Makalah Tauhid Asma wa Sifat
Table of Contents
TAUHID ASMA DAN SIFAT
A. Pengertian Tauhid
Asma’ Wa Sifat
Tauhid Asma’ Wa Sifat Yaitu
menyendirikan atau mengesakan Allah dalam apa yang Allah miliki dari nama-nama
dan sifat-sifat-Nya.
Dan dalam hal ini terkandung dua
perkara, yaitu
Pertama: Al-Itsbat (penetapan)
Yakni kita menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah, dari apa yang telah
Allah tetapkan sendiri dalam kitab-Nya atau apa yang ditetapkan Rasul-Nya dalam
sunnahnya.
Kedua: Nafyul Mumatsalah (meniadakan penyerupaan/penyamaan)
Yakni bahwa kita tidak menyamakan/menyerupakan Allah dengan selain-Nya
dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang Allah firmankan: [QS.
Asy-Syuura: 11].
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa
semua sifat-sifat-Nya tidak ada satupun dari para makhluk-Nya yang
menyerupainya/menyamainya. Dan tauhid asma’ wa sifat inilah umat Islam tercerai
berai menjadi banyak golongan.
Maka diantara mereka ada yang
mengikuti jalur tahrif (menyimpangkan/mengalihkan), ta’thil
(menolak/meniadakan),Takyif ( bertanya dengan kaifa/ bagaimana),tamtsil
(menyamakan/menyerupakan), dan ada pula yang mengikuti Madzhab Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah Secara Ijmal Mengenai Sifat-Sifat Allåh
1.
Tahrif
Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut pengertian
syar’i berarti: mengubah lafazh Al Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha
Tinggi atau makna-maknanya.
Tahrif ini dibagi menjadi dua:Tahrif dengan cara
menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh.
Hal ini dilakukan oleh yahudi,
sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Diperintahkan kepada Bani Israil:
‘masukilah pintu gerbang dengan bersujud dan katakanlah ‘hith-thah’ [bebaskan
kami dari dosa], lalu mereka menggantinya (dengan hinthah [gandum]), maka
mereka memasuki (pintu gerbang kota tersebut) dengan merangkak diatas ‘bokong’
mereka sembari berkata: ‘habbah fi sya’rah’ (sebiji dari gandum)” (HR. Bukhåry
dan Muslim).
Hal yang sama pun dilakukan kaum
sesat jahmiyyah, yang menta’wilkan ‘istawa’ (bersemayam) dengan istaula
(menguasai) dalam firman Allåh : yang artinya“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah.
Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
(Taa-Haa: 5) dan ayat-ayat semisalnya, yang terdapat dalam (Al-Furqaan:
59), (As-Sajda: 4), (Al-Hadid: 4), (Ar-Ra’d: 2), (Yunus: 3), dan (Al-A’raaf:
54)
A. Tahrif dengan cara merubah makna
Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana
aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.Contohnya adalah
perkataan ahli bid’ah yang menafsirkan Rahmah (kasih sayang),
1) Ta’thil
Ta’thil secara bahasa berarti
meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat
Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada
Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan
ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
Ta’thil ada bermacam-macam:
[a]. Penolakan terhadap Allah atas
kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya,
atau sebagian dari-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham
Jahmiyah dan Mu’tazilah.
[b].
Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah
kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah
kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
[c]. Meniadakan pencipta bagi
makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengata-kan: Sesungguhnya,
alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
Jadi, setiap orang yang melakukan
tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang
melakukan ta’thil melakukan tahrif. Barangsiapa yang menetapkan suatu makna
yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif
sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang
mu’athil, (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif, (pelaku tahrif).
1. Takyif
Takyif artinya bertanya dengan
kaifa, (bagaimana).Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan
memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu
untuknya.Meniadakan bentuk/keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna
yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari
bahasa Arab.
Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam
Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’,
-bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab :
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak
diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakan (bagaimana)nya (adalah)
bid’ah.” [Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144]
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani
dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui
bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan
menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan
memasrahkan bentuk/keadaannya.Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu
terhadap makna-maknanya.
2. Tamtsil
Tamtsil artinya tasybih,
menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam
sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Pertama
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta.Misalnya orang-orang Nasrani yang
menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi
yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula.Maha Suci Allah dari itu semua.
2) Kedua
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.Contohnya adalah orang-orang yang
mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh
makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh
makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk,
serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka ucapkan. [Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma'ani Al-Wasithiyah, hal.86]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah berkata : Ada tasybih jenis ketiga,
yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan ma’dumat, (sesuatu yang tidak ada),
tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah tasybih yang dilakukan oleh
orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Ilhad terhadap asma’ dan sifat-sifat
Allåh
Pengertian ilhad terhadap Asma’ dan
Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah,
hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti.
Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau
pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan
menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut
untuk menyebut hal-hal yang bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para
penganut paham “Ittihad”. Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah
tahrif, ta’thil, takyif, tamtsil dan tasbih. [Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah,
hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal. 24]
3. Ahlus-sunnah
wal jama’ah
Adapun ahlus sunnah wal jama’ah, maka mereka mengimani dan menetapkan semua
apa yang telah Allah tetapkan sendiri di dalam kitab-Nya daripada nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya,
dengan tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah
untuk diri-Nya secara tafshil, dengan landasan firman Allah,
وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْر
yang artinya:“Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” [Asy-Syura : 11]
Karena itu, semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
diri-Nya atau oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, mereka tetapkan
untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh
rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal, berdasarkan kepada firman Allah,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
yang artinya :“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya…” [Asy-Syura : 11]
Penafian sesuatu menuntut penetapan terhadap kebalikannya, yaitu
kesempurnaan.Semua yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, berupa kekurangan
atau persekutuan makhluk dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya,
menunjuk-kan ditetapkannya kesempurnaan-kesempurnaan yang merupakan
kebalikannya.Allah telah memadukan penafian dan penetapan dalam satu ayat.
Maksud saya penafian secara ijmal dan penetapan secara tafshil yaitu dalam
firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
yang artinya:“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dan Din Maha
Mendengar lagi Melihat.” [Asy-Syura: 11]
Ayat ini mengandung tanzih, -penyucian- Allah dari penyerupaan dengan
makhluk-Nya, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatanNya. Bagian awal ayat di
atas merupakan bantahan bagi kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah), yaitu
firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
yang artinya:“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya …”
Adapun bagian akhir dari firman Allah tersebut merupakan bantahan bagi kaum
Mu’athilah -yang melakukan ta’thil-, yaitu firman Allah
,وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْر
yang artinya:“Dan Dia Maha Mendengar lagi Melihat.”
Pada bagian pertama terkandung penafian secara ijmal sedangkan pada bagian
terakhir terkandung penetapan secara tafshil.Ayat di atas juga mengandung
bantahan bagi kaum Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah mendengar tanpa
pendengaran dan melihat tanpa penglihatan. [Al-Ajwibah Al-Ushuliyah 'ala
Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.26]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala mencantumkan ayat diatas,
berikut surah Al-Ikhlas dan ayat Al-Kursi, karena surah Al-Ikhlas dan ayat-ayat
tersebut mengandung penafian dan penetapan. [Ar-Raudah An-Nadiyah, hal. 120 dan
Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-haras, hal.31]
Surah Al-Ikhlas memiliki bobot yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an,
sebagai-mana dinyatakan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam [HR.
Al-Bukhari, lihat Fathul Bari XIII / 347 dan Muslim I/556 no.811] Para ulama
menyebutkan penafsiran sabda beliau itu, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tiga
macam kandungan, yaitu : Tauhid, kisah-kisah, dan hukum-hukum, sedangkan surah
Al-Ikhlas ini mengandung tauhid dengan ketiga macamnya, yaitu: Tauhid Uluhiyah,
Tauhid Rububiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Karena itulah ia dikatakan
sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. [Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Al-Haras,
hal.21]
Ayat Al-Kursi adalah ayat yang agung, bahkan merupakan ayat yang paling
agung di dalam Al-Qur’an [Muslim I/556 no.810, Ahmad V/142, dan lain-lain.] Itu
disebabkan, ia mengandung nama-nama Allah Yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya
Yang Maha Tinggi. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut terkumpul di dalamnya,
yang tidak terkumpul seperti itu dalam ayat lainnya.Karena itu, ayat yang
mengandung makna-makna agung ini layak untuk menjadi ayat yang paling agung
dalam Kitabullah. [Al-Ajwibah Al-Ushuliyah ala Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal.40]
Oleh: Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qathani
A.
Kaedah-Kaedah Penting Dalam Memahami Nama Dan Sifat
Allah
Kaidah-kaidah ini pada awalnya ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin, dan beliau menempatkannya di bagian awal kitab Syarah Lum’atul
I’tiqaad. Adapun Syaikh Abdur Razzaaq adalah salah seorang pengajar yang
menyertai dakwah Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah di Daarul Hadits
As Salafiyah Yaman. Beliau menjelaskan kaidah-kaidah ini sebagai pengantar
Syarah Lum’atul I’tiqaad dengan merujuk kepada penjelasan Syaikh ‘Utsaimin
dalam Al Qawaa’idul Mutsla serta keterangan dari ulama’ lain yang juga sangat
bermanfaat seperti Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar -semoga Allah merahmati
mereka semua-.
1. KAIDAH PERTAMA:
Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As Sunnah yang
berbicara tentang Nama dan Sifat Allah.
Dalam menyikapi nash-nash Al-Qur’an
dan As Sunnah kita wajib membiarkan penunjukannya sebagaimana zhahir nash tanpa
perlu menyimpangkan maksudnya. Ini adalah kaidah yang sangat penting.Penetapan
Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk perkara ghaib sehingga hal itu tidak
bisa dijangkau dengan akal dan rasio semata.
Makna zhahir dari Nama dan Sifat
tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab, karena Al Qur’an turun dengan
bahasa ini.Begitu pula Rasul yang kepada beliau diturunkan Al Qur’an adalah
orang yang berbahasa Arab.Orang-orang yang diajak bicara oleh beliau di masa
itu juga orang-orang yang berbahasa Arab.Mereka bisa memahami Al Qur’an dengan
bahasa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dia (Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam
bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az Zukhruf: 3)
Maka setiap muslim wajib memahami nash-nash sesuai dengan makna zhahirnya
yaitu menurut bahasa Arab selama tidak ada dalil dari syar’i yang
menghalanginya.
Yang dimaksud dengan makna zhahir dari pembicaraan adalah makna yang bisa
langsung tergambar di dalam benak pikiran ketika mendengarnya.Dengan demikian
makna zhahir itu bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan kalimat dan
menyesuaikan konteks pembicaraan serta kepada siapa ucapan tersebut
disandarkan.Contoh penerapannya adalah dalam firman Allah Ta’ala:
“Tak ada suatu negeripun/qoryah (yang durhaka penduduknya), melainkan
Kami membinasakannya…” (QS. Al Israa’: 58)
Orang-orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan:
Golongan pertama
Ahlu Sunnah wal Jama’ah As Salafiyyuun (pengikut Salafush Shåleh). Mereka
bersikap sebagaimana kaidah yang telah diterangkan.
Golongan kedua
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah mengarah
kepada tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-pent). Sehingga apabila dia
membaca firman Allah Ta’ala:
“Tetapi kedua Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64).
Maka dia akan berkata, “Saya tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali
dengan bentuk sebagaimana tangan saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu
tangan). Namun alasan ini terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala:لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11)
Sebagaimana diketahui bahwa terkadang sesuatu yang namanya sama akan tetapi
bentuk/kaifiyah-nya bisa jadi berbeda-beda. Seperti contohnya apabila anda
menyebut ‘tangan manusia, tangan tikus, tangan gajah dan lain sebagainya…’
bukankah sesuatu yang dinamai sama (yaitu tangan) sedangkan kaifiyahnya jelas
berbeda-beda, sebagaimana hal itu bisa kita saksikan.
Golongan ketiga
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah merupakan
bentuk penyerupaan/tamtsil.Pemahaman seperti ini mendorong mereka untuk
melakukan penolakan/ta’thil. Kemudian mereka berusaha menentukan makna lain
yang bisa diterima oleh akal mereka, dan mereka pun berselisih dalam
menentukannya. Mereka menyebut tindakan ini sebagai ta’wil/tafsir, padahal
sesungguhnya mereka telah melakukan tahrif/penyimpangan.
Golongan ketiga ini telah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia
sendiri tidak mensifati Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah dengan
sifat-sifat yang maknanya sama sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa Arab. Ambil
contoh firman Allah Ta’ala:
“(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam/istiwa’ di atas
‘arsy.” (QS. Thahaa: 5).
Golongan keempat
Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak mengetahui keinginan Allah
dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada lafazh, makna maupun kaifiyah
Nama dan Sifat Allah.Mereka mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada
Allah Ta’ala.”Mereka ini adalah golongan terjelek.
Konsekuensi dari pendapat mereka ini adalah para Sahabat tidak bisa
memahami nash-nash yang ditujukan kepada mereka, sehingga Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah mengajak bicara mereka dengan sesuatu yang tidak mereka
pahami, bahkan ini juga berarti sesuatu itupun tidak dipahami oleh beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam, padahal beliau jauh sekali dari tuduhan semacam ini!
Kalau kita mau merujuk kepada Kitabullah niscaya kita jumpai bahwa Allah
senantiasa memerintahkan kita untuk memikirkan, merenungkan dan memahami Al
Qur’an.Allah juga telah memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam
untuk menjelaskan Al Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman: إِنَّاأَنْزَلْنَاهُ
قرْآنًاعَرَبِيًّالَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab
agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.”
(QS. An Nahl: 44).
Madzhab golongan ini merupakan madzhab yang batil, yang membuka celah yang
lebar bagi munculnya berbagi macam kesesatan dan penyimpangan
2. KAEDAH
KEDUA: Ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla.
a) Seluruh
Asmaa’ Allah pasti husna.
Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang
memiliki nama dan sifat. Nama-Nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia,
yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan
oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’
(paling bagus).
Nama-Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan
keindahan. Allah Ta’ala berfirman: وَلِلهِ
اْلأَسْمَاءُالْحُسْنَى
“Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…” (QS.
Al A’raaf: 180).
Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan
yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari
sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan
makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).
Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar
label/merek. Akan tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus
mengandung sifat. Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan
hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut
Nama-Nama-Nya.
Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah adalah setiap Nama dari
Nama-Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari
nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui)
sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّاللهَكَانَعَلِيْمًاحَكِيْمًا
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha
Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30).
Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al ‘Aliim merupakan salah satu Nama
Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi
segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan
kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan.Sehingga tidak ada makhluk sekecil
apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.
b) Asmaa’ Allah
tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di
dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari
jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a,
“Hamba memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai
Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama yang
Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama yang Engkau
sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka tidak
ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-Nya
kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain
tidak mengetahuinya.
Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas ulama’ bahwa Nama
Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu, sebagaimana dinukil oleh Imam
Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari.
Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman
mereka.Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan dengan
hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain.
Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila
seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”
Ibnu Hazm -semoga Allah mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya
Allah memiliki Nama selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka
perkataan Nabi ’seratus kurang satu’ menjadi perkataan yang tidak ada gunanya…”
Sedangkan Jumhur ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan jumlah Nama Allah.
Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah itu
terkait erat dengan janji balasan yang akan diperoleh orang yang menjaganya
Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi
penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.
Imam Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini
bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak
menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99.
Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya
dia masuk Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya
(melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga
hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.
Al ‘Allamah Al Utsaimin memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan
maksud hadits ini dengan kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh,
jika anda mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk
shadaqah.” Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih
mempunyai uang selain jumlah itu.
Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui.Sedangkan kata-kata “Nama yang
Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” merupakan dalil yang
menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama Allah yang tidak bisa kita
ketahui.Dengan dasar dua ungkapan hadits ini disimpulkan bahwa jumlah Nama
Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.
c) Nama-Nama
Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar’i.
Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya
membutuhkan dalil syar’i) yang penetapannya bersumber dari Al-qur’aan dan As
Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan
pendapat:Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang
tercantum dalam Al-qur’an dan As Sunnah saja. Nama-Nama tersebut diambil dari
dalil Al-Qr’an, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya
tidak termasuk perkara tauqifi.
d) Setiap Nama
Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama
tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia
termasuk kata yang butuh objek/mutaaddi.
Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:
Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:
1. Beriman dengan Nama tersebut.
2. Beriman
dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
3. Beriman dengan atsar yang timbul
dari Nama tersebut.
Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- (memberikan
ungkapan yang sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya
Al Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan
konsekuensi Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”.
Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud dari
penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin -pent) sama artinya dengan
menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana tampaknya objek/sasaran itu
merupakan konsekuensi logis dari penetapan Sifat. Seperti menyandarkan ilmu
terhadap objek yang diilmui -dimana dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu
tersebut bisa diketahui (oleh Allah-pent).Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama
itu menunjukkan kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.
Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi maka
kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus menunjukkan keberadaan
Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung di dalamnya. Pada
penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan sekedar label/merek
akan tetapi ia merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu bentuk
keindahan tersebut ialah bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus
Sifat.
Contoh dari penjelasan ini:
Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum,
Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘Aliim. Ar Rahiim (Yang Maha
Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan
keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah sebagai salah satu
sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga menetapkan
bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya,
dan inilah yang disebut dengan atsar.
Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal,
Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali
(Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang
menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al
‘Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi-Nya.
3. KAIDAH
KETIGA: Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.
1.) Seluruh
Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha Tinggi).”
(QS. An Nahl: 60).
Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat
yang paling sempurna.Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang
seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah) memiliki
fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi
sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan
Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat
indah!!
Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat
terbagi menjadi beberapa bagian:
1.
Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak.
Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
2.
Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat
semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
3.
Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan
menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan
kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi
taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan
jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia,
maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat
kesempurnaan.Misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’
(Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita
katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas
tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah
dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan
menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi
taqyid/ikatan makna) dalam konteks pembalasan
Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa
Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk.
Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri
makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan
kepada Diri Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita
menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala.Serta kita
wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.
2.) Sifat-Sifat
Allah terbagi dua: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.
Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash
Al-Qur’an dan As Sunnah ada dua macam yaitu:
1. Sifat Tsubutiyah
Seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya
sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti
contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al
qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan
(yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya
yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Sifat Salbiyah
Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau
ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang
ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut),
bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.
Sifat Tsubutiyah terbagi dua: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.
Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al-qur’an dan As
Sunnah bisa dibagi menjadi dua:
A. Sifat
Dzatiyah
Sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak
terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi dua bila dilihat
dari kandungan isinya:
1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah
Yaitu sifat yang menunjukkan kepada
sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana
(hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.
2. Sifat Dzatiyah Khabariyah
Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan
namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan,
Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.
B. Sifat
Fi’liyah
Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya
berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua
berdasarkan sebab yang terkait dengannya:
a.
Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat
Ridha.
b.
Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui,
seperti sifat Istiwa’/bersemayam.
Faidah:
Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus
juga sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya
sifat Al Kalaam/berbicara.Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila
ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup
berbicara.Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya
pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat
berbicara kapanpun Dia kehendaki.
3.) Setiap Sifat
Allah dihadapkan pada tiga pertanyaan.
1.
Apakah sifat tersebut hakiki?Apa alasannya?
2.
Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat
tersebut?Kenapa?
3.
Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk?Kenapa?
Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:
1. Ya,
Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki.Karena hukum asal dalam penggunaan
lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan
dapat dilihat dari lafazh tersebut.
2. Tidak boleh
melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah
Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah
Sifat-Sifat-Nya.Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan
perbincangan masalah Dzat.
3. Sifat-Sifat
Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy
Syuura: 11).
Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan
bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna.
Demikianlah yang telah saya sampaikan mengenai tauhid asma wa sifat semoga bermanfaat.