Makalah Ilmu Tafsir Al Quran
Table of Contents
TAFSIR AL-QUR’AN
2.1 Kaidah-Kaidah Tafsir
Kaidah
– kaidah tafsir berfungsi untuk memahami makna yang terkandung di dalam Al-
Qur’an. Berikut adalah kaidah- kaidah tafsir menurut Ismail Pangeran dalam
jurnalnya yang berjudul Beberapa Kaidah Penafsiran Al- Qur’an, yaitu:
1. Kaidah
Bahasa
Pendekatan bahasa yang dilakukan dalam
memberikan penafsiran terhadap Alquran sangat penting karena Alquran sangat
sarat makna, dan tidak akan diketahui hakikat makna yang terkandung di dalamnya
tanpa pengetahuan yang dalam tentang ilmu bahasa ArabKaidah bahasa berfungsi
untuk mengetahui penjelasan kosa kata dan arti yang dikandung berdasarkan
maknanya.
Keindahan bahasa Alquran sungguh
merupakan suatu tanda bahwa Tuhan memiliki keindahan yang karenanya Tuhan
merupakan sumber dan segala sumber bahasa yang tidak mungkin dikalahkan oleh
bahasa manusia walaupun manusia itu diberikan oleh Tuhan kelebihan akal untuk
berkreasi. Pentingnya mempelajari makna bahasa Alquran dengan menggunakan
kaidah-kaidah, khususnya kaidah bahasa bertujuan untuk memperoleh sejumlah
pengetahuan yang terkandung dalam Alquran sehingga seseorang benar-benar dapat menjadikan Alquran sebagai pedoman dalam kehidupannya.
Menurut Shihab dalam jurnal karya Ismail
Pangeran, menjelaskan bahwa Syakh Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar
menguraikan ayat Alquran dari segi redaksionalnya
dengan teliti karena ayatayatnya memiliki kandungan yang mendalam. Pengkajian
tafsir dari segi kebahasaan merupakan suatu pendekatan yang sangat penting,
sebab Alquran yang diturunkan oleh Allah, banyak memiliki makna yang sulit
dipahami jika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa
Alquran (bahasa Arab). Di sinilah pentingnya peran dan fungsi bahasa, khususnya
bahasa Arab untuk menjelaskan bahwa betapa kandungan Alquran hanya dapat
dipahami melalui pendekatan dan kemampun memahami bahasa Alquran itu sendiri. [1]
Seringkali kita menemukan firman Allah
yang dimulai dengan redaksi ”Hai orang-orang yang beriman...”,.Redaksi seperti
ini menunjukkan bahwa ayat tersebut memberikan suatu isyarat bahwa apa yang
diserukannya itu memiiki suatu kebaikan dan begitu pula sebaliknya ia juga
mengandung berbagai ancaman jika diabaikan Pendekatan dari segi kebahasaan
sebagaimana dipahami merupakan sebuah cara yang dapat mengantarkan seseorang
kepada pengetahuan tentang betapa tingginya derajat Alquran yang mampu
memberikan inspirasi kepada manusia untuk mengkaji segala sesuatu yang terdapat
di alam ini.
Pentingnya
menggunakan kaidah kebahasaan dalam memahami ayat Alquran adalah karena
ayat-ayat Alquran yang memiliki sejumlah makna tidak mungkin hanya dipahami
dalam suatu konteks pemahaman sebab tidak terbatas kemungkinan terdapat pengertian lain terhadap ayat-ayat tersebut.
Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa ayat Alquran berikut:
QS
Al-Ma’aarij (70): 19 – 22 :

Dapat dipahami bahwa apa yang disebutkan
oleh Allah dalam ayat tersebut merupakan suatu hal yang memang secara umum
dimiliki oleh setiap manusia dengan tidak melihat agama dan keyakinan
seseorang, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan dengan senantiasa
menegakkan ibadah salat dalam kehidupannya.
2. Kaidah
Ushul
Menurut
Ismail dalam jurnalnya yang berjudul Beberapa Penafsiran Al- Qur’anp Pendekatan
dengan menggunakan Kaidah ushul merupakan suatu cara untuk memahami suatu
masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini akan
memungkinkan kita mengetahui makna Alquran, khususnya yang berkaitan perintah
untuk melakukan pekerjaan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. [2]
Pendekatan terhadap ayat-ayat Alquran
dengan menggunakan kaidah ushul, biasanya digunakan pada ayat-ayat yang
diturunkan oleh Allah di Madinah, di mana isinya menyangkut syariah Islam
dengan macam-macam cabangnya. Pada dasarnya, semua ayat Alquran yang diturunkan
di dalamnya memuat berbagai persyaratan atau kaitan keadaan, maka
hukum-hukumnya tidak berlaku secara keseluruhan melainkan jika di dalam kasus
yang hendak ditentukan hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan keadaan
tersebut. Penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan ini hanya terjadi pada
ayat-ayat tertentu yang sangat sedikit jumlahnya.
Banyak mufassir yang memberikan
pemikirannya bahwa persyaratan atau kaitan yang terdapat di dalam suatu ayat
tidak dimaksudkan menjadi syarat atau kaitan berlakunya suatu hukum.
Dalam hal ini, yang perlu diketahui
ialah bahwa setiap kata di dalam Alquran pasti mengandung maksud dan faedah,
meskipun tidak berkaitan secara langsung dengan masalah hukum.
Seseorang yang disebut muslim adalah
orang mengakui keesaan Allah, sedangkan ia akan disebut kafir jika
mengingkarinya” (Syaltut, 1986: 18). Oleh sebab itu, dari penjelasan nas-nas
yang terdapat dalam Alquran, jelas diketahui bahwa barang siapa yang menyembah
selain Allah, maka ia dapat dikategorikan sebagai kafir dan musyrik. Demikian
pula halnya mengenai alasannya, kita mengetahui bahwa tindakannya itu tidak
mempunyai dalil atau alasan yang dapat dibenarkan. Sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al-Mu’minun (23): 117 :

Terjemahnya :
Dan barang siapa menyembah Tuhan
yang lain di samping Allah padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang
itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu
tidak beruntung.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
sesungguhnya pendekatan kaidah ushul dalam memahami masalah yang berkaitan dengan
perintah, baik sunnah maupun yang wajib, kadang-kadang dapat dilihat dari
sejauhmana urgensinya dalam kehidupan, khususnya yang menyangkut masalah
ibadah. Hal ini merupakan pendekatan yang dilakukan oleh ulama-ulama fikih agar
memudahkan umat Islam menjalankan syariat agamanya.
3. Kaidah
Logika
Menurut Ismail Pangeran dalam jurnalnya
yang berjudul Beberapa Kaidah Penafsiran Al- Qur’an, penggunaan logika sebagai
salah satu cara untuk mencerahkan kandungan Alquran merupakan sebuah keharusan,
di mana kenyataankenyataan yang ada baik yang bersumber dan nas-nas aqliah,
maupun yang bersumber dan hasil pengamatan manusia harus mampu dipadukan agar
tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna Alquran, khususnya yang berkaitan
dengan masalah alam dan manusia. Seperti halnya dalam setiap ilmu pengetahuan,
dalam pemikiran keagamaan juga ada hubungan penafsiran antara penafsir dan
pengalaman.
Salah satu bukti peran logika dalam
memahami ayat-ayat Alquran adalah tentang proses penciptaan alam. Sebab jika
akal digunakan sesuai dengan fungsinya maka akan sampai kepada iman Jika kita
memperhatikan salah satu keunikan Alquran ialah dalam segi metode pengajaran
dan penyampaian pesanpesannya ke dalam jiwa manusia di mana metode penyampaian
tersebut sangat mudah dipahami, singkat, jelas dan rasional. Menggunakan logika
dalam memaami Al-Quran berfungsi untuk mecapai tujuan kesejahteraan hidup
manusia.
2.2 Metode tafsir
Menurut
para iluan, metode merupakan cara atau jalan ( cara ilmiah) untuk dapat
memahami objek yang menajdi sasaran kajian ilmu. [3]
Para Ulama Al- Qur’an telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode
penafsirannya menjadi emat macam, yaitu: (1) tahlil, (2) ijmali, (3) muqaran,
(4) maudhu’i. [4]
1. Al-
ManhajAt- Tahlili ( Metode Tahlili/ Analisis )
Secara
harfiah, At-Tahlili berarti terlepas atau terurai.[5]
Al – Tafsir At- Tahlili adalah metode penafsiran ayat- ayat Al- qur’an melalui
pendeskipsian (menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat- ayat Al-Qur’an
dengan mengikuti tata tertib susunan ayat- ayat Al- Qur’an.[6]metode
ini merupakan metode tertua, sudah diikenal sejak ahli tafsir Al- Farra ( 206
H/851M) menerbitkan kitab tafsirnya sejak Ibnu Majah (237H/ 851 M) atau
selambat-lambatnya sejak masa At-Thabari (310 H/ 922 M).
Metode
tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an secara analisis dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat yang tafsirannya sesuia
dengan bidang keahlian mufasir tersebut. [7]penafsiran
metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi
ayat dan surah demi surah.kitab- kitab tafsir yang ditulis musafir masa awal-
awal pembukuan tafsir hamper atau bahkan semuanya menggunakan metode At-
tahlili. Metode ini biasanya berbentuk tafsirbi al-matsur seperti Jami’ Al-
Bayan Ta’wil Ayi Al- Quran karya Ibnu Jarir ath-thabari. [8]
Kelebihan
metode ini adalah keluasan dan keutuhannya dalam memahami Al- Quran . seseorang
diajak untuk memahami Al-Quran dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat
An- Naas, atau kita daiajk untuk memahami ayat dan surat secara keseluruhan.
2. Al-
Manhaj Al- Ijmali ( metode Global)
Metode
ini adalah metode penafsiran Al- Quran secara singkat dan global, tanpa uraian
panjang lebar. Tafsir dengan metode ini sangat praktis untuk mencari makna
mufradat kalimat-kalimat yang ghari
dalam Al-Quran.[9]
Diantara kitab-kitab yang termasuk menggunakan metode Ijmali adalah:
a. Tafsir
Al-Quran Al-‘Azhim, karya Muhammad Farid Wajdi;
b. Al-Tafsir
Al- Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas Al- Azhar, Kairo;
c. Tafsir
AL- Jalalain, karya Jalaludin Al- Suyuthiydan Jalaludin Al- Mahalli;
d. Shafwah
Al-Bayan li Ma’ani Al-Quran, karya Syeikh Husanain Muhammad Makhlut;
e. Tafsir
Al-Quran karya Ibnu Abbas ;
f. At-
Tafsir Al- Muyassar, karya Syeikh Abdul Jalil Isa;
g. Taj Al-
tafsir, karya Muhammad Utsman Al- mirghani.[10]
3. Al-
Manhaj Al- Muqaran ( Perbandingan )
Metode
ini adalah metode penafsiran Al-Quran dengan cara mengambil sejumlah ayat
Al-Quran. Metode komaratif Muqaran adalah sebagai berikut:
a. Membandingkan
teks (nask) ayat- ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi
dalam dua kasus atau lebih.
b. Membanfingkan
ayat Al-Quran dengan Hadits, yang sepintas terliat bertentangan..
c. Membandingkan
pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.[11]
4. Al-Manhaj
Al- Maudhui ( Metode Tematik)
Metode
ini menjelaskan konsep Al- Quran tentang suat masalah atau tema tertentu
dengancara menghimpun seluruh ayat Al-Quran yang membicaraka tema
tersebut. Aplikasi metode Al-Manhaj Al-
Maudhui dilakukan dengan langkah-langkah :
a. Menetapkan
masalah yang akan dibahas.
b. Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun
urutan kronologis turunnya ayat-ayat disertai pengetahuan tentang sebab
nuzulnya.
d. Memahami
korelasi ayat- ayat tersebut.
e. Menyusun
outline.
f. Melengkapi
pembahasan dengan hadits- hadits relevan dengan masalah yang dikaji.
g. Mempelajari
ayat- ayat tersebut secara keseluruhan agar tidak terjadi kontradiksi.[12]
2.3 Mekanisme Penafsiran
Para
ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang musaafir
adalah:
a. Akidah
yang benar, sebab akidah merupakan dasar yang harus dimiliki seorang musaafir
dalam melakukan penafsiran.
b. Bersih
dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong musaffir untuk membela
madzhabnya sehingga ia menipu manusia
dengan kata- katanya.
c. Menafsirkan
terlebih dahulu.
d. Mencari
penafsiran dari sunnah.
e. Apabila
tidak ditemukan dalam Sunnah, hendaknya meninjau dari pendapat sahabat.
f. Apabila
tidak menemukan dalam pendapat ;para sahabat, maka mufassir memeriksa pendapat
para tabi’in.
g. Pengetahuan
Bahasa Arab bdengan seluruh cabangnya.
h. Mengetahui ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran
seperti ilmu qiraat.
i.
Memiliki pemahaman yang
kuat sehingga seorang mufassir dapat mengukuhkan suatu makna yang sejalan
dengan nash-nash syariat.[13]
2.4 Klasifiasi Tafsir
1. Tafsir
bi Al- Ma’tsur
Tafsir ini adalah tafsir yang
didasarkan pada penjelasan Al-Quran, penjelasan rasul, penjelasan sahabat
melalui Ijtihad, dan aqwal tabi’in.[14]Sebagaimana
dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bi Al-ma’tsur (disebut pula bi Ar-riwayah dan
An-naql) adalah penafsiran Al-Quran yang mendasarkan pada penjelasan Al-Quran
sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal
tabi’in. Ada 4 (Empat) otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi
Al-ma’tsur. Pertama, Al-Quran yang dipandang sebagai penafsiran terbaik
terhadap Al-Quran sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surat
ALi Imran [33]: 1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik di waktu
lapang maupun sempit, dan seterusnya.
Kedua, otoritas hadits Nabi yang
memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-Quran. Misalnya,
penafsiran Nabi terhadap kata “Az-Zulm” pada surat Al-An’am dengan
pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan “Al-quwwah dengan Ar-Ramy (panah).
Ketiga, otoritas penjelasan sahabat
yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran. Misalnya,
penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat An-Nashr dengan
kedekatan waktu kewafatan Nabi.
Keempat, otoritas penjelasan
tabi’in yang dianggap orang yang bertemu lanssung dengan sahabat. Misalnya,
penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat [37]:65 dengan syair ‘Imr
Al-Qays.
Tidak diperoleh alasan yang memadai
mengapa penafsiran tabi’in dijadiakan sebagai salah satu sumber tafsir bil
Al-ma’tsur. Padahal, dalam menafsirkan Al-Quran, mereka tidah hanya
mendasarkan pada riwayat yang diterimanya dari sahabt, tetapi juga terkadang
memasukkan ide-ide mereka. Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan
ijtihad dan memberi interpretasi sendiri terhadap Al-Quran. Di samping itu,
mereka berbeda dengan sahabat tidak mendengar langsung dari Nabi, dan tidak
menyaksikan langsung situasi dan kondusi ketika AL-Quran turun. Oleh sabab itu,
otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-Quran bi AL-ma’tsur masih
diperbatkan para ulama. Di antara ulama yang menolak otoritas mereka adalah
Ibnu Syaibah dan Ibnu Aqli. Berkenaan dnegan otoritas mereka, ABu Hanifah
berkata, “APa yang datang dari Rasulullah harus diterima; Apa yang datang dari
tabiin, (kita menyikapinya) mereka dalah laki-laki dan kami pun laki-laki.
Namun, mayoritas ulama, seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim (w. 118/736), Abi
Al-Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan Basri (w. 110/728), dan Ikrimah menerima otoritas
mereka karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Bila Ibn Aqli dan Syubah
mempersoalkann otoritas Nabi dan Sahabat, Quraisy Shibab mencoba lebih dalam
lagi dengan mempersoalkan otoritas Nabi dan sahabat. Menurutnya, penafsiran
NAbi dan Sahabat dapat dibagi ke dalam dua kategori: (1) la majal li Al-aql
fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah
metafisika dan perincian ibadah. (2) Fi majal Al-aql (dalam wilayah
nalar) seperti masalah kemasyarakatan. Yang pertama, apabila nilai riwayatnya
shahih, diterima sebagaimana apa adanya, tanpa ada pengembang karena sifanya di
luara jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran
Nabi pasti benar, penafsirannya itu harus didudukkan pada proporsinya yang
tepat, apalagi jika dikaitkan dengan multifungsional Nabi.
Adapun pendapat sahabt, apabila
permasalahan yang diungkapkan fi majal Al-aql ia fi hukm Al-marfu’ dan
diterima apa adanya. Bila tida demikian, ia hanya dipertimbangkan dan dipilih
mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Bertolak dari pendapat Shibab
tersebut, tidak merupakan suatu keharusan untuk meneri aproduk penafsiran bi
Al-ma’tsur bila persoalannya menyangkut fi majal Al-Aql meskipun
penafsiran itu berasal dari Nabi.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi
Al-ma’tsur menempuh tiga periode. Periode I, yaitu masa Nabi, sahabat, dan
permulaan masa tabi’in ketika tafsir belum tertulis dan secara umum
periwayatannya tersebut secara lisan (musyafahah). Periode II bermula
dengan pengodifikasian hadits secara resmi pad amasa pemerintahan Umar bin Abd
Al-Aziz (95-101). tafsir bi Al-Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung
dengan penulisan hadits dan dihimpundalam salah satu bab-bab hadits. Periode
III dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang berdiri
sendiri.
Diantara kitab yang dipandang
menempuh corak bi Al-Ma’tsur adalah:
1)
Jami Al-Bayan fi Tafsir
Al-Quran, karya Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310/923)
2)
Anwar At-Tanzil, Karya
Al-Baidhawi (w. 685/1286)
3)
Al-Durr Al-Mantsur fi
At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din
As-Suyuthi (w. 911/1505)
4)
Tanwir Al-Miqbas fi
Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w.817/1414)
dan
5)
Tafsir Al-Quran
Al-Adzim, Karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
Satu-satunya kitab tafsir bi
Al-Ma’tsur yang barangkali murni adalah tafsir Ad-Durr Al-Mantsur, Karya
As-Suyuthi. Merupakan cara tafsir yang merujuk kepad aAl-Quran dan As-Sunnah,
dipastikan tafsir bi Al-Ma’tsur memiliki keistimewaan tertentu dnegan
penafsiran lainnya. Diantara keistimewaan itu, sebagaimana dicatat Quraish
Shihab adalah sebagai berikut:
1)
Menekankan pentingnya
bahasa dalam memahamai Al-Quran
2)
Memaparkan ketelitian
redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
3)
Mengikat mufassir dalam
bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumuskan dalam subjektifitas yang berlebihan
Sementara itu, menurut Adz-Dzahabi
kelemahan-kelemahan tafsir bi
Al-Ma’tsur sebagai berikut :
1)
Terjadi pemalsuan dalam
tafsir.
2)
Masuknya unsur
Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani yang masuk kedalam penafsiran Al-Quran
3)
Penghilangan sanad
4)
Terjerumusnya mufassir
kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele
sehingga pesan pokok Al-Quran menjadi kabur.
5)
Sering konteks Asbabun
Nuzhul yang dipahami dari uraian hampir dapat dikatakan
terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
Tafsir Ath-Thabari yang
dipandnag para ulama yang terbaik pun ternyata mengandung beberapa kelemahan;
diantaranya adalah penyebutan riwayat Israiliyat yang tidak disertai dengan
komentar-komentar memadai. Untuk beberapa periode pasca Nabi barangkali corak
itu memang merupakan satu-satunya alternatif mengingat antara generasi mereka
dengan sahabat dan tabiin masih cukup dekat dan lagi perubahan sosial
perkembangan ilmu belum sepesat masa kini. Sehingga penggunaan corak bi
Al-Ma’tsur pada masa kini membutuhkan pengembangan, disamping seleksi yang
cukup ketat. Pengembangan yang dimaksud adalah tidak sekedar mengoveralih apa
adanya produk penafsiran bi Al-Ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih
penting lagi adalah menyeleksinya mana yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosial kultural
yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil
penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan-persoalan kekinian. Dengan
dimikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiiring dengan dinamika perkembangan
sosio-kultural masyarakat.
2.
Tafsirbi Ar-ra’yi
Berdasarkan pengertian etimologi
“Ar-Ra’yi” berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas) dan ijtihad. Dan
“ra’yi” dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi
Ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi Al-dirayah) sebagaimana di
definisikan husen Adz-Dzahabi adalh tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui
bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema
penafsiran seperti Asbabun Nuzzul, Nasikh Mansukh, dan sebagainya. Adapun
Al-Farmawi mendefinisikannya sebagai berikut: Menafsirkan al-Quran dengan
ijtihad setelah terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui metode yang
digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata kosa kata
Arab beserta muatan-muatan artinya. Untuk menafsirkan Al-Quran dengan ijtihad,
si mufassir pun dibantu oleh syi’ir Jahiliyah, Asbabun nuzul, Nasikh Mansukh
dan lainnya yang dibutukan oleh seorang mufassir sebagaimana diutarakan pada
penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi Ar-ra’yi muncul
sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah tafsir Al-Ma’tsur muncul
walaupun sebelum itu Ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat
ketika menafsirkan al-Quran. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber
penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara sebab yang memicu
kemunculan corak tafsir bi al Ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu
keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para
ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar-pakar di bidangnya
masing-masing. Kemunculan tafsir bi Ar ra’yi dipicu pula oleh hasil
interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh
karena itu didalam tafsir bi Al-ra’yi akan ditemukan peranan akal sangat
dominan.
Mengenai keabsahan tafsir bi
Al-ra’yi para ulama terbagi kedalam 2 kelompok
1)
Kelompok yang
melarangnya. Menjelang abad II H corak penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari
para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak
penggunaan corak tafsir ini mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut ini:
a.
Menafsirkan al-Quran
berdasarkan Ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan
demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat
perkiraan semata.
b.
Yang berhak menjelaskan
al-Quran hanyalah Nabi.
c.
Sudah merupakan tradisi
dikalangan sahabat dan tabiin untuk berhati-hati
ketika berbicara tentang penafsiran al-Quran.
2)
Kelompok yang
mengijinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut:
a.
Didalam al-Quran banyak
ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-Quran,
sebagaimana dalam QS. Muhammad (47) : 24
b.
Seandainya tafsir bi
Al-Ra’y ,mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan
setiap ayat al-Quran. Ini menunjukan bahwa umatnya diijinkan untuk berijtihad terhadap
ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c.
Para sahabat sudah
biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa
mereka pun menafsirkan al-Quran dengan Ra’yi nya. Seandainya tafsir bi
ar-ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai ilmu tafsir semoga bermanfaat.