Makalah Kaidah Fiqhiyah
Makalah Kaidah Fiqhiyah - sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan materi fikih dalam bentuk makalah tentang kaidah fiqhiyah silahkan simak dibawah ini.
2.1 Definisi
Kaidah-kaidah Fiqhiyah
2.2 Macam-macam Kaidah-kaidah Fiqiyah
2.3 Proses Pembentukan Kaidah-kaidah Fiqiyah


Secara sederhana proses pembentukan kaidah kaidah fiqh
dapat digambarkan sebagai berikut:
2.4 Manfaat Kaidah-kaidah Fiqiyah
(KAIDAH-KAIDAH FIKHIYAH)
2.1 Definisi
Kaidah-kaidah Fiqhiyah
Qawa’id merupakan bentuk jamak dari qa’idah
, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan kaidah yang berarti
aturan atau patokan.[1]
Menurut Rachmat Safe’i
secara etimologi qaidah adalah al-asas
(dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Menurut Al-asfani dan
Az-jaidu dalam Rachmat Syafe’i, qaidah bisa juga diartikan sebagai dasar
sesuatu dan fondasinya (pokoknya).[2] Menurut
Beni Ahmad Saebani (2009:251), qaidah adalah landasan, pedoman, asas, dan titik
tolak pelaksanaan hukum Islam.[3] Ahmad
Warson Munawwir menjelaskan bahwa qa’idah adalah al - asas (dasar, asas atau
fondasi), al - mabda’ (prinsip) dan al - nasaq (metode atau cara). Sedangkan
Musthafa Ahmad al-Zarqa menjelaskan bahwa arti kaidah secara bahasa adalah al
asas , baik berupa asas yang konkrit (inderawi) maupun yang abstrak (ma’nawi).[4]
Sebagaimana nampak
dalam firman Allah:
“Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il.”
‛... Allah
menghancurkan rumah - rumah mereka dari fondasinya ...‛
Adapun menurut istilah
atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana di tulis
dalam beberapa kitab berikut.
1.
Dalam
Kitab At-Ta’rifat
Artinya:
“Ketentuan
universal yang bersesuaian dengan bagian bagiannya (juzjuznya).”
(At-Ta’rifat: 171)
(At-Ta’rifat: 171)
2.
Dalam
Kitab Syarah Jamu’ Al-Jawami’
Artinya:
“Ketentuan
pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan
bagian-bagiannya.”
(Al-Mahalli: 21)
(Al-Mahalli: 21)
3.
Dalam
Kitab At-Talwih ‘ala At-Tawdih
Artinya:
“Hukum
universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui
hukumnya.”
(At-Taftajani, 1 : 20)
4.
Dalam
Kitab Al-Ashibah wa An-Nadzair
Artinya :
“Ketentuan
universal bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya
dari perkara tersebut.”
(Al-Subki : 1)
5.
Dalam
Kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul
Fiqh
Artinya:
“Ketentuan
universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
(At-Taufi Al-Hambali, II : 95)
Adapun
pengertian kaidah secara terminologis cenderung berbeda-beda menurut para
ulama. Perbedaan tersebut bersumber pada perbedaan mereka dalam memandang
apakah kaidah merupakan aturan yang bersifat menyeluruh ataupun hanya bersifat
pada umumnya. Sebagai contoh, ulama nahwu
berbeda pendapat dalam memberikan arti kaidah dengan ulama ushul fiqh. Menurut ahli nahwu,
kaidah semakna dengan al - dabith,
yakni:
“Aturan
- aturan umum yang mencakup seluruh bagiannya”
Menurut Muhamad Sidqi dalam Adib Hamzawi, Fiqiyah secara
etimologis berasal dari kata fiqh yang berarti ilmu. Arti tersebut diambil dari
pengertian fiqh dalam firman Allah dan hadis Nabi:
“Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama.”
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah,
niscaya diberikan kepadanya pemahaman ilmu agama” (HR. Bukhari)
Pengertian lain fiqh
menurut tinjuan bahasa adalah mengetahui dan memahami sesuatu. Sedangkan arti
fiqh secara terminologis ada beberapa macam. Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip
Muhlish Usman menyatakan bahwa fiqh adalah: ‚ Ilmu yang dengannya diketahui
segala hukum Allah yang berkaitan dengan seluruh tingkah laku mukallaf,
(diistinbathkan) dari al - Qur ’an, Hadis, dan dari dalil - dalil yang
ditegaskan berdasarkan syara’ melalui ijtihad .‛ Sedangkan definisi fiqh yang
paling mashur adalah ungkapan imam Syafi’i bahwa fiqh merupakan pengetahuan
mengenai hukum-hukum syariat amaliah yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci.[5] Kemudian Ilmu Fiqh merupakan
suatu kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang pembahasannya, yang
mengumpulkan berbagai ragam jenis Hukum Islam dan bermacam rupa aturan hidup,
untuk keperluan seseorang, segolongan dan semasyarakat dan seumum manusia.[6]
Dari berbagai definisi
di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dalam kaidah fiqh adalah aghlabiyat atau akthariyat . Dengan kata lain merupakan seperangkat hukum yang
bersifat mayoritas, dan bukan keseluruhan. Oleh karena itu, ada kemungkinan
adanya hukum yang menyimpang dari keumuman. Dan dalam hal ini ulama menyatakan
bahwa penyimpangan merupakan hal yang jarang terjadi dan tidak mempengaruhi
kaidah yang telah disusun. Sebagai kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa qawa’id
fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh dalam bentuk teks undang-undang
yang ringkas, yang memuat hukum-hukum tasyri’ secara umum terhadap
peristiwa-peristiwa yang menjadi obyeknya.[7]
2.2 Macam-macam Kaidah-kaidah Fiqiyah
Ada lima kaidah fiqh yang dianggap oleh sebagian ulama
menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh materi fiqh.
1.
(Setiap perkara itu menurut maksudnya)
Dalam
Fiqh Jinayah ada perbuatan yang sengaja dan ada pula yang tidak sengaja,
misalnya pembunuhan, pelukaan atau pemukulan. Dalam Fiqh Muamalah, setiap akad
yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya
dikembalikan kepada niat. Oleh karena itu, timbul kaidah lain yang berbunyi:
“Yang
dipegangi di dalam aqad adalah maksud dan pengertiannya bukan ucapan dan bentuk
perkataannya”.
Kaidah
fiqh yang pertama ini mempunyai dasar antara lain dari Hadits Umar:
“Segala
amal perbuatan itu semata-mata menurut niatnya dan bagi setiap manusia itu
sesuai dengan apa yang ia niatkan”. (Rawahu Jamaah)
2.
(Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan)
Contohnya
apabila ia yakin telah berwudhu, kemudian sesudah lama datang keraguan apakah
sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya
apabila dia yakin belum wudhu sebelumnya, sesudah lama timbul keraguan apakah
sudah wudhu atau belum, maka ia tetap dalam dalam keadaan berhadast.
Yang digunakan
adalah kaidah
“Keyakinan bisa dihilankan dengan keyakinan lain yang
tingkatnya sama”.
Kaidah tersebut didasarkan kepada Hadits Abdullah bin
Zaid.
“Dikemukakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki
yang selalu merasa berhadast dalam shalatnya Nabi menerangkan: Janganlah orang
tersebut keluar dari shalatnya sampai dia mendengar suara kentutnya atau
mencium baunya”. (Riawayat Bukhori-Muslim)
3.
(Kesukaran itu mendatangkan kemudahan)
Contohnya
boleh batal puasa apabila berpergian, adanya aturan jama’ dan qasar dalam
shalat, adanya aturan shalat bagi yang sakit dan lain sebagainya.
Kaidah ini banyak
cabangnya diantaranya:
“Apabila
sesuatu itu sempit, maka hukumnya menjadi luas dan apabila sesuatu itu luas,
maka hukumnya menjadi sempit kembali”.
Sandaran kaidah
tersebut antara lain:
“Dan dia tidak
menjadikan untuk kamu dalam Agama suatu kesempitan”.
4.
(Kemudharatan itu harus dihilangkan)
Contohnya seperti
makan barang yang haram karena terpaksa, tidak ada makanan lain dan apabila
tidak memakannya bisa mati. Kaidah ini penerapannya harus secara sangat
hati-hati, kalau tidak akan melampaui batas-batas yang diperkenankan. Oleh
karena itu, ada kaidah antara lain:
“Apa yang
dibolehkan karena kemudharatan diukur sekadar kemudharatan itu saja”.
Kaidah tersebut
didasarkan pada Hadits Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:
“Tidak boleh
memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”.
5.
(Adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum)
Misalnya
menentukan waktu terpendek atau terpanjang dari haid, menentukan cacatnya
barang yang diperjual belikan dalam kasus Khiyar
al-Ayb. Kaidah ini berdasarkan kepada hadist dari Ibn Mas’ud diriwayatkan
oleh Ahmad:
“Apa
yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka baik pula pada sisi Allah”.[8]
2.3 Proses Pembentukan Kaidah-kaidah Fiqiyah



Al-Quran
Ushul Al-Fiqh Fiqh Kaidah Fiqh
Al-sunnah
Al-sunnah
Sehubungan dengan ilustrasi tersebut, maka dapat
dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1.
Bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan dengan menempuh prosedur buku ushul fiqh, maka akan lahir fiqh.
Melalui penalaran deduktif, maka lahirlah berbagai bidang dan cabang fiqh akan
sangat banyak dan beragam. Hal ini berkaitan dengan cakupan dan kecenderungan
persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan menarik perhatian para ulama.
Sebagian ulama meneliti ragam dan jumlah fiqh tersebut, dan melalui penalaran
yang bersifat induktif berusaha menarik main
stream nya . Produk penalaran ini melahirkan apa yang dikenal sebagai
kaidah-kaidah fiqh. Selanjutnya kaidah-kaidah fiqh tadi di konformasi dengan semangat, dalil kulli, dan maqashid al-syari’ah
yang termaktub didalam Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum islam yang
pokok.
2.
Ulama ulama tertentu mencoba pula mengkritisi kaidah-kaidah fiqh tersebut.
Pada umumnya, kritik-kritik tersebut merupakan pengujian atas kesahihan
rasional dan empiris kaidah-kaidah fiqh.
3.
Dalam kapasitas sebagai kaidah yang telah mapan, kaidah-kaidah inklusif
tersebut bersama-sama dengan ushul fiqh menjadi
metodologi hukum islam. Berdasarkan proses pembentukan dan cakupannya, tidak
berlebihan jika penulis menyatakan bahwa kaidah fiqh merupakan inclusive-theory of fiqh, atau setara
dengan grand thory, yang mencakup
beberapa middle – range theory serta meliputi sejumlah parochial,unique,operational theory lainnya dalam ilmu sosial.
Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, penjenjangan kaidah-kaidah fiqh mulai dari yang sangat luas hingga
yang sangat sempit cakupannya, telah dilakukan oleh para ulama.[9]
2.4 Manfaat Kaidah-kaidah Fiqiyah
Kaidah-kaidah fiqh(Qawa’id al-fiqh) ini adalah sangat
Penting di dalam ilmu fiqh.kepentingan
kaidah fiqh ini antara lain:
1.
Dengan
mengetahui kaidah-kaidah fiqh kita
akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh.
Sebab dengan kaidah-kaidah fiqh itu
berkaitan materi fiqh yang banyak
sekali jumlahnya. Dengan kaidah fiqh
kita mengetahui benang merah yang mewarnai fiqh
dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.
Dengan
memerhatikan kaidah-kaidah fiqh akan
lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan
memasukanya atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
3.
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda,untuk keadaan,dan adat yang berlainan.
4.
Meskipun
kaidah-kaidah fiqh itu merupakan
teori-teori fiqh yang diciptakan oleh
ulama, tetapi kaidah-kaidah fiqh yang
sudah mapan asalnya dari dalil-dalil kulli yang ada dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah.dilihat
dari sisi ini penggunaan kaidah fiqh
yang sudah mapan sebenarnya mengikuti Al-Qur’an
dan Al-Sunnah juga,meskipun dengan
cara yang tidak langsung.[10]
5.
Dengan
menguasai kaidah fiqiyah seseorang akan memiliki keluasan ilmu dan hasil
Demikianlah yang saya bagikan mengenai kaidah fiqhiyah semoga bermanfaat.