Makalah Teori Ijtihad Sahabat
Table of Contents
( TEORI-TEORI IJTIHAD SAHABAT)
2.1
Pengertian
Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd,yang berarti al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan kemampuan).[1]
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi yaitu ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da
menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba
menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
lebih kuat dann sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengarahan dan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’).
Dengan demikian ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh
sesuatu.
Adapun definisi ijtihad secara
terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Namun secara umum
yaitu “Aktifitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dalam
dalil terperinci dalam syari’at.”. Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan
segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
2.2
Dasar
Hukum Ijtihad
Ijtihad dipandang sebagai salah satu metode untuk
menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad
banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,
diantaranya:[2]
a. Firman
Allah SWT
Dalam
Surat An-Nisa ayat 105, yang artinya “Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu
secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah
mengetahui kepadamu.” Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad
berdasarkan qiyas.
b. Adanya
keterangan dalam sunah
Sunah yang
membolehkan ijtihad yaitu terdapat
pada hadis Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah Saw mengutusnya ke Yaman untuk
menjadi hakim di Yaman. hadits tersebut berbunyi “Rasulullah Saw bertanya,
“Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab, “Dengan apa yang ada dalam kitab
Allah. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?”
Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul
bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata
Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku. “Rasul bersabda, “Aku bersyukur
kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya”
Dalam
hal ini telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Mereka
selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2.3
Ijtihad
pada Masa Sahabat
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad Saw sempurnalah turunnya ayat-ayat al-Quran dan Sunnah
Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian terjadi perubahan yang
besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah meluasnya wilayah Islam
dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya
akan perintah agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya
sehari-hari dengan agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam
menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya. Sumber fiqh pada masa ini,
disamping Al-Quran dan sunnah, ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat. Ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai
persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat pada zaman itu.[3] Ada tiga hal pokok yang berkembang pada waktu
itu yang berkaitan dengan hukum. [4]
a. Begitu
banyak muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah
tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Quran maupun penjelasan dari Sunnah
Nabi.
b. Timbulnya
masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukum.nya dalam
al-Quran maupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit
untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan
perkembangan dan persoalan yang dihadapi
c. Dalam
al-Quran ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah diatas memerlukan pemikiran
mendalam atau nalar dari para ahli yang disebut ijtihad. Dalam menghadapi hal tesebut berkembanglah para pemikiran
sahabat.[5]
1. Dalam
menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru terjadi para sahabat mencari
jawabannya ayat al-Quran, kemudian mencari dari penjelasan yang pernah
diberikan Nabi. Bila tidak menemukan jawabannya secara jelas, mereka mencoba
mencari jawaban dari balik zhahir lafaz hukum yang ada. Dengan cara ini, zhahir
lafaz ayat itu dapat direntangkannya kepada kejadian yang baru itu. Usaha ini dapat ditempuh melalui beberapa cara,
diantarannya:
a. Dengan
semata pemahaman lafaz, yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir
lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang
jelas dalam al-Quran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya,
sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang tahu bahwa membakar
dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak
yatim, maka keduanya juga sama hukumnya, yaitu haram. Cara ini kemudian disebut
penggunaan metode mafhum.
b. Dengan
cara memahami alasan atau ‘illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian)
yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan
atau ‘illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
Setelah
Nabi wafat, masalah ini segera muncul. Dalam periode sahabat ini penggunaan
ijtihad masih terbatas pada metode mafhum
dan qiyas. Cara ini pun sudah
dapat menjawab semua persoalan yang muncul waktu itu.
2. Persoalan
dalam bentuk kedua yaitu perubahan keadaan yang menghendaki perubahan pemikiran
walaupun jarak waktu periode Nabi dengan periode sahabat relatif pendek dan
bersambung, namun perkembangan kehidupan begitu cepat yang menuntut adanya
perubahan pemikiran.
3. Persoalan
ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang terpisah. Ayat al-Quran
menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan hukum tertentu secara terpisah.
Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah memberikan penjelasan, sehingga hukum
itu dapat dilaksanakan menurut apa adanya. Umpamanya hak kewarisan
saudara-saudara dijelaskan Allah dalam surat Al-Nisa’/4 ayat 12 untuk saudara seibu; ayat 176 untuk
saudara-saudara kandung atau seayah. Dalam surat Al-Nisa’/4 ayat 11 dijelaskan
mengenai hak kewarisan ayah, yaitu 1/6 bagian, bila pewaris ada meninggalkan
anak. Ayat 176 surat Al-Nisa’ itu mengandung arti bila ada ayah,
saudara-saudara tidak menerima hak kewarisan, karena ayah lebih utama dari
saudara.
Pemikiran ini menghasilkan pendapat berbeda yang
pada akhirnya menghasilkan pihak-pihak yang berbeda, masing-masing diikuti para
pengikutnya, Perbedaan ini pada umumnya disebabkan oleh karena tidak adanya
petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an dan tidak ada juga penjelasan dari Nabi.
Diantara perbedaan pendapat yang berkembang
dikalangan sahabat dalam memahami hukum Allah, terkadang terdapat kesamaan
pendapat dikalangan mereka. Kesamaan pendapat ini dikemudian hari diistilahkan
dengan “ijma”. Kesamaan ini mungkin munculnya dari pemahaman dan penerimaan
bersama atas keterangan Nabi yang kurang kuat sandarannya. Bentuk ini disebut
kesamaan atau ijma yang menyandarkan diri kepada nash atau petunjuk yang ada.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pada masa
sahabat, sumber yang digunakan dalam merumuskan fiqh adalah al-Qur’an, penjelasan Nabi yang disebut Sunnah. dan ijma’ shahabat
serta ijtihad yang terbatas pada qiyas.
Bila pada masa Nabi proses penetapan fiqh disebut pembinaan fiqh, maka pada
masa sahabat disebut periode pengembangan fiqh.
2.4
Bentuk-bentuk
Teori Ijtihad pada Masa Sahabat
2.4.1 Ijma
A. Pengertian
Ijma
Menurut
Amir Syariffudin dalam buku Ushul Fiqih, secara etimologi, ijma mengandung dua arti, yaitu (1) Ijma dengan arti ketetapan hati
untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, (2) Ijma dengan arti
sepakat. [6]
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat
perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan
kesepakat itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau
definisi ijma dari beberapa ulama, (1) Menurut Al-Ghazali, “ Kesepakatan umat
Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”. (2) Menurut Al-Amidi yang juga
pengikut Syafi’iyah “ijma adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal’Aqd (para
ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa
atas suatu kasus. (3) Menurut ulama Syi’ah “Kesepakatan suatu komunitas karena
kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara”.
B. Kehujjahan
Ijma
Ijma merupakan
suatu hukum syara yang qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya maupun
menghapusnya. Adapun dalil yang menerangkan kehujjahan ijma adalah sebagai
berikut :[7]
1. QS.
An-Nisa : 59
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu…”.
2. Hadits
Nabi Muhammad Saw
Hukum yang
disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam pada hakekatnya adalah
hukum umat islam yang diwakili oleh para mujtahid. Haditsnya yaitu :”Umatku
tidak mungkin bersepakat pada suatu kesalahan”. Juga,”Allah tidak akan mungkin
menghimpun umatku pada kesesatan.” Juga sabdanya lagi, “Apa yang dipandang oleh
umatku sebagai kebaikan, maka ia disisi Allah adalah baik.
3. Bahwasannya
ijma terhadap suatu hukum syar’i harus di dasarkan pada sandaran yang syar’i
pula. Karena seseorang mujtahid islam mempunyai batasan-batasan yang tidak
boleh dilanggar. Apabila dalam ijtihadnya tidak terdapat nash, maka ijtihadnya
tidak boleh melampui pemahaman nash dan pengetahuan yang menunjukannya. Apabila
dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui
batas pengambilan hukum dengan lantaran qiyas terhadap sesuatu yang ada nashnya
atau menerapkan kaidah-kaidah syariat dan prinsip-prinsip umum, dengan
menggunakan dari dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syariat,
seperti istihsan, istishab, dengan memelihara urf, atau dengan maslahah
mursalah.
C. Contoh
Ijma Pada Masa Sahabat
Berikut
merupakan contoh-contoh ijma pada masa sahabat, yaitu :
1. Diadakannya
adzan dua kali dan iqomah satu kali untuk shalat jumat, yang diprakarsai oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat
lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma tersebut dan diamnya para
sahabat lainnya adalah tanda menerimannya mereka atas prakarsa tersebut.
2. Menjadikan
As-Sunah sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Quran. Para mujtahid
bahkan seluruh umat islam sepakat menetapkan As-Sunnah sebagai salah satu
sumber hukum islam.
2.4.2 Qiyas
A. Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut istilah ahli ilmu
ushul fiqh adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumanya dengan
suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan kedua kasus
tersebut dalam ‘illat hukumanya.[8]
Apabila nash telah menunjukkan
hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat hukum telah diketahui melalui salah satu
metode untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya
sama dengan kasus yang terdapat nash, maka hukum kasus tersebut disamakan
dengan hukum kasus yang ada nashnya berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena
suatu hukum dapat diketahui manakala ditemukan illat hukumnya.
B. Kehujjahan
Qiyas
Menurut mazhab jumhur ulama islam,
bahwasanya qiyas merupakan hujjah syar’iyyah atas hukum-hukum mengenai
perbuatan manusia (amaliyyah). Ia
menduduki urutan keempat di antara hujjah-hujjah syar’iyyah. Hal tersebut
mengandung arti apabila pada suatu kasus tidak ditemukan hukumnya berdasarkan
nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) ataupun ijma’, dan diperoleh ketetapan bahwa ‘illat hukum dari kasus tersebut
menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya, maka hukum kasus itu diqiyaskan
dengan hukum kejadian tersebut, dan ini dihukumi sebagai produk hukum syara’.[9] Bagi
seorang mukallaf harus mengikuti dan mengamalkanya. Mereka disebut sebagai
orang-orang yang menetapkan qiyas (mutsbitul
qiyas). Adapun ayat Al-Qur’an, yang digunakan para ulama sebagai dalil
qiyas adalah sebagai berikut:
Firman Allah Swt yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa’/4: 59).
C. Contoh
Qiyas Pada Masa Sahabat
Berikut
merupakan contoh qiyas pada masa sahabat, yaitu :
1. Setelah
Nabi Muhammad wafat, Para sahabat berfikir bahwa masalah memimpin urusan dunia
dapat dihubungkan kepada pemimpin urusan ibadat. Ternyata Abu Bakar pernah
ditunjuk Nabi untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jama’ah sewaktu
Nabi sakit. Atas dasar ini para sahabat berpendapat bahwa yang akan
menggantikan Nabi dalam urusan dunia yaitu menjadi khalifah adalah Abu Bakar.
Pemikiran seperti ini berkembang dikalangan sahabat yang kemudian dikenal
dengan pemikiran secara qiyas.
2.5
Bentuk-Bentuk
Ijtihad Yang Lain
2.5.1 Sadd
Ad-Dzariah’ah
A. Pengertian
Adz-Dzari’ah
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.[10]
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah
dengan sesuatu yang membawa pada
perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat
tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim
Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah
itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang
dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
B. Kehujjahan
Sadd Adz-Dzari’ah
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam
menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai
dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanafilah dapat menerima kehujjahanya sebagai
salah satu dalil syara’.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan
oleh para ulama ushul:
a. Motivasi
seseorang dalam melakukan sesuatu.
b. Dari
segi dampaknya (akibat),
C. Contoh
Sadd Adz-Dzari’ah
a.
Contoh dari motivasi
seseorang dalam melakukan sesuatu, seorang laki-laki yang menikah dengan
perempuan yang sudah talak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan
itu bisa kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena
motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b.
Contoh dari segi
dampaknya (akibat), seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang
musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti
itu dilarang.
2.5.2 Al-Itishlah
A. Pengertian
Ishtislah
Kata istishlah berasal dari bahasa arabb
dengan asal kata Shalaha yang dapat
diberi arti dengan “baik”.[11]
Kata istishlah adalah : “Sebuah
keinginan untuk memperbaiki sesuatu secara sehat badan”. Al-Istishlah ini dapat
ditetapkan dalam hukum fiqh sama dengan Mashlahah
Mursalah. Teori ishtislah banyak digunakan dalam pembahasan al-siyasah al syariat.
B. Kehujjahan
Ishtislah
Hukum yang
ditetapkan oleh para mijtahid berdasarkan kaidah ishtislah, maka terbagi
menjadi dua macam, diantaranya :
a. Hukum
yang berkaitan dengan administrasi. Hukum ini diatur untuk kemaslahan social,
yaitu peraturan-peraturan yang diperlukan untuk kemaslahatan umum.
Pembangunan-pembangunan dapat menghindari dari kesulitan dan dapat mendatangkan
kebaikan seperti mendapat pekerjaan bagi orang yang nganggur, dan
merealisasikan kehidupan yang layak yang paling minimal adalah terpenuhinya
kebutuhan pokok manusia.
b. Hukum-hukum
yang berkaitan dengan aturan dan system peradilan dan hak-hak tertentu(khusus),
seperti : system peradilan, hak-hak kasus.
C. Contoh
ishtislah
a. Pajak
yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti membangun, Persiapan perang,
sensus penduduk, sertifikat tanah, panti-panti asuhan dan berbagai jaminan
social lainnya. Contoh lainnya penguasa wajib menciptakan aturan-aturan, mendirikan
lembaga-lembaga, institusi-institusi, menetapkan aturan yang lazim, untuk
membangun semua aspek-aspek tersebut.
Demikianlah yang saya bagikan mengenai teori fikih pada masa sahabat semoga bermanfaat.