supaya amalan itu bersumber dari ketetapan nash atau ijma', bahwa amalan tersebut dicintai atau dibenci oleh Allah. Seperti tilaawatul Qur`aan, bertasbih, berdo'a, shadaqah, membebaskan budak, berbuat baik kepada manusia, benci kepada kedustaan, khianat dan semisalnya.
Maka apabila telah diriwayatkan suatu hadits tentang keutamaan sebagian amalan-amalan yang mustahab beserta (keterangan) pahalanya dan juga dibencinya sebagian amalan-amalan beserta (keterangan) sangsi/siksaannya; maka ketentuan pahala, sangsi dan macam-macamnya, apabila diriwayatkan padanya sebuah hadits -tidak diketahui bahwa hadits itu palsu- boleh meriwayatkannya dan beramal dengannya dalam pengertian: bahwasanya jiwa seseorang mengharap pahala tersebut, atau takut akan siksaannya …." (Majmuu'ul Fataawaa 18/65-66)
Barangkali dalam batasan masalah ini dari perkataan Syaikhul Islam bisa meluruskan kesalahan yang tersebar di kalangan sekelompok ahli ilmu dan murid-muridnya di mana mereka memahami perkataan 'ulama mengenai hadits dha'if dengan pemahaman yang tidak mencocoki apa yang mereka inginkan.
Ini adalah satu pendapat dari para 'ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dha'if dalam fadha`il, akan tetapi mereka juga memberikan syarat-syaratnya di antaranya:
Yang pertama, hadits tersebut tidak terlalu dha'if, maka tidak boleh meriwayatkan hadits yang diriwayatkan para pendusta atau tertuduh dengan dusta atau perawinya sangat parah kesalahannya (hafalannya). Yang syarat ini hanya diketahui oleh orang yang mengerti ilmu hadits yang tidak mudah diketahui semua orang.
Yang kedua, hadits dha'if tersebut di bawah hadits shahih yang menjadi patokan dalam tetapnya amalan tersebut. Artinya kita menetapkan suatu amalan dengan hadits shahih adapun hadits dha'if tersebut hanya sebagai pemberi targhib dan tarhib saja.
Yang ketiga, tidak boleh meyakini akan shahihnya hadits tersebut ketika beramal dengannya. (Lihat Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah hal.20)
Itulah di antara syarat-syarat yang dijelaskan para 'ulama yang kebanyakan orang yang berpendapat bolehnya beramal dengan hadits dha'if, tidak mengindahkan syarat-syarat tersebut sehingga mereka terjatuh kepada kesalahan, kerusakan dan kebinasaan seperti mengamalkan hadits yang sangat dha'if atau palsu atau meyakini hadits dha'if tersebut adalah shahih ketika mengamalkannya. Maka hendaklah mereka ingat hadits Rasulullah yang mutawatir yang mengatakan: "Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah tempak duduknya di neraka." Nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.
Adapun pendapat yang lain mengatakan tidak boleh beramal dengan hadits dha'if secara muthlaq.
Berkata Muhammad Jamaluddin Al-Qasimiy: "Hendaknya diketahui bahwasanya madzhab-madzhab dalam (masalah boleh tidaknya beramal dengan) hadits dha'if, terdapat tiga pendapat: Yang pertama, berpendapat tidak beramal dengannya secara muthlaq, tidak pada masalah ahkam (hukum-hukum syar'i) dan tidak pula dalam masalah fadhaa`il. Ibnu Sayyidinnas telah menghikayatkan pendapat tersebut dalam 'Uyuunul Atsar dari Yahya bin Ma'in, dan dia menisbatkannya dalam Fathul Mughiits milik Abu Bakr Ibnul 'Arabiy; dan yang tampak bahwasanya madzhabnya Al-Bukhariy dan Muslim juga demikian (tidak beramal dengan hadits dha'if secara muthlaq -pent.), hal ini ditunjukkan oleh syaratnya Al-Imam Al-Bukhariy dalam Shahihnya dan penjelekkannya Al-Imam Muslim atas periwayatan hadits dha'if, sebagaimana orang-orang yang telah mendahului kita ('ulama salaf)." (Lihat Qawaa'idut Tahdiits karya Al-Qasimiy hal.111), dan kenyataannya bahwa keduanya (Al-Bukhariy dan Muslim) tidak mengeluarkan sedikitpun hadits dha'if dalam shahih keduanya.
Dan ini juga madzhabnya Ibnu Hazm di mana beliau berkata dalam Al-Milal wan Nihal: "… dan tidaklah halal menurut kami berpendapat dengannya (hadits dha'if) dan tidak pula membenarkannya dan tidak pula mengambil sedikitpun darinya." (Qawaa'idut Tahdiits hal.113)
Dan pendapat golongan pertama ini dari kalangan 'ulama adalah yang rajih menurutku -wallaahu a'lam-.
Berkata Al-'Allamah Al-Albaniy: "Yang demikian itu dikarenakan bahwasanya hadits dha'if itu hanyalah memberikan prasangka yang lemah dengan tanpa ada perselisihan di antara para 'ulama sepengetahuanku, dan apabila keadaannya demikian maka bagaimana dikatakan bolehnya beramal dengannya sedangkan Allah 'Azza wa Jalla telah mencelanya dalam banyak ayat dari Kitab-Nya, Allah berfirman: "Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (An-Najm:28), dan firman-Nya: "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan." (An-Najm:23) dan Rasulullah bersabda: "Hati-hatilah kalian dari prasangka karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan." (Mutafaqun 'alaih dari Abu Hurairah)
Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada dalil apapun dari Al-Kitab dan As-Sunnah bagi orang yang menyelisihi terhadap pendapat yang aku pilih tersebut." (Shahiihul Jaami' 1/45)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Dan tidaklah Al-Imam Ahmad bin Hambal dan tidak pula orang-orang yang semisalnya dari kalangan para imam yang bersandar di atas hadits-hadits (dha'if) ini dalam syari'at, dan barangsiapa yang menukilkan dari Al-Imam Ahmad bahwasanya dia berhujjah dengan hadits dha'if yang tidak shahih dan tidak pula hasan, maka sungguh dia telah salah…." (Al-Qaa'idatul Jaliilah hal.84)
Adapun orang yang menukilkan dari Al-Imam Ahmad, 'Abdurrahman bin Mahdi dan 'Abdullah Ibnul Mubarak, yang mengatakan: "Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan haram maka kami perketat (sanadnya) dan apabila kami meriwayatkan dalam masalah fadhaa`il dan yang sejenisnya maka kami permudah (sanadnya)." (Shahiihul Jaami' 1/46)
Maka dalam hal ini berkata Asy-Syaikh Ahmad Syakir mengomentari ungkapan (para imam) tersebut: "Maka sesungguhnya yang mereka inginkan dengan ucapan tersebut -menurut apa yang saya rajihkan, wallaahu a'lam- bahwasanya (ungkapan) "bermudah-mudahan" itu adalah dalam mengambil "hadits hasan" yang tidak sampai kepada derajat "shahih", karena sesungguhnya istilah yang membedakan antara shahih dan hasan secara tetap dan jelas belum ada pada zaman mereka, bahkan kebanyakan 'ulama mutaqaddimin (zaman dahulu) tidaklah mensifati hadits kecuali dengan shahih atau dha'if saja." (Al-Baa'itsul Hatsiits hal.101)
Sebagaimana diketahui bahwasanya periwayatan hadits-hadits dha'if dalam masalah anjuran dan ancaman mempunyai pengaruh-pengaruh yang jelek, di antaranya:
1. Mengantarkan kepada perbedaan dalam penimbangan di antara amalan-amalan, maka kadang-kadang sebagian orang mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk berdzikir daripada berjihad fii sabiilillaah, dan demikian itu disebabkan hadits-hadits dha'if yang mengandung berlebih-lebihan dalam anjuran/pemberian semangat dengan berdzikir.
2. Secara umum apa yang terdapat dalam hadits-hadits yang tidak shahih ini adanya berlebih-lebihan/melampaui batas dalam anjuran dan ancaman dan hal ini tentu saja mempunyai dampak-dampak yang jelek dalam mendidik seseorang, yang akan diketahui oleh orang yang secara khusus menggeluti medan ini.
Karena itulah para 'ulama memperingatkan dari duduk-duduk dengan para tukang cerita. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dalam muqaddimah Shahihnya dari 'Ashim berkata: "Janganlah kalian duduk-duduk dengan para tukang cerita." (Qawaa'idut Tahdiits hal.113). Sedangkan para tukang cerita adalah orang-orang yang memberikan nasehat kepada manusia di masjid-masjid lalu mereka meriwayatkan hadits shahih bersamaan juga meriwayatkan hadits dha'if tanpa membedakan keduanya. Wallaahul Musta'aan.
Kesimpulannya, hadits dha'if tidak boleh diamalkan baik dalam masalah ahkam ataupun fadha`il dan kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih atau hasan.
[Diambil secara ringkas dari kitab Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah karya Nazhim Muhammad Sulthan hal.17-19)

Kedua: Memastikan keshahihan istimbaath dan keselamatan pengambilan dalil, dalam rangka mencocoki kaidah-kaidah ushul yang terkenal (dipakai).
Sebagian manusia terkadang mendapatkan taufiq (kemampuan) untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang dha'if, akan tetapi taufiq tersebut tidak selalu menyertainya dalam mengeluarkan hukum syar'i dari nash dan di sinilah letak keistimewaan hal itu (istimbaath/pengambilan hukum yang tepat dari suatu dalil -pent.).
Maka wajib bagi para penuntut ilmu, agar memperhatikan sisi ini, yaitu dengan merujuk kepada penjelasan para 'ulama terhadap suatu hadits dan bertanya kepada mereka tentangnya serta hal-hal yang berkaitan dengan dalil tersebut, sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan berdusta atas nama Rasulullah tanpa dia sadari. Sesungguhnya orang yang telah menisbatkan suatu hukum (ketetapan) kepada Nabi yang bukan pembicaraan beliau, maka sungguh dia telah berdusta atas namanya, kecuali jika dia seorang ahli ijtihad (mujtahid) yang telah mencurahkan segala kemampuannya yang terbatas, lalu tidak mencocoki kebenaran, maka sesungguhnya orang ini tetap mendapat pahala tanpa dosa.
Pembicaraan ini hanyalah ditujukan bagi orang yang tidak punya keahlian dalam meneliti perkataan pembuat syari'at (yaitu Rasulullah), baik secara istimbaath atau istidlaal. Kemudian mereka terjun ke dalam lautan yang dalam, tanpa menggunakan kapal yang dapat membawa mereka mengarungi samudera yang tak bertepi ini. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada orang yang mengetahui kemampuan dirinya dan menempatkannya sesuai dengan posisinya.
Mu'awiyyah berkata: "Sesungguhnya kesesatan yang paling mengherankan adalah seseorang yang membaca Al-Qur`an, namun dia tidak memahaminya dan diajarkannya kepada anak kecil, budak lelakinya, istrinya serta budak perempuannya, kemudian mereka mendebat ahli ilmu dengan itu." (Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih 2/194)
Berkata Al-Imam 'Abdullah Ibnul Mubarak: "Hendaklah kamu menjadi orang yang selalu bersandar pada atsar dan ambillah pendapatnya tentang sebuah hadits yang ditafsirkan untukmu." (Ibid 2/144)
Dikatakan kepada sebagian ahli hikmah: "Sesungguhnya si fulan telah menulis banyak kitab." Lalu ia mengatakan: "Apakah dia memahami sejumlah kitabnya tersebut?"
Dikatakan: "Tidak." Dia menyatakan: "Berarti dia tidak berbuat sesuatu pun."
Berkata Al-Khathib Al-Baghdadiy mengomentari hikayat di atas dan yang semisalnya:
"Ini adalah keadaan orang yang mencukupkan penukilan dari kitabnya tanpa melakukan pendalaman dan memikirkan akan makna-maknanya." (Al-Faqiih wal Mutafaqqih hal.303)
Wallaahu Ta'aalaa A'lam.

Diambil dari kitab Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah hal.105-109 dengan beberapa perubahan dan tambahan.

Demikianlah artikel tentang kewajiban meneliti suatu riwayat semoga bermanfaat.