ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTURAL CERPEN
Table of Contents
ANALISIS
PERBANDINGAN STRUKTURAL CERPEN “SELAMAT JALAN NEK” KARYA DANARTO DAN CERPEN
“POHON” KARYA MONAJ DAS
Anwar Efendi
Universitas Negeri Yogyakarta
METODE PENELITIAN
Dalam
penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Pohon” karya Monaj
Das (India) dengan cerpen yang berjudul “Selamat Jalan, Nek” karya Danarto
(Indonesia). Cerpen karya Monaj Das termuat dalam kumpulan cerita pendek India
yang berjudul Sentuhlah Aku terjemahan Sori Siregar, sedangkan cerpen karya
Danart termuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Berhala diterbitkan oleh
Pustaka Firdaus (1987).
Secara
umum alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan kondisi yang dialami
oleh negara Indonesia dan India. Menurut anggapan atau pendapat umum sering
dikatakan bahwa bangsa Indonesia dan India merupakan negara yang termasuk dalam
sebutan Dunia Ketiga, sebagai negara yang sampai saat ini dan entah sampai
kapan, disebut sebagai negara yang sedang berkembang. Karena kondisi yang
relatif sama itulah, tidak menutup kemungkinan berbagai situasi yang ada,
tantangan yang dihadapi, perubahan yang terjadi juga menunjukkan kemiripan.
Tidak mustahil kondisi semcam itu juga akan berpengaruh terhadap perkembangan
dunia sastra, yang dianggap sebagai cerminan sebuah masyarakat. Berdasarkan
kenyataan inilah, maka kajian ini mengambil perbandingan dari dua negara yang
dalam kondisi relatif sama, sehingga diharapkan dapat melihat lebih jauh
hal-hal yang berkaitan dengan keadaan masing-masing, khususnya dalam
perkembangan sastranya. Di samping alasan yang bersifat umum, pada pengkajian
ini juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat khusus. Pemilihan
kedua karya sastra tersebut juga berdasarkan keuniversalan sastra. Artinya,
semua karya sastra mempunyai ciri-ciri umum dan juga mempunyai ciri-ciri khusus
yang hanya dimiliki oleh karya sastra tersebut.
Berdasarkan
tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif. Maksudnya,
pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen)
secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain
pengaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara
kedua karya tersebut. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari identifikasi
tersebut, titik mirip yang ditemukan itu dikaji dengan cara diperbandingkan
antara cerpen “Selamat Jalan, Nek..” (Indonesia) dengan cerpen “Pohon” (India).
Selanjutnya pengkai menentukan gejala-gejala kemiripan yang tejadi dengan cara
penafsiran tersendiri berdasarkan data-data yang mendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Cerpen yang Diperbandingkan
Melalui
cerpen “Selamat Jalan, Nek..”,
Danarto mencoba mengungkap permasalahan yang sementara ini menjadi bagian dari
dinamisasi kehidupan masyarakat, yaitu kecenderungan pertentangan antara alam
pikiran (rasionalisme) dengan dunia mistik (irasional) dan antara alam nyata
dengan keberadaan alam adikodrati. Bahwa pada satu sisi kehidupan manusia
selamanya akan ditemukan sikap rasional dan sikap irasional. Munculnya sikap
dan sifat yang menurut logika dan rasional, menyimpang dari akal semata-mata,
disebabkan oleh adanya kesadaran yang penuh dan keberterimaan yang mutlak pada
diri manusia terhadap dzat yang senantiasa menyelimuti dunia semesta ini.
kesadaran karena adanya suatu kekuatan yang mahabesar yang berada di luar diri
manusia.
KUBURAN ITU MENGANGA!
....... Kuburan Eyang putri yang kami jaga empat
puluh hari empat puluh malam, dibongkar maling, dan kain kafan, ya .... kain
kafan itu ....
“eyang bakal mati pada malam Selasa Kliwon dini
hari, tujuh hari mendatang. Lalu kuburkan cepat-cepat di siang hari. Soalnya
sore hari bakal hujan lebat. Sebagian Jakarta bakal menemukan ......
Hal
itu semakin jelas menunjukkan bahwa pada satu sisi dari kehidupan manusia
sering terjadi peristiwa yang tidak daat dipecahkan dengan sandaran kekuatan
logika dan pikiran semata-mata. Paa kondisi tertentu, manusia dipertemukan
dengan permasalahan naluriah, di luar kekuasaan manusia. Permasalahan ini yang
memberikan tanda-tanda akan adanya “sesuatu” yang melingkupi kehidupan manusia.
Permasalahan itu dihadirkan oleh Danarto sebagai potret, cermin dan refleksi
perilaku manusia dalam masyarakat di dalam mendinamisasikan budayanya.
Lebih
lanjut dipertegas oleh Danarto permasalahan rasionalitas dengan irasional itu
dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri pada dua kutub yang berlawanan.
Antara sikap rasionalitas generasi muda melalui penampilan peralatan canggih
yang berupa komputer dengan sikap irasionalitas yang dikaitkan dengan
kepercayaan, keyakinan akan suatu pertanda tertentu yang membelenggu pemikiran
mistik. Hal itu ditandai dengan kehadiran tokoh Windfield yang ahli komputer
dan pertanda kematian yang dikaitkan dengan waktu-waktu khusus. Pada akhirnya
sikap rasionalitas yang diwakili komputer ternyata tidak berdaya menghadapi
kekuatan di luar indrawi dengan gambaran kuburan Nenek yang dijagai komputer
ternyata menganga dan terbuka.
Seperti
pada cerpen Danarto, Monaj Das dalam cerpen yang diberi judul “Pohon”, juga
ingin mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan pertentangan antara
pemikiran modern dengan pemikiran tradisional. Pada pemikiran tradisional
cenderung melihat gejala yang terjadi di alam ini, dikaitkan dengan pertanda
adanya kekuatan besar di luar diri manusia. Pada pemikiran modern lebih
cenderung mempertimbangkan setiap gejala berdasarkan hasil pemikiran akal dan
logika semata.
“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang
berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya
gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....
Dedaunan tak henti-hentinya gemeretak ....
cabang-cabang pohon dengan dedaunan yang rimbun, merupakan simbol perlindungan
kepada mereka sejak dulu yang tidak hanya memberikan .....
Orang-orang
yang masih percaya pada pertanda-pertanda yang disajikan alam, selalu
menghubungkan pertanda itu dengan sesuatu yang akan menimpa dirinya. Berbeda
dengan orang yang sudah berpikiran
modern, bahwa sesuatu hal harus dapat dipecahkan dengan nalar dan
kekuatan akal pikiran.
Sebagaimana
yang dilakukan Danarto, dalam cerpen Monaj Das juga menghadirkan pertentangan
antara tokoh yang mewakili sikap rasional dengan tokoh yang mewakili sikap
irasional. Tokoh pemuda dan mahasiswa merupakan tokh yang sudah mempunyai
tradisi pemikiran modern dengan berdasarkan logika. Para penduduk yang
kebanyakan kaum tua, merupakan simbol dari alam pemikiran tradisional, yang
melihat gejala alam yang terjadi tidak hanya berdasarkan kekuatan logika.
Peristiwa yang terjadi selalu dikaitkan dengan sesuatu fenomena metafisik.
Identifikasi Titik Mirip
Sesuai
dengan tujuan kajian, maka kegiatan perbandingan antara dua cerpen tersebut dengan menggunakan analisis
perbandingan struktural. Dalam hal ini kajian perbandingan dibatasi pada tiga
masalah, yaitu (a) alur, (b) penokohan, dan (c) tema. Kedua karya tersebut
diidentifikasi titik miripnya kemudian ditentukan dasarnya mengapa terjadi
kemiripan antara karya diperbandingkan.
Plot atau alur merupakan
bangun karangan prosa maupun drama yang penting. Peristiwa yang muncul pada
plot adalah peristiwa yang disebabkan oleh lakuan tokoh-tokohnya. Plot merupakan
pola keterhubungan antarperistiwa didasarkan pada efek kausalitas.
Cerpen
“Selamat Jalan, Nek” (SJN) dan “Pohon” (Phn) alurnya disusun secara
konvensional, peristiwa disusun sedemikian rupa sehingga mencapai klimaks pada
akhir cerita. Urutan peristiwa dibentuk secara espisodik, yaitu disusun
berurutan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Dalam kajian perbandingan
ini, bandingan alur kedua karya sastra tersebut tidak dilihat dari segi
pengalurannya, tetapi justru dari peristiwa-peristiwa yang membangun alur/plot.
Cerpen
SJN diawali dengan penggambaran keadaan yang dikaitkan dengan pertanda alam.
Keadaan alam yang dirasakan sebagai suatu pertanda akan terjadinya perubahan
peristiwa lain di balik pertanda tersebut. Karena kesadaran penuh terhadap adanya
suatu kekuatan di luar diri manusia, maka pertanda itulah yang disadari sebagai
titik awal kejadian alam berikutnya dan akan terjadi menurut kepercayaan dan
keyakinan masyarakat. Penggambaran pada awal cerita ini, mungkin dimaksudkan
oleh pengaran untuk membawa pembaca pada permasalahan intin yang akan
ditampilkan dalam cerita tersebut. Pembaca diajak untuk menangkap gejala alam
dengan kosekuensi dua sikap yakni rasional dan irasional.
KUBURAN itu menganga!
Dalam keadaan masik terkantuk-kantuk, saya dan
empat saudara saya dan seorang bule California, melongok menatap kuburan yang
menganga .....
Penyajian
peristiwa ini merupakan titik awal untuk memulai alur cerita dalam cerpen SJN.
Peristiwa dan kejadian alam sebagai titik awal dalam membangun cerita yang
kemudian dirangkaikan denga peristiwa-peristiwa selanjutnya.
Seperti halnya pada cerpen SJN, dalam cerpen Phn
penyajian peristiwa sebagai titik awal susunan alur juga diawali dengan
menghadirkan suatu peristiwa alam. Suatu gejala alam, yang digambarkan dalam
cerita ini mampu mengajak pembaca pada suatu kondisi pemikiran yang secara
dikotomis mempertemukan antara sikap rasional dan sikap dan perilaku irasional.
Dalam arti bahwa pada suatu kondisi tertentu, dalam menangkap gejala alam yang
sedang terjadi manusia dihadapkan pada dua pilihan penentuan sikap. Pada sisi
tertentu didasarkan pada kekuatan logika semata dan pada sisi lain harus
menggunakan kesadaran akan keterbatasan dan pengakuan terhadap adanya kekuatan
di luar diri manusia. Hal itu yang memaksa manusia untuk tidak hanya berpikir
mikrokosmos tapi juga berpikir makrokosmos.
“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang
berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya
gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....
Peristiwa
alam seperti gambaran pada awal cerita ini oleh Monaj Das dijadikan sebagai
titik awal penyusunan peristiwa-peristiwa berikutnya untuk membangun struktur
alur. Mempercayai bahwa setiap gejala alam yang terjadi tidak selalu dapat
diatasi dengan usaha dan pemikiran di bawah alam rasional, tetapi perlu juda
adanya sikap yang mistik sebagai bentuk sikap irasional.
Dengan
melihat peristiwa yang dihadirkan pada awal cerita dari SJN dan Phn, dapat
ditemukan titik mirip yaitu sama-sama menghadirkan peristiwa alam untuk
membangun alur cerita. Baik Danarto maupun Monaj Das menyadari suatu fenomena
alam dengan penyikapan pada dua sisi. Kemiripan yang terjadi pada dua karya
tersebut, mungkin disebabkan oleh kesamaan keinginan untuk merefleksikan
keadaan masyarakat masing-masing yang relatif “sama”.
Selanjutnya,
peristiwa yang dijadikan sebagai pembangun alur pada klimaks cerita SJN,
menghadirkan peristiwa pertentangan antara sikap rasional dan sikap mistik
(irasonal). Danarto menggambarkan pertentangan antara kaum muda sebagai simbol
rasio dan kaum tua sebagai simbol kekolotan.
“lama-lama, dipikir-pikir, penggunaan komputer
Anda kurang tepat”, tiba-tiba seorang Oom menegur saya. Kita sedang menghadapi
orang yang akan meninggal dunia, dan mengandalkan sebuah mesin....
Saya dan Winfield sungguh dalam suasana serius”, jawab saya
“okey, tapi komputermu itu malah mengganggu.
Kalian tidak memikirkan Eyang, tapi malah justru sibuk dengan perkakas itu
......
Pertentangan
antara kaum muda dan tokoh tua ini semakin memberikan gambaran kepada kita
bahwa sebenarnya sesuatu hal yang menjadi fenomena alam, tidak selamanya dapat
disikapi dengan kekuatan logika dan nalar semata. Pada kondisi tertentu,
kekuatan itu akan dihadapkan pada
permasalahan metafisis, sehingga pemecahannya tidak dengan pikr tetapi dengan
dzikir sebagai wujud hubunan transendental.
Dalam
cerita Phn, Monaj Das pada klimaks cerita juga menghadirkan peristiwa
pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda sebagai simbol modernitas
menyikapi gejala alam yang terjadi dengan berdasarkan logika. Di pihak lain,
kaum tua menyikapi gejala tersebut dengan mengubungkan pada pertanda alam yang
akan terjadi setelah munculnya peristiwa tersebut. Dasar sikap dan perilaku
kaum tua adalah kesadaran metafisis dalam kerangka kehidupan semesta.
“Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh
bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak
terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak
muda..... Di dusun inilah, hanya mereka bertigalah yang belajar di perguruan
tinggi
“Apa? Pohon itu rubuh! Berani benar kau mengatakan itu....? Seberapa
jauh pengetahuanmu tentang pohon ini?
Mereka telah membuat tulang di lidahnya,”
komentar Ravinda. “Kalian belajar di perguruan tinggi bukan! Nah mari
selamatkan pohon ini dengan bahasa Inggrismu, aljabarmu, dan semua abracadabra,
“ tentang mereka ..... (hal 93)
Pertentangan
terjadi antara pemikiran modern yang diwakili oleh kaum muda (mahasiswa) dengan
pemikiran tradisional yang diwakili kaum tua. Bukti bahwa kita memang harus
tetap menengok kembali pemikiran dan sikap yang adikodrati (metafisis)
digambarkan oleh Monaj Das dalam cerpen Phn melalui tokoh mahasiswa sebagai
simbol modernitas, yang ternyata harus gagal untuk menghadapi perilaku
masyarakat yang masih tradisional dan cenderung irasional.
Bila
diperhatikan peristiwa-peristiwa yang dijadikan bahan untuk membangun alur
cerita dalam cerita tersebut, memiliki kemiripan-kemiripan. Pada awal cerita
menghadirkan peristiwa alam, dalam klimaks menghadirkan peristiwa pertentangan
sikap antara kaum tua dan kaum muda, dan pada akhir cerita peristiwa
ketidakberdayaan rasionalitas.
Elemen
selanjutnya yang diidentifikasi adalah tokoh-tokoh dalam kedua cerpen tersebut.
Tokoh ialah individu yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita. Tokoh-tokoh memiliki sifat tertentu dengan peran yang
dilekatkan padanya oleh pengarang. Cara menampilkan tokoh-tokoh dalam karya
sastra disebut penokohan.
Dalam
kedua karya yang dibandingkan tersebut, pengarang sama-sama menghadirkan
tokoh-tokoh yang berdiri di antara dua kutub. Tokoh kaum muda dihadapkan dengan
tokoh kaum tua. Kaum muda sebagai simbol pemikiran rasional dan modern
sedangkan kaum tua sebagai simbol pemikiran emosional dan tradisional.
Cerpen
SJN menghadirkan kuam muda yaitu tokoh “Aku” dan Wienfield dengan keyakinannya
pada peralatan canggih berupa komputer. Kaum tua yaitu tokoh “Oom-Oom” dengan
pemikiran dan anggapan yang tidak hanya berdasarkan nalar semata, ketika
menghadapi gejala alam berupa kematian Nenek.
“Komputer ini tekah mendudukkan Eyang sebagai
kelinci percobaan,” cetus seorang Om
“penyelidikan yang bukan main! Gebrak Om Dirjen.
“Jauh amat langkah seorang sarjana yang mengatasnamakan ilmunya, rupanya! Anda
ingat. Kita semua di sini berhadapan dengan suatu adat istiadat, suatu naluri,
suatu moral, suatu tata krama ..... (hal 55)
Bahwa
permasalahan yang dihadapi kedua tokoh tersebut disikapi dari dua sisi. Sikap
rasionalitas melalui perilaku logika dan sikap emosional yang direfleksikan
dengan berhadapan pada suatu tatanan moral, tatanan adat istiadat, serta
norma-norma lainnya yang tidak dapat ditangkap hanya dengan menggunakan
kekuatan logika semata.
Cerpen
Pohon juga menghadirkan tokoh-tokoh yang berada pada dua kondisi yang
dikotomis. Kaum muda sebagai simbol modernitas diwakili oleh sekelompok
mahasiswa dengan segala bekal ilmu pengetahuannya, sedangkan kaum tua diwakili
oleh sebagian penduduk desa dengan ketaatannya pada tatanan norma-norma
kepercayaan yang telah mengakar dalam setiap gerak kehidupannya selama ini.
““Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh
bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak
terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak
muda kepada temannya .... (hal 93)
“... Baik silakan kerjakan itu demi kasihan
kalian kepada kami, demi kasihan kalian kepada empat belas generasi dari nenek
moyang kami! Mau bukan! “Yang kumaksud bagaimana menyelamatkan pohon ini agar
tidak jadi rubuh?
“... Berjanjilah dengan diucapkan dalam hati
saja – biarkan hanya roh pohon itu yang mendengarkan – bahwa kalau pohon itu
selamat kalian akan memotong rambut .... (hal 95)
Sikap rasional kaum muda dalam melihat gejala tentang robohnya pohon itu berdasarkan pemikiran ilmu pengetahuan dan logika. Dari dasar ini muncul suatu perkiraan bahwa memang sudah waktunya ‘pohon’ itu rubuh karena tanahnya terkena erosi. Sikap emosional kaum tua melihat gejala ini dikaitkan dengan pertanda zaman yang sudah diyakini akan mendatangkan gejala dan akibat baru yang segera dialami sebagai akibat peristiwa tersebut.
Dari
identifikasi tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam kedua cerpen tersebut, ditemukan
titik kemiripan. Pada cerpen SJN dihadirkan tokoh aku dan Wienfield dengan
peralatan canggihnya berupa komputer, sedangkan dalam cerpen Phn dihadirkan
tokoh mahasiswa sebagai simbol moderniitas dan rasionalitas. Selanjutnya, dalam
SJN untuk mewakili tokoh yang berpikiran
tradisional dihadirkan tokoh Om dengan pemikiran dan tanggapan yang didasarkan
pada tatanan norma adat, agama, serta tatanan naluri. Dalam Phn, tokoh tua
(kaum tua) yaitu sebagian warga desa, dengan pemikiran yang didasarkan pada
keyakinan dan ajaran yang selama ini telah dijadika pedoman dalam hidup bermasyarakat.
Perbandingan Tema berdasarkan Titik Mirip
Setelah
diidentifikasi aspek-aspek yang mendukung kesimpulan tema dari kedua cerpen
tersebut, selanjutnya akan diperbandingkan hadiln identifikasi untuk
menunjukkan adanya kemiripan.
Pada
cerpen SJN karya Danarto diawali dengan peristiwa yang menggambarkan peristiwa
yang menjadi kepercayaan orang Jawa, tentang pencurian kain kafan. Ini merukan
pemikiran irasional orang Jawa tentang adanya hari baik dan hari buruk dalam kehidupan.
Dalam cerpen Phn karya Monaj Das juga diawali dengan sebuah gambaran peristiwa
irasional, mengenai sikap dan kepercayaan masyarakat India terhadap gejala
alam. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu peristiwa yang dianggap akan
membawa akibat bagi perjalanan kehidupan selanjutnya. Bulan yang dilingkari
cahaya ghaib mengisyaratkan bahwa
sebentar lagi akan terjadi peristiwa yang mengerikan.
Dari
peristiwa yang digambarkan pada awal cerpen tersebut merupakan salah satu bukti
adanya kemiripan kedua cerpen dari latar
sosial yang berjauhan, yakni Indonesia dan India. Baik Danarto maupun Monaj Das
mengawali cerita secara langsung pada pokok masalah tentang adanya pertentangan
antara modern dan tradisional, rasional dan irasional. Perkembangan zaman yang
membawa perkembangan daya pikir manusia sehingga menghasilkan produk-produk
ilmu pengetahuan yang canggig digunakan untuk menjawab segala permasalahan
kehidupan.
Dalam
hal ini, Danarot mencoba mempertentangkan antara keyakinan yang ada pada orang
Jawa tentang hari baik yang dipercaya dan diyakini mendatangkan pengaruh
khusus, dengan kecanggihan ilmu pengetahuan seperti komputer. Perkembangan ilmu
pengetahuan, yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan kehidupan
manusia ternyata pada satu sisi tertentu tak mampu menghadapi fenomena yang
berkaitan dengan keberadaan manusia secara naluri. Akibat adanya pemujaan yang
berlebih-lebihan terjadap akal pikiran, manusia cenderung mengabaikan apa yang
menjadi keyakinan, kesadaran akan keterbatasan, dan selalu mengatasnamakan ilmu
untuk mempertimbangkan tuntutan hidup. Segala sikap yang mengarah pada pemuasan
keduniawian, yang mengarah pada pemujaan akal dan rasio belaka. Secara ringkas
cerpen karya Danarto ini menggambarkan kecenderungan sikap kita (yang disebut
sebagai orang modern), yang percaya penuh pada kebenaran ilmu pengetahuan
(rasio). Sebaliknya, tidak lagi memperhatikan permasalahan yang justru paling
hakiki dari perjalaan hidup manusia, yakni adanya kesadaran mengenai arah
setelah akhir perjalanan hidup di dunia. Dalam mencoba menampilkan pertentangan
kedua masalah, dalam cerpen ini Danarto
menghadirkan dua simbol secara dikotomis. Kepercayaan adanya hari baik
yang mengarah kepada kesadaran insani, sebagai wakil dari sudut pemikiran
irasional, sedangkan kehadiran komputer sebagai wakil dari pemujaan teknologi
dan ilmu pengetahuan.
Dalam
menghadirkan permasalahan yang berkaitan dengan penyikapan terhadap
perkembangan pemikiran manusia, Monaj Das menampilkan keyakinan yang ada pada
masyarakat tradisional India, dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh
generasi muda. Keyakinan masyarakat kepada pohon yang merupakan wujud dzat yang
satu, sebagaimana kepercayaan orang India yang menganggap bahwa segala sesuatu
yang ada di semesta ini sebagai lambang dari Sang Hyang Baka. Oleh karena itu, ketika ‘pohon’ yang menjadi
tempat melaksanakan bentuk-bentuk peribadatan ituakan rubuhm secara
sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mempertahankannya. Sikap yang demikian inilah
yang menimbulkan pertentangan dengan sikap kaum muda. Kaum muda beranggapan
bahwa sebab-sebab kerubuhan pohon itu dapat diatasi secara nalar. Kaum muda
tidak memperhatikan lebih jauh akibat rubuhnya pohon itu, tetapi melihat
sebatas pemikiran berdasarkan akal bahwa jika pohon itu rubuh akan berakibat
tanah longsor karena erosi. Kaum muda sebagai orang yang telah mengalami zaman
baru dengan mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan mencoba menghadapi gejala
yang terjadi berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Secara ringkas cerpen
Monaj Das juga ingin menggambarkan sikap dan sifat serta perilaku orang modern
yang enggan melihat kembali apa yang terjadi pada masa lalu.
Secara
keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang masing-masing
mewakili dua kutub, yakni kaum muda dan tua. Dalam SJN kita berhadapan dengan
konflik oleh tokah saya dan Om. Di
belakang tokoh saya ada tokoh Wienfield sebagai ahli komputer, sedangkan tokoh
Om di belakangnya terdapat kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu
dalam Phn kita berhadapan dengan konflik tokoh Nirakas Das dengan tokoh
mahasiswa. Di balik tokoh Nirakas terdapatr pandangan orang tua yang tetap
memegang teguh sikap dan kesadaran akan hubungan antara manusia, alam, dan
Tuhan, sedangkan di balik mahasiswa terdapat tokh DPR yang memberikan gambaran
penguasa baru dalam perkembangan kemasyarakatan.
Perbandinga
selanjutnya diarahkan pada sikap pengarang terjadap konflik yang terjadi.
Ternyata sikap pengarang dalam kedua cerpen tersebut menunjukkan kemiripan.
Danarto bersikap bahwa kira memang perlu tetap memperhatikan gejala kehidupan
tidak sebatas pada pemujaan alam rasionalitas semata. Hal ini ditunjukkan oleh
Danarto melalui penggambaran ketika komputer sebagai lambang kecanggihan ilmu
pengetahuan tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi gejala aneh tentang
peristiwa kematian. Dalam cerpennya, Monaj Das juga menunjukkan sikap yang sama
melalui penggambaran peristiwa yang dialami oleh mahasiswa yang tidak dapat
berbuat banyak saat menghadapi tuntutan masyarakat untuk mencegah rubuhnya
pohon tempat pemujaan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua cerpen tersebut menunjukkan
adanya kemiripan-kemiripan. Kemiripan tersebut antara lain adalah, (1)
rangkaian peristiwa yang membangun alur, (2) konflik antartokoh, (3) tema
cerita, dan (4) kecenderungan sikap pengarang dalam mengatasi konflik.
Penafsiran Perbandingan
Sebagai
tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Yang
dimaksud dengan penafsiran adalah penyikapan peneliti terhadap adanya kemiripan-kemiripan
di antara kedua objek kajian. Tuasg dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan,
mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap
hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa
terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan
dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk menentukan
kedudukan dari kedua karya tersebut.
a.
bahwa antara Danarto sebagai
pengarang cerpen SJN dengan Monaj Das sebagai pengarang Phn tidak terjado
kontak secara langsung, sehingga kecil kemungkinan bila keduanya saling
mempengaruhi dalam penciptaan karyanya
b.
bahwa kondisi sosial
kemasyarakatan yang menyangkut ekonomi, politik, budaya serta berbagai masalah
pemerintahan menunjukkan perkembangan dalam taraf yang relatif sama, yakni
sebagai kelompok negara yang sedang berkembang.
Dari uraian di atas, pada
kajian perbandingan cerpen karya Danarto dan Monaj Das kali ini,
kemiripan-kemiripan yang terjadi karena adanya faktor analogi. Hal itu dengan
penjelasan karena kondisi sosial kemasyarakatan yang menunjukkan adanya
kesamaan taraf perkembangan. Di samping itu adanya kesejajaran dalam beberapa
aspek kehidupan, seperti kesejajaran seting sosial, dunia tradisi kesastraan,
dan perkembangan psikologis antara Indonesia dan India. Seting sosial yang sama
memungkinkan menghasilkan karya yang memiliki kemiripan. Secara psikologis,
perkembangan pola pikir dan perilaku yang relatif sama juga memungkinkan
menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Hal itulah yang
mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan
pada aspek-aspek tertentu.
SIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, rangkaian peristiwa yang
membangun alur dari masing-masing karya memiliki kemiripan. Kedua, cara pengarang menghadirkan
tokoh-tokoh dalam kedua karya tersebut memiliki kemiripan, khususnya pada aspek
fisiologis dan sosiologis tokoh. Ketiga,
tema yang membangun cerita kedua cerpen memiliki kemiripan, yakni pertentangan
antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang
diwakili kaum tua. Keempat, berdasarkan
fakta dan data yang ada dapat disimpulkan bahwa kemiripan yang terjadi lebih
disebabkan oleh faktor analogi.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai analisis perbandingan cerpen semoga bermanfaat.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai analisis perbandingan cerpen semoga bermanfaat.