Makalah Hadits Palsu / Maudhu
Table of Contents
Pengertian Hadits Palsu
Hadis Palsu (Hadis Maudhu’) secara
etimologi merupakan bentuk isim maf’ul dari kata يضع - وضع.Kata وضع memiliki
beberapa makna, diantaranya menggugurkan, meninggalkan, dan
mengada-ada/membuat-buat.
Defenisi Hadis Palsu (Hadis Maudhu’) secara
terminologi adalah Hadis yang diciptakan dan dinisbatkan kepada Rasulullah
SAW, yang sifatnya dibuat-buat atau mengada-adakan sementara Rasulullah SAW
tidak pernah melakukan, mengatakan maupun menetapkannya.
Pengertian hadis maudhu’ secara kebahasaan dan keistilahan
mempunyai hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian
keadaannya.
1.
Al-hiththah berarti bahwa hadis maudhu’
adalah hadis yang terbuang dan terlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki
dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan hujjah.
2.
Al-isqath berarti bahwa hadis maudhu
adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat sebagai dasar istidal.
3.
Al-islaq berarti bahwa hadis maudhu’
adalah hadis yang ditempelkan (diklaimkan) kepada Nabi Muhammad agar dianggap
berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
4.
Al-ikhtilaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis
yang dibuat-buat sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari
Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
Jadi hadis maudhu’ itu adalah bukan
hadis yang bersumber dari Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan
seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan
kepada Rasul. Untuk hadis palsu, ulama biasanya menyebutnya dengan istilah
hadis maudhu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang semacamnya. Tidak boleh
meriwayatkan sesuatu hadis yang kenyataannya palsu bagi mereka yang sudah mengetahui
akan kepalsuan hadis itu. Kecuali apabila sesudah ia meriwayatkan hadis itu
kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadis itu adalah palsu, guna
menyelamatkan mereka yang mendengar atau menerima hadis itu dari padanya.Tujuan
pembuatan hadis palsu adalah untuk kepentigan dakwah dan zuhud.
2.2 Sejarah Munculnya Hadist Palsu
Masuknya secara massal penganut agama lain ke dalam Islam,
yang merupakan akibat dari keberhasilan dakwah islamiyah ke seluruh pelosok
dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadist-hadist palsu.
Masuknya mereka ke Islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik
dengan ajaran Islam yang dibawa oleh
para da’i, ada juga segolongan mereka yang menganut agama Islam hanya karena terpaksa
tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan tersebut dikenal dengan
kaum munafik.
Golongan munafik tersebut senantiasa menyimpan dendam dan
dengki terhadap Islam dan penganutnya. Hingga datang saat masa pemerintahan
Sayyidina Utsman bin Affan (w.35 H). Golongan munafik tersebut memulai
melancarkan aksi dengan menabur benih-benih fitnah yang pertama. Salah seorang
tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan
adalah Abdullah bin Saba’, beliau
adalah seorang penganut Yahudi yang menyatakan telah memeluk Islam.
Dengan bertopeng pembelaan kepada Sayyidina Ali dan ahli
Bait, ia menjelajah ke segenap pelosok untuk menabur fitnah kepada orang
banyak. Ia menyatakan bahwa Ali (w.40 H) lebih berhak menjadi khalifah daripada
Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar (w.13 H) dan Umar (w.23 H). Hal
itu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi
Shallallahu Alaihi Wassallam. Ia membuat satu hadist maudhu’ (palsu) yang artinya, “Setiap
Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali”.
Namun, penyebaran hadist maudhu’
pada masa tersebut belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang
masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadist.
Sebagai contoh, Sayyidina Utsman ketika beliau mengetahui hadist maudhu’ yang dibuat oleh Ibnu Saba’ beliau
mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah. Begitu juga, yang
dilakukan oleh Sayyidina Ali setelah beliau menjadi khalifah.
Para sahabat ini mengetahui bahaya dari hadist maudhu’ karena ada ancaman yang keras
yang dikeluarkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam., terhadap orang yang
memalsukan hadist, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam., “Barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, dia telah menempah tempatnya dalam neraka.”
Walaupun begitu, golongan ini terus mencari-cari peluang
yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan Utsman. Kemudian muncul
golongan-golongan, seperti golongan yang ingin membela Utsman, golongan yang
ingin mendukung Ali dan golongan-golongan yang tidak memihak kepada keduanya. Kemudian
untuk mempengaruhi orang banyak supaya memihak kepada golongan masing-masing,
orang-orang munafik dari golongan tersebut membuat hadist-hadist palsu yang
menunjukkan kelebihan dan keunggulannya.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim (w.261 H) dari Tawus (w.106 H)
bahwa pernah suatu ketika dihadapkan kepada Ibnu Abbas (w.68 H) suatu kitab
yang di dalamnya mengandung keputusan-keputusan Ali radhiallahu’ anhu. Lalu,
Ibnu Abbas menghapusnya, kecuali sebagian kecilnya (yang tidak dihapus). Sufyan
bin Uyainah (w.198 H) memperkirakan bagian yang tidak dihapus itu sekitar
sehasta.
Imam Al-Zahabi (w.748 H) juga meriwayatkan dari Khuzaimah
bin Nasr, katanya, “Aku mendengar Ali
berkata di Siffin, ‘Mudah-mudahan Allah melaknati mereka (yaitu golongan yang
putih yang telah menghitamkan) karena telah merusakkan hadist-hadist
Rasulullah.”
Menyadari hal tersebut, para sahabat memberi perhatian
terhadap hadist yang disebarkan oleh seseorang. Mereka tidak langsung percaya
dan tidak akan mudah menerima sekiranya mereka meragukan keshahihan hadist
tersebut.
Setelah zaman sahabat berlalu, penelitian dan penilaian
terhadap hadist-hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam, mulai melemah. Ini
menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadist yang secara tidak
langsung telah turut menyebabkan terjadinya pendustaan terhadap Rasulullah dan
sebagian sahabat. Ditambah lagi, dengan adanya konflik politik di antara umat
Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang
mencoba bersekongkol dengan penguasa untuk memalsukan sebuah hadist.
Sebagai contoh, pernah terjadi di zaman Khalifah Abbasiyah,
hadist-hadist maudhu’ dibuat untuk
mengambil hati para khalifah.
Seperti kisah Ghiyast bin Ibrahim An-Nakha’i bersama Amirul
Mukminin Al-Mahdi, ketika datang kepadanya dan dia sedang bermain merpati.
Lalu, ia menyebut hadist dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada
Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam., bahwa beliau bersabda,
لاَسَبَقَ ٳِلاَّفِى نَصْلِ أَوْخُفٍّ
ٲَوْحَافِرٍأَوْجَنَاحٍ
“Tidak ada
perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, atau
menunggang kuda, atau burung yang bersayap.”
Ia menambahkan kalimat “atau burung yang bersayap” untuk
menyenangkan Al-Mahdi lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia
berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi
bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassalam.”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati itu.
Walaupun begitu, tahap penyebaran hadist maudhu’ pada masa tersebut masih lebih
kecil dibandingkan dengan zaman-zaman setelahnya. Hal ini karena banyaknya
tabiin yang menjaga hadist-hadist dan menjelaskan diantara yang lemah dan yang
shahih. Dan juga karena zaman tersebut dianggap hampir sezaman dengan zaman
Nabi Shalallahu Alaihi Wassallam dan disebut oleh Nabi sebagai diantara
sebaik-baiknya zaman.
2.3 Sebab – sebab terjadinya
pemalsuan hadis
1. Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah
Pertentangan diantara umat
islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan
kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat Islam pada masa itu terpecah – belah menjadi berbagai macam
golongan,sepeeti golongna yang ingin menuntut bela terhadap kematian
kekhalifahan Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (
Syi’ah ). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan lain seperti
Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
2. Adanya Kesenjangan dari Pihak
Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongna ini terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nashrani yang senantiasa
menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan
kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini.
Mereka menciptakan sejumlah besar Hadits maudhu dengan tujuan merusak ajaran
Islam.
Faktor itu merupakan
fator awal munculnya hadis maudhu. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba yang
mencoba memecah – belah umat Islam dengan bertopengkan kecintaan kepada Ahli
Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk
agama islam, oleh karena itu ia berani menciptakan hadis maudhu pada saat masih
banyak sahabat yang masih hidup.
3. Mempertahankan Madzhab dalam Masalah Fiqh dan Masalah Kalam
Para pengikut Mazhab Fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan
dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadis-hadis palsu untuk menguatkan paham
pendirian imannya.
4. Membagikan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Mereka membuat hadis-hadis palsu
dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui
amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan – dorongan untuk meningkatkan
amal, melalui hadits tarhib wa targhib ( anjuran – anjuran untuk meninggalkan
yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik ), dengan cara
berlebih-lebihan.
Seperti hadits yang dibuat Nuh Ibn Abi Maryam tentang keutamaan
Al-Quran. Ketika ditanyakan alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab “
Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Quran maka saya membuat
hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-Quran “
5. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama – ulama maembuat hadis
palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari
perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan dengan diberi kedudukan atau
harta.
2.4 Usaha Ulama dalam Menanggulangi hadis palsu
Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis
maudhu, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari
pemalsuan tangan orang-orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis
maudhu tidak tercampur dengan hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu
adalah:
1.
Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah
harus disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak
dapat di terima. Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa
sanad bagaikan orang yang naik loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam
menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun
pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad. Hal ini mulai berkembang
sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi ahli hadis
menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
2.
Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan
pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari sesamanya.
Jika hadis yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan dari sahabat yang langsung terlibat dalam
permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam
jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang
terlibat dalam kejadian hadis.
3.
Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Orang-orang yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun di
jauhkan dari padanya. Semua ahli hadis juga menyampaikan hadis-hadis maudhu dan
pembuatnya itu kepada murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak
meriwayatkan hadis dari padanya. Diantara para ulama yang dkenal menentang para
maudhu adalah Amir Asy-Sya’bi,Syu’bah bin Al-Hajj, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah
bin Mubarak dll.
4.
Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari
lahir hingga wafat atau pun dari segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang
jujur, adil, dan andalnya ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan
mana hadis shahih dan mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku
Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi berikutnya.
5.
Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian
hadis untuk menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih,
hasan, dhaif dan maudhu. Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu
hadis menurut criteria sebagai hadis yang diterima atau ditolak.
2.5. Tokoh-Tokoh Pemalsu Hadist
Tokoh-tokoh
pemalsu hadist diantaraya:
a. Abdul
Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4.000 hadis maudhu’ tentang hukum
halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman, Walikota
Bashrah;
b. Muhammad
bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Dia
memalsukan hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu yang disandarkan pada Nabi
shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku adalah penutup nabi, tak ada
nabi setelahku kecuali yang Allah kehendaki.”
c. Bayan
bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin’Abdillah.
2.6. Ciri - Ciri Hadist Palsu dan Contohnya
Para ulama Muhaditsin, di samping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahu
sahih, hasan, atau dhaif suatu hadis, merke jugamenentukan ciri-ciri
untuk mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadis.
Ke-maudhu’-an suatu hadis dapat dilihat pada ciri-ciri yang terpat pada
sanad dan matan.
Ciri-Ciri yang Terdapat pada Sanad
1.
Rawi
tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak adaseorang rawi yang
terpercaya yang meriwayatkan hadis dari dia
2.
Pengakuan
dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawuf, ketika ditanya
oleh Ibnu Isma’il tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran , yang serentak
menjawab, “Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadis kepadaku. Akan tetapi,
serentak kami melihat manusia sana membenci Al-Quran, kami ciptakan untuk
mereka hadis ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh
perhatian untuk mencintai Al-Quran.
3.
Kenyataan
sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi
bahwa ia menerima hadis dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu
dengan guru tersebut, atau ia sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun Ibnu Ahmad al-Saramiy yang
mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis dari Hisyam dan
Hammar, Ibnu Hibban pun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab oleh
Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H., padahal Hisyam meninggal
dunia pada tahun 254 H.
4.
Keadaan rawi dan
faktor-faktor yang mendorongnya membuat
hadis maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, kala
ia berkunjung ke rumah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati, yang
berkata
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak
panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung.”
Beliau menambahkan kata “au
janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi
memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku
bersaksi bahwa tengukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rosulullah SAW”, lalu
ia memerintahkan untuk menyembelih merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam
itu menjadi qarinah untuk menetapkan ke maudhua-an suatu hadits.
Ciri-Ciri yang Terdapat pada Matan
1.
Keburukan susunan lapadznya
Ini akan diketahui setelah
kita mendalami ilmu Byan. Dengan mendalami ilmu Byan ini, kita akan merasakan
susunan kata, mana yang akan mungkin keluar dari mulut Nabi SAW., dan makna
yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.
2.
Kerusakan maknanya
a.
Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti hadist
:
Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf tujuh kali keliling
kabah dan bersembahyang di maqam Ibrahim dua rakaat.
b.
Karena
berlawanan dengan hukum ahlak yang umum, atau menyalahi
kenyataan,
seperti hadis
Tidak dilahirkan seorang anak sesudah tahun
seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.”
c.
Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran,
seperti hadits
Buah
terong itu penawar bagi segala penyakit.
d.
Karena
menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapakan
akal terhadap
Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan mahkluknya. Oleh
karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini.
Sesungguhnya Allah
menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya. Maka berpeluklah kuda itu, lalu
Tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
e.
Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam
menciptakan alam, seperti hadits menerangkan bahwa ‘Auj ibn ‘Unud mempunyai
panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata,
“Bawalah aku kedalam piring mangkukmu ini. “etika topan terjadi, air sampai ke
tumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukkan tangannya ke dalam laut, lalu
membakar ikan yang diambilnya ke panas matahari yang tidak seberapa jauh dari
ujung tangannya.
f.
Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperi hadits
Ayam putih kekasihku dan
kekasih dari kekasihku jibril.
g.
Bertentangan dengan keterangan Al-Quran, hadits Mutawatir, dan
kaidah-kaidah kulliyah. Contoh hadits maudhu yang maknanya bertentangan dengan
Al-Quran adalah hadits
Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh
turunan.
Makan hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6] :
164, yaitu :
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain.
Ayat tersebut menjelaskan bahawa dosa seseorang
tidak dapat dibebankan kepada orang lain, seorang anak sekalipun tidak dapat
dibebani dosa orang tuanya.
h.
Menerangkan suatu
pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap suatu perbuatan yang sangat kecil.
Contohnya, yaitu :
Barang siapa mengucapkan tahlil (la ilaha allallah)
maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000
lisan, dan setiap liasan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya
Demikianlah yang dapat saya sampaikan tentang makalah hadits palsu atau maudhu semoga bermanfaat.