Makalah Pembelajaran Sastra Indonesia
Table of Contents
Kali ini admin postingkan makalah pembelajaran sastra indonesia silahkan simak di bawah ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan
dalam masyarakat Indonesia hari ini. Padahal Sastra Indonesia merupakan unsur bahasa yang
terdapat di dalam bahasa Indonesia, berdasarkan garis besarnya sastra
berarti bahasa yang indah atau tertata dengan baik, dan gaya penyajiannya
menarik, sehingga berkesan di hati pembacanya. Namun sering kali kita tidak
mengerti apa yang di maksud dengan sastra, kebanyakan orang menyamakan antara
sastra dan bahasa.
Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat
ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang
berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting
dan mendesak untuk digapai daripada untuk mengetahui konsep-konsep yang
berkaitan dengan sastra dan kesustraan . Makalah ini diharapkan dapat menggugah
kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada
tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pentingnya
pembelajaran sastra
2. Bagaimana realitas
Sastra Indonesia dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3.
Bagaimana pengajaran sastra di lingkup sekolah
C.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1.
Mengetahui apa itu sastra
2.
Mengetahui bagaimana realitas sastra indonesia
dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3.
Mengetahui bagaimana pembelajaran sastra di
lingkungan sekolah
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1.
Sebagai bahan referensi untuk bahan pembelajaran
bagi mahasiswa dan masyarakat
2.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat
terhadap sastra
3.
Memberikan pilihan metode baru bagi pengajar
dalam menyampaikan materi.
E.
Metode
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka, yaitu dengan
mempelajari dan mengumpulkan data dan informasi baik dari buku maupun dari internet.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Pengertian Sastra
Banyak sekali para ahli
yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal Ensten mendefinisikan
“Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan
imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui
bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia
(kemanusiaan).” (1978:9). Di sisi lain Semi mengungkapkan “Sastra adalah
suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman
mendefinisikan “Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai
ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi,
dan ungkapannya.” (1986:68). Plato dan Aristoteles mempunyai definisi
tersendiri mengenai sastra, menurut Plato “Sastra adalah hasil peniruan atau
gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan
peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena
itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.” Sastra sebagai
kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.” diungkapkan
oleh Aristoteles. Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya
adalah “Karya tulisan yang halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan
bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan,
didalamkan, dibelitkan, dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”
Dari beberapa definisi
di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu bentuk karya seni baik
berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur tertentu lainnya
yang bersifat imaginatif.
B. Sejarah
Singkat Sastra Indonesia
Awal Periode Sastra
Bentuk-bentuk karya
sastra yang kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang
banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada
karya-karya Chairil Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.
Kenyataan tersebut makin
diperkuat akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan
berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek,
hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila
sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.
Dengan demikian,
pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan
pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra
itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.
Perkembangan Sastra
Indonesia
Sejarah perkembangan
sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran
karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum
periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra
Indonesia secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.
- Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)
Pada tahun 1908,
kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie de
Volkslectur) yang bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat
Indonesia. Pada tahun 1917, nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai
Pustaka/. Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis
Indonesia untuk berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode
awal ini adalah sebagai berikut.
·
Merari Siregar dengan karya Azab dan
Sengsara
·
Marah Rusli dengan karya Siti
Nurbaya
·
Abdul Musi dengan karya Salah
Asuhan
·
Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung
Malang, dan lain-lain
Tema ceritapada periode
ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat, kehidupan beragama,
dan peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.
2.
Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Angkatan ini dipelopori
oleh empat serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane,
dan Amir Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk sajak,
cerpen, novel, roman, dan drama. Karya padaangkatan ini antara lain sebagai
berikut.
·
Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
·
Belenggu karya Armijn Pane
·
Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain
3. Angkatan 45
Ciri khas karyasastra
angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya
pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun bersifat realisme.
Pengarang-pengarang yang
terkenal pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar
Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma, danlain-lain.
4.
Angkatan 66
Angkatan 66 diperkenalkan
oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan 66. Angkatan ini muncul
berbarengan dengan adanya kekacauanpolitikakibat adanyapemberontakan G-30S/PKI.
Karya-karya yang
diterbitkan antara lain sebagai berikut.
·
Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar
·
Tirani karya Taufik Ismail
·
Hati yang Damai karya N.H. Dini
·
Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan lain-lain.
5.
Karya Sastra Kontemporer
Karya sastra kontemporer
berawal padatahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda.
Situasisosial dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga berpengaruhbesar
terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan.
Kebebasan berekspresi
mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakanpembaruan dalam
bidang sastra. Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini
terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang
mengutamakan bunyi daripada kekuatan maknakata. Sampai saat ini, sastra
Indonesia semakin berkembang denganlahirnya pengarang-pengarang muda dan
karyanya.
C. Jenis-Jenis Karya Sastra di Indonesia
Karya sastra di
Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa dan puisi.
Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa dan puisi
lama dan modern.
Ciri-ciri sastra lama:
- Bersifat statis
- Tema ceritanya istana sentris
- Nama pengarang tidak disebutkan atau disebut juga anonim
- Menggunakan bahasa melayu kuno yang penuh dengan pepatah serta ungkapan yang panjang-panjang dan klise
- Banyak yang berisi hal-hal yang fantastis (Diana Leroy, 2003:45) Contoh sastra lama: fabel, sage, syair, gurindam, dll.
Dalam sastra modern
karya sastra tersebut telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah
tidak asli lagi. Dan dalam karya sastra modern pengarang sudah dikenal oleh
masyarakat luas, bahasanya sudah tidak klise dan bersifat dinamis, temanya pun
bersifat rasional dan bersifat modern/tidak kedaerahan. Contoh
sastra modern: novel, biografi, cerpen, drama, dll
BAB
III
PEMBAHASAN
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai jenjang
pendidikan sering diaggap kurang penting oleh para guru, apalagi pada guru yang
pengetahuan dan apresiasi sastranya rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran
yang idealnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan
hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat
di hati siswa. Bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa
cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai
bagian dari budaya warisan leluhur.
Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra Indonesia tidak
hanya memberi pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan menanamkan rasa
cinta, baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
A. Pentingnya
pembelajaran sastra
Dosen Universitas
Singapura, Dr. Azhar Ibrahim Alwee mengatakan, pembelajaran sastra sangat
penting dalam pembangunan karena akan mendorong masyarakat bisa bersikap lebih
kritis. Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis,
sehingga pembangunan akan menjadi terarah, kata Azhar, saat menjadi pembicara
dalam seminar internasional, di Palembang.
Seminar internasional
bahasa, sastra dan budaya digelar di Palembang, 1-2 Juni 2010 dilaksanakan
Forkibastra Balai Bahasa Sumsel. Menurut Azhar, makna dari sastra dapat
mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat orang menjadi tegas,
tetapi juga mampu untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Identitas
manusia harus tegas dan bebas dari ketergantungan, dan itu bisa didapat dalam
pelajaran sastra, ujarnya.
Dia menegaskan bahwa sastra merupakan dokumen kebudayaan yang
tidak boleh dianggap bersaingan dengan politik sekarang ini. Kebersamaan dalam
globalisasi mengundang gagasan multibudaya, dengan menempatkan identitas
politik kelompok masing-masing sebagai hak kemanusiaan, kata dia lagi. Karena
itu, pihaknya mengusulkan kurikulum multibudaya yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran sastra. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan untuk menjadikan
pemberdayaan identitas budaya lokal yang ampuh, ujar Azhar. Dia juga
berpendapat, umumnya pembelajaran sastra memerlukan nafas baru, sehingga perlu
melakukan pendekatan dalam pengajaran.
B. Tujuan
Pembelajaran Sastra
Tujuan umum pembelajaran
sastra merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional
yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pembelajaran
sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini.
1. Menggunakan bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan social
2. Menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
3. Menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia
Indonesia.
Pengajaran sastra
membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah
sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra
merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra
hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan
kehidupan.
Pembelajaran sastra
menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada kenyataan
bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi
sehingga pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif. Konsekuensinya,
pengembangan materi pembelajaran, teknik, tujuan, dan arah pembelajaran harus
menekankan pada kegiatan apresiati.
Pengembangan kegiatan
pembelajaran apresiatif merupakan usaha untuk membentuk pribadi imajinatif
yaitu pribadi yang selalu menunjukkan hasil belajarnya melalui aktivitas
mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk
baru, membangun susunan baru, memecahkan masalah dengan cara-cara baru,
dan merefleksikan kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya yang unik.
Potensi individu seperti
itu menurut para ahli pendidikan akan berkembang jika mendapat dukungan
kultur lingkungan yang menghargai percobaan, melakukan langkah-langkah
spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan melakukan hal yang
tidak dapat dilakukan orang sebelumnya. Semua potensi dikembangkan melalui
pengulangan yang variatif sehingga terbentuk mutu keterampilan yang terasah.
C. Realitas
Sastra Indonesia dalam Masyarakat Indonesia Kini
Sastra dianggap kurang penting dan kurang
berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat
kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep
yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih
penting dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat
terhadap kegiatan kesastraan dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu
indikasi adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dan kebudayaan
dianggap hanya memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang
mendesak dan masih dapat ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia
pendidikan. Perhatian para murid dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran
yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan. Ketiadaan laboratorium
bahasa, sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai fasilitas lain yang
diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya ketidakperhatian
tersebut.
Bila kita menganggap pendidikan merupakan upaya lain untuk
memanusiakan manusia, perhatian terhadap semua materi ajar di sekolah haruslah
seimbang. Seorang guru dapat melakukan hal-hal seperti dibawah ini untuk
mewujudkan pembelajaran sastra di sekolah sehingga mata pelajaran ini menjadi
menarik dan mendapat tempat di hati siswa.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa
pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan
memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap
puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan
tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran
sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih
diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk
menghafal, bukan untuk mengahayati karya yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk
pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam
berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan
deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi,
mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan
berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra
pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan,
pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah pemanfaatan
dan pengadaan buku/ bacaan kesastraan di sekolah. Pemerintah, di satu sisi,
telah berusaha melengkapi buku bacaan untuk para siswa melalui Proyek Pengadaan
Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan ke sekolah belum memadai, guru
seharusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu untuk memancing kreativitas
membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak sekolah harus
juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan
berbagai media lain yang harganya relatif murah.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu dicarikan pemecahannya
adalah sistem evaluasi pengajaran sastra dan bahasa yang cenderung ke aspek
kognitif/pengetahuan. Selama ini, ulangan semester dan ebtanas memang lebih
terfokus pada evalusi pengetahuan para siswa. Kalau mau guru dapat melakukan
evaluasi yang mengarah ke penumbuhan keterampilan dan apresiasi masih dapat
dilaksanakan di berbagai kesempatan lain di luar evaluasi di atas. Evaluasi
keterampilan dan apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui penugasan di
rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain. Sekarang tinggal
lagi mau atau tidakkah guru bahasa/guru kelas memanfaatkan kesempatan itu untuk
evaluasi yang tidak hanya mengagungkan aspek hafalan pada siswa.
Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya juga perlu
mengaktifkan kembali sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar
jam belajar secara langsung pasti akan berpengaruh terhadap penumbuhan
keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan penghargaan yang positif terhadap
sastra dan bahasa Indonesia pada siswa. Bagaimanapun kita tetap bersepakat
bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran bakat/minat, dan pembinaan moral siswa
tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat belajar secara formal di dalam kelas,
tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar jam belajar.
D. Pengajaran
Sastra
Pengajaran sastra di SMP
maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya
semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya
selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di
sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di sisi-sisi
ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya
seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia,
dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan
pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Dalam pembelajaran
sastra usahakan siswa diminta untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan
kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral,
yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal
serupa juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia
bekerjasama dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang
aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian diminta untuk membuat pertunjukan
drama dengan mengambil tema dari pelajaran sejarah yang sedang diberikan pada
saat itu, mungkin misalnya mengadegankan kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap
Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari tragedi. Dalam kegiatan seperti
ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus. Pembelajaran dengan pola
pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan bersifat
sementara.
Dengan pola seperti ini
siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan pembelajaran, yaitu
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang dipadukan
materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan
Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya.
Mengingat begitu banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam
satu tahun pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan
cara ini, efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh dengan kegiatan ini.
Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus
masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak
pengulangan. Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan
meningkatkan kompetensi siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan
mereka dan sekaligus membuat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi
lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi siswa.
Sastra tak bisa dan tak
perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar
adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan
sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya,
relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata,
seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan
seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk
menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Mengajarkan sastra tidak
boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya.
Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran
sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti
pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari
aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim
pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti pelajaran
sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam,
soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai
dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sebuah sajak, novel,
lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan
gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada
rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang
belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu
makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran sastra
sangatlah penting terlebih pada jenjang Pendidikan Sekolah Dasar, karena di
dalam pembelajaran sastra tersebut terdapat beberapa aspek humaniora yang dapat
mengasah kepekaan sosial, ketajaman watak, serta dengan mempelajari sastra,
seseorang dapat belajar bagaimana caranya mengharagai karya-karya orang lain,
karena pada dasarnya sastra dapat membantu seseorang lebih memahami kehidupan
dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan
B.
Saran
Pembelajaran sastra
dianggap tidaklah penting, karena pada jenjang pendidikan umumnya lebih
mengedepankan serta mementingkan pembelajaran yang ilmiah dan bertehnologi.
Padahal dengan adanya pembelajaran sastra dapat turut berperan dalam
pembentukan kepribadian, watak, dan sikap yang tentunya akan lebih baik jika
diterapkan sejak dini dalam tahapan jenjang Pendidikan Sekolah Dasar pada
umumnya. Seharusnya Sastra dapat dioptimalkan pembelajarannya sehingga dapat
diapresiasikan dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Soal-Soal
dan Pembahasan UAN (Ujian Akhir Nasional) Bahasa Indonesia SMP (Edisi Kedua).
Jakarta:Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran
Sastra. http://sastra-indonesia.com/2011/03/pengajaran-sastra/. Wibisono, B Kunto.
2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis. http://www.antaranews.com/berita/206353/pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis.
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran
Sasta Secara Integratif. http://re-searchengines.com/mohamad0708.html.
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran
Sastra Indonesia Di Sekolah. http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/20/pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah/. Pembelajaran Sastra
Indonesia di Sekolah. http://gurupembaharu.com/home/?p=9911.Demikianlah yang saya bagikan mengenai pembelajaran sastra indonesia semoga bermanfaat.