Makalah Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat

sahabat sejuta warna kali ini admin postingkan materi fikih tentang perkembangan fikih pada masa sahabat silahkan simak dibawah ini.


2.1 Perkembangan Fiqih pada Masa Sahabat

Perkembangan fiqih pada masa sahabat ini berlangsung kira-kira selama 30 tahun (632M/11H-662M/41H) bermula sejak meninggalnya nabi Muhammad SAW. hingga berakhirnya masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan mulainya kekhalifahan Bani Umayyah. Tiga puluh tahun pasca nabi Muhammad meninggal, persoalan umat muslim pada periode ini di tangani oleh para sahabat.
Periode ini ditandai dengan keberadaan sahabat-sahabat Nabi yang terkemuka yang mengibarkan bendera Islam sejak wafat Nabi saw. Merekalah yang meneruskan estafet perjuangan Nabi dalam mendakwahkan islam di tengah-tengah umat manusia. Para sahabat menggantikan kedudukan Nabi saw. sebagai pemimpin umat dan kepala Negara.            Periode ini dikenal dengan periode sahabat yaitu masa para Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Urutannya sebagai berikut: Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi SAW. Abu Bakar (632 M - 634 M) diganti dengan Umar Ibn Al-Khathab (634 M – 644 M); Umar Ibn Al-Khathab diganti dengan Usman Ibn Affan (644 M – 656 M); dan Usman Ibn Affan diganti oleh Ali Ibn Abu Thalib (656 M - 661 M). Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Al- Khulafa Ar-Rasyidin  ( para pemimpin yang di ridhai ).
             Pada periode ini, daerah kekuasaan islam bertambah luas, bahkan mencakup daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang sudah memiliki kebudayaan tinggi dan struktur masyarakat yang maju jika dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu. Pada masa ini, islam mulai berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengkibarkan panji-panji isam dalam menjalankan misinya ke berbagai daerah disekitar jazirah Arab, seperti Irak, Siria, Mesir, daerah-daerah di Afrika Utara, dan belahan dunia lainnya. Oleh Karena itulah pada periode ini hukum Islam menghadapi masalah baru dalam hal moral, etika, budaya, dan kemanusiaan dalam tatana masyarakat yang plural. Kondisi inilah yang banyak berpengaruh dalam perkembangan hukum Islam pada periode ini.
            Dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang muncul di berbagai daerah yang plural itu para sahabat selalu merujuk pada Al-Quran dan sunah. Ada kalanya mereka menemukan nas Al-Quran atau hadis Nabi secara jelas menunjukkan persoalan yang dihadapi, namun dalam banyak hal mereka harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan dasar dari berbagai tema Al-Quran dan hadis untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai ketentuan nasnya. Periode ini ditandai juga dengan mulai munculnya perbedaan pemahaman terhadap nas.
           Para ulama (fukaha) dituntut untuk menemukan aturan-aturan baru, sehingga mereka tidak jarang melakukan ijtihad untuk menjawab permasalahan baru yang dihadapi.

2.2 Ijtihad Sahabat dalam Penggalian Hukum Islam

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat islam dan hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum. Kelompok pertama, memandang bahwa otoritas untuk mentapkan hukum-hukum tuhan dan menjelaskan makna dari Al- Qurán setelah Nabi Muhammad SAW. Wafat dipegang oleh Ahl Bait. Hanya merekalah menurut nash Nabi Muhammad SAW.- yang harus di rujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak memperoleh kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu karena setelah Nabi Muhammad SAW. Wafat masih terdapat ahli warisnya yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dan mengetahui makna Al- Qurán, baik dalam dataran eksoteris (luar) maupun dataran esoteris (dalam). Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok syiah.
            Kelompok kedua berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW. Tidak menentukan dan tidak pula menunjuk penggatinya sebelum beliau meningggal dunia untuk menafsirkan dan menetapkan perintah-perintah Allah. Al Qurán dan As-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul dimasyarakat. Mereka kelak dikenal sebagai kelompok Ahl As-Sunnah atau Sunni.
            Fakta sejarah menunjukan bahwa pengganti Nabi Muhammad SAW. Adalah Abu Bakar sebagai “wakil” dari kelompok Ahl As-Sunnah. Sementara Khalifah Ali ”wakil” dari kelompok syiah menjadi khalifah yag ke-empat. Artinya, Khalifah Abu Bakar menjadi pengemban pertama misi kerasulan pasca-Nab Muhammad SAW. Meninggal dengan segala problematika umat pada saat itu. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru muncul tersebut, para sahabat kembali pada Al-Qurán dan Sunnah. Hanya saja, sebagaimana diketahui, ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum jumlahnya sedikit dan tidak pula semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada Al-Qurán dan As-Sunnah.
            Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum inilah, khalifah dan para sahabat berijtihad. Akan tetapi, karena turunnya wahyu telah berhenti dan tidak ada lagi jalan untuk mengetahui benar atau tidaknya berijtihad yang dilakukan, dipakailah ijma atau konsensus sahabat. Khalifah tidak memutuskan sendiri ketentuan hukum, tetapi bertanya dahulu kepada sahabat yang lain. Putusan yang diambil oleh ijma ini lebih kuat dari pada putusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.
            Dalam pandangan M.Ali As-Sayis, peristiwa dan kejadian yang muncul dari masyarakat akibat meluasnya jazirah Arab, membuat para sahabat sibuk mencari pemecahan hukum-hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. meskipun mereka berijtihad , pada dasarnya, ijtihadnya masih bersifat global dan umum (spesifik:bahasa), berikut adalah kutipan secara lengkap:
“…ijtihad sahabat ini dalam pengertiannya yang luas. Mereka melihat indikasi (dalalah) nash dan beranalogi, mengangap hal-hal baik dan sebagainnya. Hanya saja mereka menyebut ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang di pertimbangkan hati setëlah berpikir, merenung dan mencari, untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang tampak. Berdasarkan hal ini, ra‎‎‎yu menurut mereka tidak terbatas pada analogi, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi mencakup analogi, istihsan, al-baraáh ashliyah, saddu dzara’í, dan maslahah mursalah.”
            Secara operasional, tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum, misalnya khalifah Abu Bakar, apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qurán dan As-Sunnah, ia mengumpulkan para ulama, sahabat dan merembukkan hal tersebut. Kemudian, apabila para sahabat bersepakat menetapkan suatu pendapat Abu Bakar pun menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati. Sebagai contoh, ijma sahabat tentang pengumpulan Al-Quran dalam satu musshaf pada masa Khalifah Abu Bakar.
Pola ijtihad Khalifah Abu Bakar dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Maimun bin Mahran, yang artinya sebagai berikut:
“Abu Bakar, apabila diadukan kepadanya perselisihan, ia melihat pada Kitabullah. Bila ditemukan hukum yang dapat memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hukum tersebut. Akan tetapi, bila tidak mendapatkan dalam Kitabullah dan mengetahui Sunah Rasulullah tentang hal itu, ia memutuskan dengan Sunnah tersebut. Bila tidak ditemukan juga (dalam Sunnah), ia bertanya kepada sahabat, ‘Apakah di antara kalian ada yang tahu Rasulullah menetapkan hukum dalam masalah ini?’ Terkadang, beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara seperti itu dan terkadang tidak. Bila tidak memperoleh, ia mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat untuk bermusyawarah. Bila diperoleh kesepakatan hukumnya, ia memutuskan dengan hasil kesepakatan tersebut.
Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama. Bila tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan permasalahan serupa? Bila Abu Bakar pernah memutuskannya  dengan suatu keputusan, ia pun memutuskannya dengan keputusan Abu Bakar. Akan tetapi, bila tidak ditemukan, ia mengundang para tokoh masyarakat. Apabila dicapai kesepakatan, Umar pun memutuskan perkara dengan hasil keputusan tersebut.
Meskipun jalan ijtihadnya sama, ada perbedaan mendasar pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, yakni di masa Abu Bakar, jumlah ulama yang dikumpulkan untuk berembuk, masih sedikit sehingga ijma masih dapat dijalankan dengan mudah. Berbeda halnya di zaman Khalifah Umar, mengadakan ijma mulai sulit, karena para sahabat terpencar di daerah-daerah baru yang jatuh di bawah kekuasaan negara Islam. Di antara mereka, ada yang tinggal di Mesir, Suria, Irak dan Persia. Namun demikian, karena para ulama sahabat mempunyai wibawa yang besar, ijtihad mereka mudah diterima oleh masyarakat umum. Tegasnya, para sahabat yang memegang kekuasaan berijtihad pada periode ini menetapkan hukum berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Setelah mereka menyelidiki dengan sungguh-sungguh, barulah berijtihad,
Khalifah ketiga adalah Utsman Ibn ‘Affan. Di antara pendapat Utsman Ibn ‘Affan adalah bahwa istri yang dicerai oleh suaminya yang sedang sakit, kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit tersebut, mendapatkan harta pusaka, baik ia (istri) dalam waktu tunggu maupun tidak. Sementara ‘Umar r.a. berpendapat bahwa perempuan tersebut mendapatkan harta pusaka apabila suaminya meninggal dalam waktu tunggu; tetapi apabila suaminya meninggal setelah waktu tunggu, istri tersebut tidak mendapatkan harta pusaka. Selain itu, Utsman Ibn ‘Affan membuat mushaf Al-Quran yang terkenal dengan mushaf Usmany, maka pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), Al-Quran diberi tanda sakal dan titik atsa jasa Abu Aswad Addauly dan hadits dikodifikasi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99H-101H). khalifah ini termahsyur karena ketakwaannya dan dalam menjalankan pemerintahannya, para ahli sejarah menyejajarkan dengan pemerintahan ortodoks Abu Bakar dan Umar.
Khalifah keempat adalah 'Ali Ibn Abi Thalib. Di antara pendapat Ali Ibn Abi Thalb adalah: Pertama, dalam Al-Quran terdapat larangan meminum khamr yang keharamannya ditetapkan secara berangsur- angsur. Akan tetapi, dalam tiga ayat tersebut tidak terdapat sanksi bagi yang melanggar keharaman tersebut.
Ali Ibn Abi Thalib berpendapat bahwa sanksi bagi peminum khamr adalah delapan puluh kali jilid karena pelanggaran atau tindakan meminum khamr diqiyaskan kepada penuduh zina (qadzt). Ali Ibn Abi Thalib berkata, "Inahu idza syariba hadza wa idza hadza iftara wa 'ala al muftiri tsammun jaldah (Apabila minum khamr, orang akan mabuk; orang mabuk akan menuduh; dan sanksi bagi penuduh adalah delapan puluh kali jilid)"
Kedua, seseorang menikah dengan seorang perempuan, kemudian ia akan melakukan perijalanan tanpa membawa istrinya. Keluarga istrinya mengancam bahwa pada istrinya telah jatuh talak apabila ia tidak mengirimkan nafkah paling lambat dalam satu bulan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, istri tersebut belum memperoleh kiriman. Hal itu kemudian diadukan kepada Ali Ibn Abi Thalib. Ali berkata, "Bertindaklah bijak sampai suaminya menyatakan talak," dan Ali menolaknya, artinya Ali Ibn Abi Thalib berpendapat bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi syarat adalah tidak sah.
Para sahabat di masa ini, tidak memberikan suatu hukum mengenai kejadian-kejadian yang belum dan mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, pemakaian qiyas belum banyak dilakukan, bahkan dari sebagian mereka terdapat kata-kata yang mencela pemakaian qiyas (dengan tidak memakai batas) dalam hal menetapkan hukum.
Dengan demikian, sumber tasyri’ pada periode ini ada tiga, yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad sahabat. Sumber yang disebut terakhir ini dalam praktiknya menempuh dua metode, qiyas (ra’yu) dan ijma. Oleh karena itu, ada sebagian ulama  yang menyebutkan bahwa pada periode ini terdapat empat sumber hukum, yaitu Al-Quran , As-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Begitu pula halnya, Athiah Musyrifah menjelaskan bahwa pada zaman Khulafaur Rasyidin (11H-40H/632M-661M), dalil-dalil tasyri’ islami adalah empat sumber        : Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad atau ra’yu dan ijma yang bersandar kepada nash Al-Quran atau As-Sunnah atau qiyas. Pernyataan terakhir ini lebih banyak dikenal, terutama oleh ulama ushul. Penggunaan qiyas dan ijma lebih banyak digunakan dalam buku-buku ushul fiqih dibanding ijtihad sahabat.

2.3 Kondisi Hukum Islam pada Masa Sahabat

          Setiap persoalan baru yang muncul pada masa ini selalu diselesaikan dengan kembali kepada petunjuk Alquran dan sunah Nabi. Jika dalam kedua sumber nas itu tidak ditemukan petunjuk hukumnya, para sahabat berkumpul melakukan musyawarah untuk menyelesaikan dan menemukan ketentuan hukumnya. Ketika mereka bersepakat barulah mereka memutuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi. Inilah awal mula dari praktik ijtihad dengan menggunakan ijmak (al-Qaththan,2001:189). Cara seperti inilah yang banyak ditempuh oleh para sahabat dakam menemukan hukum. Karena itulah, selain Alquran dan sunah, ijtihad sudah mulai menjadi sumber hukum Islam (fikih) yang menjadi rujukan para ulama. Dengan demikian sumber hukum Islam pada masa ini adalah Alquran, sunah, ijmak, dan kias.
          Sepeninggal Nabi, Alquran belum dibukukan. Pada periode inilah Alquran dibukukan ke dalam satu mushaf. Pembukuan Alquran pada periode ini terjadi dua kali, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar dan pada masa Usman bin Affan. Kali pertama, masa Abu Bakar, Alquran hanyalah dijadikan satu kesatua buku yang semula tersebar dalam bentuk lembaran-lembaran. Kali kedua, yakni masa Usman, bukan semata-mata pengumpulan Alquran, tetapi penertibaan bacaan Alquran untuk menghindari perselisihan pendapat di kalangan umat Islam.
         Sumber hukum Islam yang kedua, sunah (hadis), juga mendapatkan perhatian yang serius pada periode ini. Para sahabat melakukan seleksi yang sangat ketat dalam periwayatan hadis. Ini dilakukan dengan alasan adanya kekhawatiran akan adanya kesalahan atau penyelewengan, entah karena lupa atau karena kesalahan dalam penyampaian riwayat. Alasan lain adalah adanya kekhawatiran akan masuknya kabar bohong ke dalam hadis dari orang-orang yang sengaja ingin merusak Islam dari dalam. Dengan alasan inilah para sahabat, terutama khulafaur rasyidin, selalu berhati-hati dalam menerima hadis yang diterima dari sahabat yang lain (Mun’imA. Sirry,1995:37). Terkadang pembewa hadis itu hadis itu harus bisa menghadirkan saksi dan terkadang harus menyertainya dengan sumpah. Dengan cara inilah kekhawatiran-kekhawatiran dapat dihindari.
         Ijtihad sudah mulai menjadi rujukan para fukaha pada periode ini. Luasnya daerah Islam pada masa ini membawa persoalan baru dalam wacana hukum Islam. Ijtihad diperlukan tidak hanya untuk menyelesaikan persoalam baru tersebut, tetapi juga untuk memahami nas baik dalam Alquran maupun sunah. Intesitas ijtihad sahabat mendapat tempat tersendiri dalam hukum Islam. Meskipun ijtihad ini membuka ruang perselisihan (ikhtilaf), namun karena mereka sering melakukan ijtihad dengan bersama-sama dan bermusyawarah, maka ijtihad mereka banyak mendatangkan suatu kesepakatan umum dari suatu generasi (ijmak).
         Perbedaan pendapat pada masa ini dianggap sebagai suatu yang wajar. Kebebasan berpendapat pada masa ini bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Inilah yang membawa pada pada suatu kekuatan moral Islam yang secara bersungguh-sungguh ingin melihat relevansi Islam dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa terus meminta etika dan paradigma baru.


Demikianlah yang saya bagikan mengenai perkembangan fiqih pada masa sahabat semoga bermanfaat.