Makalah Pluralitas Keberagaman di Indonesia
Table of Contents
“PLURALITAS
KEBERAGAMAN DI INDONESIA”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pluralisme dapat diartikan sebagai kemajemukan atau pluralitas,
artinya menerima keberagaman untuk hidup secara toleran dalam masyarakat yang
berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup. Adanya pluralitas dikarenakan keberadaan
manusia yang semakin bertambah/ dinamis hingga celah perselisihan timbul .
Proses munculnya pluralitas agama di Indonesia dapat diamati secara empiris
historis, pada awalnya hanya agama Hindu dan Budha yang dipeluk oleh masyarakat
di pulau Jawa. Setelah itu timbullah budaya Animisme dan Dinamisme baik di
pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Ketika penyebaran Islam lewat jalur
perdagangan sampai di kepulauan Nusantara, maka proses perubahan pemelukan
(conversi) agama secara bertahap berlangsung.
Kemajemukan (plural) bangsa Indonesia bukanlah persoalan
baru, tetapimemang sesuatu yang sudah ada sejak lama.Istilah ini juga digunakan
olehpemerintah Hindia-Belanda untuk menggambarkan struktur masyarakat
Indonesia.Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu ;pertama,majemuk
secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta kedaerahan. Kedua, secara
vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaanlapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.Struktur masyarakatmajemuk seperti
Indonesia pada dasarnya tidak bisa ditafsirkan sebagai ancamanbagi kohesivitas
sosial.Sebaliknya justru menjadi potensi besar pembentukanmasyarakat yang
demokratis, yang dicirikan terbangunnya civil society atau masyarakat
madani.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pluralitas Keberagamaan di
Indonesia
Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation
state) tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme).Pluralitas agama yang hidup di Indonesia, termasuk di
dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat
beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah. Sejarah wujud
kemerdekaan Indonesia adalah hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang
dimiliki bangsa ini.Dalam prinsip dasar demokrasi, kemajemukan (pluralitas)
menjadi sebuah fenomena kunci, karena berdemokrasi dalam suatu Negara terdapat
pada nilai heterogenitas teritorial, sosial, budaya untuk berada bersama-sama
dalam sebuah bangsa demi mencapai tujuan bersama yang di dalamnya ada hak dan
kedudukan yang sama, serta adanya pengakuan terhadap keberadaan masing-masing
elemen.
Pluralitas agama sebenarnya bukan fenomena baru bagi bangsa
Indonesia. Selama Orde Baru saja, secara de jure diakui oleh pemerintah
eksistensi lima agama dan bahkan puluhan, atau bahkan mungkin ratusan aliran
kepercayaan. Setiap penduduk Indonesia menghadapi kenyataan pluralitas agama
dalam kehidupan sehari-hari.Bertetangga, bekerja, dan bersekolah dengan orang
yang berlainan agama adalah suatu kenyataan yang dengan mudah ditemui dalam
aktivitas kehidupan keseharian. Pluralitas agama telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari apa artinya menjadi penduduk atau bangsa Indonesia.
Pluralitas agama menyimpan potensi sekaligus bahaya
tersendiri.Kemajemukan agama itu bisa menjadi potensi yang kuat (integrasi),
apabila kemajemukan tersebut dihargai dan diterima dengan bijaksana oleh
segenap unsur masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi, maka akan terbentuk
sebuah mozaik kehidupan yang indah dan nyaman untuk dinikmati. Di sisi lain,
kemajemukan itu menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah yang besar
(konflik). Perbedaan-perbedaan ajaran agama, apabila tidak ditanggapi dengan bijaksana,
maka dapat memicu sebuah pertikaian yang mendalam dan meluas.
Kendala yang paling krusial berteologi di zaman sekarang ini adalah
bagaimana mendefenisikan diri diantara berbagai macam agama yang ada atau
bagaimana berteologi dalam konteks agama-agama. Munculnya berbagai konflik dan
ketegangan atau bahkan permusuhan diantara para penganut agama adalah antara
lain karena kepenganutan cara berpikir yang tidak kritis , yang oleh Azyumardi
Azra menyebutnya sebagai “religion’s way of knowing”. Ciri utama dari “religion’s
way of knowing” adalah penetapan standar ganda dalam menilai agama-agama.
Agama yang kita anut biasanya kita ukur melalui parameter ideal, sementara
agama lain kita ukur dengan parameter yang lebih bersifat realistis dan
historis. Yang sering menjadi biang keladi kesalahpahaman antara penganut Islam
dan Kristen adalah penerapan double standard atau standar ganda yang
satu terhadap yang lain, baik kaum Muslimin maupun kaum Nasrani sama-sama
mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang memiliki kebenaran sejati dari Tuhan.
Sementara agama lain sebaliknya tidak berasal dari Tuhan, tapi dari konstruksi
manusia, atau boleh jadi sama-sama diakui bersal dari Tuhan namun telah dirusak
atau dikonstruksi manusia.
Disamping itu “religion’s way of knowing” bersumber dari
penilaian subjektif dari setiap penganut agama bahwa hanya kitab suci dan
agamanya saja yang memiliki empat kriteria yaitu : 1). Memiliki konsistensi dan
mengandung kebenaran tanpa menyimpang sedikitpun kesalahan, 2). Memiliki
kelengkapan dan bersifat final, 3). Merupakan satu-satunya jalan kebenaran,
keselamatan dan pembebasan, dan 4). Sepenuhnya diyakini benar-benar original
berasal dari Tuhan, tanpa ada sedikitpun konstruksi manusia di dalamnya
(Sejarah Islam Abad Modern:321-322).
Dampak yang muncul dari pengklaiman tersebut, secara radikal tentu
mudah di tebak, yaitu munculnya klaim bahwa hanya agama sendiri yang paling
benar dan paling sempurna diantara agama agama yang ada.Disinilah akan terjadi
apa yang disebut dengan language game atau permainan kata dan klaim tersebut
sesuai dengan yang sering terjadi. Bila semua pihak tidak menyadari akan
kekurangan dan kelemahan masing masing penganut agama dan tetap pada pendirian
nya secara kaku dan bersifat eksklusif, serta tidak ada keinginan untuk
memahami agama agama lain nya bisa menjadi pluralitas agama akan menimbulkan
konflik dalam kehidupan manusia. Oleh karna itu, untuk menghindari terjadinya
hal hal negative dari pluralitas tersebut, maka umat manusia harus menumbuhkan
kesadaran dan keyakinan bahwa pluralitas keberagamaan merupakan suatu kenyataan
yang di kehendaki tuhan.
Pada pluralitas keberagamaan di Indonesia perlu adanya kerukunan
antar umat beragama.Kerukunan merupakan bagian dari spirit agama, yakni seluruh
agama menganjurkan untuk hidup rukun.Selain dari bagian spirit agama, kerukunan
juga bagian persoalan hubungan sosial antara kelompok-kelompok yang berbeda di
masyarakat, agar senantiasa hidup damai dan saling membantu satu dengan yang
lainnya.
Nurkholis madjid mengatakan bahwa pluralitas agama yang juga
meliputi toleransi agama, tidak mengakui kebenaran semua agama. Pernyataan ini
mengandung kepercayaan dasar bahwa semua agama mempunyai hak untuk hidup
sedangkan konsekuensinya akan ditanggung oleh pengikutnya, baik secara individual
maupun secara kolektif sejalan dengan pandangan tersebut, Abdurrahman wahid
mengatakan bahwa, penerimaan prinsip pluralitas agama tidak berarti bahwa semua
agama adalah sama antar satu dengan yang lain. Secra teologi, ada perbedaan
perbedaan esensial diantara agama agama di dunia ini karena masing masing
mengandung ajaran yang unik.Namun keunikan tersebut harus di control dan di
kaitkan dengan pemberian perlakuan dan kedudukan yang sama di muka hokum dan
pemerintahan bagi semua warga Negara tanpa ada terkecuali. Maka penganut agama
apapun yang menjadi warga Negara dalam sebuah pemerintahan harus di hormati dan
di lindungi hak hak asasi nya, termasuk hak-hak politiknya. Apabila prinsip ini
diabaikan, maka akan timbul kesulitan-kesulitan dalam menyelenggarakan Negara
yang masyarakatnya pluralis baik dari segi agama maupun segi sosialnya.
2. 2 Sikap Terhadap Pluralitas Keberagamaan di Indonesia
Sebagai Negara yang pluralitas, kita sebagai warga Negara yang baik
dan berakhlak harus menyikapi pluralitas yang ada, terutama pada pluralitas
keberagamaan, dibawah ini sikap sikap terhadap pluralisme :
1.
Humanisme
sekuler
Humanisme
sekuler adalah suatu sistem etika yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai nilai
humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya
ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaran-ajaran agama.
2.
Inklusif
Sikap inklusif
lebih terbuka terhadap agama-agama lain di banding dengan sikap
eksklusif.Pandangan inklusif beranggapan bahwa semua agama memang memiliki
kebenaran tetapi kebenaran itu bersumber dari agama yang satu. Agama yang satu
ini lah yang memancarkan dan memberikan kebenaran kepada agama-agama yang lain.
Dalam inklusifisme keunikan dari suatu agama masih dijaga dan dipertahankan.
Misalnya, seorang Kristen inklusiv akanterbuka dengan pandangan kebenaran
agama-agama lain, namun ia tetap yakin bahwa sumber dari kebenaran itu ada di
dalam kristus, mereka pada akhirnya akan menuju pada kebenaran kristus yang ada
di dalam ke kristenan.
3.
Pluralis
Bagi seorang
pluralis akan memandang semua agama setara, memiliki kebenarannya
masing-masing. Dalam artian bahwa segala sesuatu shahih dan benar pada tempat
dan situasinya. Dalam konteks islam di Indonesia Alm. Abdurrahman Wahid atau
Gus dur adalah penganut paradigma ini, bahkan ketika ia meninggal mantan
presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar sebagai bapak pluralisme
Indonesia.
Sikap keberagaman ditengah masyarakat pluralis
yang perlu dikembangkan. Pertama, menerima orang lain atas dasar hidup
berdampingan secara damai. Hal ini diwujudkan dengan sikap saling menghormati
dan toleransi.Kedua, mengembangkan kerjasama sosial keagamaan melalui beberapa
kegiatan yang secara fungsional mendorong pengembangan kehidupan beragama yang
rukun.Ketiga, mencari, mengembangkan dan merumuskan titik temu agama-agama
untuk menjawab problem dan tantangan hidup manusia secara keseluruhan.Sikap
pertama merupakan tahap awal untuk membangun kebersamaan masyarakat.Sedangkan
sikap kedua adalah perwujudan nyata dari kebersamaan tersebut.Dan sikap yang
ketiga merupakan landasan teologis bagi masing-masing umat untuk membangun
masyarakat yang dimana semua individunya dapat hidup bersama dengan semangat
persatuan dan kesatuan umat manusia
Kesimpulan
Pluralisme agama adalah sebuah
konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan
terhadap agama-agama yang berbeda.Berbeda itu tidak sama dengan
bertentangan. Karena itu, kita seharusnya menghindari pola pikir binaris; in
group-out group, minnâ-minkum, kami-kamu, dan benar-salah, terutama
dalam hal berbangsa.Perbedaan pandangan, pendapat atau keyakinan manusia tidak
harus ditakuti dan dijauhi, melainkan menjadi titik tolak untuk berkompetisi
menuju kebaikan.
Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka
perlu ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan
paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan
menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai pluralitas keragaman di indonesia semoga bermanfaat.