Makalah Perkembangan Ilmu Tauhid Pasca Bani Abbasiyah
Table of Contents
PERKEMBANGAN TAUHID PADA MASA PASKA
DINASTI ABBASIYAH
2.1
Perkembangan Tauhid sebelum pada Masa Paska Bani Abasiyyah
Masa ini
merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan
pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu
pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran
segala buku Filsafat dari yunani.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai
juru terjemah kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa mereka ke dalam bahasa
arab, para penerjemah ini berusaha mengembangkan pendapat-pendapat yang
berpautan dengan agama.pengembanganya dalam masyarakat muslimin, mereka
menyembunyikan maksud buruk mereka dengan berpakaian islam. Mereka menggunakan
falsafah untuk kepentingan mereka. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya
aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dari sejak
masuknya kebudayaan asing itu, lahirlah perbedaan-perbedaan pendapat dalam Ilmu
Tauhid. Dimasa itu pulalah timbul golongan-golongan seperti; Jahamiyah,
Karamiyah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Golongan-golongan ini senantiasa berdebat
tunduk menundukan dan kafir mengkafirkan.
Golongan
mu’tazilah tidak dapat mempertahankan agama tanpa mempergunakan falsafah
yunani. Dan tanpa mengetahui pendapat-pendapat golongan yang lain dari mereka
untuk menentang golongan-golongan yang tidak sepaham itu dengan memepergunakan
senjata mereka sendiri. Mulai dari masa ini berwujudlah gerakan mempergunakan
falsafah untuk menetapkan akidah-akidah islamiyah dan ilmu kalam bewarna baru
yangt tidak ada di masa Rosul, Shohabat, dan mulailah ilmu kalam dituang dalam
tulisan.
Dalam masa
ini muncul polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya
dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala
al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i
dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak
paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan
“Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan
mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’,golongan
Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi
argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham
mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah
Umayyah. golongan Mu’tazilah memperoleh kedudukan yang baik dalam kalangan bani
Abbas, tidak lagi permusuhan seperti yang mereka peroleh dari bani umayyah.
Semua
golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat
apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-‘Asy’ary, salah seorang
murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf
dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang
Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy,
al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi
yang datang sesudahnya.
Usaha para
mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya
“Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan
“al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin
mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan
filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak
mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah
mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam
mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat
karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai
dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan
kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
Dikala
pemerintahan khalifah Al Ma’mun terjadi perdebatan-perdebatan yang memuncak dan
hangat diantara ulama-ulama kalam, karena Al Ma’mun membuka kesempatan yang
luas bagi tokoh-tokoh Mu’tazilah.
Al Ma’mun mungkin menyukai diskusi-diskusi
yang terjadi diantara ulama-ulama kalam atau memang bermaksud supaya denag
jalan-jalan diskusi itu dapat diperoleh suatu pendapat yang dapat dianut oleh
semua orang.
Akan tetapi
perdebatan tentang adanya sifat bagi Allah berhenti pada saat lahir
partai-partai Musyabbihah, yaitu dengan lahirnya Muhammad Ibnu Karram, pemimpin
golongan Karamiyah yang menetapkan adanya sifat bagi Allah dan menyamakan
sifat-sifat Allah itu dengan sifat-sifat makhluk, dan berkumandang pula
pendirian Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al Qur’an. Dalam peristiwa ini
banyaklah orang dibunuh dan disiksa.
Al Ma’mun
menganut pendapat Mu’tazilah dan memaksa masyarakat menganut pendapat itu,
karenanya Al Ma’mun menyiksa orang-orang yang tidak mau menerima pendapat itu.
Tindakan Al
Ma’mun membantu Mu’tazilah dengan kekerasan menyebabkan masyarakat menjauhkan
diri dari orang-orang Mu’tazilah. Oleh karena masyarakat ramai tidak menampung
pendapat-pendapat Mu’tazilah, maka pengaruh mereka kian hari kian lemah.
Kemunduran pun terus berjalan sampai khalifah Al Ma’mun wafat
Setelah
beliau wafat, dibawah khalifah-khalifah penggantinya mulai timbul kembali
aliran-aliran yang dahulunya tertekan dan tak berpengaruh. Mu’tazilah tidak
mendapatkan perlindungan dan pembelaan lagi, bahkan mengalami serangan-serangan
dan kemunduran.
Dalam
keadaan seperti itu, lahirlah Abul Hasan Al Asy’ari, beliau adalah murid dari
Abu Ali Muhammad Ibn Abdul Wahab Al Jubbai Al Mu’tazilah. Abu Hasan membantah
gurunya dan membela mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Abu Hasan
menempuh jalan tengah antara mazhab salaf dan mazhab penetangnya. Beliau
mengumpulkan antara dalil-dalil aqli dan dalil-dalil naqli bagi
pendapat-pendapatnya dalam menolak paham Mu’tazilah.
Pengikut-pengikut
Asy’ari meneruskan teori-teori yang telah digariskan oleh Asy’ari yaitu
mengumpulkan antara dalil-dalil aqli dan dalil-dalil naqli. Seketika itu
pengikut-pengikut Al Asy’ari memandang pula bahwa dalil-dalil yang dibuat untuk
muqoddimah-muqoddimah aqliyah, seperti teori jauhar dan arodl, merupakan bagian
dari iman. Karenanya mereka berpendapat bahwa batalnya dalil berarti batalnya
mad-lul.
Inilah jalan
yang ditempuh mutaqoddimin Asy’ariyah, seperti Abu Bakar Al Baqillani, Al
Isfarayisi, dan Imamul Haramain Al Juwaini.
Kemudian
datanglah kelompok pengikut Asy’ari yang mendalami ilmu mantiqm lalu menetapkan
bahwa batalnya dalil belum tentu batalnya mad-lul, karena mad-lul itu mungkin
ditetapkan dengan dalil-dalil yang lain.
Itulah jaln
yang ditempuh ulama mutaakhirin. Diantara yang menempuh jalan ini ialah Al
Ghazali dan Ar Rozi.
2.2 Perkembangan Ilmu Tauhid sesudah
Daulah Abbasyiah dan masa modern
Sesudah
berlalu masa bani abbas datanglah pengikut asy’ari yang terlalu jauh
menceburkan dirinya kedalam falsafah dan mencampurkan semuanya itu dengan kalam
sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlowi dalam kitabnya Ath-Thowali dan
‘Abduddin Al-lejy dalam kitab Al mawaqif.
Madzhab Al
Asy’ari berkembang pesat merata ke pelosok hingga tak ada lagi madzhab yang
menyalahinya selain dari pada madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam
madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam Al Qur’an Al
Hadits tanpa menta’wilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada
permulaan abad ke 8 hijrah di Damaskus seorang ulama besar yaitu Taqiyudin ibnu
Taimiyah menentang urusan berlebih-lebihan dari pihak- pihak yang menyampur
baurkan falsafah dengan kalam atau menentang usaha-usaha yang memasukan
prinsip-prinsip falsafah kedalam ‘aqidah islamiyah.
Ibnu
Taimiyah membela madzhab salaf (shahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahidin) dan
membantah pendirian-pendirian golongan-golongan Al Asy’ari dan lain-lain, baik
dari golongan Rafidlah, maupun dari golongan sufiyah maka karenanya masyarakat
islam pada masa itu menjadi dua golongan yaitu pro dan kontra, ada yang
menerima pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah
ulama-ulama salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah itu adalah
orang yang sesat.
Jalan yang
ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini kemudian dilanjutkan oleh seorang muridnya yang
terkemuka yaitu: Ibnu Qoyyimil Jauziyah. Setelah masa ini berlalu, tumpullah
kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari Ilmu Kalam dengan seksama dan
tinggalah penulis-penulis yang hanya memperkatakan ma’na-ma’na lafadz dan
ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama. Sesudah itu pembahasan Ilmu
Tauhid terhenti.
Hilang gairah kaum muslimin untuk
mempelajari dan mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah
ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini
disebut gerakan Salafiyah.
Usaha-usaha
beliau-beliau inilah yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah
jiwa baru yang cenderung kepada mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan
muridnya.
Setelah masa
Ibnu Taimiyah, muncul pergerakan yang mengatas namakan gerakan salaifiyah
wahaby yang diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Persoalan yang diangkat
oleh gerakan ini tidak jauh beda dengan para pendahulunya, yakni masih seputar
kembali pada Al-qur’an dan Sunnah, pemurnian akidah dengan pemberantasan syirik
dan segala bentuk bid’ah dan khurofat. Kaum wahabi menganggap segala
pembantaian dan kekejaman terhadap kaum muslim yang dilakukan untuk merebut
wilayah Hijaz dari kerajaan Turky Usmani adalah dalam rangka jihad memerangi
orang musyrik.
Menurut
wahabi orang Islam yang bid’ah, khurofat dsb adalah musyrik. Jadi ia bukan
memerangi umat Islam, melainkan orang musyrik. Dengan demikian segala
perampasan yang mereka lakukan adalah halal, karena merupakan ghonimah atau
harta rampasan perang. Dan mereka pun menghancurkan makam-makam wali serta para
sahabat dengan alasan akan kekhawatiran umat islam menyembahnya. Gerakan syalafiyah modern yang diprakarsai oleh
Ibn Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz meneruskan perjuangan al-wahabiyah. Mereka
melakukan taklid mutlak terhadap Ibn Al-Wahab dan Ibn Taimiyah. Tujuannya pun
hampir serupa dengan gerakan Wahabi dan menolak segala bentuk pemikiran kaum
barat. Mereka menyatakan bahwa golongan ahlul sunnah wal jama’ah memisahkan
diri dari Jama’ah Islamiyah.
Adapun
gerakan salafiyah ini mengajarkan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dan menolak taklid pada ulam-ulama madzhab. Mereka pun juga menolak peranan
akal dalam akidah dan menolak takwil ayat-ayat Al-qur’an yang musytabihaat. Hal
tersebut dilakukan untuk memurnikan tauhid dari syirik. Mereka beranggapan
bahwa kemurnian tauhid telah dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan yang timbul di
bawah pengaruh tarekat-tarekat. Dalam masalah syirik Ibn al-Wahhab
mengklasifikasikan menjadi syirik akbar dan syirik asghor. Syirik akbar yaitu
bila seorang hamba mengarahkan ibadahnya kepada selain Allah dan orang yang
melakukan syirik ini dianggap keluar dari agama Islam (kafir). Sedangkan syirik
soghir bilamana seseorang melaksanakan perbuatan yang menjadi perantara menuju
syirik akbar. Misalnya terlalu berllebih-lebihan dalam menyanjung Nabi SAW.
Isu
pembaharuan barat atau modernisasi mempengaruhi pemikiran umat muslim untuk
menginstropeksi kemunduran yang telah menimpa dirinya. Dalam penanggulangannya
muncullah pemikiran-pemikiran Islam liberal yang mengiblatkan pemikirannya
kepada barat yang mana kehidupan beragama di barat mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran keagamaannya dengan ilmu pengetahuan dan filsafat
modern yang terbukti mampu mngangkat derajat orang barat.
Islam
liberal berpendapat bahwa Al-Qur’an dan As-sunah harus dipahami melalui
pendekatan rasional dan liberal, agar Islam selalu sesuai dengan perubahan
zaman. Pemikiran ini diangkat oleh Sir Sayid Ahmad Khan yang membujuk kaum
mslim agar mau diajak untuk bekerjasama dengan inggris untuk kemerdekaan India.
Adapun
gerakan Islam liberal ini mempunyai misi untuk membuka pintu ijtihad pada semua
dimensi Islam, mengutamakan semangat religio-etik, mempercayai kebenaran yang
relative, memihak pada minoritas yang tertindas, meyakini kebebasan agama serta
memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi (sekuler).
Demikianlah yang telah saya sampaikan makalah perkembangan tauhid pasca dinasti abbasiyah semoga bermanfaat.