ISLAM DAN DEMOKRASI SEBAGAI AUTO KRITIK KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Table of Contents
Sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan artikel ilmiah mengenai islam dan demokrasi silahkan simak di bawah ini.
ISLAM DAN DEMOKRASI
SEBAGAI AUTO KRITIK KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
Saat
ini banyak sekali Negara yang menganut Sistem Demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa
rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat
seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh
karena rakyat tidak mungkin rakyat mengambil keputusan karena jumlah terlalu
besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat. Sistem ini popular karena
melibatkan masyarakat merupakan komponen utamanya. [1]
Pada saat ini, banyak Negara yang mengadaptasi sistem Demokrasi yang berasal
dari Negara Barat. Padahal, sistem demokrasi tersebut belum tentu sesuai dengan
kaidah-kaidah Islam. Sistem Demokrasi di Barat memiliki tujuan-tujuan yang
sifatnya duniawi dan materialistis. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari
Sistem Demokrasi yang sejalan dengan
aturan Islam. [2]
Pengertian Demokrasi
Dalam
arti harfiahnya, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni demos artinya
rakyat dan kratia artinya pemerintahan Dengan demikian demokrasi berarti
pemerintahan (oleh) rakyat.[3]
Dalam pengertian terminologis, Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi itu
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena itu,
pemerintahan dikatakan demokratis jika kekuasaan negara ada di tangan rakyat
dan segala tindakan negara mendapat restu dari rakyat.[4]
Menurut
Juan dan Alfred, demokrasi didefinisikan sebagai persaingan terbuka untuk
mendapatkan hak menguasai pemerintahan. Pada gilirannva demokrasi menuntut
diselenggarakannya pemilu yang bebas dan bersifaf kompetitif yang hasilnya
dapat menentukan orang-orang yang memerintah. Menurutnya, demokratisasi lebih
luas daripada sekadar liberalisasi dan lebih bersifat politis. Dengan definisi
tersebut, Juan J. Linz dan Alfred Stepan mengemukakan kriteria pokok yang ada
dalam suatu sistem politik agar disebut sebagai demokrasi, secara lebih
empiris, pragmatis, yaitu sebagai berikut. [5]
"Kebebasan
hukum dalam merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak
yang sesuai dalam kebebasan untuk berserikat, berbicara, dan kebebasan dasar
lain bagi setiap orang; persaingan yang bebas dan antikekerasan antarpemimpin
dengan keabsahan periodik bagi mereka dalam memegang pemerintahan dengan
menyandang seluruh jabatan politik yang efektif dalam proses demokrasi, dan hak
untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apa pun pilihan
politik mereka. Secara praktis, hal ini berarti kebebasan dalam mendirikan
partai-partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur
untuk jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apa pun
dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung ataupurn tidak
langsung." [6]
Kebebasan
hukum di sini berarti adanya jaminan hukum dalam mengekspresikan kebebasan.
Kebebasan itu dibatasi oleh hukum sebagai produk politik yang demokratis.
Kedua
pakar ini lebih lanjut menguraikan dua bagian kriteria demokrasi. Pertama,
mengapa demokrasi modern harus bersifat inklusif secara luas, menyangkut siapa
yang dapat memberikan suara dan jenis-jenis partai politik apa yang dapat
bersaing untuk memegang kekuasaan? Pada prinsipnya, setiap individu dalam
masyarakat harus bebas untuk mengungkapkan apa pun kepentingan dan nilai-nilai
yang mereka miliki, dan pada jalur politik untuk mencapai secara damai,
berusaha untuk mencari dukungan dari sesama warga negara dalam pemilihan
Disingkirkannya artikulasi kepentingan atau tuntutan ideologis, budaya, etnis,
regional, bahasa, dan keagamaan, bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan
Kedua, para penguasa harus memerintah secara demokratis. Jika kalangan
eksekutif terpilih (bukan masalah sebebas apa pun pemilihan umum dilaksanakan,
atau seinklusif apa pun peran serta masyarakat, atau sebesar apa pun suara
mayoritas mereka), yalahi konstitusi, melanggar hak individu dan kaum
minoritas, menabrak fungsi-fungsi yang sah dari badan legislatif sehingga dapat
diartikan tidak mampu memerintah dalam batas-batas suatu negara hukum, hal itu
dapat disebut rezim, bukan demokrasi[7]
Islam dan Demokrasi
Hal
penting dari pembicaraan tentang negara adalah hubungan regara dan agama.
wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks negara modern
(nation state). Hubungan agama dan negara dalam konteks Islam masih menjadi
perdebatan yang intensif di kalangan hingga kini. Perdebatan Islam dan negara
berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang
menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan
politik Dari pandangan Islam sebaga agama yang komprehensif ini pada dasarnya
dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik
(dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di
Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang
pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem
pemerintahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di
masanya. Posisi ganda Nabi Muhammad ci kota Madinah disikapi beragam oleh
kalangan ahli. Secara garis besar perbecaan pandangan ini bermuara pada apakah
siam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggakan konsep yang
tegas tentang bentuk segara, mengingat sepeningal Nabi Muham searang pun dapat
menggantkin peran ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si
penerima wahyu Allah sekaligus.[8]
Pertanyaannya sekarang
adalah adakah demokrasi
dalam Islam? Jawabannya tidaklah mudah,
sebab konsep demokrasi
berkembang seiring dengan
perkembangan sejarah.
Negeri-negeri Muslim, baik
di Timur Tengah
maupun di belahan
bumi lainnya mengakui
keberadaannya sebagai negara demokrasi. Ini berimplikasi bahwa umat Islam
mengakui adanya demokrasi
meskipun dengan catatan
bahwa demokrasi dalam
Islam bukanlah demokrasi ala Barat. [9]Dalam konsep
demokrasi modern, kedaulatan rakyat
merupakan inti dari demokrasi, sedang
demokrasi Islam meyakini bahwa kedaulatan
Allahlah yang menjadi
inti dari demokrasi. Kedaulatan
mutlak menentukan pemilihan khalifah,
yaitu yang memberikan
kerangka kerja seorang
khalifah. Konsep demikianlah yang dikembangkan para cendekiawan belakangan
ini dalam mengembangkan teori
politik yang dapat dianggap demokratis. [10]
Hubungan antara Islam dan negara harus dipandang sebagai hubungan mutualisme,
banyak kalangan terutama para politisi muslim sepakat dan percaya bahwa Islam
dan demokrasi adalah kompatibel. Lebih jauh, mereka percaya bahwa Islam
mempunyai doktrin-doktrin
fundamental seperti shura,
huriyat, dan Al-Musawat (Wright, 1996),sehingga bisa diinterpretasikan sebagai
nilai-nilai atau doktrin yang mendukung terbentuknya masyarakat yang demokratis
(Al-Karim, 1983). Meskipun demikian, nilai-nilai Islam yang dipandang memiliki
peran mempromosikan demokrasi harus diinterpretasikan dalam konteks variasi
sejarah, masyarakat, dan politik yang lebih luas. Islam yang dipraktekkan dalam
konteks politik dan sosial masyarakat Saudi Arabia tidak mesti sama dan serupa
dengan konteks Islam yang dipraktekkan di negara-negara Asia Tenggara, dimana
praktek demokrasi sudah lama
diimplementasikan seperti di
Indonesia dan Malaysia [11].
Dari uraian-uraian
sebelumnya telah jelas
bahwa demokrasi sebagai
sistem pemerintahan memiliki perbedaan antara demokrasi ala Islam dan
demokrasi ala barat. Perbedaan tersebut dalam tiga aspek yaitu:
1. Demokrasi sebagai
pemerintahan rakyat dari
rakyat untuk rakyat
atau demokrasi sebagai prinsip-prinsip politik
dan kemasyarakatan seperti
persamaan di hadapan Undang-undang, kemerdekaan
berfikir dan beragama
serta keadilan sosial
atau demokrasi sebagai prinsip-prinsip pembagian kekuasaan.
2. Tujuan demokrasi
ala barat adalah
semata-mata keduniaan atau
material belaka, sementara
demokrasi ala Islam mencakup kepentingan dunia dan akhirat.
3. Kekuasaan rakyat
dalam demokrasi barat
adalah mutlak. Dalam
Islam kekuasaan rakyat tidaklah
mutlak melainkan dibatasi
oleh syariat, sehingga
rakyat tidak boleh bertindak menyalahi
Al-Qur’an dan sunnah
atau sumber-sumber hukum
Islam lainnya.
Dengan meminjam
analisis ini maka
ketiga aspek memiliki
titik temu hanya
pada satu titik, yaitu pada aspek
pertama yang dapat dipandang sebagai
aspek perwujudan sistem politik,
sementara dua aspek
lainnya tidak sama
bahkan bertentangan. Karena perbedaan yang
sangat mendasar ini
maka ada yang
berpendapat bahwa tidak
ada demokrasi dalam Islam. Sehingga bila kita menghendaki penerapan
syariat Islam dalam kehidupan kenegaraan
tidaklah cukup dengan
mengadopsi konsep barat
tetapi perlu mengkaji
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.[12]
Islam dan Demokrasi
sebagai Kritik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Kesimpulan)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari ketetapan Hukum Allah.
Karena itu, maka perlu sebuah sistem yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
1. Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
2. Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofur. Abdul. 2002.
Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gatara. Asep S. dan
Subhan Sofhian. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Fokusmedia
Mufti. Muslim dan Didah
D.N. 2013. Teori-Teori Demokrasi. Bandung: CV. Pustaka
Nurdin. Ahmad Ali.
Jurnal: “Kaji Ulang Konsep Hubungan Islam dan Demokrasi”. Bandung: UIN Sunan
Gunung Djati
Putri. Ratri Endah dkk.
2010 .Makalah : Islam dan Demokrasi. Bandung : Institut Teknologi Bandung
Ubaedillah. Dkk. 2010.
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Group
Wahyuni. Jurnal:”Islam
dan Demokrasi”. Vol.4 No.2 2014. Makassar: UIN Alauddin.
Sari. Dian Renanta.
Jurnal:”Hukum Islam dan Demokrasi: Antara Ditentang dan Diperjuangkan”. Jakarta
: Universitas Negeri Jakarta