Nyanyian Dan Musik Dalam Islam
Table of Contents
NyanyianDan Musik Dalam Islam - kali ini admin postingkan artikel tentang nyanyian dan musik dalam islam silahkan simak dibawah ini.
Penulis: Ustadz Idral Harits
Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang
yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah
terhadap anggota badan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka
baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula
seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari
Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma)
Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa
nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al
Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan
kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan
musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi
seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera
yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan
zina.
Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka
dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila
dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke
dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya
bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan
tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika
kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru
dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan
tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena
takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.
Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada
orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan
menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh
penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk
memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang
sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang
mendapat taufik dari Allah ta’ala.
Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa
petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih
menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya
nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang
datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)
Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’
secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal
dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang
diperindah.”
Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang
menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi
rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta
dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful
Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.
Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik
dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar
atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang
memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif
adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi
oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas
definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik
maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair.
Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim
‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi
dua kelompok :
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai
aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban,
dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan
bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan
kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh
sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka
atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka,
wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah
selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang
diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita,
menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada
pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila
nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk
memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang
dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa
yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan
oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa
waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong
kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat
atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan
sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong
keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis
Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para
penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan
(nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan
dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati,
membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.
Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para
ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan,
memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan
Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan
Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah
sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut
mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak
membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka
sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu
Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk
menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi
mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan
“lahwal hadits” dengan “nyanyian”.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al
Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih
tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62,
bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu
disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah
dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad
1/266, 314, 328, 335)
Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar
kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :
“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi
Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam
Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani
menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al
ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an,
meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai
dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath
Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS.
Al Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara
yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’
adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada
kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al
ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula
keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana),
wallahu a’lam.
3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak
menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)
Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek
Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan
pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang
dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah
kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua
perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan
pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan
bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya
disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’
halaman 59)
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam beliau bersabda :
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina,
sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau
bersabda :
“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka
namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat
musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut
bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At
Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath
Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)
3. Dari Anas bin Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik
atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika
mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar
Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani
halaman 51-52)
4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari
dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika
gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan
dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan
ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu
Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr,
judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud,
Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim
‘alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke
dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan
itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya
penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu
Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)
7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar
suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan
pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku
jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia
letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Kulihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu
berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222
dengan sanad hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari
hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap
suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah
dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau
rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa
pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan
alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi
penyanyi maupun yang mendengarkanya.”
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini,
digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan
kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu
termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti
air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan
shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman
145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang
hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud
berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan
akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak
mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu
(mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397
sanadnya shahih)
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika
melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia
berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika
melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan
seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”
Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi)
melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia
menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu
bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak
saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan)
pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana
pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka
bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja
bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau
telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan
bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas
dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau
hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung
ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari
iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting,
tepukan tangan, dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau
melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa
jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat
tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)
Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata
: “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu
diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang
melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai
orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang
mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)
Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang)
penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya,
lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)
Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina.
(Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)
Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid
kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu
terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan
harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat
sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak
dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu
mengajak kepada perzinaan.”
Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan
mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru
anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya
adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah
dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus
Sima’, menyebutkan :
[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap
syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan
saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke
seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan
menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah
teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta
mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa
yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu
adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]
Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang
adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang
membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan,
sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah
(keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab :
“Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah
orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri,
Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan
menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di
kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan
pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh
shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik,
walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai
kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik
adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah
perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat
apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam.
Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik
itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf
ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau
berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah
fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi
manusia menegakkan kewajiban ini.”
Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i
dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah
permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang
mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang
dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath
(pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan
haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan
kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah
Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian
pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min
Ighatsati Lahfan halaman 301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya
duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul
(dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian
pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada
keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi
pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan
keduanya (nyanyian dan musik).
Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau
adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri
sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki
kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak
memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di
kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal
ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan
dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan
dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama
dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari
pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau
bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan
Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf)
dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap
keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah
terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya
tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka
menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia --dengannya-- dari Al Qur’an.”
(Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul
Aman halaman 304)
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab
bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka
perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan
mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka
menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam
Kasyful Qina’ halaman 54)
Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya
(alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, --padahal at taghbir itu
berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia,
para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau
dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu--, maka bagaimana pula ucapan beliau
apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai
buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara
yang diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya
bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini
tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah
bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis
Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)
Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari
sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain
musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan
akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan,
menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan
orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong
sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab
itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis
307)
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 :
“Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan
dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus
jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka
adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati
penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”
Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang
mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan
kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan
air.”
Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari
Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al
Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya,
karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak
belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan
kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya
yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan
keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga
melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al
ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al
Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa
nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada
seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang
(dianggap) menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat,
kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam,
dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan
cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai
menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula
menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun
mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an
menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya :
“Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang
sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia
mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan.
Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh
dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta,
menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi,
mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai,
bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang
sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan
pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”
Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik)
terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan
apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati,
bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.
Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang
dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim
rahimahullah.
Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau
perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)
Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa
jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia
orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya,
akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung
akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap
perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan
permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian.
Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta
terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.
Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan,
dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman
itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak
sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan
tumbuh di atas al ghina’.
Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan
menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung,
sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai
orang-orang munafik ini :
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka
ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.”
(QS. An Nisa’ : 142)
Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah
dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di
samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan
yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan
indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara
kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat
kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu
telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah
kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah
memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan
nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah,
nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat
terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)
Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya
hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Demikianlah artikel tentang nyanyian dan musik dalam islam semoga bermanfaat.