Makalah Perkembangan dan Periwayatan Hadits pada Masa Sahabat
Table of Contents
2.1 Perkembangan dan Periwayatan Hadist
Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748
H/1347 M), Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu
ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak
waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak
melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris
kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin
Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta
warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir
tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu
Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin
Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu.
Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata
tidak bersegera menerima riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam
melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadits untuk
menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan
hadits terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits
miliknya. Putri Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang
berisi sekitar lima ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar
menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah
dalam periwayatan hadits.Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar
dalam periwayatan hadits.
Data
sejarah tentang kediatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman
dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak
sedikit shahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai
peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan
penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).
Ada beberapa
alasan yang menjadi penyebab Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadits
meskipun dia seorang sahabat yang lama bergaul dengan Nabi. Bahkan sangat akrab
dengan Nabi mulai semenjak masa sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Alasan-alasan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Karena sifatnya yang sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadist
b. Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat
sebagai khalifah karena ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemimpin umat Islam
c. Para sahabat sibuk dalam penghimpunan
Al-Qur’an
d. Kebutuhan terhadap hadist tidak sebanyak zaman
sesudahnya
e. Jarak waktu kewafatannya sangat dekar dengan
kewafatan Nabi hanya sekitar tiga tahun
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan
hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan
yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan,
bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda
dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara
lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat.
2.2 Perkembangan dan Periwayatan Hadist
Pada Zaman Umar Bin
al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan
hadits. Hal ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang
disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits
dari Ubay, setelah para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan
telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay
tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak
menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati
dalam periwayatan hadits ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah
dialami juga oleh Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.
Ke semua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits. Disamping
itu, Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.Kebijakan Umar melarang
para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa
Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a]
agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, [b] agar perhatian
masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh
bukti-bukti berikut ini:
1.
Umar pada suatu ketika pernah menyuruh
umat islam untuk mempelajari hadits Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih
menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2.
Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan
hadits Nabi, Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari
riwayat Umar sekitar tiga ratus hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah
menyebutkan nama-nama shahabat dan tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat
hadits Nabi dari Umar. Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3.
Umar pernah merencanakan menghimpun hadits
nabi secara tertulis. Umar meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para
shahabat menyetujuinya. Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah
dengan jalan melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya
itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam
dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan
terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits diurungkan bukan karena
alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut terganggu
konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan,
bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak
dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini
bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada
periwayatan hadits semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah
memberikan dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada
itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan
hadits, karena Umar telah melakukan
pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepad para periwayat hadits. Umar melakukan
yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling
dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-orang
yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
2.3 Perkembangan dan Periwayatan Hadist
Pada Zaman Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang
periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua
khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah
‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara
pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan
hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh hadits saja.
Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits
yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan,
bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits
tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan
pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan
kepada umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan
itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap
“longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas.
Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan
periwayatan hadits secara ketat.
2.4 Perkembangan dan Periwayatan Hadist
Pada Zaman Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun
tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang benar-benar telah
diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam
bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan,
isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang Islam yang
ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan hokum kisas (qishash) terhadap
orang Islam yang membunuh orang kafir.
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan
hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits.
Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya.
Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat
hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan
pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah
‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat
Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada
zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan
antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan
politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.
Dari urai di atas dapat disimpulkan,
bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah
sebagai berikut:
1.
Seluruh khalifah sependapat tentang
pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
2.
Larangan memperbanyak hadits, terutama
yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar, tujuan pokoknyaialah agar periwayat
bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak
dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
3.
Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah
bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits.
Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani
kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
4.
Masing-masing khalifah telah meriwayatkan
hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama
seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara
tulisan disamping secara lisan.
Adapun penulisan hadits pada masa
Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi,
walaupun pernah khalifah umar bin khattab mempunyai gagasan untuk membukukan
hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat
istikharah. Para shahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena
pertimbang-pertimbangan:
1.
Agar tidak memalingkan umat dari perhatian
terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada
al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga
menjadi mush-haf.
2.
Para shahabat sudah menyebar sehingga
terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan tentang makalah perkembangan hadits pada masa sahabat semoga bermanfaat.