KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Table of Contents
Dewasa
ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori
konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan
secara mendasar terhadap sistem dan praktek pendidikan mereka, bahkan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori
ini. Paul Suparno dalam ”filsafat konstruktivisme dalam pendidikan”
mencoba mengunai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktek
pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa
bermanfaat bagi para pendidik dan orang lain.
Sebelum
kita melangkah kepada pembahasan “filsafat kontruktivisme dalam
pendidikan” terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu
konstruktivisme?. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi(bentukan) kita
sendiri.
Menurut
Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan
(realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif
kenyatan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
penetahuan (Betten court, 1989). Maka pewngetahuan bukanlah tentang
dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang
dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses
pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget, 1971).
Para
konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang
tersedia bagi seseorang untuk mengetahui seseorang adalah indranya.
Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat,
mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi
itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati
air, bermain dengan air, mencicipi air, dan menimbang air, seseorang
membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya
bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992).
Tampak
bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia
dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat
membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai
pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman
kognitif dan mental.
Berlandaskan
teori piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan
bahwa bagian terpenting dari pemahamn seseorang adalah perkembangan
konsep secara evolutif, dengan terus seseorang berni mengubah
ide-idenya. Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal
dengan teori perubahan konsep, tahap pertama dalam perubahan konsep di
sebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya
untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa
dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan
lamanya., maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah
yang disebut tahapan akomodasi.
Piaget
(1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini:
(1) aspek figuratif dan(2) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif
adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi,
imaginasi dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau
fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi
dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau
sistem tarnsformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai
akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi
transformasi lain. Dengan kat lain, aspek yang lebih esential dari
berfikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang
memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu
level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa
kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa kita perlu mengetahui
sesuatu? Menurut Shapiro (1994),tujuan mengetahui sesuatu bukanlah
untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk
mengorganisasikan ”pengetahuan” yang cocok dengan tantangan dan
pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dirangkum sebagai berikut :
1)
Pengetahuan bukanlah merupakn gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi
selalu merupakn konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif,kategori,konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3)
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsiu membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Adapun
realitas dan kebenarannya, pengetahuan kita bukanlah realitas dalam
arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat
mengertirealitas sesungguhnya secara antologis.yang kita mengerti adalah
struktur konstruksi kita akan suatu objek. Menurut bettern court
(1989), memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi
lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boileh
juga dikatakan bahwa ”realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada
secaara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas ”di
sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh
orang yang menangkapnya (Shapiro, 1994). Menurut shapiro, ada banyak
bentuk kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan
interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran
ini, bila kita bertanya, ”apa yang kita ketahui itu memang sungguh
kenyataan yang ada?”, konstruktivis akan menjawab, ”kami tidak tahu, itu
bukan urusan kami.”
Lalu,
bagaimana halnya degan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa
pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu
pengetahuan mengatakan bahwa pengetahuan itu dianggap benar bila
pengetahuan itu sesuai dengan kenyataanya. Misalnya, pengetahuan
seseorang bahwa ”angsa itu putih” adalah benar bila dalam kenyataanya
memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain,orang
membuktikan pengetahuaanya dengan membandingkannya dengan realitas
ontologisnya.
Adapun
hal yang membatasi konstruksi pegetahuan yaitu ada tiga hal
(1)
konstruksi kita yang lama,
(2) domain pengalaman kita, dan
(3) jaringan
struktur kognitif kita.
Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita
yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang
mendatang. Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang
lampau, cara kita mengabstraksikan dan mengorganisasikan konsep-konsep,
aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu , sewmuanya punya
pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya,
pengetahuan kita akan hukum newton akan selalu membatasi kita dalam
menganalisis suatu gerak.
Pengalaman
kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan
pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme, pengalama akan fenomena
yang baru akam menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan
pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan
kita pula.
Struktur
kognitif merupakan sesuatu sistem yang saling berkaitan. Konsep,
gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur
kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh
Toulmin (1972) di sebut ekologi konseptual. Setiap
pengetahuan yang baru harus juga cocok degan ekologi konseptual
tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologin
sistem tersebut, kecenderungan ini dapat menghambat pengembangan
pengetahuan.
Adapun
faktor yang memungkinkan perubahn pengetahuan yaitu, banyaknya situasi
yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam
pengetahuannya. Perubahan ini, mengembangkan pengetahuan seseorang.
Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang
memnbantu perubahn,m yaitu
(1) konteks tindakan,
(2) konteks membuat
masuk akal,
(3) konteks penjelasan, dan
(4) konteks pebenaran
(justifikasi)
Bila
seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara
berencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan
yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara
efisien dan membentuk pengetahuan dan konsep yang baru. Juga bila
seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang
tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu
dengan menggunakn gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia
punya. Bila konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah
konsepnya. Dalam demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru.
Konstruktivisme
beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia
mengkonstruksiu pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan
objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan
dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi konstruktivisme,
pengetahuan tideak dapat ditransfer degitu saja dari seseorang kepasa
yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
orang. Tiap orangf harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan
bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang
terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat
berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa
faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan
struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan
orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang membuat
orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut
orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan
pengetahuan seseorang.
Demikianlah artikel tentang konstruktivisme dalam pendidikan semoga bermanfaat.
Demikianlah artikel tentang konstruktivisme dalam pendidikan semoga bermanfaat.