Makalah Impelementasi Wadiah pada Bank Syariah
Table of Contents
sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan makalah aplikasi wadiah dalam bank syariah silahkan simak di bawah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di beberapa lembaga keuangan konvensional, terutama di
bank, tabungan merupakan salah satu instrumen yang sangat penting. Instrumen
tabungan ini dijadikan sebagai salah satu produk lembaga keuangan dalam upaya
menjaring dana dari masyarakat. Penjaringan dana dari masyarakat merupakan
langkah strategis yang dilakukan oleh lembaga keuangan dalam upaya memperbanyak
modal yang kemudian akan diinvestasikan lebih lanjut kepada nasabah berikutnya.
Bahkan, tabungan di beberapa lembaga keuangan aljadikan sebagai produk utama
dalam menjaring dan merekrut dana dari masyarakat dalam rangka pengumpulan
modal lembaga keuangan.
Dalam instrumen tabungan sesungguhnya tidak ada
masalah yang perlu dipersoalkan dan diperbincangkan secara signifikan. Namun,
ketika pada instrumen tabungan ini diikutsertakan prinsip bunga sebagai
motivator terhadap nasabah untuk menitipkan dananya, maka munculiah persoalan
hukum, terutama dalam perspektif hukum Islam. Hal ini disebabkan bunga dalam
wacana hukum Islam, masih diidentikkan dengan ribă yang dilarang dan diharamkan
oleh Islam. Menurut mayoritas fuqaha, bunga dan riba memiliki kesamaan dalam aspek
ziyâdah (tambahan) atas simpanan pokok pada saat pengembalian uang kepada
pemiliknya. Dalam wacana fiqh dan ekonomi Islam, sesungguhnya ada sebuah akad
mu'âmalah yang memiliki kemiripan dengan tabungan, yaitu akad wadi ah.
Di beberapa lembaga keuangan Syariah, instrumen wadi
ah ini dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk merekrut dan menjaring dana
dari masyarakat. Pada gilirannya, instrumen wadi ah ini dijadikan sebagai
instrumen alternatif untuk menggantikan tabungan yang diperlengkapi dengan instrumen
bunga di lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, penulis merasa
tertarik untuk membahas makalah implementasi wadi’ah dalam bank syariah.[1]
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian wadi’ah?
2.
Apa
landasan syariah tentang wadi’ah?
3.
Apa
produk hukum wadi’ah?
4.
Bagaimana
implementasi wadi’ah pada lembaga keuangan syariah?
1.3 Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui pengertian wadi’ah.
2.
Untuk
mengetahui landasan syariah tentang wadi’ah.
3.
Untuk
mengetahui produk hukum wadi’ah.
4.
Untuk
mengetahui implementasi wadi’ah pada lembaga keuangan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Wadi’ah
Wadi’ah itu diambil
dari lafazh wad’ al-sya’i (menitipkan
sesuatu) dengan makna meninggalkannya. Dinamakan sesuatu yang dititipkan seseorang kepada yang lain
untuk menjaganya bagi dirinya dengan wadi’ah
karena ia meninggalkannya pada pihak yang dititipi. Oleh karena itu, secara
bahasa, wadi’ah berarti sesuatu yang
diletakkan pada selain pemiliknya agar dipelihara atau dijaga. Wadi’ah ini merupakan nama yang
berlawanan antara memberikan harta untuk dipelihara dengan penerimaan yang
merupakan mashdar dari awda’a (ida) yang berarti titipan dan
membebaskan atas barang yang dititipkan.
Pengertian
wadi’ah secara istilah, di antara
para fuqaha terjadi perbedaan dalam
redaksional; namun demikian, secara substantif pengertian wadi’ah yang didefinisikan para fuqaha
tersebut tidak jauh berbeda. Hanafiyah mislanya, mengartikan wadi ah dengan
penguasaan kepada pihak lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih maupun
dalâlah. Sedangkan Malikiyyah hampir mirip dengan Syafi 'iyyah° mengartikan
wadi ah dengan perwakilan dalam menjaga harta yang dimiliki atau dihormati
secara khusus dengan cara tertentu. Hanabillah mengartikan wadî ah dengan akad
perwakilan dalam penjagaan harta yang bersifat tabarru atau akad penerimaan
harta titipan sebagai wakil dalam penjagaannya." Dari beberapa definisi di
atas, maka' secara kumulatif dapat disimpulkan bahwa wadî'ah memiliki dua
pengertian. Pertama, pernyataan dari seseorang yang memberikan kuasa atau
mewakilkan kepada pihak lain untuk memelihara atau menjaga hartanya. Kedua,
sesuatu atau harta yang dititipkan seseorang kepada pihak lain agar dipelihara
atau dijaganya, Pada pengertian yang pertama wadi ah lebih diartikan sebagai
tasharuf yang dilakukan oleh pemilik harta kepada pihak lain untuk menjaga
hartanya, sedangkan dalam pengertian yang kedua wadi'ah lebih diartikan sebagai
harta yang dititipkan oleh pemiliknya kepada pihak lain. Wadi ah adalah permintaan
dari seseorang kepada pihak lain untuk mengganti dalam memelihara atau menjaga
hartanya, yakni permintaan untuk mengganti pihak yang memiliki harta. Hal ini
berarti bahwa wadi ah itu menetapkan permintaan mengganti posisi pemilik harta
untuk menjaganya. Dalam konteks ini, wadî ah memiliki makna yang sama dengan
wakalah, di mana pemilik harta mewakilkan kepada pihak lain untuk menjaga dan
atau memelihara hartanya. Dari pemaknaan ini, maka dapat dipahami pula bahwa
wadi ah itu pada hakikatnya adalah amanat yang diberikan oleh pemilik harta
kepada pihak yang dititipi dan wajib mengembalikannya kepada pemiliknya pada
saat pemilik menghendakinya. Hal ini disebabkan wadi'ah dan amanah merupakan
dua kata untuk makna yang hampir sama (sinonim), meskipun tidak persis sama.
Wadi'ah merupakan permintaan secara sengaja untuk menjaga, sedang amanah adalah
sesuatu yang diserahkan kepada seseorang, baik dengan maksud wadi'ah atau
bukan. Dalam hal ini, wadi'ah adalah kepercayaan dalam makna khusus, sedang
amanah adalah kepercayaan dalam makna umum.
Ada
beberapa keadaan dimana wadi’ berkewajiban untuk mengganti wadi’ah yang rusak pada dirinya atau
bahkan hilang. Kewajiban mengganti itu disebabkan wadi’ dipandang telah melanggar ketentuan atau kesepakatan yang
mesti dijalankan dalam melaksanakan akad wadi’ah.
Keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Wadi’ meninggalkan tugas memelihara harta titipan;
2.
Wadi’ melanggar kesepakatan dengan muwaddi’
tentang cara memelihara harta titipan;
3.
Wadi’ menyerahkan harta titipan kepada pihak lain;
4.
Wadi’ mengambil manfaat atas harta titipan;
5.
Wadi’ bepergian dengan harta titipan tanpa seizin muwaddi’;
6.
Wadi’ mengingkari harta titipan kemudian mengakuinya.[2]
2.2 Landasan Syariah
a.
Al-Qur’an
۞إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا ...
” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” (an-Nissa’ : 58)
...فَإِنۡ
أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ
ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ...
”…jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (al-Baqarah: 283)
b. Al-Hadits
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat
kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud dan
menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang Imam Hakim mengkategorikannya sahih)
Ibnu Umar berkata
bahwasanya Rasulullah telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap
orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci.” (HR Thabrani)
c. Ijma
Para tokoh
ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma (consensus) terhadap
legitimasi al-wadi’ah karena
kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh
Dr.Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa
Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth
li Imam Sarakhsy[3]
2.3 Produk Hukum tentang Wadîah
Dalam konteks hukum, di
Indonesia telah ditemukan beberapa prod yang berkaitan dengan wadi'ah ini, baik
dalam bentuk peraturan perundan undangan maupun dalam bentuk fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syari Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Dalam UU
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan salah satu produk
perbankan syariah yaitu simpanan yang terdiri dari tabungan dan giro. Simpanan
diartikan dengan dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada bank syariah dan
atau UUS berdasarkan akad wadi ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan tabungan adalah
simpanan berdasarkan akad wadi ah atau investasi dana berdasarkan akad
mudhârabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek bilyet giro, dan/atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Giro adalah simpanan berdasarkan akad
wadi ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Produk
hukum yang kedua tentang wadi ah ini dikemukakan dalam PBI (Peraturan Bank
Indonesia), yakni PBI Nomor 7/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Kegiatan Usaha
berdasarkan Prinsip Syariah dan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam PBI tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan wadi ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang
pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan
untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu. Wadi ah dalam PBI
ini ditempatkan sebagai salah satu akad yang digunakan sebagai produk perbankan
Syariah dalam pengerahan dana. Aspek-aspek yang dikemukakan dalam PBI berkaitan
erat dengan masalah persyaratan wadi ah. Dalam mengimplementasikan wadi ah di
perbankan syariah, baik dalam bentuk giro atau tabungan, mest memenuhi
persyaratan sebagai berikut: (1) bank bertindak sebagai penerima dana titipan
dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan; (2) dana titipan disetor
penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal; (3) dana titipan dapat
diambil setiap saat; (4) tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau
bonus kepada nasabah; dan (5) bank menjamin pengembalian dana titipan
nasabah.12 Produk hukum wadi ah ini tampaknya lebih banyak tertuang dalam
bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) Majelis Ulama
Indonesia. Fatwa DSN MUI pertama yang berkaitan dengan wodi ah adalah Fatwa DSN
MUI Nomor 1 tentang Giro. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa giro yang
dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudhârabah dan
wadi ah. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai muwaddi dan lembaga
keuangan syariah bertindak sebagai wadi. Fatwa DSN MUI Nomor 1 tentang Giro ini
kemudian dilanjutkan dan dikembangkan lagi dengan Fatwa DSN MUI Nomor 2 tentang
Tabungan. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa tabungan yang dibenarkan secara
syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudhârabah dan wadi ah. Dalam
transaksi ini nasabah bertindak sebagai muwaddi dan lembaga keuangan syariah
bertindak sebagai wadi". Fatwa DSN MUI berikutnya yang berbicara tentang
wadī ah ini adalah Fatwa DSN MUI Nomor 36 tentang Sertifikat Bank Indonesia.
Dalam fatwa disebutkan bahwa Bank Indonesia selaku bank sentral boleh
menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan SWBI
(Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah
untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya. Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan
yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak Bank Indonesia.[4]
2.4 Implementasi Wadi’ah di LKS (Lembaga Keuangan
Syariah)
Wadi ah sebagai salah satu
instrumen pengganti dari instrumen tabungan dengan prinsip bunga telah
diimplementasikan di beberapa lembaga keuangan syariah. Wadi ah ini digunakan
sebagai produk lembaga keuangan syariah dalam rangka mengumpulkan atau merekrut
modal dari masyarakat yang untuk selanjutnya diinvestasikan lagi oleh lembaga
keuangan syariah. Di antara lembaga keuangan syariah yang mengimplementasikan
wadiah tersebut adalah perbankan Syariah, Baitul Mal wa Tamwil dan USPS (Unit
Simpan Pinjam Syariah).
1.
Implementasi
Wadi ah di Perbankan Syariah
Wadiah dalam konteks perbankan
berarti akad penitipan uang dari pihak yang mempunyai uang (nasabah) kepada
bank sebagai pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan serta keutuhan uang itu. Menurut PBI, wadî ah adalah
penitipan dana ata barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana
atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan untukmengembalikan dan
atau barang titipan sewaktu-waktu. Wadi ah yang diimplementasikan di perbankan
syariah adalah wadioh yad adh-dhamanah, di mana pihak bank dapat mengambil
manfaat dan memberdayakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang
dihasilkan dari dana titipan akan menjadi milik bank. Apabila bank mengalami
kerugian dalam investasinya, maka kerugian itu pun ditanggung sepenuhnya oleh
bank. Sebagai imbalan bagi si penitip, nasabah akan mendapatkan jaminan keamanan
terhadap titipannya. Namun demikian, pihak bank (wadi) yang telah menggunakan
barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif
berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan dalam akad dan jumlahnya tidak
ditetapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) No: 01/DSN- MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa
ketentuan umum Giro berdasarkan wadi ah ialah:
1.
Bersifat
titipan,
2.
Titipan
bisa diambil kapan saja (on call), dan
3.
Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athiya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan
umum tabungan berdasarkan wadi ah adalah:
1.
Bersifat
simpanan,
2.
Simpanan
bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.Tidak ada imbalan yang
disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athiya) yang bersifat sukarela
dari pihak bank (lihat Fatwa DSN No 02/DSN-MUI/IV/2000.)

2.
Implementasi
Wadî ah di Baitul Mal wa Tamwil
Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
adalah balai usaha mandiri terpadu yang icinya berintikan bayt al-mäl wa tamwil
dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan antara lain mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya." Dari
pengertian ini maka tampak bahwa dasar pemikiran pendirian BMT adalah untuk
menumbuhkan kegiatan menabung, terutama pada anggota BMT dan pengusaha yang
menjadi nasabah BMT itu sendiri, Akad yang digunakan BMT untuk merealisasi
tujuan tersebut adalah akad wadi ah. Wadi'ah di BMT diartikan dengan akad
penitipan uang dari pihak yang mempunyai uang (anggota atau nasabah) kepada BMT
sebagai pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan serta keutuhan uang itu. Wadî ah yang digunakan di BMT pada umumnya
adalah wadi'ah yad al-dhamânah, yaitu akad penitipan uang di mana BMT dengan
atau tanpa izin penitip uang dapat memanfaatkan uang titipan dan harus bertanggung
jawab terhadap kehilangan atau kerusakan uang titipan. Semua manfaat dan
keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan uang titipan jadi hak BMT. Namun
demikian, pihak BMT yang telah menggunakan uang titipan tersebut, tidak
dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak
disyaratkan dalam akad dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase
secara advance. Dalam mengimplementasikan wadî ah di BMT dalam bentuk tabungan,
mesti memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) BMT bertindak sebagai penerima
uang titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik uang titipan; (2) uang
titipan disetor penuh kepada BMT dan dinyatakan dalam jumlah nominal; (3) uang
titipan dapat diambil setiap saat; (4) tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian
imbalan atau bonus kepada nasabah; dan (5) BMT menjamin pengembalian uang
titipan nasabah.
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa anggota BMT atau pengusaha yang menitipkan uang di BMT bertindak
sebagai muwaddi’ atau rab al-mal dan BMT itu sendiri bertindak
sebagai wadi’ diimplementasikan di
unit simpan pinjam syariah dapat diskemakan sebagaimana termuat dalam gambar
berikut.
3.
Implementasi
Wadi ah di Unit Simpan Pinjam Syariah
Sebagaimana yang berlaku di
semua lembaga keuangan bahwa jenis usaha lembaga keuangan ituterdiri dari dua
jenis, yaitu usaha penghimpunan dana dan usaha penyaluran dana. Demikian pula
yang terjadi di unit simpan pinjam syariah menerapkan kedua jenis usaha
tersebut. Usaha penghimpunan dana dilakukan dalam rangka mengumpulkan dan
menambah modal, sedangkan usaha penyaluran dana dilakukan dalam rangka
mengembangkan modal yang terkumpul. Salah satu produk yang ditawarkan oleh unit
simpan pinjam syariah dalam jenis usaha penghimpunan dana adalah simpanan.
Simpanan yang dimaksud di sini adalah simpanan dana yang disetor oleh anggota
kepada unit simpan pinjam syariah. Bentuk simpanan itu sendiri terdiri dari
tiga macam, yaitu simpanan pokok, simpanan wajib, dan jenis simpanan lainnya.
Dari jenis simpanan ini dapat dipahami bahwa unit simpan pinjam syariah mirip
seperti jenis simpanan yang biasa digunakan di operasi simpan pinjam. Hal ini
sangat mungkin terjadi karena pembentukan unit simpan pinjam syariah dimaksudkan
sebagai alternatif terhadap koperasi simpan pinjam yang prinsip operasionalnya
menggunakan prinsip bunga. Simpanan pokok adalah simpanan yang dibayar satu
kali yaitu pada waktu mendaftar sebagai anggota unit simpan pinjam syariah.
Simpanan wajib adalah simpanan yang dibayar oleh semua anggota secara teratur,
biasanya dalam jangka waktu perbulan. Kedua simpanan tersebut pokok dan wajib
dalam tataran implementasinya menggunakan akad wadi’ah. Anggota unit simpan pinjam syariah bertindak sebagai wadi’ . Mekanisme operasional wadi’ah yang diiplementasikan di unit
simpan pinjam syariah dapat digambarkan sebagai berikut[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1.
Wadi
ah yang diimplementasikan di perbankan syariah adalah wadi ah yad adh-dhamanah,
di mana pihak bank dapat mengambil manfaat dan memberdayakan titipan tersebut,
sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan akan menjadi milik
bank. Apabila bank mengalami kerugian dalam investasinya, maka kerugian itu pun
ditanggung sepenuhnya oleh bank. Sebagai imbalan bagi si penitip, nasabah akan
mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Namun demikian, pihak bank
(wadî) yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan dalam
akad dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal persentase secara advance.
2.
Dalam
mengimplementasikan wadî ah di BMT dalam bentuk tabungan. mesti memenuhi
persyaratan sebagai berikut: (1) BMT bertindak sebaga penerima uang titipan dan
nasabah bertindak sebagai pemilik uang titipan (2) uang titipan disetor penuh
kepada BMT dan dinyatakan dalam jumlah nominal; (3) uang titipan dapat diambil
setiap saat; (4) tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus
kepada nasabah; dan (5) BMT menjamin pengembalian uang titipan nasabah.
3.
Salah
satu produk yang ditawarkan oleh unit simpan pinjam syariah dalam jenis usaha
penghimpunan dana adalah simpanan. Simpanan yang dimaksud di sini adalah
simpanan dana yang disetor oleh anggota kepada unit simpan pinjam syariah.
Bentuk simpanan itu sendiri terdiri dari tiga macam, yaitu simpanan pokok,
simpanan wajib, dan jenis simpanan lainnya. Dari jenis simpanan ini dapat
dipahami bahwa unit simpan pinjam syariah mirip seperti jenis simpanan yang
biasa digunakan di operasi simpan pinjam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
pembentukan unit simpan pinjam syariah dimaksudkan sebagai alternatif terhadap
koperasi simpan pinjam yang prinsip operasionalnya menggunakan prinsip bunga.
DAFTAR PUSTAKA
Janwari, Yadi.
2015. Fikih Lembaga Keuangan Syariah.Bandung:PT.Remaja
Rosdakarya.
Antonio, Muhammad,
Syafi’i. 2001. Bank Syariah:Dari Teori ke
Praktik. Jakarta:Gema Insani