Makalah Fiqih Masa Imam Ahmad bin Hambal

Makalah Fiqih Masa Imam Ahmad bin Hambal - sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan makalah fikih tentang fiqih pada masa imam ahmad bin hambal silahkan simak dibawah ini.


(FIQH PADA ZAMAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL)
2.1  Biografi Imam Hambali
Nama lengkap Imam Hambali adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syaibani Al-Marwazi, dilahirkan pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindun Asyaibni. Jadi, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal dari keturunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdiam di Semenanjung Arabia. Dari ayahnya, ia mewarisi sifat tekad yang kuat, kehormatan diri, kesabaran, dan kemampuan memikul berbagai kesulitan. Ia adalah imam yang kukuh dan kuat.  Ayahnya wafat ketika Imam Hambali masih kecil, sehingga ibunya yang merawat dan mengarahkan Imam Hambali untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia pun menghafal Al-Quran dan mempelajari bahasa Arab. Pada umur lima belas tahun, ia mulai mempelajari hadis dan menghafalnya. Pada umur dua puluh tahun, ia mulai mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke kota Kufah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman, lalu kembali ke Baghdad.
Dalam perjalanan ke Baghdad selama rentang waktu tahun 195 sampai 197 H, ia mengajar berdasarkan mazhab Syafi’i. Ia termasuk murid Imam Syafi’i yang paling senior di Baghdad. Hambali juga belajar dari banyak ulama di Irak, diantaranya Ibrahim bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Said, Yazid bin Harun, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Waki bin Al-Jarrah, dan Abdurrahman bin Mahdi. Setelah itu, ia menjadi seorang mujtahid yang mempunyai mazhab sendiri dan mengungguli teman-teman seangkatnya dalam menghafal As-Sunnah dan mengumpulkan bagian-bagiannya yang terpisah, sehingga ia menjadi imam para muhaddist pada masanya.
Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi, menurut putra sulungnya Abdullah bin Ahmad bahwa Imam Hambali telah hafal 700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya Al Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan susunan nama-nama sahabat yang meriwayatkan. Dengan kemampuan dan kepandaiannya, mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadan yang melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud.
1)      Awal mula menuntut ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya.Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah beliau hafal di luar kepala. Belaiu menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad sebagai berikut :
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam  yang juga salah seorang guru beliau pernah berkata,"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal".
2)      Keadaan fisik Imam Hambali
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”.
3)      Kecerdasan Imam Hambali
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushanaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
4)      Pujian ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
5)      Pujian ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

6)      Pujian ulama terhadap Imam Hambali
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
7)      Kezuhudan Imam Hambali
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
8)      Wara’ dan menjaga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.
9)      Tawadlu’ dengan kebaikannya dan kesabaran dalam mencari ilmu
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat ldtih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdurrazzak”.

Guru-guru dan murid-murid Imam Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1.      Ismail bin Ja’far
2.      Abbad bin Abbad Al-Ataky
3.      Umari bin Abdillah bin Khalid
4.      Hasyim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5.      Imam Syafi’i
6.      Waki’ bin Jarrah
7.      Ismail bin Ulayyah
8.      Sufyan bin ‘Uyainah
9.      Abdurrazaq
10.  Ibrahim bin Ma’qil



11.  Hasyim bin Basyir bin Khazim Al-Wasithi
Dan murid-muridnya antara lain :
1.      Shalih bin Ahmad bin Hambali
2.      Abdullah bin Ahmad bin Hambali
3.      Ahmad bin Muhammad bin Hani Abu Bakar
4.      Abdul Malik bin Abd Al-Hamid
5.      Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj

2.2 Sumber Hukum Madzhab Hambali
Dalam pengambilan sumber hukum, Imam Hambali menjadikan lima dasar sebagai berikut.
1.      Nash-nash Al-Qur’an dan Al-Sunah
Ahmad bin Hambal, dalam proses kajian hukumnya, senantiasa bersumber pperada nash-nash Al-Qur’an dan Al-Sunah yang marfu’, dan senantiasa mengutamakan nash-nash tersebut dari perkataan sahabat, termasuk pemahaman mereka terhadap nash tersebut.Seperti tentang idah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dia meninggalkan pendapat Ali yang berpendapat bahwa masa idahnya adalah rentang waktu terpanjang dari dua ketentuan masa idah (idah hamil dan ditinggal mati suami), untuk tetap berpegang pada nash Al-Qur’an, yaitu empat bulan sepuluh hari. Dan jika ia menemukan nash (maka Al-Qur’an/As-Sunah) ia akan menggunakannya dalam berfatwa dan tidak menggunakan yang lain, tidak mendahulukan pendapat sahabat daripada hadist shahih, atau amalan penduduk madinah atau yang lainnya. Tidak pula logika, qiyas, atau ketidaktahuan akan adanya nash yang menentangnya yaitu apa yang dinamakan ijma’.
2.      Perkataan-perkataan Sahabat
Selain dengan nash-nash diatas, Ahmad juga menerima fatwa-fatwa sahabat yang tidak terbantah oleh fatwa sahabat lainnya, yang dalam pandangan ulama lainnya disebut sebagai ijma’. Namun karena dia menolak ijma’ sebagai sumber hukum terutama ijma’dalam konteks kesepakatan para mujtahid yang hidup pada zamannya, maka istilah tersebut tidak bisa dia gunakan. Imam Ahmad bin Hambal menjadikan fatwa sahabat

sebagai standar hukum nomor 3 setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena menurut Imam Hambal fatwa sahabat diambil dari hadist shahih. Dalam hal ini ulama yang banyak mengeluarkan fatwa adalah “Umar bin Khatab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abi Mas’ud, ‘Abdullah bin Abbas, Zaid bin Sabit  Sayidah ‘Aisyah (ummul mu’minin)” serta sahabat yang sedikit memberikan fatwa adalah” Abu Bakar As-Sidiq, ‘Usman bin ‘Affan mu’ad bin Jabal al-anshari, Sa’ad bin abi Waqasy, Talkhah bin ‘Ubaidillah, Zubair binn ‘Awam, ‘Abdulah bin Umar bin al-‘as, dan Salman al-Farisi”. Namun   diantara kesekian banyaknya sahabat yang paling banyak mengeluarkan fatwanya adalah ‘Umar bin Khatab dan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka bredua merupakan hakim dari orang muslim pada waktu itu maka tidak heran bila banyak sekali fatwa yang dikeluarkan oleh mereka
3.      Hadist Mursal
Ahmad tergolong mujtahid yang amat berani. Tanpa ragu dia mengangkat hadist mursal sebagai rujukan dan penyelesaian persoalan-persoalan furu yang dihadapinya. Padahal Syafi’i sendiri sebagai tokoh aliran tradisional sudah meninggalkannya, karen ahadist mursal tergolong hadist dha’if. Namun Ahmad berpendapat sejauh kelemahan hadist tersebut dalam segi persambungan sanad dalam konotasi mursal, yakni hilangnya perawi di tingkat sahabat, maka hadist itu masih bisa diterima, karena kendati sahabat yang ditinggal itu kurang populer atau diragukan oleh tabi’in, menurut Ahmad masih lebih baik daripada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum melakukan qias, menurutnya lebih baik mengkaji hadist-hadist Nabi termasuk hadist-hadist mursal. Dan hadits mursal menurut imam hambali bukanlah haits batil atau munkar, atau ada perawinya yang dituduh dusta serta tida boleh diambil haditsnya. Namun yang beliau maksud kandungan hadits dhaif adalah orang yang belum mencapai derajat tsiqqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka ia pun bagian dari hadits yang shahih.     
4.      Qiyas
Dalam keadaan terpaksa, yakni dalam keadaan semua rujukan diatas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum persoalan-persoalan yang dihadapinya, Ahmad melakukan kajian Qiyas tapi dalam hal ini Imam Hambali hanya mengambil qiyas yang berasal dari ulama terdahulu.

5.      Istiskhab
Maksudnya adalah melangsungkan keberlakuan ketentuan hukum yang ada sehingga terdapat ketentuan dalil yang mengubahnya. Istiskhab yang dimaksud baik berupa istiskhab ‘aqli (melangsungkan keberlakuan hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal pada saat tidak dijumpai dalil yang mengubahnya), maupun istiskhab syar’i (melangsungkan keberlakuan hukum syara’ berdasarkan suatu dalil dan tidak ada dalil yang mengubahnya).
6.      Syad adz-Zara’i
Maksudnya adalah menghambat, menghalangi dan menyumbat segala hukum yang menuju kepada kerusakn atau maksiat.Tujuan dari metode ini adalah untuk menarik kemaslahatan dan menjauhi karusakan. Pada awalnya perbuatan yang dimaksud tidak memiliki hukum, tapi apabila di biarkan akan menjerumuskan manusia perbuatan dosa, seperti permainan yang lazimnya berujung pada perjudian.

2.3 Metode Ijtihad Imam Hambali dalam Madzhabnya
Metode  yang dikembankan oleh Ahmad bin Hambal adalah metode dialektika, yang mana dapat dilihat dari cara beliau menjelaskan tentang suatu hukum, Fiqih ini menjelaskan tentang syrat-syarat penegakan sanksi.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpim adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada Khalifah adalah mutlak.
Dalam bidang Mu’amalah terutama tentang khiyar al-majis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jua beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul ) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.Apabila keduanya atau salah satunya tidak ditempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadits riwayat Nafi dan Abdullah bin umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda:
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar ( pilih ) selama keduanya belum berpisah.

2.4 Penulisan Mahzab Hambali
Imam Hambali tidak pernah menuliskan madzhabnya, bahkan beliau tidak suka jika ada yang menulis pendapat dan fatwanya. Kalaupun ada, paling hanya berupa catatan kecil khusus untuknya yang memuat beberapa masalah fiqih dan tidak ditulis ulang oleh orang lain karena ia berpendapat bahwa yang boleh ditulis hanyalah Al Qur’an dan sunnah agar ia tetap menjadi referensi utama masyarakat untik mempelajari hukum taklif.
Salah seorang muridnya yang bernama Ishaq Al Kusaj pernah menulis pendapatnya kemudian menyebarkan di Khurasan. Mengetahui hal tersebut, Imam Hambali menunjukkan ketidaksukaannya dan berkata,”saksikan bahwa saya sudah menarik kembali pendapat saya.”
Oleh karena itu, kalangan yang berjasa menuliskan madzhab Imam Hambali adalah murid-muridnya. Merekalah yang mengumpulkan pendapat dan fatwa sang imam, lalu menyusunnya sesuai dengan urutan bab fiqih. Adapun orang pertama yang menyebarkan madzhab imam hambali adalah putranya yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H). Beliau menyebarkan madzhab ayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan oleh ayahnya, beliau pernah menjabat sebagai hakim, menukil pendapat ayahnya dan diterapkan langsung.
Putra Imam Hambali yang bernama Abdulloh bin Ahmad (wafat 266 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpulkan kitab Al musnad dan menyusunnya serta menukilkan fiqih sang ayah, walaupun beliau lebih banyak meriwayatkan hadits. Beberapa murid imam hambali yang bergiat menulis madzhab dan menyebarkannya antara lain: Abu bakar Al Asyram, Abdul Malik Al Maimuni, Abu bakar Al Mawaruzi.
Di samping mereka, masih ada lagi para fuqoha’ yang menjadi murid Imam Hambali. Mereka menulis dan mengumpulkan pendapat sang imam kemudian membuat penjelasan. Salah satu di antara mereka adalah Umar bin Ali bin Husain al Hazmi (wafat 234 H) yang menulis kitab monumental, Mukhtashar Al Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh ibnu qudamah menjadi kitab Al Mughni.
Setelah mereka datanglah dua imam besar yang mengafilisasikan diri pada madzhab Imam Ahmad, yaitu Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibnu al Qoyyim

al Jauziyah (wafat 751 H). Keduanya dikenal sebagai orang yang menisbahkan diri pada madzhab hambali, baik dalam dasar maupun kaidahnya[8]
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Mazhab ini dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa kota Asia Tengah. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.

2.5 Karya-Karya Imam Hambali
1. Al-Musnad, dalam kitab ini, beliau mengumpulkan hadis - hadis berdasarkan urutan nama
  perawi dari sahabat, kitab ini berisi 30.000 hadis.
2. Risalah Shalat, Kitab ini ditulis oleh beliau sebagai bagian dari nasihat terhadap
   kesalahan-kesalahan ketika shalat berjamaah yang dilakukan di masjid dekat tempat
   tinggalnya.
3. Al-Masali, Kitab ini merupakan kumpulan fatwa-fatwa Imam Ahmad yang ditanyakan
  oleh putra dan murid-muridnya. Sehingga kitab ini banyak sekali sesuai dengan nama
  penanyanya.
4. Al-Syribah, Memuat penjelasan beliau tentang Khamar dan batasan-batasan minuman
  yang diharmkan.
5. Fadhail Ash-Shahabah, Menjelaskan tentang dalil-dalil keutamaan sahabat.Pada
    hakikatnya buku ini merupakan bantahan untuk kaum Rafidhah yang mengkafirkan para sahabat.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai fikih pada masa imam ahmad bin hambal semoga bermanfaat.