Makalah Penulisan Hadits pada Masa Rasululloh SAW
Table of Contents
2.1
Latar Belakang Larangan Penulisan Hadits Pada
Masa Rasulullah SAW.
Pada umumnya para pemikir new modernism sunah menolak hadits
karena hadits tidak tertulis pada masa Nabi Muhammad SAW.[1] Dari
beberapa catatan tentang hadits pada masa Nabi SAW ada 2 hal penting yang perlu
dikemukakan, yaitu larangan menulis hadits dan perintah menulis hadits. Pada
awalnya Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan
akan terjadi pencampuran antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits. Namun
demikian larangan tersebut tidak bersifat umum,artinya larangan penulisan
hadits tersebut terkait dengan daya hafal masing-masing sahabat.
Sedangkan tentang perintah untuk
menulis hadits Nabi SAW hal tersebut harus dipahami bahwa dengan hilangnya
kekhawatiran akan terjadi pecampuran antara ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi,
maka dengan sendirinya larangan untuk menulis hadits tersebut juga hilang.
Dengan demikian, tidak ada yang perlu dikontradiksikan antara larangan penulisan
hadits di satu sisi dan perintah enulisan hadist di sisi yang lain.
2.2 Pemikiran New
Modernism Tentang Larangan Penulisan Hadits
Menurut Dr.H.Abdul
Majid Khon,M.Ag., dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Modern dalam Sunah
Pendekatan Ilmu Hadits, ada dua alasan penting yang dijadikan alasan dalam
penolakan hadist sebagai salah satu sumber hukum Islam yaitu :
2.2.1
Hadist
Tidak Tertulis pada Masa Nabi.
Menurut Dr.H.Abdul Majid Khon,M.Ag.,
dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Modern dalam Sunah Pendekatan Ilmu
Hadits, mengemukakan bahwa sunah tidak tertulis pada masa Nabi seperti yang
dijelaskan oleh Taufiq Sidqiy :
a. Sunah
tidak tercatat bahkan dilarang tulisannya oleh Nabi SAW, oleh karenanya banyak
distorsi yang menyimpang.
b. Para
sahabat setelah masa nabi tidak menghimpun sunah kedalam sebuah buku. Sunah
hanya diingat diluar kepala. Seandainya sunah bagian dari agama, tentu mereka
memperhatikannya.
c. Sebagian
mereka melarang meriwayatkan sunah seandainya sunah untuk umum tentu mereka
menghabiskan waktu dan tenaganya untuk
berlomba menyebarluaskan sunah
d. Terjadi
perbedaan dikalangan mujtahid dalam menilai sunah yang kebanyakan maudu. Ketika
diantara mereka ingin mengedepankan madzhabnya, maka ia harus menolak hadits
sohih menurut oposisinya.
Selain
Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayhan juga berpendapat yang sama, bahwa dalil naqli
yang kuat dan praktik para sahabat yang secara mutawatir bahwa hadist Nabi SAW tidak ditulis sebagaimana Al-
Qur’an dan tidak ada sebuah kitab hadist yang ditulis sejak didengar dan sejak
dibacakannya sebagaimana Al- Qur’an. Ahmad Shubhiy Manshur juga berpendapat,
bahwa larangan penulisan hadist sejak Nabi dan Abu Bakar, lebih diperketat lagi
pada masa Umar. Semua berpedoman pada
Al- Qur’an saja, kemudian setelah terjadi fitnah periwayatan hadist menjadi semakin banyak pendustaan
kepada Rasulullah. Mushthafa Mahmud
brependapat, bahwa periwayat hadist, seerti Abu Hurayrah, ‘Abdullah Ibn
‘Umar, Zayd bin Tsabit, Abi Sa’id al- Khudri, dan Abdullah bin Mas’ud,
berkonsesus bahwa Nabi melarang pengkodifisikan hadist, demikian jug apara
sahabat dan Khulafa al- Rasyidin tidk menulis hadist bahkan sebagian mereka
membakarnya.
Menurut Abu Rayyah mengakui adanya
dua hadist yang melarang dan memperbolehkan penulisan hadist secara
kontradiktif. Akan tetapi, baginya hadist yang melrang penulisan menghapus
(nasakh) hadist yang diperbolehkan dan dialah yang datang belakangan, dengan
alasan, para sahabat yang hidup setelah wafat Nabi tetap melarang penulisan
hadist dan tidak melakukannya, serta para sahabat tidak mengkodifisikan hadist
dan tidak menyebarluaskannya. Bahkan Abu Bakar membakar tulisan 500 buh hadist
.
Dari beberapa uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa mereka (new modernism )
menolak hadist dengan alasan Nabi melarang penulisan hadist dan praktik
sebagian sahabat yang membakar sunah. Dalam hal penulisan hadist , memang ada
dua periwayatan yang lahir kontradiktif,
yang satu melarang penulisan hadist dan yang satu merupakan perintah penulisan
hadist.
a.
Hadits
Melarang Penulisan
Di antara hadits
yang melarang penulisan sunah, seperti periwayatan Abu Sa’id al-Khudriy r.a.
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
(رواه مسلم)
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ
غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُه
“Janganlah engkau tulis daripadaku,
barangsiapa menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah.” (H.R Muslim).[2]
b.
Hadits
Perintah Penulisan
Di antara hadits yang perintah penulisannya ialah:
1)
Hadits
`Abdillah bin `Amr bin al-Ash berkata: “Aku menulis apa yang telah aku dengar
dari Rasulullah, maka aku dilarang oleh kaum Quraisy.” Mereka berkata: Apakah
engkau tulis apa yang engkau dengar dari Rasulullah, sedang beliau manusia
biasa yang berbicara ketika senang dan benci, maka aku sampaikan berita ini
kepada Rasulullah. Kemudian beliau berisyarat dengan jari ke lisannya dan
bersabda :
اُكْتُبْ فَوَا الَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْهُ اِلَّا حَقٌّ
(رواه
ابو داود)
“Tulislah, demi
Dzat diriku di bawah kekuasaan-Nya, tidak keluar daripadanya kecuali hak.”
(H.R. Abu Dawud)
2)
Pada
saat Nabi menaklukkan Mekkah, beliau berdiri dan berkhutbah. Kemudian ada
seorang laki-laki dari Yaman berdiri bernama Abu Syah dan bertanya: “Tuliskanlah
aku.” Maka Rasulullah bersabda:
أُكْـتُـبُوْا لِآبِى شَاةْ ( رواه البخار
وابو داود)
“Tuliskanlah
aku untuk Abi Syah.” (H.R Al-Bukhari dan Abu Dawud)[3]
Semua larangan penulisan hadits berkualitas dla`if kecuali
satu yaitu riwayat Muslim dari Abi Sa`id al-Khudriy yang berstatus mawquf,
sementara hadits yang perintah penulisan berkualitas shahih. Para ulama berbeda
pendapat dalam menanggapi dua hadits yang kontra tersebut. Di antara mereka
berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan di- nasakh dengan hadits yang memperbolehkannya. Hadits Abu Sa`id
al-Khudriy terjadi pada awal Islam yang masih dikhawatirkan campur aduk dengan
Al-Qur’an, sedang hadits Abi Syah terjadi pada akhir kehidupan Rasulullah yaitu
pada masa penaklukan (fath) Mekka
kemudisn dikuatkan dengan ijmak para ulama setelah itu.
Ulama lain, lebih cenderung kompromi antara dua hadits yang
kontra itu dengan melakukan takhshish al-`amm. Larangan penulisan bagi umum
yang kuat hafalannya atau yang dikhawatirkan campur aduk tulisannya dengan
Al-Qur’an seperti ditulis dalam satu lembar. Bagi orang-orang tertentu karena
hafalannya yang kurang kuat seperti Abu Syah, atau karena tulisannya bagus dan
rapi tidak ada kekhawatiran campur aduk dengan Al-Qur’an seperti Ibn ` Amr
diperbolehkan bahkan diperintah menulisnya.
Pendapat pertama hadits larangan penulisan di-nasakh dengan hadits perintah penulisan
lebih kuat yang menunjukkan kebolehannya. Namun dua pendapat itu dapat
dikompromikan, yaitu takhshish
sebagian sahabat yang diperbolehkan menulis hadits pada saat larangan bagi umum
tidak bertentangan dengan nasakh,
karena pembatalan mansukh tidak ada
pengaruhnya terhadap takhshish
sebagian afrad (oknum) umum sebelum
di-nasakh. Jadi, alasan larangan
tidak meniadakan takhshish. Dengan
demikian, larangan atau kebolehan menulis pada dasarnya secara secara umum
bukan pada masa permulaan saja, akan tetapi manakala didapati `illat larangan,
maka dilaranglah penulisan itu. Kemudian hilanglah perbedaan itu dan umat Islam
sepakat bolehnya penulisan, seandainya sunah tidak terkodifikasi hilanglah ia
di masa belakangan.
Pendapat
Abu Rayyah, bahwa hadits larangan penulisan me-nasakh hadits yang perintah penulisan terkesan tidak mendalami ilmu
usul fikh dan ilmu hadits Dirayah dan
Riwayah, karena di antara persyaratan
nasikh (dalil penghapus terjadi belakangan daripada mansukh (dalil terhapus).
Sementara hadits Abu Syah jelas belakangan, karena peristiwa itu terjadi pada
penaklukan Mekkah, di samping kualitas haditsnya yang shahih periwayatan
al-Bukhari. Abu Rayyah juga tidak konsisten dengan pendapatnya yang menolak
sunah, tetapi realitanya mau juga menggunakan ketika menguntungkan pendapatnya.
Pro dan kontra tentang penulisan sunah terasa sejak
masa sahabat dan khulafa al-Rasyidin,
karena ada keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an dan sunah. Di antara
mereka ada yang Benci menulis sunah, karena al-Quran belum
dikodifikasikan dan di khawatirkan perhatian mereka tersita atau berpaling dari
al-Quran seperti periwayatan ‘Urwah bin al-Zubayr , bahwa ‘Umar bin Khatab
bersama para sahabat setelah bermusyawarah dan disepakati beliau ber-istikharah
pada Allah selama satu bulan, kemudian berkata “Sesungguhnya aku ingin menulis
sunah dan aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa
buku kemudian mereka disibukannya, sehingga meninggalkan Kitab Allah. Demi
Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampurkan Kitab Allah dengan sesuatu
selamanya”
Setelah al-Quran
terkodifikasikan pada masa Abu Bakar dan terutama masa Utsman yang kemudian
dikirim ke berbagai penjuru negeri mereka bermuzakarah dan menulis sunah ,
bahkan menganjurkannya Khalifah Umar sendiri setelah melihat aman pemeliharaan
al-Quran menulis surat kepada para pegawai dan para sahabatnya, diantara isinya
sabda Rasul SAW :
“Tidak mengenakan
sutra di dunia kecuali orang yang tidak mempunyai bagian sedikitpun di akhirat
kecuali begini. Dan ia berkata dengan dua jarimya yakni telunjuk dan jari
tengah”
Demikian juga para
sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya bahkan
menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan al-Quran seperti
Abdulah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Hasab bin Ali Mu’awiyah, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik.
Maka tidak benar ,
jika pada masa awal islam tidak terdapat tulisan sunah. Banyak bukti yang
menunjukan , misalnya surat-surat dakwah yang ditujukan kepada para tokoh
bangsa dan para raja, kesepakatan dan perdamaian , Shahifah Ibn’ Umar
,Shahifah’ Ali , tulisan yang nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa fath
(penaklukan) makkah, dan lain-lain. Hasil penelitian Musthafa al-A’zhamiy
membuktikan tidak sedikit para sahabat dan tabi’in yang menulis hadis sebagai
dokumentasi sejarah , yaitu mencapai 52 orang sahabat, sedang Abdal Maujud
mencapai 50 orang sahabat.
Hukum penetapan
penulisan hadis terjadi secara berangsur-angsur (al-tadarruj). Pada saat wahyu
turun umat islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis al-Quran.
Sunah hanya disimpan dalam dada mereka disampaikan dari lisan ke lisan dan di
praktikan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka
dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi SAW. Kemudian setelah al-Quran dapat
terpelihara dengan baik , mereka telah mampu membedakan dengan catatan sunah ,
dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan al-Quran, para ulama sepakat bolehnya
penulisan dan pengodifikasian sunah.
2.2.2
Terlambatnya
Kodifikasi
Menurut Dr.H.Abdul Majid Khon,M.Ag., dalam bukunya
yang berjudul Pemikiran Modern dalam Sunah Pendekatan Ilmu Hadits, menjelaskan,
Mahmud abu Rayyah menyatakan bahwa terbelakangnya kodifikasi hadis sangat
bahaya , karena ia menjadi penyebab perluasan para periwayat kesegala penjuru ,
tercampurnya antara yang shahih dan mawdlu
dan sulitnya dibedakan antara keduanya. Abdurrahman (Jakarta) mengatakan,
hadis bukan ajaran Bukhari, melainkan rekaman dari ucapan bani Israil. Bukhari
menulis sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat . Abdullah Jakralevi mengatakan,
Jika para pendengar tidak mampu menyebutkan kembali apa yang di dengar isi
khotbah jumat minggu yang lalu, bagaimana mereka menyebutkan hadis 100 tahun
yang lalu?
Musthafa al-Siba;iy menjelaskan bahwa hadis belum
tertulis sebagaimana al-Quran pada masa Nabi SAW, karena beberapa alas an
diantaranya:
a. Nabi
SAW hidup ditengah-tengah sahabat dalam tempo 23 tahun. Merupakan pekerjaan
yang sulit dan berat dilakukan, karena memerlukan penekunan tenaga banyak yang
mencatat secara professional tentang segala ungkapan, perbuatan dan pergaulan
dengan alat tulis menulis yang pada saat itu masih sangat sederhana, sulit dan
primitif.
b. Jumlah
sahabat yang bisa menulis dapat dihitung dengan jari pada masa Rasulullah,
sedang penulisan Al-Qur’an yang merupakan sumber pokok dan mukjizat pertama
memerlukan konsentrasi penuh.
c. Orang-orang
arab dengan sifat Al-Umiyyin-nya menyadarkan diri mereka kepada ingatan untuk
hal-hal yang harus dihafal dan diungkapkan.
d.
Dikhawatirkan silapnya sebagian sabda nabi
dengan Al-Qur’an karena alpa dan tidak sengaja, yang hal itu mengandung bahaya
terhadap kitab Allah dan akan membuka pintu keraguan bagi musuh islam.
Periwayatan hadist memang berbeda
dengan periwayatan Al-Qur’an. Periwayatan hadits Nabi, dalam keadaan darurat
(yakni karena lupa) boleh saja periwayatannya secara makna bukan secara lafhzi
oleh karena itu, terjadi perbedaan dalam redaksi periwayatan hadist, sekalipun
maknanya sama. Tetapi ini tidak menunjukkan bahwa para sahabat kurang
memerhatikan sunah. Mereka sangat memerhatikan hadist dengan cara menerima dan
menghafal periwayatan serta menyampaikannya kepada sahabat yang tak hadir
dimajlis.
Kehujahan sunah tidak hanya
didasarkan pada tulisan, dengan beberapa alasan berikut :
a. Kehujahan
sunah karena keadilan para periwayatnya, bukan karena tulisannya, terbukti kaum
yahudi dan nasrani mengubah kitab sucinya sekalipun telah dikodifikasikannya.
b. Penulisan
tidak melazmi hujah atau hujah tidak terhenti pada tulisan, seperti ketika Nabi
SAW mengutus para sahabat ke berbagai kabilah untuk berdakwah dan mengajarkan
hukum-hukum disana, tidak disertai juru tulis.
c. Penulisan
tidak dapat memberikan faedah pasti (qath’i) karena bisa diubah-ubah.
d. Tulisan
tingkatannya dibawah hafalan, oleh karenanya para ahli usul jika ada
kontradiksi antara periwayatan pendengaran (riwayah masmu’/transmitting of
listening) dengan periwayatan tulisan (riwayah maktub/transmitting of writing)
dipilih yang masmu, karena jauh dari kesalahan. Apalagi dikalangan bangsa arab
yang terkenal kuat hafalannya.
e.
Hafalan lebih agung manfaatnya daripada
tulisan, diantaranya hafalan dapat didatangkan dimana saja dan kapan saja, bisa
menolong pemahaman.
Penulisan hadist pada masa nabi jelas
banyak sebagai bukti adanya penulisan sebagaimana keterangan tersebut, soal
pembakaran dan penghapusan kemungkinan ada sebab lain, misalnya tulisannya yang
kurang rapih dan kurang jelas atau khawatir perhatian para sahabat yang kurang
dicurahkan pada Al-Qur’an karena pada saat itu baru masa pengkodifikasian
Al-Qur’an. Atau catatan itu berfungsi untuk membantu hafalan bagi mereka yang
kurang kuat hafalannya, setelah hafal baik catatan itu dibakar. Jadi, larangan
penulisan hadist pada masa Nabi tidak mutlak, akan tetapi berifat kondisional
Keterbelakangan masa kodifikasi sunah
juga tidak menjadi masalah karena sejak awal sunah sangat diperhatikan para
sahabat baik melalui praktik dalam kehidupan, penulisan dan hafalan mereka yang
kuat tidak ada seorang penelitipun yang menilai sunah ternodai kepercayaannya
pada abad pertama .
Kemudian para ulama abad berikutnya
telah berusha dengan sungguh-sungguh dan sangat teliti dalam mengkritik
periwyatan baik matan atau sanadnya sehingga dapat dibedakan mana yang shahih
dan mana yang tidak shahih untuk dikodifikasikan.
2.3 Alasan
Sebenarnya Nabi Muhammad Melarang Penulisan Hadits
a. Para
sahabat Nabi sebagaimana umumnya orang-orang Arab ketika itu, memiliki daya
hafal yang angat kuat.
b. Sebagian
sahabat-sahabat Nabi adalah orang-orang yang buta aksara
c. Alat
tulis ketika itu tidak mudah didapatkan.
d.
Bahwa Rasulullah sendiri melarang menulis
sesuatu selain Al-Qur’an . karena dikhawatirkan tercapurnya Al-Qur’an dengan
hal-hal yang lain
Demikianlah yang telah saya sampaikan mengenai makalah penulisan hadits pada masa Rasulullah Saw semoga bermanfaat.