Makalah Periodesasi Penulisan dan Pembukuan Hadits
Table of Contents
Penulisan hadits secara resmi dimulai
pada awal abad II Hijriyah, yakni pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn
‘Abd al-‘Aziz tahun 101 H. Adapun Sistem dan corak
penulisan serta pembukuan hadits pada setiap periode mengalami perkembangan
yang akan dibahas berikut :
2.1 Periode
ke-IV (Abad II Hijriyah)
Periode
keempat disebut “Asahr Al- Kitabah al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan
pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi yang diselenggarakan
oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Periode ini dimulai pada masa
Pemerintah Amawiyah angkatan kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz) sampai
akhir Abad II Hijryah (menjelang akhir masa dinasti Abbasiyah angkatan
pertama).
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz melihat, bahwa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin tidak membukukan Hadits Rasul, diantara
sebabnya yang terpenting adalah karena dikhawatirkan akan terjadi bercampur aduknya Al-Quran
dengan yang bukan Al-Quran, sedang pada saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintah, Al-Quran telah selesai dikondifisir secara resmi dan lestari.
Dengan demikian, maka bila Hadits-hadits Rasul didewankan/dikodifikasikan, tidaklah
akan mengganggu kemurnian Al-Quran.
Kekhalifahan
Umar ibn Abd al-Aziz dinobatkan pada tahun 99 H, seorang khalifah dari dinasti
Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang
sebagai “Khalifah Rasyidin yang kelima”, tergeraklah hatinya untuk menuliskan
serta membukukan hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan
hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak segara dituliskan serta dikumpulkan dalam buku-buku hadits dari
para perawinya, mungkinlah hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan
bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya ke alam barzah. Selain itu daerah
Islam makin meluas. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ummat Islam
bertambah banyak dan kompleks. Ini berarti memerlukan petunjuk-petunjuk
dari Hadits-hadits Rasul di samping
petunjuk Al-Quran. Serta pemalsuan-pemalsuan Hadits
makin menghebat. Kalau hal ini dibiarkan terus, akan terancam kelestarian
ajaran Islam yang benar.Maka langkah segera yang perlu diambil ialah menuliskan
serta membukukan Hadits dan sekaligus menyelamatkannya dari pengaruh
pemalsuan-pemalsuan. Atas dasar pertimbangan–pertimbangan
tersebut, maka pada penghujung tahun 100 Hijry, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menulis surat instruksi kepada para Gubernurnya dan juga kepada para Ulama
untuk mendewankan/ membukukan Hadits.
Di
antara Gubernur yang menerima instruksi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk
mendewankan Hadits itu adalah Gubernur Madinah yang bernama: Abu Bakar Muhammad
Ibnu Amr Ibnu Hazm (120 H) yang menjadi
guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya
menuliskan/mendewankan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
terkenal yaitu Amrah binti Abd ar-Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades,
seorang ahli fiqh murid Aisyah RA, serta hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq, salah seorang pemukan Tabi’in dan salah
seorang Fuqaha tujuh Madinah. Kitab hadits yang ditulis oleh Ibnu Hazm
merupakan kitab hadits yang pertama ditulis atas perintah kepala Negara, namun
tidak sampai kepada kita karena tidak terpelihara dengan semestinya. Kitab
tersebut tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Adapun
ulama besar yang menuliskan serta membukukan hadits atas kemauan khalifah di
antaranya Abu Bakar Muhammad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab az-Zuhry,
seorang tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits. Dialah ulama besar
yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran khalifah Umar bin Abdul Aziz. Al-Imam Muhammad ibn Muslin ibn Ubaidillah ibn
Syihab az-Zuhry membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Dia memang
terkenal sebagai seorang ulama hadits yang besar di masanya.
Selanjutnya,
setelah masa Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad ibnu Syihab az-Zuhry berlalu, maka
muncullah masa pendewanan berikutnya (sebagai masa pendewanan yang kedua), atas
anjuran khalifah-khalifah Abbasiyah, di antaranya oleh khalifah Abu Abbas
as-Saffah. Menurut Syuhudi (1991:104), ulama-ulama yang terkenal telah berhasil
mendewankan hadits-hadits nabi, setelah masa Muhammad ibnu Hazm dan Muhammad
ibnu Syihab az-Zuhry, di antaranya ialah:
1.
Di Mekah : Ibnu Juraij (80 H – 150 H/669 M – 767 M).
2.
Di Madinah : Ibnu Ishaq (wafat 151 H/768 M) dan Malik ibn Anas (93
H–179 H/703-798 M)
3.
Di Bashrah : Ar-Rabi’ Ibnu salamah (wafat 160H), Said Ibnu Abi
Arubah (wafat 156H) dan Hammad Ibnu Salamah (wafat 176H).
4.
Di Kufah : Sufyan Ats-Tsaury (wafat th.161H)
5.
Di Syam : Al-Auza’iy (wafat th.156H)
6.
Di Wasith : Husyain Al-Wasithy (wafat th.188H/804M)
7.
Di Yaman : Ma’mar Al-Azdy (95-153H/753-770M)
8.
Di Rei : Jarir Adl-Dlabby (110-188H/728-804M)
9.
Di Khurasan : Ibnu Mubarak(118-181H/735-797M)
10. Di Mesir : Al-Laits
Ibnu Sa’ad(wafat th.175H).
Para
Ulama di atas masa hidupnya hampir bersamaan. Karenanya itu, sulit ditentukan
siapa yang lebih tepat untuk disebut sebagai pendewan/kondifikator Hadits yang
pertama. Selain itu, bahwa mereka bersama, telah berguru kepada Muhammad Ibnu
Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry .
A.
Corak dan
Sistem ulama Abad ke-2 Hijriyah Menuliskan serta Membukukan Hadits
1.
Hadits yang
disusun dalam dewan-dewan Hadits mencakup hadits-hadits Rasul, fatwa-fatwa
sahabat dan tabiin. Kitab dalam periode ini belum diklasifisir/dipisah-pisah
antara hadits-hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu. Kitab hadits yang menghimpun
hadits-hadits nabi saja hanyalah kitab disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm ,beliau
melakukan demikian mengingat adanya instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz .
2.
Hadits yang
disusun dalam dewan-dewan hadits umumnya belum dikelompokan berdasarkan
judul-judul (maudlu’) masalah tertentu. Maka dalam dewan-dewan hadits terhimpun
secara bercampur aduk hadits-hadits Tafsir, hadits-hadits Sirah nabi,
hadits-hadits Hukum. Imam Syafii lah yang pertama merintis menyusun kitab
hadits berdasarkan judul masalah thalaq dalam satu bab.
3.
Hadits-hadits
yang disusun, belumlah dipisahkan antara yang berkualitas Shahih, Hasan dan Dhaif.
B.
Kitab- kitab
Hadits yang ditulis pada Periode IV
Di
antara kitab-kitab /dewan Hadits yang disusun pada abad II Hijryah, periode IV yang
sangat mendapat perhatian dari kalangan Ulama, menurut Syuhudi (1991:104) ialah:
1.
Al-Muwattha’, disusun
oleh Imam Malik bin Anas, atas permintaan Khalifah Abu Jafar Al-Manshur . Kitab
Al-Muwattha’ merupakan kitab hadits tertua, yang sampai sekarang masih dapat
disaksikan.
2.
Musnad
Asy-Syafi’i, susunan Imam Syafi’i, Dewan hadits ini merupakan kumpulan
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama ‘’Al-Um’’ .
3.
Mukhtaliful
Hadits, disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara-cara
menerima Hadits sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan Hadits yang nampak
kontradiksi satu sama lain.
4.
As-Siratun
Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq. Berisi, antara lain tentang perjalanan
hidup Nabi dan peperangan-peperangan zaman nabi.
2.2 Periode
ke-V (Abad III Hijriyah)
Periode
kelima yang disebut “Ashr al-Tajrid al-Tashhih wa al-Tanqih” artinya masa penyaringan,
pemilahan dan pelengkapan. Dalam abad ke-3 Hijriyah, usaha penulisan serta
pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij dan Al-Muwaththa’
Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah
kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan menuliskan serta membukukannya.
Sehingga kegiatan ulama hadits dalam melestarikan hadits-hadits
Nabi. Menurut Syuhudi (1991:113-115), secara garis besar
ada lima macam kegiatan penting, yakni:
a.
Para ulama hadits mengadakan perlawatan ke
daerah-daerah yang jauh,karena daulah islamiyyah telah semakin luas juga para
perawi yang berpencar di beberapa daerah.
b.
Pada permulaan abad ini, ulama hadits juga
mengklasifikasikan hadits antara hadits-hadits marfu’ , mauquf, dan maqtu’ .
Dan juga kitab-kitab musnad yang sangat berjasa sehingga terpelihara hadits-hadits
nabi dari pencampur adukan dari fatwa-fatwa tabi’in. Sedangkan klasfikasi hadits
pada kualitas shahih dan dhoif nya belum dilakukan pada permulaan abad ini.
c.
Pada pertengahan abad ini, mulailah ulama
hadits melakukan seleksi kualitas hadits kepada shahih dan dhoif nya.
d.
Menghimpun segala kritik yang telah di
lontarkan oleh ahli kalam maupun yang lainnya, segala kritik yang dituju itu
kemudian di bantah satu persatu dengan argumentasi ilmiah, demikian
terpeliharalah dari tuduhan-tuduhan yang tak benar.
e.
Agar dapat dengan mudah mengetahui
klasifikasi hadits, maka para ulama hadits dalam menyusun kitab-kitab hadits
menempuh metode seperti kitab-kitab fiqih. Yaitu berdasarkan masalah-masalah
tertentu, metode ini juga dikenal dengan mushannaf.
A.
Corak dan Sistem Penyusunan Penulisan
Kitab Hadits Periode V
Menurut
Syuhudi (1991:115-116), sistem pendewanan hadist pada periode ini
dapat di klasifikasi pada tiga bentuk:
a)
Kitab Shahih
Kitab
hadist yang di susun hanya menghimpun hadits-hadits yang berkualitas
shahih,sedangkan yang lainnya tidak di masukkan. Kitab shahih termasuk bentuk
mushannaf. Contoh:
·
Al-Jamius Shahih, susunan imam Bukhari
,atau lebih dikenal dengan Shahih Bukhori
·
Al-Jamius Shahih, susunan imam Muslim,
atau yang sering di kenal dengan Shahih Muslim.
b)
Kitab Sunan
Kitab
hadits yang di susun tidak hanya hadits-hadits shahih tetapi hadits dhoif juga
masuk ke dalam kitab ini tetapi dengan syarat tidak berkualitas mungkar dan tidak terlalu lemah juga beserta
dengan keterangan kedhoifannya. Contoh:
As-sunan
susunan imam Abu Daud, susunan Imam At-Turmudzi, susunan Imam An-Nasa’iy,
susunan Imam Ibnu Majah, susunan Imam Ad dharimi.
c)
Kitab Musnad
Kitab
hadits yang penyusunannya di himpun dengan bentuk susunan berdasarkan nama
perawi pertama, urutan nama perawi pertama, ada pula yang berdasarkan menurut
tertib kabilah. Hadits-hadits yang di muat dalam kitab musnad tidak dijelaskan
kualitasnya.Contoh:
Musnad
susunan Imam Ahmad bin Hambal, susunan Imam Abul Qasim Al-Baghawy, dan susunan
Imam Utsman bin Abi Syaibah.
B.
Beberapa
Perbedaan Kitab Hadist pada Periode V
1.
Perbedaan antara kitab Shahih dan
kitab Sunan
a.
Bila dilihat dari sisi kualitas hadits
nya:
1.
Kitab shahih lebih tinggi kualitasnya
daripada kitab sunan.
2.
Kitab shahih hanya berisikan hadist
shahih, sedangkan kitab sunan memuat hadist shahih, hasan dan dhoif.
b.
Persyaratan perawi yang di gunakan
dalam kitab shahih lebih ketat di banding dengan kitab sunan.
c.
Kitab shahih lebih lengkap masalah
yang di kemukakannya daripada kitab sunan.
2.
Perbedaan antara kitab Mushannaf
dengan kitab Musnad.
Kitab Mushannaf adalah kitab-kitab hadits yang disusun secara bab
per bab berdasarkan permasalahan tertentu. Dalam hal ini adalah kitab Shahih
dan kitab Sunan.
a.
Kitab mushannaf, di susun
berdasarkan bab-bab permasalahan tertentu, sedangkan kitab musnad berdasar nama
sahabat yang meriwayatkan hadist.
b.
Kualitas hadits dalam kitab
mushannaf secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimuat dalam kitab
musnad. Sebab, ulama ada yang mendapati dalam kitab musnad Ahmad, beberapa
hadist maudlu (palsu).
2.3 Periode
ke-VI (Abad IV sampai pertengahan Abad VII Hijriyah)
Periode
keenam terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah angkatan kedua yaituKhalifah
Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tashim. Pada periode ini Daulah Islamiyah
mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi kegiatan para ulama dalam
melestarikan hadits tidaklah terlalu terpengaruh. Sebab kenyataannya, tidak
sedikit ulama yang tetap menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan
mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya tidak lagi sama dengan ulama
pada periode sebelumnya.
Sebagaimana
pada abad III hampir seluruh hadits nabi telah berhasil didewankan (dituliskan
serta dibukukan) oleh para ulama. Oleh karena itu, pada abad IV tinggal sedikit
lagi hadits-hadits shahih yang masih dikumpulkan dan dituliskan serta dibukukan.
Kitab-kitab hadits yang telah berhasil disusun pada abad IV selain dari kitab-kitab
hadits abad III, antara lain adalah:
1.
As-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
(313 H).
2.
Al-Anwa’at-Taqsim, susunan Ibnu
Hibban (354 H).
3.
Al-Musnad, Susunan Abu Awanah (316
H).
4.
Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
5.
Al-Mutakharah, susunan Muhammad Bin
Abdul Wahid Al-Maqdy.
Pada abad IV para ulama tidak lagi
mengadakan perlawatan ke daerah-daerah seperti yang telah dilakukan oleh ulama
pada abad III, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung tahun 300 H sebagai batas
yang memisahkan antara masa Ulama Mutaqqaddimin dengan ulama Muta’akkhirin.
Pada
periode keenam ini, ulama hadits pada umumnya hanya memperpegangi kitab-kitab
hadits yang telah ada, sebab seluruh hadits pada masa abad IV (awal periode
keenam ini) telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut. Kegiatan ulama
yang menonjol dalam memelihara dan mengembangkan hadits nabi yang telah terhimpun
dalam kitab-kitab hadits tersebut, adalah:
a.
Mempelajarinya.
b.
Menghafalnya.
c.
Memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya.
d.
Menyusun kitab-kitab baru dengan
tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang
saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab
yang telah ada.
A.
Corak dan
Sistem Penulisan serta Pembukuan Hadits Periode VI
Menurut Syuhudi
(1991:121-122) pada periode VI ,Ulama hadits selain menyusun kitab-kitab
hadits yang telah ditempuh oleh ulama pada periode sebelumnya, juga menyusun
kitab dengan sistem baru. Yakni yang dikenal dengan istilah:
1.
Kitab Athraf
Yakni kitab hadits yang hanya
menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan hadits tertentu kemudian
menjelaskan seluruh sanad dri matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab
hadits yang dikutip matannya itu maupun dari kitab-kitab lainnya. Misalnya:
a.
Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim
Ad-Daimasyqy (wafat th. 400 H)
b.
Athrafus Shahihaini, susunan Abu
Muhammad Khalaf Ibnu Muhammad Al-Wasithy (401 H)
c.
Athrafus Sunanil Arba’ah, susunan
Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy 9571 H)
d.
Ahraful Kutubis Sittah, susunan
Muhammad Ibnu Thahir Al-Maqdisy
(507 H).
(507 H).
2.
Kitab Mustakhraj
Yakni kitab hadits yang memuat,
matan-matan hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau
kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan hadits
tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
a.
Mustakhraj Shahih Bukhari, susunan
Jurjany
b.
Mustakhraj Shahih Muslim, susunan
Abu Awanah
c.
Mustakhraj Bukhari-muslim susunan
Abu Bakar Ibnu Abdan As-Sirazy (338 H)
3.
Kitab Mustadrak
Yakni hadits yang menghimpun
hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki
salah satu isyarat dari keduanya. Misalnya:
a.
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
(321-405 H)
b.
Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny
(306-385 H)
4.
Kitab Jami’
Yakni kitab hadits yang menghimpun
hadits-hadits nabi yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Misalnya:
a.
Menghimpun hadits-hadits shahih
Bukhari dan Muslim.
1)
Al-jami’ bainas Shahihaini, susunan
Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad)- (414 H)
2)
Al-Jami’bainas Sahihaini, susunan
Muhammad Ibnu Nashr Al-Humaidy (488 H)
3)
Al-Jami’bainas Sahihaini, susunan
Al-Baghawy (516 H).
b.
Menghimpun hadits-hadits nabi dari
Al-Kutubus Sittah:
1)
Tajridus Shihah, susunan Razim
Al-Baghawy Muawiyah, kemudian disempurnakan oleh Ibnul atsir Al-Jazary pada
kitab yang diberinya judul Al-Jamiul Ushul li Ahaditsir Rasul.
2)
Al-Jami’, susunan Ibnu Kharat (582
H)
c.
Menghimpun hadits-hadits Nabi dari
berbagai kitab Hadits:
1)
Mashabihus Sunnah, susunan
Al-Baghawy (516 H), kemudian disaring oleh Al-Khatib At-Tarbizy dengan judul:
Misykatul Mashabih.
2)
Jami’ul Masanid wal Alqab, susunan
Abdur Rahman Ibnu Ali Al-Jauzy (597 H). Kemudian kitab ini diterbitkan oleh
Ath-Thabary (964 H)
3)
Bahrul Asanid, susunan Al-Hasan Ibnu
Ahmad As-Samarqandy (491 H)
2.4 Periode
ke-VII (Mulai pertengahan Abad VII sampai sekarang)
Kegiatan terbanyak
yang dilakukan oleh para Ulama pada periode ini, pada umumnya adalah
mempelajari kitab-kitab Hadits yang telah ada, kemudian mengembangkannya,
antara lain dengan penyusunan kitab-kitab baru.
A.
Corak dan
Sistem Penulisan serta Pembukuan Hadits Periode VII Sampai Sekarang
Menurut
Syuhudi (1991:126) sistem dan corak penulisan Hadits pada masa periode VII
sampai sekarang yaitu sebagai berikut :
1. Kitab Syarah
Yakni,
kitab Hadits yang di dalamnya dimuat uraian dan penjelasan kandungan Hadits dan
kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dari
Al-Quran, dari Hadits maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya. Kitab syarah,
antara lain : Syarah untuk Shahih Bukhari yaitu Irsyadus Sary, oleh Muhammad
Al-Qasthalany (923 H), Syarah untuk Sunan Ibnu Majah yaitu Ad-Dibajah, oleh
Kamaluddin Ad-Damiry (808 H).
2. Kitab mukhtashar
Yakni kitab yang berisi
ringkasan dari suatu hadits. Kitab Mukhtashar, antara lain: Al-Jami’us
Shaghir, oleh As-suyuthy. Sebagai ringkasan dari kitab Jami’ul Jawami’
(As-Suyuthy), dan Mukhtashar Shahih Muslim, oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy.
3. Kitab Penunjuk (kode indeks) Hadits
Yakni kitab yang berisi petunjuk-petunjuk
praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah
mendapatkan/mencari matan Hadits pada kitab-kitab tertentu. Kitab penunjuk Hadits, antara lain: Miftah
Kunuzis Sunnah, oleh Prof. Dr. A.J. Winsink. Kitab ini memberi petunjuk
untuk mencari matan-matan Hadits yang terdapat dalam 14 kitab Hadits.
4.
Kitab Terjemah
Hadits
Yakni kitab/buku pengalih
bahasa kitab-kitab Hadits dari bahsa Arab ke bahasa lain, atau sebaliknya.
Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah mulai kegiatan penerjemahan
kitab-kitab Hadits ke dalam bahasa Indonesia, baik kitab jami’, kitab Hadits
Ahkam, maupun kitab syarah. Kitab terjemah hadits, antara lain Riyadhus
Shalihin adalah salah satu kitab kumpulan hadits nabi Muhammad SAW yang berarti
taman orang-orang shalih, yang disusun oleh Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
an-Nawawy (Imam Nawawi). Kitab ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia
oleh Salim Bahreisy
Demikianlah yang saya sampaikan makalah tentang periode penulisan dan pembukuan hadits semoga bermanfaat.