Makalah Mufti Zaman Sahabat
Table of Contents
( MUFTI ZAMANSAHABAT)
2.1
Pengertian Mufti
Mufti dalam
gramatika bahasa arab merupakan
bentuk shighot isim fa’il dari fi’il tsulatsi
mazid afta-yufti-ifta’ yang secara etimologi adalah orang yang
berftwa. Sedangkan secara terminologi adalah المخبر عن حكم شرعي (orang
yang menyampaikan perihal hukum syara').
Seorang
mufti harus bisa mentashawwurkan (menggambarkan) permasalahan secara
detail. Tidak boleh berfatwa yang berpotensi lebih banyak madlaratnya.
Begitu
urgennya posisi mufti, hampir seluruh kitab Ushul Fikih membicarakan dan
menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan persyaratan ketat yang harus
dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan fatwa).
Menurut
imam al-Nawawi al-Dimasyqi, diantara prinsip dan persyaratan memberikan
fatwa, mufti harus mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits, mengetahui hukum
islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun
hadits, memahami cara menggali (istinbath) hukum dan solusinya. Dengan
demikian, mufti harus cerdas (al-dlabith), jujur, dan tidak mempunyai cacat
moral (al-‘adlu), sebagaimana hal ini menjadi syarat bagi periwayat hadits.
2.2 Sifat- Sifat
Mufti
1.
Mempunyai niat dalam
memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata.
2.
Hendaklah dia mempunyai
ilmu,ketenangan,kewibawaan,dan dapat menahan kemarahan
3.
Hendaklah mufti itu
seorang yang benar-benar menguasai ilmunya bukan seorang yang lemah ilmu
4.
Hendaklah mufti itu
seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang material,bukan seorang memerlukan
bantuan orang untuk menetapkan hukumnya
5.
Hendaklah mufti itu mengetahui
ilmu kemasyarakatan
2.3 Kewajiban-Kewajiban
Mufti
1.
Tiak memberikan fatwa
dalam keadaan sangat marah,atau sangat ketakutan,dalam keadaan sangat gundah,
atau dalam fikiran sedang berbimbang dengan sesuatu hal.
2.
Hendaklah ia merasakan
amat berhajat kepada pertolongan Allah dan hendaklah dia memohon pertolongan
Allah agar menunjukinya kejalan yang benar dan membukakan kepadanya jalan yang
harus ditempuh
3.
Berdaya upaya menetapkan
hukum dengan yang diridhai Allah dan selalu lah dia ingat bahwa dia diharuskan
memutuskan dengan apa yang Allah turunkan,serta dilarang dia mengikuti hawa
nafsu
2.4 Mufti-Mufti Di Masa
Sahabat
Diantara
mufti-mufti yang terkenal dari para sahabat, di Madinah, ialah:
1.
Zaid Bin
Tsabit (wafat th 45 H)
2.
Ubay Bin Kaab (wafat th 21 H)
3.
Abdullah Bin
Umar (wafat th 73 H)
4.
Aisyah (wafat th 57 H)
Di Makkah, ialah:
1.
Abdullah Bin
Abbas (wafat th 68 H)
Di Kuffah, ialah:
1.
Ali Bin Abi
Thalib (wafat th 40 H)
2.
Abdullah Bin
Mas’ud (wafat th 32 H)
Di Bashrah, ialah:
1.
Abu Musa
Al-Asyari (wafat th 44 H)
Di Syam, ialah:
1.
Mu’adz Bin
Djabal (wafat th 18 H)
2.
Ubadah Bin
Shamit (wafat th 34 H)
Di
Mesir, ialah:
1.
Abdullah Bin
Amr (wafat th 65 H)
Ada
sejumlah kurang lebih 130 orang sahabat yang bertindak sebagai mufti. Yang
mendapat popularitas yang luas di dalam masyarakat adalah tokoh-tokoh diatas.
Kebanyakan beliau-beliau berdiam di Madinah kemudian berpindah ke kota lain.
1.
Ibn Mas'ud
Abdullah
Ibn Mas'ud adalah satu diantara sahabat yang mempunyai ilmu yang sangat
komprehensif dan memadai karena lama bergaul dengan Nabi dan sering melihat dan
mendengar kan bagaimana cara Nabi dalam memutuskan suatu hukum, selalu
menyikapi masalah hukum ini dengan merujuk kepada Al-qu'ran dan Sunnah. Berbeda
dengan periode Rasul, yang mana kekuasaan/ otoritas tasyri' dipegang langsung
oleh Rasulullah SAW, oleh karena itu sumber hukum yang berlaku hanya Alquran
dan Sunnah beliau. Akan tetapi pada masa sahabat ini kekuasaan / otoritas
tasyri' dipegang oleh sahabat, dan sumber hukum yang dipakai tidak hanya
terbatas pada nash, tapi lebih beragam sesuai dengan corak kondisi sosial yang
melatarbelakanginya.
Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibnu Mas'ud ibn
Ghafil Ibn Habib Ibn Abd al- Salam al- Hudzali, dan biasa juga dipanggil dengan
Abu Abd al-Rahman atau Ibn Umm 'Abd. Ia diantara sahabat yang paling dulu masuk
Islam, dan Ibn Mas'ud merupakan sahabat yang terkenal cerdas dan fasih dalam
membaca al-quran. Fatwa nya wajib ditaati karena beberapa alasan salah satunya
yaitu, dalam riwayat lain juga dikemukakan bahwa ketika Umar Ibn Khattab
mengirimnya ke Kufah menjadi hakim dan pengurus Baitul Mal, ia berpesan agar
mereka mentaatinya karena apa yang diputuskan dijamin oleh Umar sebagai suatu
yang benar. Begitu juga Ali Bin Abi Thalib pernah ditanya tentang sahabat rasul
yang mampu menyelesaikan problem masyarakat maka Ali menjawab Ibnu Mas'ud
karena ilmunya adalah Alquran dan Sunnah.
Para
sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang piawai dalam masalah fiqh, pula Ibnu
Mas'ud. Di antara pemikiran hukumnya itu adalah sebagai berikut:
1.
Talak dan Rujuk harus dengan saksi dan talak tiga sekaligus dihitung tiga.
Menurut Ibnu Mas'ud keinginan untuk rujuk setelah adanya talak tidak dapat
dilakukan hanya dengan perbuatan yang mengarah ke sana misalnya seperti dengan
jima', berciuman, memandang dengan syahwat, dan sebagainya, akan tetapi mesti
dengan suatu akad tertentu yang dihadiri oleh dua saksi. Walaupun secara teori
Abu Hanifah adalah ulama yang banyak
meniru gaya pemikiran Ibn Mas'ud , akan tetapi dalam masalah ini ia berpendapat
bahwa rujuk cukup dengan perbuatan tanpa saksi. Ia beralasan bahwa adanya hak
rujuk masih menunjukkan masih tetapnya kepemilikan, dan hal itu dapat
direalisasikan dengan perbuatan seperti mencium dan jima'. Apabila dilihat
ketentuan Al-qur'an dan Sunnah tentang rujuk, tidak satupun nash yang secara
tegas mengatur tentang kesaksian.
2.
laki-laki dewasa yang menyusu
Dalam
sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seseorang yang kematian anak, lalu sang
suami menyusu kepada istrinya hingga ia meminum air susu tersebut. Masalah ini
disampaikan kepada Abu Musa Al Asy'ari dan diputuskanlah bahwa ia (suami)
menjadi haram bagi perempuan tersebut. Karena tidak puas, akhirnya mereka
datang dan bertanya kepada Ibnu Mas'ud, dan Ia memutuskan bahwa perempuan itu
tetap halal bagi suaminya.
3.
Haram istri ayah disebabkan oleh watha', bukan akad
Sebagaimana
dinyatakan dalam firman Allah SWT bahwa salah satu muharramat nikah adalah
istri dan ayah. Penyebab keharaman tersebut menurut Ibnu Mas'ud hanya dengan
semata-mata watha', bukan karena akan nikahnya. Oleh karena itu dalam hal ini
watha' itu dilakukan dengan adanya sebab kepemilikan budak.
4.
Tidak semua sogokan haram
Dalam
hal ini ada empat bentuk sogokan; pertama sogokan yang haram bagi pemberi dan
penerima, yaitu dalam rangka menundukkan hakim atau penguasa; kedua, sogokan
haram yang diberikan kepada hakim dalam memutuskan perkara secara benar, karena
menyogok hakim yang memutus perkara yang benar itu haram hukumnya; ketiga,
mengambil harta untuk menyerahkan perkaranya kepada penguasa yang tujuannya
untuk menolak kemudharatan atau mendatangkan kemaslahatan juga diharamkan; dan
keempat, untuk menolak ketakutan baik dalam masalah terancamnya jiwa atau
harta. Ini boleh bagi yang memberi dan haram bagi yang menerima.
setelah
wafatnya Nabi SAW dan semakin luasnya wilayah Islam menimbulkan masalah baru
khususnya dalam hukum Islam. Misalnya masalah keuangan negara, ketatanegaraan,
peradilan, atau perkawinan, pajak, dan lain-lain sebagainya. Hal ini disebabkan
oleh karena tradisi suatu wilayah, dan dalam menjawab permasalahan ini sahabat
terlebih dahulu kembali kepada al-quran.
Bila
tidak didapatkan di sana mereka berpindah kepada hadis. Akan tetapi dalam
melihat hadis, sahabat sangat ketat (mutasyaddid). Seringkali dalam berbagai
kasus yang ada tidak menerima begitu saja hadis yang disampaikan oleh sahabat
yang lain. Abu Bakar misalnya pernah menolak hadis yang disampaikan oleh satu
orang kecuali kalau diperkuat oleh seorang saksi. Dengan demikian Alquran dan
kemudian hadis merupakan patokan awal bagi mereka dalam menetapkan hukum. Akan
tetapi jika tidak ditemui ketentuan-ketentuan hukum secara eksplisit di dalam
keduanya barulah mereka menggunakan akal yang tetap dijiwai oleh wahyu. Artinya
penafsiran terhadap nash menimbulkan metode-metode tersendiri yang pada
akhirnya dirumuskan oleh ulama dengan ilmu ushul fiqh.
2. Ibnu Abbas
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abbas.Beliau
adalah seorang sahabat Nabi Muhammad sekaligus saudara sepupunya. Ibnu Abbas memandang bahwa keharaman nikah mut'ah
hanya berlaku jika nikah tersebut tidak dibutuhkan sehingga dia membolehkannya
jika darurat. Lalu tatkala banyak orang yang mempermudah masalah nikah mut'ah,
maka dia mengubah pendapatnya. Dalam menjelaskan hukum-hukum dia berkata, " Dalam nikah mut'ah
terdapat pendapat ketiga, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
tidak mengharamkannya secara umum sama sekali, tetapi mengharamkannya ketika
tidak dibutuhkan dan membolehkannya ketika dibutuhkan. Inilah metode Ibnu Abbas
hingga dia berfatwa demikian dan berkata, "Nikah mut'ah sama seperti
mayat, darah, dan daging babi yang dibolehkan ketika darurat dan karena takut
terjatuh kepada dosa. Namun, banyak orang tidak memahami fatwanya tersebut dan
mereka menyangkanya membolehkan nikah mut'ah secara mutlak hingga mereka
menyebutnya dalam syair-syair. Ketika Ibnu Abbasmengetahui apa yang
terjadi, dia kembali mengharamkannya.
3.Umar Bin Khattab
Nama lengkapnya adalah Umar bin al-Khattab.
Khalifah yang dikenal sebagai sahabat yang banyak melakukan ijtihad. Ia mendapati dirinya
berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit. Harta benda musuh, yang terdiri
dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang
(ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah. Dan
tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara
itu.Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka ‘Umar telah melaksanakan hukum
Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima
lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah
Ta’ala, (Al Anfal : 41). Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu,
‘Umar berpendapat lain. Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita,
dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan
negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini
dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan
orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di
pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan
negeri-negeri yang terbebaskan. Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali
jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah
harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay’) kepada mereka.
Adapun titik pandangan Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu
memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah
memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu
bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?’ Demikian itu, ditambah
lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi
sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang
luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka
menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun
untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga
terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan
(kemiskinan) yang mendesak di pihak lain.
4.Abu Musa Al-Asyari
Nama
asli beliau adalah Abdullah
bin Qais bin Sulaim al-Asy'ari. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Abu Musa Al-Asyari berfatwa bahwa cucu perempuan (anak perempuan dari anak
laki-laki tidak mendapat warisan bila ia mewarisi bersama anak perempuan dan
saudara perempuan,akan tetapi setelah kasus yang sama diajukan kepada Ibnu
Mas’ud, ia menetapkan sesuai dengan keputusan Rasulullah SAW yaitu anak
perempuan seperdua,cucu perempuan seperenam dan sisanya untuk saudara
perempuan.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai mufti pada masa sahabat semoga bermanfaat.