Makalah Sikap dan Tindakan Radikalisme dan Terorisme dalam Beragama
Table of Contents
“SIKAP
DAN TINDAKAN RADIKALISME, DAN TERORISME DALAM BERAGAMA”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Radikalisme
2.1.1
Pengertian Radikalisme
Kata radikalisme ditinjau dari segi etimologi berasal
dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Makna kata tersebut dapat
diperluas kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian
dan ketentraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapat dikembangkan menjadi
kata radikal yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat
bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail
dan mendalam layaknya akar tadi serta
keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya. Hal inilah yang menimbulkan
kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks-isme sendiri
memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham dan
keyakinan atau ajaran.
Radikalisme merupakan paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis. Esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan.
Radikalisme dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat
diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat
mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang
penganut dari paham/ aliran tersebut menggunakan kekerasan terhadap orang yang
berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan
dipercayainya untuk diterima secara paksa.
Dari berbagai definisi maka dapat dikatakan makna
radikalisme, yaitu pandangan atau cara berfikir seseorang yang menginginkan
peningkatan mutu, perbaikan dan perdamaian lingkungan multidimensional hingga
semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram.
Dilihat dari pengertiannya radikalisme dibagi menjadi
dua, yaitu radikalisme positif dan radikalisme negative :
1.
Radikalisme dalam makna yang positif adalah keinginan
adanya perubahan kepada yang lebih baik. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau tajdid (pembaruan).
2.
Radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan
makna ekstrimis, kekerasan dan revolusi. Dalam istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas) atau ifrath (keterlaluan).
Pandangan positif dan negatif terhadap radikalisme
terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang
para pengamatnya.
2.1.2
Sejarah
Radikalisme Ekstrim
Radikalisme ekstrim pertama kali muncul di zaman akhir
masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a dalam bentuk gerakan yang
dipimpin Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi dari negeri Yaman yang masuk Islam
di al-Madinah An-Nabawiyah dan kemudian menebarkan fitnah di kalangan kaum
muslimin tentang keutamaan Ali menduduki jabatan Khalifah lebih dari Abu Bakar,
Umar dan Utsman, bersama dua ribu pengikutnya yang menghendaki untuk digantinya
Utsman bin Affan dari kedudukannya sebagai khalifah (kepala negara) dengan Ali
bin Abi Thalib r.a karena Ali lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan
Rasulullah SAW dibanding dengan Utsman. Kelompok Abdullah bin Saba’ berhasil
membunuh Khalifah Utsman dan negara dalam kekacauan yang amat serius sehingga
para Sahabat Nabi mendesak Ali bin Abi Thalib untuk memangku jabatan khalifah
untuk menghindari ancaman kehancuran negara.
Gerakan radikalisme ekstrim
terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Gerakan ekstrim ini dilakukan
oleh Ibnu Saba’ dengan menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya
adalah titisan Tuhan sehingga mereka meyakini bahwa beliau dan keturunannya
dari Fatimah az-Zahra mempunyai sifat-sifat ketuhanan), ditambah lagi dengan
munculnya gerakan ekstrim di negeri Haura’ (Kufah, Irak) yang dipelopori tokoh
ultra ekstrim bernama Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi. Gerakan ini dinamakan
Khawarij atau Hururiyah yang mempunyai prinsip bahwa orang Islam yang berbuat
dosa dianggap murtad dari Islam. Kemudian prinsip ini berkembang pula kepada
pemahaman yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa semua orang Islam yang
berada di luar kelompok alirannya dianggap kafir. Dengan dasar pemahaman inilah
mereka dengan serta-merta mengafirkan pemerintah di negara-negara Islam. Dan
dengan dasar pemahaman seperti inilah mereka melakukan terror terhadap
fasilitas-fasilitas umum di negara-negara Islam serta menggalang pemberontakan
kepada pemerintah-pemerintah Muslimin di negara-negara Islam.
Gerakan Ibnu Saba’ adalah
membunuh Khalifah Utsman bin Affan dan gerakan Khawarij adalah membunuh
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Maka kedua gerakan radikal tersebut mempunyai
kesamaan misi, yaitu menginginkan perubahan yang cepat dengan membunuh dan
memberontak.
Radikalisme sesungguhnya
banyak menjangkit berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya dan
ekonomi di dunia ini. Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran
kelompok fundamentalisme dalam islam lebih dirujuk karena dua faktor, yaitu :
1.
Faktor Internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi teks
keagamaan dalam melakukan “perlawanan” itu seringkali menggunakan legitimasi
teks (baik teks keagamaan maupun teks cultural) sebagai penopangnya. Seperti
ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berperang, seperti : “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (Q.S At-Taubah: 29).
Menurut gerakan radikalisme
hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan
syari’at, bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan lain sebagainya.
2.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab,
diantaranya : Pertama, dari aspek politik, kekuasaan depostik pemerintah yang
menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di
negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rejim-rejim
itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang
bahkan menyengsarakan rakyat.Kedua, faktor budaya. Faktor ini menekankan pada
budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang
dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi. Ketiga, faktor
sosial politk. Pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris
ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme
di kalangan umat islam.
2.2 Terorisme
2.2.1
Pengertian
Terorisme
Secara
etimologi terorisme berasal dari kata “to
Terror” dalam bahasa inggris. Sementara dalam bahasa latin disebut Terrere yang berarti “gemetar” atau “menggetarkan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terror merupakan suatu usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan
tertentu. Teorisme dalam pengertian perang memiliki definisi sebagai
serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror
(takut), sekaligus menimbulkan korban bagi warga sipil dengan melakukan
pengeboman atau bom bunuh diri.
Dari banyak
definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu tindakan
terorisme adalah seba gai berikut :
1)
Adanya rencana
untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2)
Dilakukan oleh
suatu kelompok tertentu.
3)
Menggunakan
kekerasan.
4)
Mengambil korban
dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Dilakukan
untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa
motif sosial, politik ataupun agama.
2.2.2
Penyebab
timbulnya teroris
Terorisme merupakan sebuah bentuk
kekerasan langsung dan tidak langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak
sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan itu, dan dengan aksi tersebut
dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat.
Penyebab timbulnya teroris adalah sebagai berikut .
1.
Terorisme muncul karena ada sebuah
kekerasan yang ingin menundukan masyarakat tidak berdosa agar menjadi lemah dan
tidak mempunyai nyali kembali untuk mengangkat kepala serta melakukan
perlawanan terhadap kekuatan itu.
2.
Terorisme yang disebabkan oleh keputusan
dan rasa frustasi yang meluas dipihak si lemah, kemudian silemah tidak bisa
memberikan perlawanan kepada penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan
teror, agar si penindas bisa mulai melepaskan cengkramannya. Dengan kata lain,
supaya si penindas itu juga kemudian mengalami rasa takut untuk melanjutkan penindasan.Terorisme
ditimbulkan karena motifasi masing-masing teroris berbeda satu sama lain.
Terorisme
kecil-kecilan yang dilakukan segelintir orang-orang yang tertindas. Tetapi juga
ada terorisme berskala raksasa yang sangat dahsyat, yang disponsori negara dengan aparat militer
maupun aparat kekerasannya. Terorisme tidak hanya dengan cara-cara kekerasan,
melainkan menggunakan tekanan psikologis dan tekanan mental yang dibuat lebih
canggih, tetapi hasilnya tidak kalah dari terorisme yang mengambil model
kekerasan. Perlu segera digarisbawahi, bahwa terorisme dalam bentuk halus atau
lebih canggih yang tidak menggunakan kekerasan langsung, biasanya mendapatkan
dukungan yang sangat efektif apabila media massa membenarkan tindakan yang
bersubtansi terorisme itu.
2.3 Pandangan
Agama Terhadap Radikalisme dan Terorisme
Tidak
ada satu pun agama yang mengajarkan tindak kekerasan, pembunuhan dan teror,
apalagi kepada orang-orang yang tidak berdosa. Tetapi, dalam tiap agama mana
pun, selalu ada ruang yang bersentuhan dengan emosi keagamaan yang besar yang
menuntut adanya pembelaan dan perlawanan terhadap tindakan yang dianggap
berlawanan secara fundamental terhadap kehidupan agama itu sendiri, seperti
perlawanan terhadap tindakan penghinaan
suatu agama dan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat beragama.
Dalam
setiap agama diajarkan untuk pengabdian total kepada Tuhan, dengan tuntutan dan
panggilan kepada pemeluk agama untuk menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada
Tuhan. Karena itu, ketika simbol-simbol ketuhanan seperti nabi, kitab suci, dan
tempat peribadatan terganggu oleh kekuasaan duniawi yang diperlihatkan oleh
adanya pemerintahan dan kekuasaan diskriminatif dan menindas, maka adanya
pembelaan kepada kaum yang lemah dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan
akan dianggap sebagai panggilan suci keagamaan.
Sebenarnya
tidak ada yang salah dalam agama. Tetapi, menjalankan suatu agama dalam
kehidupan masyarakat yang plural dan berubah memungkinkan terjadinya kesalahan
dan penyimpangan di dalamnya, karena realisasi agama sepenuhnya bersandar pada
pemahaman manusia terhadap agama, pada hakikatnya tidak akan pernah menempati
suatu kemutlakan. Kebenaran agama secara mutlak, tetapi eksternalisasi dan
aktulisasinya dalam realitas kehidupan masyarakat tidak pernah mutlak dan
selalu akan dibatasi oleh kebebasan keberagamaan orang lain. Jika batas- batas
ini, tidak mustahil realisasi keberagamaan akan menjadi pemicu konflik dan
kekerasan sosial, seperti diperlihatkan dalam sejarah konflik sosial keagamaan.
Dalam perspektif Al-Quran, islam
adalah sebuah agama yang menentang setiap perbuatan yang merusak, membinasakan,
melukai, dan membunuh tanpa alasan yang benar. Bahkan dalam peperangan
sekalipun, prinsip-prinsip moral, akhlak, dan etika harus dijadikan acuan.
Islam menyatakan perang terhadap segala bentuk kekerasan, kebiadaban, dan
kezaliman, karna semuanya itu termasuk dalam kategori “perbuatan durhaka
yangmelampaui batas.” Maka tidak disangsikan lagi bahwa terorisme adalah
perbuatan biadab yang wajib diperangi dan dibasmi, siapapun yang melakukan ;
perorangan, perkelompok, ataupun negara.Jangankan membunuh orang melalui aksi
terorisme, membunuh seorang anak manusia saja pun diharamkan, karena perbuatan
itu seakan-akan telah membunuh semua manusia.
Dalam islam sebagai agama yang
menganjurkan perdamaian dan persaudaraan antar umat manusia, tidak ada peluang
sama sekali dari sisi doktrin bagi umatnya untuk melakukan terorisme. Harus
dicari sebab-sebab diluar ajaran agama mengapa perbuatan terkutuk dilakukan.
Terorisme yang dilakukan oleh segelintir orang islam itu sesungguhnya merupakan
perbuatan nekad dan putus asa. Bagi
umat islam, kombinasi antara islam dengan terorisme merupakan sesuatu yang
sangat menyakiti hati. Para penyambung lidah umat mengajukan protes,menyatakan
bahwa islam tidak teeroris, bahwa teroris justru dilakukan terhadap umat islam,
misalnya di Palestina, bahwa ada konspirasi internasional untuk mendeskritkan
umat islam dan lain sebagainya.
Sikap
tenang terbuka semacam inilah yang lalu dengan mudah dapat didukung fakta-fakta,
seperti misalnya:
1.
Ajaran
agama islam memang tidak membenarkan terorisme. Bukan hanya karena islam
seharusnya membawa diri sedemikian rupa sehingga rahmatan lil’alamin bagi semua
orang, bahkan seluruh alam. Melainkan dalam Al-Qur’an ada berbagai ketentuan,
misalnya tentang bagaimana berperang, bagaimana memperlakukan mereka yang
kalah, yang memuat keharusan-keharusan yang sangat luhur, yang 1200 tahun
sebelum Geneva Convention sudah
bernapaskan semangatnya.
2.
Sejarah
menunjukkan bahwa tingkat toleransi islam terhadap kaum bukan Muslim rata-rata
lebih tinggi daripada di dunia Kristiani, begitu pula bahwa misalnya orang
Yahudi justru di wilayah-wilayah Islam bisa hidup dengan tenteram dan baik.
3.
Kenyataan
sekarang antara lain di Indonesia, membuktikan bahwa mayoritas besar umat
Islam, maupun mayoritas tokoh-tokoh Islam, adalah orang-orang toleransi yang
menolak dengan keras segala kekerasan agresif dan terorisme.
Terorisme
agama menimbulkan pertanyaan bagaimana mungkin agama-agama yang ajarannya pada
umumnnya baik-baik saja bisa melahirkan terorisme yang mengatasnamakan
agama-agama itu?. Kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomis konkrit pada
waktu dan tempat itu sudah tentu memainkan peranan besar. Terorisme agamis
selalu berkaitan dengan situasi historis tertentu. Karena itu, dan berbeda
dengan sebuah anggapan umum, terorisme tidak pernah secara merata terdapat
dalam semua agama, melainkan tergantung dari kondisi spesifikasi umat yang
bersangkutan.
Dalam
hubungan itu, kita harus membedakan antara terorisme yang dilakukan oleh
orang-orang yang beragama dan terorisme agama. Keduanya tidak sama. Namun,
kebanyakan terorisme itu bukan terorisme agama dan kita tidak tahu apakah
mereka yang melakukannya aktif beragama atau tidak. Banyak dari terorisme itu berlatarbelakang nasionalisme
daerah dan budaya, seperti misalnya Tamil Elan di Srilangka yang meskipun
mereka beragama Hindu, sedangkan etnik mayoritas, kaum sinhala, adalah Budha,
namun mereka tidak pernah memperjuangkan negara hindu, melainkan yang
diperjuangkan adalah otonomi maupun kemerdekaan bagi kaum Tamil.
Orang
bisa bertanya, mengapa agama yang penuh damai bisa dipakai kaum teroris untuk
membenarkan terorisme mereka? Setiap ajaran memungkinkan berbagai interpretasi.
Maka, orang yang sudah berada dalam mental terorisme, misalnya karena perasaan
frustasi kolektif yang berlangsung lama, ataupun karena kebingungan dengan
tantangan-tantangan modernitas yang tampaknya membongkar begitu banyak tradisi,
kebiasaan, dan tatanan normatif yang pernah menjadi andalannya. Meskipun tidak
selalu masuk ke dalam kelompok teroris itu berkaitan dengan fundamentalisme,
meskipun tidak harus dan, tentu, seorang “fundamentalisme” tidak dengan
sendirinya menganut radikalisme politik.
2.4
Pengaruh Radikalisme dan Terorisme dalam beragama
Beberapa kasus pengeboman, terorisme dan lain
sebagainya merupakan akibat dari paham radikal yang telah meningkat menjadi
sebuah tindakan yang sangat merugikan banyak pihak, bahkan orang yang tidak
bersalah ikut terkena imbasnya. Radikalisme apabila dibiarkan akan membawa
dampak negatif yang lebih besar terutama bagi kehidupan beragama, sehingga
untuk mengatasi hal tersebut perlu diadakan beberapa penanganan dari semua
aparatur negara, yaitu rakyat, tokoh agama serta penegak hukum juga diadakan
deradikalisasi, sehingga dalam pemahaman agama diajarkan keterampilan pemecahan
masalah tanpa kekerasan, mampu berfikir kritis, toleransi dan pemahaman agama
secara integratif tidak menimbulkan bias. Dari beberapa berita tentang
radikalisme dan lain sebagaianya, bahwa semua ini terjadi sebab pergolakan
perpolitikan serta ketidakpuasan sebagian kelompok terhadap kebijakan yang
diambil oleh pemerintah sehingga berimbas kepada beberapa secktor yang tidak
ada sangkut pautnya dengan hal tersebut.
Kejamnya
terorisme adalah bahwa kekerasan ekstrim diarahkan kepada orang-orang yang
tidak bersalah, yang sekurang-kurangnya tidak berada dalam situasi perang atau
pertempuran, melainkan hanya dimusuhi karena alasan ideologis.
Kita
harus membedakan orang “radikal” atau “ekstrim”di satu pihak dan orang teroris
di pihak lain. Perbedaan sangat mendasar yang pertama “ekstrim” atau “radikal”
dalam pikiran dan hidup pribadi, sedangkan yang kedua melakukan suatu perbuatan
yang jahat. Kaum teroris selalu berasal dari kelompok-kelompok
“ekstrim-radikal”, tetapi hal itu tidak boleh dibalik. Orang berpandangan
“ekstrim” dan “radikal” bukan teroris selama ia tidak terlibat, langsung atau
tidak langsung dalam perbuatan teroris.
Tetapi dalam masa pasca Perang Dingin, yang menjadi
fokus pergunjingan di dunia ini ialah apa yang diistilahkan dengan Radikalisme
islam. Isu sentral dalam pergunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan
“Islam” yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan
untuk mendirikan “Negara Islam”. Oleh karena itu definisi radikalisme Islam
semakin bias sehingga meliputi pula segala bentuk militansi beragama di
kalangan Muslimin diidentikkan dengan “ekstrimis Islam” atau dalam istilah lain
adalah “Islam radikal” atau “islam fundamentalis”.
Oleh
karena itu, jika pemerintah sekarang menetapkan berlakunya Perpu Antiterorisme,
maka pemerintahan pun harus menyadari dan mewaspadai. Perpu saja sangat tidak
memadai untuk melawan teror, apalagi bila teror itu bermula dan dilahirkan oleh
realitas masyarakat yang di dalamnya penuh ketimpangan dan kesenjangan yang
mencolok.
Contoh-contoh tindakan radikalisme
dan terorisme di Indonesia :
1. Teror
di Mako Brimob Depok, Jawa Barat
Kerusuhan antara pihak kepolisian
yang berada di komplek mako Brimob dengan narapidana teroris yang menjadi
tahanan dalam peristiwa ini 6 polisi sempat dijadikan Sandra. 5 diantaranya
meninggal dunia di tangan teroris 1 tahanan teroris juga meninggal dunia karena
insiden tersebut. Sejak peristiwa tersebut 145 narapidanan teroris dipindahkan
ke Nusakambangan Cilacap Jawa Barat.
2. Bom
3 Gereja di Surabaya
Dalam terror ini diketahui pelaku
merupakan 1 keluarga bom diledakan di Gereja Santa Maria, GKI Diponegoro dan
Gereja Pentakosta Jalan Arjuna. Keluarga yang diketahui merupakan anggota dari
kelompok JAD itu tewas dalam aksinya. Dalam insiden ini, 3 anak diajak ikit
serta bersama kedua orang tuanya dalam melakukan aksi bom bunuh diri ini.
3. Tragedi
Bom Bali
Tragedi ini merupakan aksi teroris
terbesar di Indonesia dan menjadi sejarah paling hitam sepanjang tahun 2002.
Bom meledak di dua diskotik yang banyak dikunjungi turis asing di kawasan Kuta.
Korban tewassebanyak 202 orang dan 209 lainnya luka-luka yang kebanyakan dari
Australia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata
radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang
artinya akar (pohon). Makna kata tersebut dapat diperluas kembali, berarti
pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketentraman, dan
makna-makna lainnya.Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau
drastis. Esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan.
Secara etimologi terorisme berasal dari kata “to Terror” dalam bahasa inggris. Sementara
dalam bahasa latin disebut Terrere yang
berarti “gemetar” atau “menggetarkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
terror merupakan suatu usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan
kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.
Dalam
perspektif Al-Quran, islam adalah sebuah agama yang menentang setiap perbuatan
yang merusak, membinasakan, melukai, dan membunuh tanpa alasan yang benar.
Bahkan dalam peperangan sekalipun, prinsip-prinsip moral, akhlak, dan etika harus
dijadikan acuan. Islam menyatakan perang terhadap segala bentuk kekerasan,
kebiadaban, dan kezaliman, karna semuanya itu termasuk dalam kategori
“perbuatan durhaka yangmelampaui batas.”
Beberapa
kasus pengeboman, terorisme dan lain sebagainya merupakan akibat dari paham
radikal yang telah meningkat menjadi sebuah tindakan yang sangat merugikan
banyak pihak, bahkan orang yang tidak bersalah ikut terkena imbasnya.
Radikalisme apabila dibiarkan akan membawa dampak negatif yang lebih besar
terutama bagi kehidupan beragama, sehingga untuk mengatasi hal tersebut perlu
diadakan beberapa penanganan dari semua aparatur negara, yaitu rakyat, tokoh
agama serta penegak hukum juga diadakan deradikalisasi, sehingga dalam
pemahaman agama diajarkan keterampilan pemecahan masalah tanpa kekerasan, mampu
berfikir kritis, toleransi dan pemahaman agama secara integratif tidak
menimbulkan bias.
Demikianlah yang saya sampaikan mengenai radikalisme dan terorisme dalam agama semoga bermanfaat.