Makalah Perkembangan Hadits pada Masa Muta'akhirin

kali ini admin posting makalah perkembangan hadits pada masa mutaakhirin, silahkan dibaca berikut ini.

1.1             PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA MUTAAKHIRIN
Menurut Endang Soetari (2008 : 66) periode keenam disebut “Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib wa al Istidrak wa al-Jami’I” yakni masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan, berlangsung sejak abad IV sampai 656 H. Sedangkan periode ketujuh berlangsung mulai tahun 656 H. saat berakhirnya Daulah Bani Abbasiyah sampai masa-masa seterusnya. Masa ini disebut; “Ashr al-Syarh wa al-Jami’I wa al-Takhrij wa al-Bahts” yakni masa penyerahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan.
Ulama yang hidup pada mulai abad IV H disebut ulama Mutaakhirin, sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin.
Corak periwayatan Hadits pada masa Mutaqaddimin dengan penukilan langsung dari para penghafal, sedangkan pada masa Mutaakhirin para ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kitab-kitab Hadits yang ditadwin oleh ulama-ulama abad II dan III H.
Bertolak dari hasil tadwin itulah maka ulama-ulama di abad IV H memperluas system dan corak tadwin, menertibkan penyusunan, penyusun spesialisasi dan kitab-kitab komentar serta kitab-kitab gabungan, dan lain-lainnya.
Aktivitas tadwin Hadits abad IV H dan selanjutnya disebut aktivitas Tadwin Ba;da Tadwin. Dari keseluruhan aktivitas tersebut dapat diklasifikasikan dan disimpulkan sebagai berikut:
a.       Tadwin Hadits dengan perluasan dan penyempurnaan system dan corak:
1)      Tadwin Hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih.
2)      Tadwin hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat salah satunya yang kebetulan tidak dishahihkan oleh beliau, kitabnya disebut Mustadrak.
3)      3) Tadwin Istikhraj, yakni dengan mengumpulkan hadits-hadits yang diambil dari sesuatu kitab, misalnya dari al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain dari sanad yang terdapat pada   kita tersebut. Kitabnya disebut Mustakhraj.
4)      Tadwin Athaf yaitu tadwin hadits dengan menyebut sebagian Hadits, kemudian dikumpulkan segala sanad-sanadnya yang terdapat dalam beberapa kitab.
5)      Tadwin dengan usaha mengumpulkan hadits-hadits yang didapat dari suatu kitab, kemudian dikumpulkan dalam suatu kitab lain dengan diterangkan siapa perawinya, dan bagaimana nilai-nilainya. Kitab dengan tadwin cara ini disebut kitab takhrij.
6)      Tadwin dengan menambah hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya menjadi sebuah kitab tertentu. Kitab ini disebut kitab zawaid.
7)      7) Tadwin hadits dengan menggabungkan hadits-hadits yang terhimpun pada kitab-kitab lain, misalnya isi kitab-kitab shahih, kitab-kitab enam. Kitab hasil tadwin dengan cara penggabungan ini disebut kitab Jami’ dan kalau lebih            luas lagi disebut Jawami’
8)      Tadwin dengan komentar, penafsiran dan pembahasan secara luas dan mendalam dari isi kitab-kitab hadits tertentu. Kitabnya disebut kitab syarah.
9)      Adapun tadwin dengan meringkas isi dari kitab-kitab hadits tertentu, maka  kitabnya disebut kitab mukhtashar.
b.      Penyusunan kitab-kitab Hadits secara spesialisasi, maksudnya tadwin dengan                   mengkhususkan ke dalam diwan-diwan tersebuut materi-materi Hadits dalam bidang-bidang tertentu:
1)      Tadwin Hadits Hukuk, yakni khusus membukukan hadits-hadits mengenai hukum.
2)      Tadwin Hadits Targhib, yakni mengumpulkan hadits-hadits mengenai keutamaan amal, menggemarkan perbuatan baik dan menjauhkan perbuatan terlarang.
3)      Tadwin Hadits Qudsi, menghimpun hadits-hadits Qudsi, hadits yang disabdakan oleh Nabi SAW dengan menisbahkan perkataan itu kepada Allah SWT.
4)      Tadwin Hadits Adzkar, menghimpun hadits-hadits Adzkar.
1.2             KITAB-KITAB HADITS DAN KITAB-KITAB PEMBANTU TADWIN
Berikut ini akan dijelaskan kitab-kitab tadwin hadits, baik yang merupakan kitab materi maupun kitab pembantu (ilmu, petunjuk, dan problema), dengan memisahkan menurut berbagai corak dan system tadwinnya:

a)      Kitab (materi) Hadits:
1.      Kitab Hadits masa awas tadwin:
1)      Kitab hadits susunan al-Zuhri
2)      Al-Muwaththa’, Malik ibn Anas (179 H)
3)      Al-Mushannaf, Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)
4)      Al-Mushannaf, Sufyan ibn Uyainah (198 H)
5)      Al-Mushannaf, al-Laits ibn Sa’ad (175 H)
6)      Al-Mushannaf, al-Auza’I (157 H)
7)      Al-Jami’, Abd al-Razaq al-Shan’ani (211 H)
2.      Kitab Musnad:
1)      Al-Musnad, Abu Hanifah (150 H)
2)      Al-Musnad, al-Syafi’I (204 H)
3)      Al-Musnad, Abu Dawud al-Thayalisi (201 H)
4)      Al-Musnad, Ahmad ibn Hanbal (241 H)
5)      Al-Musnad, Zaid ibn Ali
6)      Al-Musnad, Abdullah ibn Musa
7)      Al-Musnad, Musaddad ibn Musarhad
8)      Al-Musnad, Asad ibn Musa al-Amawi
9)      Al-Musnad, Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’I
10)  Al-Musnad, Ishaq ibn Rahawaih
11)  Al-Musnad, Abu Ya’la al-Maushuli
12)  Al-Musnad, al-Humaidi
13)  Al-Musnad, Ali al-Madaidi
14)  Al-Musnad, Abid ibn Humaid
15)  Al-Musnad, al-Bazzar
16)  Al-Musnad, al-Marwazi
17)  Al-Musnad, Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H)
18)  Al-Musnad, al-Baghawi (214 H)
19)  Al-Musnad, al-Masarkhasi (298 H)
20)  Al-Musnad, Baqi ibn Makhlad (196 H)
21)  Al-Musnad, Sa’id ibn MAnshur (227 H)
22)  Al-Musnad, al-Razi
23)  Al-Musnad, al-Khuwarijmi
3.      Kitab Sunan
1)      Al-Sunan, Abu Dawud (275 H)
2)      Al-Sunan, al-Turmudzi (278 H)
3)      Al-Sunan, al-Nasai (303 H)
4)      Al-Sunan, ibn Majah (273 H)
5)      Al-Sunan, al-Darimi
6)      Al-Sunan, al-Dailami
7)      Al-Sunan, al-Daruquthni (358 H)
8)      Al-Sunan, al-Kubra, al-Baihaqi (458 H)
4.      Kitab Shahih
1)      Al-Jami’ al-Shahih, Bukhari (256 H)
2)      Al-Jami’ al-Shahih, Muslim (261 H)
3)      Al-Shahih, ibn Huzaimah (311 H)
4)      Al-Taqsim wa al-Anwa, ibn Hibban (354 H)
5)      Al-Shahih, Abu’Awanah (316 H)
6)      Al-Muntaqa, ibn al-Jarud (307 H)
5.      Kitab Hadits Sirah
1)      Al-Maghazi wa al-Siyar, Muhammad ibn Ishaq (151 H)
2)      Al-Maghazi al-Nabawiyah, Muhammad al-Islami
3)      Sirah ibn Hisyam, ibn Hisyam (213 H)
6.      Kitab Hadits Hukum
1)      Al-Ahkam al-Sughra, al-Asybili (582 H)
2)      Mutaqa al-Akhbar, Al-Harani
3)      Umdah al-Ahkam, al-Maqdisi (600 H)
4)      Ihkam al-Ahkam, Ibn Daiq al-Ied (702 H)
5)      Bulug al-Maram, Al-Asqalani (852 H)
6)      Al-Imam, ibn Daqiq al-Ieq (702 H)
7)      Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid, al-Iraqi (806 H)
8)      Al-Muharrar, al-Maqdisi
7.      Kitab Hadits Targhib Tarhib
1)      Al-Targhib wa al-Tarhib, al-Mundziri (656 H)
2)      Riyadh al-Shalihin, al-Nawawi (676 H)
8.      Kitab Hadits Qudsi
1)      Al-Kalimah al-Thayibah, ibn Taimiyah (728 H)
2)      Hadits Qudsi, Mulla ‘Ali al-Qari (1041 H)
9.      Kitab Hadits Adzkar
1)      Al-Adzkar, al-Nawawi (676 H)
2)      Al-Hishn al-Hashin, al Jazari (630 H)
10.  Kitab Mustadrak
1)      Al-Mustadrak, al-Hakim (405 H)
2)      Al-Mustadrak, al-Dzahabi (748 H)
3)      Al-Izamat, al-Daruquthni (385 H)
4)      Al-Mustadrak, Abu Dzar al-Harawi (434 H)
11.  Kitab Mustakhraj
1)      Mustakhraj Shahih al-Bukhari;al-Jurjani, al-Barqani (425 H), Ibn Mardawaih (416 H), al-Ghatrifi (377 H), al-Harawi (378 H)
2)      Mustakhraj Shahih Muslim;Abu Awanah (316 H), Abu Bakar Muhammad ibn Raja, al-Jauzaqi (388 H)
3)      Mustakhraj Shahih al-Bukhari dan Muslim, Muhammad ibn Ya’qub, Abu Dzar al-Harawi (343 H), al-Sirazi (388 H)
4)      Mustakhraj Sunan Abu Dawud;Muhammad ibn Abd al-Malik
5)      Mustakhraj Sunan al-Turmudzi;al-Thusi
6)      Mustakhraj Shahih ibn Khuzaimah;al-Asbahani
7)      Mustakhraj Mustadrak al-Hakim;al-Iraqi
12.  Kitab Athraf
1)      Athraf al-Shahihain, Ibrahim al-Dimasyqi (400 H)
2)      Athraf al-Shahihain, al-Wasithi (401 H)
3)      Athraf al-Shahihain, al-Asfahani (403 H)
4)      Athraf al-Sunan al-Arba’ah, ibn Asakir al-Dimasyqi (571 H)
5)      Athraf al-Kutub al-Sittab, al-Maqdisi (507 H)
6)      Athraf al-Asyrah, al-Asqalani (852 H)
7)      Athraf al-Shahih ibn Hibban, al-Iraqi (806 H)
8)      Athraf al-Musnad al-Mutali bi Athraf al-Musnad al-Hanbal, al-Asqalani
9)      Athraf al-Hadits al-Mukhtarah, al-asqalani
10)  Athraf al-Musnad al-firdausi, al-Asqalani
11)  Athraf al-Masanid al-Asyrah, al-Bushiri
12)  Athraf al-Sittah, al-Mizzi
13)  Dzakhair al-Mawarits fi Dalalah ala Mawardhi al-Ahadits, al-Madisi (1143 H)
13.  Kitab Takhrij
1)      Takhrij Ahadits Tafsir al-Kasysyaf, al-Zaila’I (762 H), al-Asqalani
2)      Takhrij Ahadits al-Baidhawi, Abd al-Rauf al-Manawi, Muhammad Hammad (1175 H)
3)      Takhrij Ahadits al-Syarh Ma’ani al-Atsar, al-Tahawi
4)      Takhrij Syarh al-Wajiz, ibn al-Mulaqqin (774 H)
5)      Takhrij Ahadits al-Adzkar, al-Asqalani
6)      Talkhis al-Habir, al-Asqalani
7)      Takhrij Ahadits al-Misbah wa al-misykah
8)      Al-Mughni an Naml al-Asfar, al-Iraqi (806 H)
9)      Manahil al-Safa Takhrij Ahadits Syifa, al-Suyuthi
10)  Takhrij Ahadits Minhaj al-Ushul, al-Subki
11)  Takhrij Ahadits Mukhtashar, Ibn al-Mulaqqin
12)  Takhrij Ahasits al-Hidayah fi Fiqh al-Hanafiyah, al-Zaila’I
13)  Al-Dirayah fi Muntahabi Takhrij Ahadits al-Hidayah, al-Asqalani
14)  Takhrij Ahadits Ahadits al-Ihya, al-Iraqi
15)  Al-Maqasid al-Hasanah, al-Shakhawi
16)  Tashil al-Subul ila Kasyfi al-Libas, al-Khalili (1507 H)
17)  Khasyfu al-Khawa wa Muzil al-albas, al-Jaluni (1162 H)
18)  Riyadh al-Shalihin, al-Nawawi
19)  Bulug al-Maram, al-Asqalani
20)  Al-Lu’lu wa al-Marjan, Muhammad Fuad Abd al-Baqi
21)  Al-Arba’in, al-Nawawi
14.  Kitab Zawaid
1)      Zawaid Sunnan, ibn Majah
2)      Ithhaf al-Maharah bi Zawaid al-Masanid al-Asyrah, al-Baghawi (804 H)
3)      Zawaid al-Sunan al-Kubra
4)      Al-MAthalib al-Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, al-Asqalani (852 H)
5)      Majma al-Zawaid, al-Haitami (1303 H)
15.  Kitab Jami’ dan Jawami
1)      Al-Jami’ baina al-Shahihaini, Isma’il ibn Ahmad (414 H), al-Baghawi (516 H), al-Humaidi al-Andalusi (448 H), al-Asybili (582 H), al-Qurthubi (642 H)
2)      Tajrid al-Shihah, Ahmad al-Sarqashi (535 H)
3)      Umdah al-Ahkam, al-Maqdisi (600 H)
4)      Jami’ al-Ushul, Al-Jazairi (606 H)
i.         Tashil al-Wushul, al-Fairuzabadi (818 H)
ii.       Bahr al-Asanid, al-Samarkandi (491 H)
iii.     Al-Ahkam al-Shughra, Abu Muhammad ibn al-Haq
iv.     Jami’ al-Jawami, al-Suyuthi (911 H)
v.       Mashabih al-Sunnah, al-Bahawi (516 H)
vi.     Miskat al-Mashalih, al-Tabrizi (737 H)
vii.   Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, ibn Katsir (774 H)
viii. Kanzu al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, al-Hindi (475 H)
ix.     Al-Jami al-Shaghir min Ahadits al-Basyir al-nadzir,al-Suyuthi
x.       Lubab al-Hadits, al-Suyuthi
xi.     Jami’al-Musanid wa al-Alqab,ibn al-Jauzi
xii.   Ithaf al-maharah bi Zaqaid al-Masanid al-Asyrah,al-Asqalani
16.  Kitab Syarh
a)      Syarh al-Muwaththa’Malik
1)      Al-Tahmid, ibn Abn al-Barr
2)      Al-Qabas, ibn al-Arabi (546 H)
3)      Kasyfu al-Mughaththa, al-Suyuti (911 H)
4)      Al-Musawwa, al-Dahlawi dan al-Zaeqani
b)      Syarh Musnad al-Syafi’I
1)      Al-Syafi, ibn al-Atsir (504 H)
2)      2)Syarh al-Musnad, al-Sindi
c)      Syarh Sirah ibn Hisyam, Mubyi al-Din’abn al-Hamid dan Mushthafa al-Saqa
d)      Syarh Shahih al-Bukhari
1)      A’lam al-Sunan, al-Khaththabi (388 H)
2)      Al-Kawakih al-Darari, al-Kirmani (775 H)
3)      Irsyad al-Sari, al-Qashthalani (923 H)
4)      Al-Tanqih, al-Zarkasyi
5)      Al-Tausyih, al-Suyuthi
6)      Al-Umdah al-Qari, al-Aini
7)      Fath al-BArri, al-Asqalani
8)      Syarah al-Tajrid al-Shahih, Hasan khan dan al-Syarqawi
9)      Jami’al Ushul al-Jazairi
e)      Syarh Shahih Muslim
1)      Al-Mu’lim fi Fawaidi, al-Mazari (536 H)
2)      Al-Ikmal, al-Qadhi Iyadh (544 H)
3)      Minhaj al-Muhaditsin, al-Nawawi (676 H)
4)      Ikmal al-Ikmal, al-Zawawi (744 H)
5)      Ikmal al-Ikmal al-Mulim, Abi al-maliki (927 H)
6)      Al-Mufhim,al-Qurthubi
7)      Syarh Zawaid Shahih Muslim, ibn Mulaqqim (804 H)
f)       Syarh Sunan al-Nasar
1)      Syarh al-Nasai, al-Suyuthi
2)      Syarh al-Nasai, al-Sindi
g)      Syarh Sunan Abu Dawud
1)      Mu’alim al-Sunan, al-Khaththabi
2)      Aun al-Ma’bud, Abu Thayib syams al-Haq
3)      Syarh al-Mujtaba’, al-Suyuthi
h)      Syarh Sunan al-Turmudzi
1)      Syarh al-Turmudzi, al-Suyuthi
2)      Syarh al-Turmudzi, al-Sindi
3)      Aridhah al-Ahqadzi, al-Maliki
i)        Syarh Sunan Ibn Majah
1)      Misbah al-Zujajah, al-Suyuthi
2)      Syarh Sunan Ibn Majah, al-Sindi
3)      Ma Tamussu Ilaih al-Hajah ala Sunan Ibn Majah ibn  al-Mulaqqim
j)        Syarh Sunan al-Darimi
k)      Syarh Shahih ibn al-Jarud
l)        Syarh Musnad Ahmad, al-Sindi
m)    Syarh al-Miskah, al-Baidhaawi (685 H)
n)      Syarh Umdah al-Ahkam, Ihkam al-Ahlkam, ibn Daqiqi al-Ied
o)      Syarh al-Imam fi Ahadits al-Ahkam, al-Imam ibn Daqiq al-Ied
p)      Tarhu al-Tasrib fi Syarh Ritadh al-Shalihin, al-Shiddiqi
q)      Subul al-Sallam Syarh Bulugh al-Maram,al-Shan’ani
r)       Fath al-alam Syarh Bulugh al-Maram, Sidiq Hasan Khan (1307 H)
s)       Dalil al-Falihin Syarh Riyadh al-Shalihin, al-Shiddiqi
t)        Al-Majlis al-Saniyah ala al-arba in al-Nawawiyah al Faryani
u)      Faidh al-Qadir Syarh al-Jami al-Shaghir, al-manawi
v)      Al-Siraj al-Munir syarh Mukhtashar Faidh al-Qadir,al-Azzi
w)    Tanqih al-Qaul al-Hadits Syarh Lubab al-Hadits, al-Nawawi
x)      Al-Futuhah al-Rabbaniyah ala al-Adzkar al-Nawawiyah Syarh al-Adzkar  ibn Allan Al-Shiddiq
17.  Kitab Mukhtashar
1.      Al-Muwaththa Malik
1)      Mukhtashar al-Khaththabi (388 H)
2)      Mukhtashar al-Baji (774 H)
3)      Tanwir al-Hawalik Syarh Kasyfu al-Mughththa al-Sayuthi
2.      Shahih al-Bukhari
1)      Al- Tajrid al-Shahi, al-Mubarak (631 H)
2)      Tafsir al-Wushul ila jami al-ushul, al-zabidi (944 H)
3.      Kitab Pembantu
4.      Kitab-Kitab Ulum al-hadits
a.       Kitab Rijal al-hadits
1)      Al-Isti’ab ibn Abd al-Barr (463 H)
2)      Al-Tajrid, al-Dzahabi (747 H)
3)      Al-Ishabah al-asqalani
b.      Kitab Jarh wa al-Tadil
1)      Al-Tsiqat, al-Busti
2)      Al-Takmil, ibn Katsir
3)      Al-Kamal al-Maqdisi
c.       Kitab Fath Al mubhamat:
1)      kitab Fan al-Muhammad, Al-Baghdadi
2)      Al-Isyrata ila Bayan Asma Al - Mubhamat, al-Nawawi
3)      Hidayat al-Sari Al-'Asqalani.
d.      Kitab 'Ilal al-Hadits:
1)      'Ila al- Hadits, Ibn al- Madini (234 H.)
2)      'Ila al- Hadits, Ibn al-Hatim (327 H.)
3)      'Ila al- Hadits, Muslim (261 H.)
4)      'Ila al- Hadits, al-Daruquthni (375 H.)
e.       Kitab Gharib Al-Hadits:
1)      Gharib al-Hadits, al-Qasim (224 H.)
2)      Gharib al-Hadits, Ibn Qutaibah (276 H.)
3)      Al-Faiq, al-Zakamsyari
4)      Al-Nihayah, Ibn Atsir (606 H.)
5)      Al-Dur al-Natsir, al-Suyuthi (911 H.).
f.       Kitab Tashhif Tahrif:
1)      Al-tashhif wa al-Tahrif,  al-Daruquthni (385 H.)
2)      Al- Tashhif wa al-Tahrif, Abu Ahmad al-'Askari (283 H.)
g.       Kitab Nasikh Mansukh:
1)      Nasikh Mansukh, Al-Dimiri (318 H.)
2)      Nasikh Mansukh, Al- Ashbhahani (322 H.)
3)      Nasikh Mansukh, Al-Nahhas (338 H.)
4)      Al-I'tibar, Muhammad Ibn Musa Al-Hazimi (584 H.)
h.      Kitab Asbabul Wurud al-Hadits:
1)      Asbab Wurud al-Hadits, al-'Ukhbari
2)      Asbab Wurud al-Hadits, Ahmad (309 H.)
3)      Al-Bayan wa al-Ta'rif, al-Husaini (1120 H.)
i.        Kitab Talfiqh al-Hadits:
1)      Talfiqh al-Hadits, al-Syafi'i (204 H.)
2)      Talfiqh al-Hadits, Ibn Qutaibah (276 H.)
3)      Talfiqh al-Hadits, al-Thahawi (321 H.)
4)      Talfiqh al-Hadits, Ibn Al-Jauzi (597 H.)
5)      Syarh Al-Thahqiq, Ahmad Muhammad Syakir.
j.        Kitab Musthaalah Hadist:
1)      Musthaalah Hadist, Ramahurmuzi (360 H.)
2)      Musthaalah Hadist, al-Naisaburi
3)      Musthaalah Hadist, al-Ashbahani
4)      Musthaalah Hadist, al-Khatib (463 H.)
5)      Muqaddamah Ibn al-Shalah, Ibn Shalah (643 H.)
6)      Al-Irsyad, al-Nawawi, (676 H.)
7)      Al-Taqrib, al-Nawawi
8)      Tadrib al-Rawi, al-Suyuthi
9)      Fath al-Mughits, al-'Iraqi (855 H.)
10)  Al-Nukah al-Waiyah, al-Biqa'i (855 H.)
11)  Nukhbat al-Fikar, al-A'sqalani (852 H.)
12)  Nuzhah al-Nazhar, al-A'sqalani (852 H.)
13)  Taujih al-Nazhar Fi Ushul al-Atsar, al-Jazari
14)  Qawa'id al-Tahdist, al-Qasimi.
5.      Kitab Petunjuk
a)      Al mu'jam al-Kabir, al-Aushat, al-Shaghir, al-Thabrani
b)      Al-Nihayah, Ibn al-Atsir (606 H.)
c)      Al-Jami' al-Shaghir, al-Suyuthi (911 H.)
d)      Miftah Kunuz al-Sunnah, A.J. Wensink dan Muhammad Fuad 'Abdl al-Baqi
e)      Mu'jam al-Mufahrasy.
6.      Kitab Problema
a)      Mukhtalif al-Hadits, al-Syafi'i (204 H.) 
b)      Ta' wil mukhtalif al-Hadits, Ibn Qutaibah (276 H.)
c)    Al-Maudhu'at al-Kubra, al-Jauzi.
Di dalam kitab-kitab tersebut, terhimpun Sunnah Nabi Muhammad SAW, meskipun berbeda corak dan volumenya, namun keseluruhan isi kitab-kitab tersebut merupakan kebulatan diwan Hadist Nabi SAW yang saling lengkap melengkapi.
Maka dengan terhimpun nya hadist Nabi SAW dalam kitab-kitab Hadis dan lengkap dengan kitab-kitab Ulul Al-Hadits, hal itu merupakan bukti keberhasilan usaha tadwin yang ditekuni oleh ulama Muhaditsin sepanjang masa. Kitab-kitab tersebut merupakan sarana bagi pengamalan syari'at Islam tersebut.
Dengan demikian, usaha tadwin hadis telah mencapai target dari segala yang menjadi sasaran dan tujuan nya  sebagaimana telah diperinci dan dijelaskan di muka, yakni faedah yang kembali bagi syari'at dan bagi umat Islam atau umat manusia dalam menghadapi segala tugas hidup dan kehidupan.
Proses pemeliharaan hadis dan hasil-hasil tadwin hadis merupakan hal yang gemilang dan bernilai sangat tinggi, Islam telah memperlihatkan cara yang paling baik dalam penentuan dan pemeliharaan ajaran syari'atnya.
Betapa tidak, sebab setelah membukukan al-Qur'an, Islam mampu menghimpun ajaran Nabi SAW dalam koleksi yang lengkap dengan sanad atau jalan periwayatannya, yang disusun secara teliti cermat dan meyakinkan kebenarannya.

1.3             KEDUDUKAN HADIST DALAM SYARI'AT ISLAM
1.      HADIST SEBAGAI DASAR TASYRI'
Yang dimaksud dengan tasyri adalah menetapkan ketentuan syari'at Islam atau hukum Islam. Hukum Islam adalah firman syar'i yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.
Pengertian hukum Islam menurut Ushul Fiqh ialah firman (nash) dari pembuat syara' baik firman Allah maupun Hadist Nabi SAW.
Syari'at adalah hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya dengan perantara Rasulullah SAW supaya para hamba melaksanakan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliah lahiriah, maupun yang mengenai akhlak dan aqidah yang bersifat bathiniah.
Syari'at Islam dalam arti luas meliputi segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah.
Hukum Islam meliputi: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i.
a.       Hukum Taklifi adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni:
1.      Ijab (wajib), yaitu firman Allah yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, dicela meninggalkannya.
2.      Nadh (anjuran), yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, tidak dicela meninggalkannya.
3.      Tahrim (larangan), yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti, dicela mengerjakannya.
4.      Ibahah (kebolehan), yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
b.      Hukum Wadh'i adalah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatan-perbuatan itu, seperti sah atau batal, rukhsah dan a'zimah. Umpamanya apabila timbul darurat, sebagai rukhshah, maka yang asalnya tidak boleh menjadi boleh. Sedangkan a'zimah, adalah hukum yang ditetapkan yang harus dijelaskan dalam keadaan biasa, normal, bukan untuk meringankan.
Dasar syari'at dan hukum Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan Islam adalah al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad.
Al-Qur'an sebagai pokok hukum merupakan dasar pertama dan Hadist sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau urutan derajat, Al-Qur'an lebih tinggi derajatnya dari Hadist.
Yang menjadi alasan penempatan urutan derajat al-Qur'an lebih tinggi dari Hadits, antara lain:
1.      Al-Quran adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis secara resmi dan seksama oleh penulis wahyu atas perintah Nabi, dikumpulkan dalam mushhaf yang terpelihara dalam keasliannya tanpa perubahan walau huruf.
Sedangkan Hadis tidak sampai derajat demikian. Pada dasarnya Hadits bersifat zhanni. Hadits qauli hanya sedikit sekali yang mutawatir berupa amal praktek ibadah, seperti shalat, baik cara maupun raka'atnya, tentang puasa, haji, dan lain-lain.
2.      Al-Qur'an merupakan asal dan pangkal bagi hadits. Segala yang diuraikan hadits berasal dari al-Qur'an. Hal itu sebabnya al-Qur'an lengkap isinya, agama telah disempurnakan dengan uraian yang dipaparkan dalam al-Qur'an maka hadits berfungsi untuk menerangkan dan masyarahkan apa yang termaktub dalam al-Qur'an.
3.      Menurut petunjuk akal, kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah yang telah diakui dan dibenarkan umat Islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum syari'at kepada umat, kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah. Dan kadang-kadang beliau membawa peraturan-peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan Ilham dan dari Allah. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh Ilham.
Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menashkannya. Sudah seharusnya kalau peraturan-peraturan dan inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun ijtihad beliau, ditempatkan sebagai sumber hukum. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk mentaati segala peraturan yang telah di bawanya.
4.      Penjelasan dari al-Qur'an, Hadis Nabi SAW dan fatwa sahabat yang menerangkan jenis sumber dan dasar hukum Islam dan rutbahnya, sebagai berikut:

a.       Firman Allah
"Dan taatilah olehmu Allah dan Rasul supaya kamu dirahmati" (QS. Ali 'Imron 3:132)
b.      Firman Allah:

"Tiada diberikan keharusan kepada orang mukminin lelaki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum akan memilih-milih bagi urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul maka sungguh telah sesat yang sangat nyata." (QS. al-ahzab 33:36)
c.       Hadis Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Turmidzi Ketika Nabi SAW mengutus Mu'adz ibn Jabbal ke Yaman:




"Bagaimana engkau memutuskan perkara apabila dihadapkan kepadamu suatu perkara? Berkata (Mu'adz): saya memutuskan perkara dengan (ketentuan) kitab Allah. Rasul bersabda, jika engkau tidak mendapati di dalam Kitab Allah? Mu'adz menjawab, dengan Sunnah Rasul. dan tidak didapati juga pada Sunnah Rasul? Mu'adz menjawab, saya berijtihad dengan kekuatan akalku dan tidak melampaui batas" Riwayat Abu Dawud.
d.      Hadis Nabi Muhammad SAW:



"Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat sesudahnya, yakni Kitab Allah dan Sunnahku" Riwayat  al-Hakim.


e.       Fatwa sahabat 'Umar kepada Syuraih, Qadhi Kufah:


"Lihatlah apa yang telah terang kepada engkau di dalam Kitab Allah! Janganlah bertanya tanya lagi tentangnya kepada seseorang. Dan apa yang tidak nyata kepada engkau dalam Kitab Allah maka Ikutilah terhadapnya Sunnah Rasul SAW".
5.      Tentang dasar hukum islam itu telah terjadi ijma’ dikalangna para sahabat, yang telah sepakat menetapkan wajib al-ittiba’ (taa) terhadap hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun sesudah wafat. Di waktu Rasul masih hidup, para sahabat konsekuen melaksanakan hukum-hukum Rasul, mematuhi peraturan dan meninggalkan larangan – larangannnya. Sepeninggal Rasullulah SAW para sahabat, seperti Abu Bakar bila tidak menjumpai ketentuan hadits, atau kalau tidak ingat akan suuatu ketentuan dalam hadits Nabi, menanyakan kepada siapa yang mengingatnya. ‘Umar dan sahabat lainnya meniru tindakan Abu Bakar terebut. Atas tindakan para khulafa Al-Rasidyin tersebut tidak ada seorang pun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karenanya, hal sedemikian itu merupakan ijma’.
6.      Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqatnya, menerangkan bahwa Al-qur’an dan Hadits sebagai dasar hukum islam dan rutbah hadits di bawah rutbah al-Qur’an oleh karena :
a.       Al-Qur’an diterima dengan jalan qath’i, global,dan detailnya diterima dengan meyakinkann, sedangkan hadits diterima dengan jalan zhan, keyakinan kepada hadits hanya sebatas global, bukan secara detail.
b.      Hadits ada kalanya menerangkan sesuatu yang mujmal dari al-Qur’an, ada kala menyarah al-Qur’an, bahkan mendatangkan yang belum didatangkan oleh al-Qur’an.

Ketika hadits bersifat bayan atau syarah, tentu keduanya keadaannya tidak sama dengan derajat pokok ynag dijelaskannya. Nash yang bersifat pokok dipandang sebagai azas, yang bersifat syarh dipandang cabang. Sedang jika bersifat mendatangkan (suatu hukum) yang tidak didatangkan al-Qur’an, tiadalah diterima kalau berlawanan dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, namun diterima kalau didatangkan itu tidak ada dalam al-Qur’an.
7.      Dari segi kewahyuan diketahui, bahwa al-Qur’an dan dalam hadits adalah wahyu, baik dalam arti al-Ilha maupun dalam arti al-Muhabih.Hadits merupakan bagian dari wahyu, sebagai mana difirmankan Allah SWT :



Wahyu dalam makna al-Iha berarti menyampaikan sesuatu pengetahuan dengan cara tersembunyi dan cepat, yakni penyampaian syari’at oleh Allah kepada Nabi dengan jalan tersembunyi, yang menghasilkan ilmu yang qath’i datangnya dari Allah SWT.
Penyampaian informasi dari Allah SWT dalam al-Qur’an :

a.       Penyampaian dengan jalan ilham, yaitu memberikan makna pada hati Nabi SAW secara cepat dengan ilmu yakni bahwasanya hal itu dari Allah SWT, pemberiannya terkadang saat tidur dan terkadang pada saat terjaga. Penyampaian seperti itu adalah maksud dari kalimat “illa wahyan” pada ayat di atas.
b.      Pembicaraan dibelakang hijab atau tanpa sepengetahuan Nabi bahwa itu adalah Allah, saat berfirman dan yang ada terdengar kalimat-kalimat-Nya. Seperti contoh, pemberian wahyu pada Nabi Musa AS atau pada saat Nabi Muhammad SAW mi’raj dan menerima perintah shalat.
c.       Penyampaian informasi Allah bagi Nabi melalui perantaraan malaikat dalam keadaan tertidur maupun terjaga. Malaikat pada saat itu berwujud dirinya sendiri atau menyerupai manusia. Terkadang Nabui tidak melihat apa-apa dan yang terdengar hanya kerasnya gemerincing suara.
Wahyu dalam pengertian al-mubahih terbagi kepada matlu dan ghair matlu.
a.       Matlu (dapat dibaca)yaitu, Al-Qur’an yang Allah jadikan sebgai mu’jizat dan hujjah Nabi Muhammad SAW dan Dia menjaganya dari perubahan serta penyimpangan sampai hari kiamat (Q.S. Al-Hijr : 9). Diturunkan oleh jibril melalui lafzh serta maknanya, tidak memungkinkan bagi seorang pun untuk mempengaruhinya, karena ia diturunkan dari Allah SWT (QS. Al-Syu’ara : 193). Dan ijma’ ulama menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui perantaraan malaikat jibril dalam keadaan terjaga dan tidak melalui cara penyampaian wahyu lainnya.
Salah satu kekhususan al-Qur’an adalah berupa bagi yang membacanya pada saat salat dan diluar itu, dan tak seorang pun untuk meriwayatkan secara makna, karena lafazh dan maknanya adalah mu’jizat.
b.      Ghair Matlu bih (tidak dapat dibaca dengannya), yaitu hadits atau al-Sunnah al-Nabawayih, berdasar firman Allah : “dan tidaklah yang diucapkan itu menurut hawa nafsnya. Ucapan itu tiada lain hanyalahwahyu yang diwahyukan (kepadanya),(Q.S. Al-Najm : 3) dan “barang siapa yang mematuhi rasul maka sudah mematuhi Allah...” dan sebagainya.
Hadits memang berbeda dengan al-Qur’an, ia diturunkan dengan makna serta lafzh dari Nabi Muhammad SAW sehingga umat boleh meriwayatkannya secara makna yang pernah diriwayatkan oleh para ulama. Lafazh al-Sunnah bukanlah mu’jizat dan tidak mennjadi ibadah bagi yang membacanya. Namun secara umum, karena hadits berisikan  ajaran Islam, maka wajib untuk dipelajari.
2.      FUNGSI HADITS SEBAGAI BAYAN AL-QUR’AN

            Umat islam mengambil hukum-hukum Islam dari al-Qur’an yang diterima dari Rasul SAW dalam pada itu kerap kali al-Qur’an membawa keterangna-keterangan yang bersifat mujmal, tidak mufashal; kerapkali membawa keterangan bersifat mutlaq, tidak muqayyad. Perintah salat, al-Qur’an secara mujmal seklai, tidak menerangkan bilangan raka’atnya tidak menerangkan syarat, rukun dan kaifiyatnya.
            Memang hanya hukum dalam al-Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat, rukun-rukunnya, btal-batalnya dan lain-lain dari hadits Rasulullah. Dalam pada itu banyak pula kejadian-kejadian yang terjadi yang tak ada nash yang menashkan hukumnya dalam al-Qur’an yang tegas terang. Dalam hal ini lebih-lebih lagi diperlukan ketetapan Nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syari’at dan undang-undang umat.
            Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Nahl : 44 :


            Firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran : 164 :


Jumhur ulama dan dan ahli tahqiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hikmat dalam ayat ini ialah keterangan-keterangan agama yang diberikan Allah kepada Nabi mengenai hikmat dan hukum yang danamai sunnah atau hadits.
Hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum islam, menerangkan segala yang dikehendaki al-Qur’an, sebagai penjelas, penyerah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang mempertanggung jawabkan kepada yang bukan zhahirnya.
Para ulama ahl al-Ra’y maupun ahl al-Atsar sepakat menetapkan, bahwa Hadits berkedudukan dan berfungsi untuk menyerahkan dan menjelaskan al-Qur’an. Akan tetapi para ulama ahl al-Ra’y memberi batasan penjelasan-penjelasan hadits yang diperlukan, sedang ahl al-Atsar melebarkan lapangan penjelasan itu.
Menurut fuqaha ahl al-Ra’y, sesuatu titah al-Qur’an yang khas madlunya tidak memeelukan lagi penjelas hadits. Hadits yag datang mengennai titah yang khas itu ditolak, yang demikian dihukum menambah sehingga tidak diterima, kecuali kalau sama kekuatannya dengan ayat itu.
Fuqaha ahl al-Atsar berpendapat, segala Hadits yang shahih mengenai masalh yang telah diterangkan al-Qur’an harus dipandang menjelaskan al-Qur’an, mentakhsiskan umum al-Qur’an, mengqayidkan mutlaq al-Qur’an.
Sandaran ahl al-Ra’y dalam hal ini adalah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Aisyah :
1.      Abu Bakar pernah mengumpulkan para shahabat  dan menyuruh menolak hadits yang berlawanan dnegan al-Qur’an.
2.      ‘Umar pernah menolak hadits fatimah binti Qais yang menerangkan, bahwa istri yang ditalak habis tidak berhak diberikan nafkah dan tempat, karena berlawanan dengan zhahir ayat surat al-Thalaq. Menurut zhahir ayat, segala wanita yang ditalak mendapat nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah.Umar berakta : ”Saya tidak meninggalkan kitab Allah lantaran berita seorang wanita yang boleh jadi dan benar dan boleh jadi salah.”
3.      ‘Aisyah menolak hadits yang menerangkan bahwa orang mati disiksa dengan sebab tangisan keluarganya, dengan mengemukakan ayat :

Beliau juga  menolak hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW melihat Tuhan dengan mata kepalanya, dengan  mengemukakan ayat :

1.      Menurut ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanifah)
a.       Bayan Taqrir : keterangan yang didatangkan hadits untuk menambah kokokh apa yang diternagkan oleh al-Qur’an.
Contohnya, hadits Nabi SAW tentang melihat bulan untuk berpuasa ramadhan



Hadits ini menguatkan firman Allah SWT :



b.      Bayan Tafsir : menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui pengertiannya, yang mujmal dan yang musytarak fihi.
Contoh, hadits Nabi SAW :




Hadits ini menerangkan kemujmalan al-Qur’an tentang shalat.
Hadits Nabi SAW :





Ini menerangkan kemujmalan perintah al – Qur’an tentang zakat. Hadits Nabi SAW :




Hadits Nabi SAW :






Hadis diatas menerangkan ayat al-Qur’an tentang quru yang musytarak fihi :





c.       Bayan Tadlil (Nasakh) : mengganti sesuatu hukum atau menashk kan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menurut ulam ahl al-Ra’y boleh. Menashk kan al-Qur’an dengan hadits boleh kalu hadits itu muttawatir, masyhur atau mustafidh. Mengkhususkan keumuman makna al-Qur’an dengan hadits, mereka tidak membolehkannya, kecuali kalau hadits itu muttawatir atau mayshur. ‘Am yang disepakati menerimanya lebih utama diamalkan daripada khash yang diperselisihkan unutk diterima. Abu hanifah memegangi dan mendahulukan keumuman makna hadits :





Daripada makna yang khash  :






2.      Menurut Malik
a.       Bayan Taqrir : menetapkan dan mengokohan hukum-hukuum al-Qur’an :







b.      Bayan Taudhih (tafsir) : menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yang menerangkan maksud ayat yang dipahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang  dimaksud oleh ayat sendiri. Seperti ayat :







Waktu ayat ini diturunkan para sahabta merasa berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka bertanya kepada Nabi SAW, maka nabi menjawab : “Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamuyang sudah kamu zakati.” Mendengar sabda tersebut, ‘Umar mengucapkan takbir.
Penjelasan diatas termasuk kedalam bayan Taudhih, yaitu menentukan salah satu kemuhtamilan, mengqayidkan yang muthlaq dan mentakhsiskan yang umum.
c.       Bayan Tafshil : menjelaskan kemujmalan al-Qur’an seperti hadits-hadits yang mentafshilkan kemajmulan tentang salat :




d.      Bayan Bashthi (tasbith atau ta’wil) : memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an, seperti ayat :



Kisah yang dimaksudkan oleh ayat ini telah direntang panjangkan oleh hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, muslim, abu daud, al-Tirmidzi, al – Nasa’i dan majah dengan sebab Nabi SAW mencegah orang berbicara dengan orang yang tiga itu.
e.       Bayan tasyri : mewujudkan hukum yang tidak tersebut di dalam al-Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang sanksi dan sumpah apabila mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi; dan radha’ah (saudara sepersaudaraan) mengharamkan pernikahan antara keduanya, mengingat ada hadits yang menyatakan :







3.      Menurut al-Syafi’i
a.       Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat mujmal, yang sangat ringkas petunjuknya.
b.      Bayan Takhsish, Menentukan sesuatu dari umumnya ayat.
c.       Bayan Ta’yin, menentukan mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksud.
d.      Bayan Tasyri’, menetapkna hukum yang tiada didapati dalam al-Qur’an secara tekstual.
e.       Bayan Nasakh, menentukan mana yang dinashkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.
4.      Menurut ahmad bin hambal
a.       Bayan Ta’kid (taqrir), menerangkan apa yang dimaksudkan  oleh al-Qur’an apabila hadits itu bersesuaina petunjuknya dengan petunjuk al-Qur’an.
b.      Bayan Tafsir, menjelaskansuatu hukum al-Qur’an dengan menerangkan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an.
c.       Bayan Tasyri’, mendatangkan suatu hukum yang didiamkan oleh al-Qur’an, yang tidak nditerangkan hukumnya.
d.      Bayan Takhsish dan Taqyid, mengkhususkan al-Qur’an dan mengqayidkannya.
Dari uraian-uraian diatas jelaslah bahwa hadits merupakan dasar juga bagihukum-hukum islam setelah al-Qur’an umat islam harus mengikuti petunjuk hadits sebagaiman dituntut mengikuti petunjuk al-Qur’an.
Allah mewajibkan umat untuk mengikuti dan mentaati Rasul SAW yakni dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan meningalkan larangan-larangannya. Allah berfirman :



Allah memerintah kan kita mengikuti Rasul sebagimana mentaati Allah :


Pandangan poblematik tentang hadist
Apabila ditelusuri sejarah, ternyata disamping adanya kesepakatan dari umat muslim untuk menerima hadist sebagai dasar tasri ,namun terdapat pula pandangan problematic tentang hadist. Bahkan ada sejumlah kecil yang menolak hadist sebagai dasars yariat islam kedua setelah al-quran.
Pada abad 2 hijriah ,muncul faham yang menyimpang darigaris khitbah yang telah dilalui oleh sahabat tabiin , yakni ada yang tidak mau menerima hadist sebagai hujjah dalam menetapkan hokum , atau bila tidak dibantu oleh al-Qur’an , dan ada pula yang tidak menerima hadist ahad. Dalam pada itu, terdapat perbedaan faham dalam hal keadilan sahabat , hokum menulis hadist , keberadaan pemalsuan hadist dan lain-lain.
Problematika tersebut dibahas seksama oleh para ulama dari berbagai keahlian  : tafsir, hadist, ilmu kalam, fiqh dan tasawuf , terutama menggunakan dalil yang jelas dari al-Qur’an dan hadist, logika yang kuat dan fakta-fakta historis yang kuat sejak zaman nabi saw
Tentang  hukum  menulis hadist dan pemalsuan hadist telah dibahas dalam sejarah perkembangan hadist.
Tentang pemalsuan hadist, memang merupakan suatu kenyataan , namun telah dianalisis siapa sebenarnya pelakunya, dan telah diadakan penangulangan oleh para ulama dan kaum muslimin pada umumnya.
Adapun ikhtilaf tentang penerima hadist atau hadist ahad sebagai dasar tasyri’ dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwha hadist ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan amal walaupun bersifat zhan.
2.      Ahmad, al-mahasibi, al-karasibi, abu sulaiman dan malik berpendapat bahwa hadist ahad biasa qath dan wajib diamalkan.
3.      Kaum rafidhah ,al-qasimi, ibn dawud dan sebagian kaum mu’tazilah mengingkari hadist ahad sebagai hujjah.
Alasan penolakan hadist ahad sebagai hujjah adalah sebagai berikut :
1.    Hadist ahad itu bersifat zhan bias mengandung kesalahan, maka tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Allah berfirman :











2.    Karena telah sepakat bahwa hadist ahad tidak dapat dijadikan landasan dibidang ushul dan aqidah, maka tentunya begitu pula untuk bidang furu’.
3.    Sikap nabi saw yang tidak segera merespon terhadap informasi dzu al-yaddin bahwa nabi menyudahi shalat ‘isya dua rakaat. Baru setelah abu bakar dan umar membenarkan ucapan dzu al-yadin, nabi saw menyempurnakan shalat dan melakukan sujud sahwi.
4.      Sahabat menolak pemberitaan seseorang, seperti abu bakar menolak imformasi mughirah tentang warisan nenek dari cucu, umar menolak riwayat abu musa tentang isti’dzan dan ‘aiyah menolak khabar ibn ‘tentang disikanya mayat karena tangisan keluarganya.
Jawaban dan penjelasan dari ulama yang menerima hadist ahad sebagai hujjah sebagai berikut :
1.      Hadist ahad walaupun bersifat zhan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu dan menjadi pegangan semenjak masa nabi saw dan sahabat, maka dengan ijma nya bersifat qath’i.
2.      Qias soal ushl dan furu kurang tepat. Zhan untuk masalah furu biasa diterima mengingkat kasus fatwa dan kesaksian.
3.      Nabi saw menangguhkan penyempurnaan shalat isyaKarena ragu, setelah abu bakar dan Umar memberitahu ,baru nabi saw berbuat.
4.      Kaum tersebut bukan berarti abu bakar dan asiyah menolak berita perorangan,  namu untuk ihtiyat dan mencari landasan yang lebih kokoh.
Al-qur’an tidak membuat segala persoalan secara detail, banyak ketetapan yang memerlukan penjelasan dan interprestasi dari berbagai aspek, baik dalam hal ubudiyah maupun dalam hal muamalah,  dan yang bertugas pertama untuk memberi penjelasan tersebut adalah Rosulluwoh saw .
Kenyataan sejarah menunjukan, bahwa para sahabat dan tabiin menerima hadist ahad dan mengamalkannya dan banyak hokum disandarkan kepada hadist-hadist ahad. Jika suatu pada ketika ada sahabat tidak menerima pemberitaan perorangan ,hal itu adalah karena ada suatu sebab tertentu .
Dari lingkungan eksternal umat muslim, terdapat problema p ndangan negative berubah kritikan –kritikan tentang hadist dilakukan dan datang dari orintalis, yakni sarjana-sarjana barat yang mengadakan kegiatan dengan mempelajari segala sesuatu mengenai negeri-negeri timur, tentang kebudayaan, keagamaan, dan peradaban dari bangsa-bangsa dinegeri timur, termasuk didalamnya atau terutama mengenai islam, dan peradabannya.
Adapun kritik-kritik mereka tentang hadist sebagai berikut :
1.    Beberapa orientalis berpendapat bahwa sebagian besar hadist adalah buatan orang islam, bukan sabda nabi saw hadist yang betul-betul dari nabihanya sedikit sekali dan tidak dijadikan hujjah yang mut’ammad dizaman permulaan islam.
Ignace goldziher mengataka, bahwa hadist sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan kemasyarakatan dalam abad 1 dan 2 hijriah.
2.      Mereka berpendapat pula, bahwa hadist tidak dapat dijadikan dasar tasry, hanya al-qur’anlah dasar pembinaan hokum islam.
Hal ini karena Hadits tidak dapat diyakini keberadaannya mrngingat bayannya perbedaan lafazh dan pertentangan satu sama lain.
Dengan berdalil pada ayat-ayat al-Qur’an :











3.    Mereka menuduh, bahwa untuk kepentigan golongan dan partai, umat islam memalsukan hadist, seperti yang dilakukan oleh khalifah bani ummayah untuk alasan dari praktek berkhutbah duduk dan berikut bahas belum solar hari raya, bahwa itu berdasarkan dari hadist nabi saw dan sabahat sudah pernah berkhuthbah dengan cara duduk.
4.    Mereka mengatakan, bahwa yang oleh islam dikatakan adil ternyata benar, sebab terbukti bahwa ada sementara tidak adil. 
5.    Meragukan  kebenaran  hadist yang  terdapat  pada kitab-kitab hadist.
6.    Mereka menilai bahwa sistematika tadwin hadist tidak baik dan tidak memenuhi persyaratan ilmiah serta tidak memudahkan untuk penggunaanya.
7.     Mereka mengatakan bahwa diwan hadist secara keseluruhan tidak memuaskan, terbukti bahwa ulama islam juga anak yang tidak menerima hadist sebagai hasilt tadwin tersebut. Terhdap kritik-kritik di atas, ulama-ulama islam telah memberikan respon , dengan cara meski pernyataan tersebut setelah mengadakan analis, penelitian dan pembahasan. Adapun jawaban terhadap kritik diatas adalah sebagai berikut :
1.      Sejak permulaan islam, hadist adalah dasar syariat islam yang menjdi pedoman pengalaman agama bagi umat muslim dan telah meja didarah daging umat muslim sebab selalu dihapal, dimengerti dan diamalkan dengan penuh ketaatan.
2.      Hadist mutawatir memfaidahkan yakin, terhadap hadist shahih dan hasan, jumhur ulama menetapkan sebagi hujah. Setiap hadist sesudah jelas derajat dan nilainya, tertera atau dapat dipahami dari diwan-diwan hadist. Dengan demikian, tidak sewajarnya untuk tidak menerima hadist sebagai dasar tasyri. Hadist berfungsi sebagai interpretasi al-qur’an berlaku tetap dalam kebulatannya sebagai pedoman pelaksanaan agama islam.



Jadi,  “ahl al-Dzikr” adalah “ahl al-‘ilm bi Din Allah wa Syari'atihi”, yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadist.
3.      Dari adanya pertentangan politik, betul telah menimbulkan pemalsuan hadist, namun yang membuat hadist-hadist palsu tersebut bukanlah ulama-ulama hadist, bukan pula muslim yang taqwa, akan tetapi mereka yang lemah imannya yang lebih mementingkan kepentingan golongan sendiri dengan merugikan agama. Oknum-oknumnya ialah orang munafik, zindik yang di tidak ikhlas beragama islam dan mau menyeret Islam kepada kehancuran. Pendakwaan bahwa pemalsuan Hadist meluas pada bidang ibadah, maka hal ini memang kaum zindiq memalsukan hadist di berbagai bidang; akidah, ibadah, imamah dan jana’ah.
Adapun tentang tuduhan bahwa khalifah bani umayah merubah cara ibadah (khutbah Jum’at dan Hari raya) dengan membikin-bikin Hadist, maka para ulama telah membahasnya pula. Perbuatan mu’awiyah membikin pagar tempat shalatnya, dan berkhutbah sambil duduk karena badan gemuk dan Marwan berkhutbah pada hari Raya sebelum shalat, karena terbiasa orang-orang pulang setelah melakukan shalat tersebut selagi imam berkhutbah, semuanya itu bukanlah pemalsuan Hadist, tapi ijtihad mereka dikala itu dengan adanya perubahan sikap pada masyarakat.
4.      Bahwa sasaran kritik orientalis tentang perawi hadist kepada Abu Hurairah dan al-Zuhri adalah dapat dimaklumi, sebab justru dua tokoh itulah pemuka Hadist. Abu Hurairah adalah perawi terbanyak dan al-Zuhri pelopor tadwin hadist. Harapan mereka, bila umat bisa percaya pada informasi mereka tentang kecacatan kedua tokoh tersebut, maka akan hilanglah kepercayaan kepada semua ulama hadist yang lain dan lemah pulalah hadist karenanya. Dari kitab biografi yang mu’tabar dan dari kitab Jarh wa al-Ta’dil, kita dapat mengetahui hal ihwal Abu Hurairah yang sebenarnya. Beliau adalah muslim mutaqiin, semasa hidup Nabi SAW sejak ia masuk Islam selalu menyertai Nabi, semangat periwayatannya sama sekali bukan mencari kemegahan dan untuk bermudah-mudah, tetapi karena ketaqwaannya, juga dalam rangka mentabliqkan amanat, mentaati nawahi Nabi SAW tentang menyembunyikan ilmu. Abu Hurairah sendiri sudah menjelaskan tentang periwayatan Hadist, bahwa andaikata tidak ada ayat yang mengancam orang yang menyembunyikan ilmu maka ia tidak akan meriwayatkan apa-apa. Abu Hurairah berkata:




Tentang hadist memelihara anjing, maka dapat dijjelaskan bahwa hadist Abu Hurairah tidak menyendiri, tetapi banyak riwayat melalui sanad yang lain. Mengenai al-Zuhri yang oleh orientalis dituduh memalsu hadist, oleh ulama-ulama Jarh wa al-Ta’dil telah diteliti dengan seksama dan ternyata ia termasuk ulama yang wara’ dari kalangan sahabat Nabi kuat hafalan dan termasuk ulama yang terkemuka, seperti dikemukakana oleh para ulama sebagai berikut:
Ibn Sa’ad berkata:


Ahmad ibn Hanbal menyatakan:



‘Amer ibn Dinar menyatakan pula:



5.       Umat Islam masa Nabi SAW selalu berusaha mendapatkan hadist (pengajaran) dari Nabi SAW yang jauh tempat tinggalnya berusaha bergiliran mendatangi nabi SAW agar mendapat pelajaran. Hadist-hadist tersebut mereka amalkan dan dipelihara dalam hafalan, kemudian disebarkan dalam rangka menghindari sabda Nabi SAW:




Penulisan hadist sudah dimulai sejak masa Nabi SAW dan diperluas di masa sahabat dan tabi’jn, pembukuan (tadwin)  secara resmi diadakan sekitar tahun 80 Hijriyah. Dan resminya pentadwinan secara menyeluruh dimulai tahun 100 H. Sedangkan pemalsuan hadist di masa Nabi, hal itu tidak mustahil, namun pada waktu itu pula sudah ada penyelesaian karena wahyu masih sedang diturunkan.
6.      Kami berpendapat bahwa sistematika penulisan hadist pada diwan-diwan hadist pada taraf terakhir, sudah memadai dan baik, penyelenggaraannya memenuhi syarrat ilmiah. Dengan dilengkapi kitab penunjuk, kitab syarh, kitab mukhtashar, dan kitab fiqh (‘ulum) al-hadust, maka kitab-kitab hadist memenuhi hajat dan kebutuhan umat dalam rangka mencari dalil hukum Syari’at. Islam meiliki kitab hadist dengan sistematika fiqh yang memiliki pula kitab fiqh, tauhid, dan Tasawuf yang lengkap dengan dalil-dalil dari hadist.
7.      Adalah tidak benar jika mazhab Hanafi tidak menggunakan hadist sebagai dadar Tasyi’, sebab bertentangan dengan kenyataan. Hal itu kitab-kitab fiqh mazhab hanafi bisa menjadi saksi, rutbah dasar tasyri’ menurut Abu hanifah adalah: Kitab, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Is-tihsan.
Mengenai tulisan ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya, bahwa Abu Hanifah hanya mempergunakan 17 hadist, hal itu adalah suatu kekhilafan. Dan kekhilafan ini sudah diralat oleh al-‘Alamah Muhammad Zahid al-Kautsari sebagai tertera pada kitab Ta’liq Syuruth al-Khamsah, karangab al-Hazimi. Menurut beliau, bahwa perkataan ibn kHaldun itu sebagai suatu hal yang khilaf, karena menurut kenyataan Abu Hanifah yang sangat ketat (keras) itu bukan meriwayatkan 17 Hadist tetapi 17 kitab, yang paling kecil adalah kitab Abu Hanifah yang diriwayatkan oleh al-Thahawi.
Dari uraian di atas, dan dari hamparan sejarah, dapat diketahui bahwa pandangan orientalis tentang hadist itu dapat dikualifikasikan antara yang sangat negative, agak negative, yang sedikit positif dan yang obyektif positif.
Pandangan orientalis tersebut antara lain tercermin dari uraian dan pembahasan Prof. M.M.Azmi dalam disertasinya yang berjudul: Studies in Early Hadith Literature.
Orientalis Ignace Goldziher dan banyak orientalis lain sebelumnya, termasuk yang berpandangan negatif tentang Hadist sebagaimana telah pada uraian di atas. Mereka berpendapat, bahwa Hadist itu buatan kaum muslimin yang hidup pada abad II dan III Hijriyah, yang dibenarkan berasal dari masa hidup Nabi SAW hanyalah Al-Qur’an. Alasannya antara lain bahwa masyarakat Islam sebelum abad II Hijriyah belum memiliki kemampuan memahami dogma keagamaan, memelihara ritus dan nengembangkan doktrin yang kompleks. Alasan lain adalah karena langkahnya peninggalan tertulis dari Hadist yang diriwayatkan generasi ke generasi. 
M.M.Azmi membahas, bahwa pandangan itu tidak tepat, karena sebenarnya masyarakat Islam sebelum abad II Hijriyah sudah maju, baik di bidang pendidikan, budaya, politik, dan perekonomian. Tentang langkanya tulisan Hadist, Azmi menjelaskan bahwa banyak sekali koleksi hadist, pada masa sahabat dan masa tabi’in dan al-Zuhri mengoleksi hadist dalam kitab hadist itu bukan hanya dari hafalan rawi, namun juga dari tulisan dan koleksi sebelumnya.
Orientalis setelah Goldziher yang berpandangan negatif dalam versi yang berbeda adalah Joseph Schact. Ia berpendapat bahwa keontentikan sanad dan isnad diragukan. Isnad itu karangan yang dimulai pada masa perang, tidak dari masa Nabi dan bersifat praduga, teks hadist dibuat lebih dulu, baru kemudian sanadnya, juga terdapat penyimpangan dalam jalur sanad, diadakan perubahan teks hadist, dan hadist dibuat demi kepentingan golongan. Pandangan Schacht tentang hadist itu disebut teori proyeksi, yang menyimpulkan tentang kepalsuan hadist. Karena orientalis hadist tidak dapat diyakini, dan pengungkapan, pemeliharaan dan penyampaian hadist hanyalah permainan.
M.M.Azmi menganalisis dan menjawab pandangan Schacht antara lain:
1.        Pandangan Schacht berdasarkan pada hadist hukum, hal itu tidak cukup menunjang teorinya, sebab hadist hukum hanya bagian kecil, dan kitab fiqh memuat hadist yang bersanad tidak lengkap.
2.        Schacht keliru dalam menetapkan biografi rawi hadist sehingga menganggap sanad itu terputus, juga tidak jelas menentapkan peperangan sebagai awal sanad hadist.
3.        Schacht tidak memahami proses periwayatan sebelum al-Zuhri yang sebenarnya telah banyak tulisan-tulisan hadist, baik di kalangan tabi’in, masa sahabat bahkan sejak masa nabi SAW.
4.        Pemeliharaan hadist sebelum ditadwin meyakinkan, antara lain dengan mantapnya penerimaan dan penyampaian hadist, kegiatan pengajaran, kegiatan menghafal, menulis dan membukukan hadist.
M.M.Azmi melengkapi analisisnya dengan data tentang periwayatan hadist secara lengkap dan akurat, serta mengungkapkan naskah masa awal, seperti naskah Suhail ibn Abi Salih, ‘Ubaidillah ibn ‘Umar dan ‘Ali al-Yaman.
Selanjutnya M.M.Azmi nengutarakan pendapat orientalis lain yakni Robson, yang justru menentang teori proyeksi Schacht di satu sisi, namun memuji Schacht dalam aspek tertentu. Robson berpendapat, bahwa keontetikan sanad tidak diragukan, karena pertentangan masa abad pertama Hijriyah, umat Islam menerima isnad dan tidak bertemu Nabi SAW melakukan penelitian tentang hadist. Walaupun isnad itu rumit, namun banyak informasi tentang orang-orang yang menjadi rawi dalam isnad, hal ini menjadi warisan masa silam yang diteruskan pada masa sesudah al-Zuhri, bahkan al-Zuhri mendapat sanad yang tertulis sebelumnya.
Robson berpendapat dngan Schacht tentang peristiwa fitnah yang menimbulkan pemalsuan hadist, dan tentang penilaian perkembangan hadist. Begitu pula Robson mempunyai pendapat yang kurang tepat dalam hal menyebutkan riwayat hidup nabi SAW sebagai sumber penelitian hadist itu sendiri dan tafsir Al-Qur’an.
Dengab pembahasan M.M.Azmi tersebut, maka dapat diketahui bahwa periwayatan hadist secara tertulis sudah terjadi sejak abad I Hijriyah, al-Zuhri mengumpulkan hadist dari teks-teks hadist yang ditulis sejak masa nabi SAW dengan bukti-bukti kongkrit dari naskah lama(manuskrip) hadist tersebut.
Umat Islam mesti berhati-hati dalam memahami tulisan dan pendapat orientalis tentang hadist, dan melakukan pengkajian secara seksama agar dapat menghilangkan kesalahan dalam berdalil dan menggunakan serta meletakkan hadist sesuai sengan proporsi yang benar.
Leopold Weiss, seorang mantan orientalis Austria yang telah menganut agama Islam dan kemudian menjadi warga Negara Pakistan dan dikenal dengan nama Muhamad Asad, didalam bukunya “Islam Dipersimpangan Jalan”, memberikan ilustrasi mengenai Islam dalam pandangan Barat, katanya, Islam adalah tertuduh dan bersalah, yang diadili oleh hakim-hakim orientalis.
Jika penjajah melakukan pendududkan terhadap Negara-negara Timur dan Islam, maka orientalis-orientalis dengan propagandisnya bertindak secara ilegal memutarbalikan ajaran Islam, merongrong al-Qur’an begitu pula Hadist Nabi. Karena dengan cara demikian menurut mereka, Islam akan hancur, luar dan dalam sebab akan menimbulkan kekeliruan yang berakibat salah dalam mengambil suatu keputusan hukum (ilmiah).
Jika air di hulu sudah keruh, maka ke hilir pun akan keruh pula. Jika sumber tempat berpijak sudah tidak benar, sebagaimana yang dipergunakan orientalis dan pengagum-pengagumnya yang ada di kalangan muslim yang menilai terhadap hadist nabi, maka tidak benar pula penglihatan dan pandangan serta konklusi yang dihasilkannya.
Pernyataan Muhammad Asad diatas, jelas sekali bahwa titik pijak kaum orientalis dalam mengkaji hadist khususnya atau umumnya kajian keislaman, bukan saja ditunggangi kepentingan politik tetapi juga propaganda keagamaan mereka yang hendak disusupkan kedalam kajian keagamaan islam. Tentu saja hasilnya pun sudah dapat diduga, sebagaimana pernyataan mantan orientalis di atas, bahwa mereka hendak merongrong keaslian ajaran Islam, khususnya hadist.
Di pihak lain, mereka menerapkan kebiasaan ilmiah(pure ilmiah) yang bertolak dari “keraguan” dan “menghasilkan” sesuatu untuk menemukan “kebenaran” ilmiah. Sehingga statemen-statemen mereka dirasakan sering merugikan daripada menguntungkan umat Islam. Karena mereka tidak mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Islam, apalagi bila dibarengi dengan tujuan negatif seperti di gambarkan diatas. Hal ini tentu saja berbeda dengan sarjana muslim yang melakukan kajian terhadap term-term keagamaan islam itu, bukan saja berpijak pada tuntutan ilmiah, melainkan juga didasaru oleh titik tolah imani dengan nuansa jiwa tersendiri. Sehingga tanggungjawab moral dan ilmiah menyatu dalam dirinya. Sikap hati-hati bagi umat Islam terhadap pandangan orientalis, .barangkali merupakan sikap terbaik, agar tidak terjebak dengan pengatasnamaan ilmiah seperti yang dikibarkan oleh mereka, padahal sesungguhnya melemahkan sendi-sendi ajaran Islam yang sebenarnya

Demikianlah yang saya sampaikan makalah tentang perkembangan hadits pada masa mutaakhirin semoga bermanfaat.