Makalah Presepsi Tentang Keadilan dan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Muhammad Fathir
Updated: • •
min read
Table of Contents
Kali ini admin postingkan makalah keadilan hukum sengketa di Indonesia silahkan simak dibawah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi
keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi
faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban
formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh
karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan
diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya
cenderung berupa keadilan yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan
yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis.
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak
menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun
masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk
pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan
karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa,
menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya
perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada
lembaga peradilan.
Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta
keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala
terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap
kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.
Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari
komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model
lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang
dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan
peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan
alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan
penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih
tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa
keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Sekarang permasalahan
yang konkrit yang akan angkat angkat dalam makalah ini adalah bagaimana
menyikapi cara Penyelesain sengketa? Dalam judul “ Presepsi Tentang Keadilan dan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa di Indonesia “.
1.1 Tujuan Makalah
Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
Memenuhi tugas kuliah dan mendapatkan nilai yang baik dari Mata kuliah Ilmu Negara.
Memberikan penjelasan mengenai pengertian Hukum dan Keadilan .
Membahas Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan.
Menjelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan.
Memberikan Penjelasan tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan.
Mengajak masyarakat / pembaca dalam melakukan perbuatan agar sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia .
1.2 Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang dan tujuan makalah di atas, maka dapat di
tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
antara lain :
Apa Pengertian Hukum dan Keadilan?
Jelaskan tentang Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan?
Jelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan?
jelaskan tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan?
1.3 Manfaat Makalah
Adapun Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
Dapat Mengetahui Pengertian Hukum dan Keadilan.
Dapat Mengetahui tentang Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan.
Dapat Mengetahui Penjelasan tentang Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan.
Dapat Mengetahui tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum dan Keadilan
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam
bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana
mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional
mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
Sedangkan Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral
mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Jadi, keadilan
itu berlaku bagi seluruh mahluk hidup maupun bagi benda-benda yang ada
di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang
terjadi secara alamiah, sehingga seluruh mahluk harus berlaku adil
kepada yang lainnya. Sebagai salah satu jalan mempertahankan
keseimbangan yang alami tersebut.
2.2 Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan
Satjipto Rahardjo3 berpendapat, untuk menyebarkan fora pendistribusi
keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang
bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus,
yaitu hendaknya ada justice in many rooms. Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM),
terutama gelombang ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di
luar pengadilan negara.5 Masalahnya karena masyarakat dapat mengalami
keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forum-forum yang
disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi
kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata
seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja, kesepakatan
bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus yang
berakar di lokasi-lokasi tersebut).
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi
keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum
modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan
sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari
luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum
modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh
kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa
Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum
modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada
masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping
itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan
keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan
memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak.
Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal tersebut,
maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk
mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka
melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang
atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum
alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan
upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu
disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun
tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam
hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan
menegakkan keadilan substansial (substantial justice).
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di Indonesia
diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan
atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan
kolonial di Hindia-Belanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai
bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum
yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa
Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah
penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya
sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum.
Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara
penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari
pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan. Akibat
berlangsungnya transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata
hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton tersebut,
maka ada konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika harus
terlibat penuh dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut berupa
keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior)14
baru dan budaya hukum untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke
kemerdekaan. Dalam kaitan itu, Satjipto Rahardjo15 menyatakan, tidak
mudah untuk mengubah perilaku hukum bangsa Indonesia yang pernah dijajah
menjadi bangsa yang merdeka, karena waktu lima puluh tahun belum cukup
untuk melakukan perubahan secara sempurna.
2.3 Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak
dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena
perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Di
samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit16 menguraikan unsur-unsur
yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang
terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah
yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”
Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan
organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu
sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban
jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan
perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari
hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga
masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem
hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan
(3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum
mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem
hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur
terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis
perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di
dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu – keputusan
yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah
kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini
pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan
nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut
sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun
negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara
adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut
dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam
kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari
warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan
menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture).
Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan,
pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi
budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain.
Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak
berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah,
khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum
dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan
lembaga pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya
tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat
pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat
dari optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini
merupakan hasil transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata
hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga
sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus
penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke
dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak tahun 1942, namun
tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab
bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah
banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi
asas asas yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial
tumbang. Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban
kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan
pemikiranpemikiran yang lateral dan menerobos.
Di lain pihak Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan: “Berguru kepada
guru-guru Belanda dalam situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional
ini pun mau tak mau telah diprakondisi oleh dotrin-doktrin yang telah
ada. Para perencana dan para pembina hukum nasional – juga sekalipun
mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum
Islam – adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam
tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk
berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak
dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang
tetap dinyatakan berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).”
Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang
tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini
adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar
sebagai pengakomodasi perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence Roscoe
Pound. Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang
melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum Barat.
Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini
nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam rangka
mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya
di negeri-negeri berkembang non-Barat30 yang memiliki aset-aset
sosio-kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh
Robert
B. Seidman sebagai the Law of the Nontransferability of law.
Melengkapi uraian di muka, Esmi Warassih Pujirahayu juga mengemukakan,
“Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan pengambil keputusan umumnya
menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional,
sementara hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat
di dalam menerima sistem tersebut.”
Oleh karena itu, dapat dipahami jika penggunaan hukum modern beserta
segenap institusi-institusi hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang
cukup krusial di dalam masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan
sebagai pranata dan penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu
menjawab tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara ini
terutama dalam tugasnya menegakkan dan mendistribusikan
keadilan kepada masyarakat.
Pengalaman sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan betapa
pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para
pengusaha. Menurut Daniel S. Lev perubahan sosial dan ekonomi yang cukup
luas juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat.
Prosedur peradilan menjerakan para pengusaha untuk menggunakan
pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya secara lengkap komentar
seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari Bandung, yang
mengatakan: “…Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan kurang
menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk
perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan
tersebut terlalu panjang untuk dibaca. …Maka terlepas dari tidak adanya
rasa senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan
yang saya wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau
hal itu mutlak perlu. Tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi
keseluruhan prosesnya pun berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak
resmi kepada panitera untuk memperoleh dokumen eksekusi bila putusan
pada akhirnya sesuatunya dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya.
Dalam semua kontrak yang saya tulis untuk perusahaan klien saya, saya
masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari urusan dengan
pengadilan.”
Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran penyelesaian
peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis tampaknya
mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan budaya.
Arbitrase dan mediasi menjadi forum alternatif yang menjadi pilihan dan
tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan
sengketa mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama
yang berasal dari negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase dan
mediasi mempunyai karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis.
Seperti dikemukakan oleh Robert Coulson:
“Business executives are losing patience with judicial solutions
that take years to achive results and that leave both parties exhausted
by delays and legal expenses. Many people like what alternative dispute
resolution can offer. They are finding that commercial arbitration and
mediation are sensible ways to resolve business dispute.”
Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan peluang
berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan mitranya
yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun arbitrase
sesungguhnya merupakan institusi penyelesaian sengketa yang menggunakan
pendekatan pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose seperti
juga pengadilan, akan tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan
pengadilan. Yang dianggap sebagai perbedaan cukup penting oleh para
pelaku bisnis antara arbitrase dengan pengadilan adalah, dalam arbitrase
mereka mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang terdiri atas
pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan memutus sengketa
mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu sama sekali tidak
mungkin diekspresikan di depan badan peradilan umum.
2.4 Pengadilan: tempat mencari keadilan atau kemenangan?
Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk
mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal
memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian
dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu
memberikan kepada yang bersangkutan – konkritnya kepada yang mohon
keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.
Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan
proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa
masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu,
kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di
negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam
menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada
saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai
perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, seorang hakim diharapkan
senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya
merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum
sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang
mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata
peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’
Undangundang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan
segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu
saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di mana
pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga
pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan
keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang
menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari
keadilan atau kemenangan?”
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap
keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu,
pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi
institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan
munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu,
pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara
substansial – seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law,” melainkan
kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika,
religi, politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi
institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang
ketat.
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi
dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka
menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau
badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan
tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak
perlu harus di pengadilan.
Oleh karenanya, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata
harus dilakukan melalui struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi
mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, sehingga
Marc Galanter42 mengungkapkan dengan sebutan “justice in many rooms.”
Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase atau mediasi untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan
beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur
litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak
terstruktur secara formal.
Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para
penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Padahal selama
beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara,43 termasuk di Indonesia
memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk mengelola
sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan
sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan.44
Akan tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu
memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor memang yang
menyebabkan pengadilan dalam perjalanan sejarahnya menjadi seperti itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai penutup, beberapa simpulan dapat dikemukakan sebagai berikut;
Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogianya hal-hal
berikut ini menjadi pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan
hukum terutama hakim sebagai ujung tombak pendistribusi keadilan
kepada masyarakat. Pertama, berani mencari jalan baru (rule breaking) dan
tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang “lama
dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa
keadilan; Kedua, dalam kapasitas masing-masing
penegak hukum (apakah sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat,
pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada
nurani tentang makna hukum lebih dalam. Apa makna peraturan,
prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum
hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi
dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses
penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang
hakim, karena abatan hakim adalah jabatan terhormat, sehingga
hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat.
Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan
bagi seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual
dan moral” dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan di
dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini
tercitrakan ada jiwa, semangat, dan nilai ‘mission sacre’ kemanusiaan. Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), toleran, sehingga dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama.
Apabila hakim tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral
sebagai sandaran vertikal sekaligus horizontal dalam pelaksanaan
tugasnya, tidak heran jika krisis telah melanda lembaga pengadilan.
Akibat dari krisis yang cukup serius yang dialami lembaga
pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak kalah seriusnya adalah
surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan pengadilan di mata
masyarakat. Bahkan pengadilan di Indonesia telah sangat diragukan
independensinya dalam memeriksa dan memutus suatu kasus. Persepsi
masyarakat pencari keadilan telah nyata bahwa pengadilan di
Indonesia “tidak lagi sebagai tempat mencari keadilan, melainkan sebagai
tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai
tempat jual beli putusan.”
3.2 Saran
Selain kesimpulan, penyusun juga ingin menyampaikan beberapa rekomendasi saran demi kesempurnaan makalah ini, antara lain :
Lebih di tingkatkan kembali ibadah kepada Allah SWT, agar kita diberi lindungan dalam melakukan sesuatu.
Menjadikan Peraturan yang berlaku di Indonesia sebagai tolak ukur
kita dalam melakukan suatu perbuatan yang berkenaan dengan hukum.
Meningkatkan keadilan terhadap masyarakat tanpa memandang statusnya.
Selalu menjunjung keadilan dalam menegakkan hukum di Indonesia,
DAFTAR PUSTAKA
HARAHAP, M. Yahya,“Citra Penegakan Hukum”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995.
Abidin,A Zainal, 2007, Hukum pidana 1 , Jakarta : Sinar grafika
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti
Moelyatno. 1978 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai makalah sengketa di indonesia semoga bermanfaat.
BAB I
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai makalah sengketa di indonesia semoga bermanfaat.