Makalah Penyelesaian Sengketa Ekonomi Melalui Jalur Litigasi

Sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan makalah penyelesaian sengketa ekonomi secara litigasi atau pengadilan silahkan simak di bawah ini.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sadakah dan ekonomisyariah.Semenjak Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, kewenangan PeradilanAgama dalam menyelesaikan sengketa diperluas. Pengadilan Agama tidak lagi hanya berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tentang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadakah, tapi diberi kewenangan baru dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi dan kewenangan Pengadilan Agama yang didasarkan pada Penjelasan point (1) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta ditegaskan kembali dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan apabila terjadi sengketa di bidang perbankan syariah, maka peyelesaian sengketa diajukan ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini Pengadilan agama mempunyai hak dan wewenang untuk menerima, mengadili, dan menyelesaikannya.
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara, Hakim selalu dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah, ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu : Pertama, pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. Kedua, Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kelompok kami merasa tertarik untuk membahas “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Litigasi” sebagai judul makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Litigasi ?
2.      Bagaimana Subjek Hukum dalam Sengketa Ekonomi Syariah?
3.      Bagaimana Tata Cara Pengajuan terhadap Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama?
4.      Bagaimana Proses Pemeriksaan terhadap Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama
5.      Bagaimana Pencabutan, Perubahan, Kumulasi Gugatan dan Gugatan Balik?
6.      Bagaimana Eksepsi Perkara Ekonomi Syariah dan Pengunduran diri Hakim?
7.      Bagaimana Pengunduran Sidang dan Penggugat atau Tergugat Meninggal Dunia?
8.      Bagaimana Proses Pembuktian Perkara Ekonomi Syariah?

1.3 Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Litigasi.
2.      Untuk mengetahui Subjek Hukum dalam Sengketa Ekonomi Syariah.
3.      Untuk mengetahui Tata Cara Pengajuan terhadap Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama.
4.      Untuk mengetahui Proses Pemeriksaan terhadap Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama.
5.      Untuk mengetahui Pencabutan, Perubahan, Kumulasi Gugatan dan Gugatan Balik.
6.      Untuk mengetahui Eksepsi Perkara Ekonomi Syariah dan Pengunduran diri Hakim.
7.      Untuk mengetahui Pengunduran Sidang dan Penggugat atau Tergugat Meninggal Dunia.
8.      Untuk mengetahui Proses Pembuktian Perkara Ekonomi Syariah.




BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Litigasi

Litigasi adalah proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan di mana setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan gugatan dan bantahan.[1] Namun Undang-undang sendiri tidak memberikan definisi mengenai definisi litigasi. Namun, Pasal 6 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2.2  Subyek Hukum dalam Sengketa Ekonomi Syariah
Subjek hukum adalah setiap pihak sebagai pendukung hak dan kewajiban dengan kata lain, setiap pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa subjek hukum adalah pelaku hukum. Jadi yang dimaksud subjek hukum dalam bahasan ini adalah para pelaku hukum yang terkait dengan proses sengketa perbankan syariah. Para pelaku hukum yang terlibat dalam sengketa perbankan syariah adalah pihak-pihak yang melakukan tindakan hukum, yaitu berupa perjanjian (akad) syariah dan kemudian pihak-pihak tersebut menjadi terikat dengan hasil tindakannya tersebut. Pihak tersebut bisa perseorangan maupun berupa lembaga.
Pada dasarnya subjek hukum yang ada dalam perbankan syariah tidak mengatur tentang spesifikasi atau kriteria beragamanya, akan tetapi hanya mengatur mengenai dasar operasionalnya, yaitu dengan prinsip syariah. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap orang atau badan hukum boleh melakukan akad perbankan syariah sesuai dengan kehendak atau keinginan atau kesepakatan, baik dia beragama Islam ataupun non muslim.
Seseorang atau badan hukum yang melakukan kgiatan perbankan syariah dengan sendirinya ia menyatakan menundukkan diri dengan usaha dan kegiatan perbankan syariah yang menggunakan prinsip syariah. Oleh karena itu ketika terjadi sengketa, baik orang atau badan hukum tersebut tidak beragama Islam, akan tetapi telah menundukkan diri dengan hukum Islam, maupun mereka yang secara formil telah beragama Islam, maka orang atau badan hukum tersebut termasuk dalam kategori yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UUPA dan mereka dapat mencari keadilan dan menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama. Untuk menyelesaikan sengketanya, secara personal dapat langsung atau mererka dapat mewakilkan kepada kuasa hukum atau kuasa insidentil mererka.
2.3 Tata Cara Pengajuan terhadap Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 memberikan dua kemungkinan penanganan perkara ekonomi syariah cara sederhana dan cara biasa. Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara biasa tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun ketentuan-ketentuan penanganan perkara ekonomi syariah cara sederhana, diantaranya : Nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200 juta; para pihak berdomisili di wilayah hukum yang sama; penggugat dan tergugat tidak boleh lebih dari satu; alamat tergugat harus diketahui; pendaftaran perkara menggunakan blanko gugatan; pengajuan bukti-bukti harus bersamaan dengan pendaftaran perkara; penunjukan hakim dan panitera sidang paling lama 2 hari; hakim tunggal; adanya pemeriksan pendahuluan; tidak ada mediasi; penggugat dan tergugat wajib hadir tanpa didampingi kuasa hukum; gugatan dinyatakan gugur apabila penggugat pada sidang pertama tidak hadir tanpa alasan yang sah; dalam proses pemeriksaan hanya ada gugatan dan jawaban; waktu penyelesaian perkara 25 hari sejak sidang pertama; penyampaian putusan paling lambat 2 hari etelah putusan diucapkan; tidak ada upaya banding maupun kasasi, yang ada upaya hukum pegajuan keberatan yang diajukan 7 hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan.
Kewenangan relatif atau untuk menentukan Pengadilan Agama mana yang berwenang menangani sengketa perbankan syariah yang terjadi tersebut dapat digunakan dua cara. Pertama, gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal atau kediaman penggugat, atau Kedua, gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal atau tempat kediaman tergugat. Jika tergugatnya lebih dari satu orang atau beberapa orang tergugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan Agama tempat tinggal tergugat yang berutang utama.
Dalam membuat surat gugatan, para pihak harus memenuhi ketentuan-ketentuan syarat formil gugatan, sehingga memenuhi formulasi gugatan yang jelas. Gugatan bisa diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan.18 Syarat formil tersebut adalah sebagai berikut :
a. Identitas para pihak, Identitas pihak-pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau julukan, bin/bintinya, umur, agama, pekerjaan tempat tinggal terakhir dan statusnya sebagai penggugat/tergugat. Kalau kumulasi subjektif; penggugat 1, penggugat 2 dan seterusnya. Kalau ada pemberian kuasa, dicantumkan identitas pemegang kuasa.
b. Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, yaitu : positum atau posita gugatan, dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan. Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Mengenai perumusan posita, terdapat dua teori :
1)       Substantierings theorie, yang mengajarkan, dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2)       Teori Individualisasi (individualisering theorie), yang menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan.
Penggabungan kedua teori itu dalam perumusan gugatan, untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur atau obscuur libel atau gugatan yang gelap.
c. Petitum Gugatan, Petitum adalah pokok tuntutan gugatan, yang diajukan. Tuntutan ini didasarkan pada dalil-dalil gugatan (posita), dengan kata lain antara petitum dan posita harus berkesesuaian (sinkron) tidak boleh antara petitum dan posita tidak serasi apalagi sampai bertolak belakang.
2.4  Proses Pemeriksaan terhadap Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama
Pengajuan gugatan yang sudah diajukan oleh para pihak kemudian oleh Pengadilan Agama diproses dengan urutan sebagai berikut :
a. Tahap Pra Persidangan
1) Pendaftaran Perkara
Pihak yang telah membuat surat gugatan, dapat mengajukan gugatannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama tempat ia tinggal ataupun tempat tinggal lawannya atau sesuai kesepakatan dalam isi perjanjiannya.
Pendaftaran bisa dilakukan dengan datang langsung ke Kepaniteraan Pengadilan Agama, yang kemudian akan dimasukkan dalam buku register perkara dan diberi nomor perkara setelah pihak yang mengajukan membayar panjar biaya perkara yang telah ditaksir oleh Petugas Pengadilan Agama, atau pendaftaran melalui pendaftaran elektronik, sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 yang menjadi regulasi pertama yang mengakomodasi kemungkinan pengajuan perkara dengan memanfaatkan internet di lingkungan Peradilan Agama melalui aplikasi e-Court.
2) Penetapan Majelis Hakim
Penunjukkan Majelis Hakim yang akan memeriksa suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah menjadi hak dan wewenang dari Ketua Pengadilan Agama
3) Penetapan Penunjukkan Panitera Sidang/Panitera Pengganti
Panitera Pengganti/Panitera Sidang ditunjuk oleh Ketua Majelis yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama. Fungsi Panitera Pengganti adalah untuk membantu hakim, mencatata jalannya persidangan, membuat berita acara sidang, penetapan, putusan dan melaksanakan semua perintah Hakim dalam hal menyelesaikan perkara tersebut.
4) Penetapan Hari Sidang (PHS) dan Pemanggilan Para Pihak
Ketika menentukan hari persidangan, maka Majelis Hakim hendaklah mempertimbangkan jarak antara tempat kediaman atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat sidang Peradilan Agama. Sidang pertama yang telah ditetapkan, maka Ketua Majelis memerintahkan Jurusita Pengadilan Agama untuk memanggil para pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Waktu antara hari pemanggilan para pihak dengan hari persidangan tidak kurang dari tiga hari. Ketika surat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, maka panggilan tersebut dikategorikan dengan istilah patut dan resmi.
b. Tahap Persidangan
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan bersifat terbuka untuk umum, kecuali ditetapkan lain oleh Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang telah diubah dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan tersebut juga berlaku dalam sidang pemeriksaan sengketa perbankan syariah, karena belum ada ketentuan yang ditemukan dalam UU atau Peraturan yang berkenaan dengan perbankan syariah ataupun tatacara penyelesaiannya yang mengatur tentang tertutupnya sidang pemeriksaan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama.
1). Acara Pemeriksaan Persidangan Istimewa
Acara pemeriksaan istimewa dapat dilakukan oleh Pengadilan Agama apabila terjadi dalam tiga hal kemungkinan pada perkara, yaitu : Pertama, Terhadap perkara digugurkan. Kedua, Terhadap perkara dibatalkan. Ketiga, Terhadap perkara verstek.
2). Acara Pemeriksaan Persidangan Biasa
Acara pemeriksaan persidangan biasa pada sengketa ekonomi syariah ini terjadi apabila kedua belah pihak yang bersengketa atau melalui kuasanya hadir pada persidangan pertama dan/atau persidangan selanjutnya. Sebelum ke persidangan, dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi, yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan Perma tersebut, mediasi yang semula merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (non litigasi) berubah menjadi suatu cara penyelesaian sengketa yang integral dengan proses penyelesaian litigasi di Pengadilan. Prosedur mediasi menurut Perma tersebut dengan taap-tahap sebagai berikut :
a). Pra Mediasi
Berdasarkan Pasal 7 ayat (5), mengenai kewajiban menunda sidang pertama untuk upaya mediasi. Pihak diberi kebebasan untuk memilih mediator yang ada di luar Pengadilan (advokat, akademisi hukum), biaya jasa ditanggung oleh kedua belah pihak. Apabila mediotor yang dipilih itu dari Pengadilan, maka tidak ada uang jasa. Apabila dalam waktu paling lama 2 (dua) hari tidak mencapai kesepakatan untuk memilih mediator, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Ketua Majelis segera menunjuk hakim bukan pemeriksa sengketa tersebut untuk menjadi mediator.
b). Proses Mediasi
Batas waktu mengenai proses mediasi di Pengadilan ini adalah 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh Ketua Majelis dan batas waktu tersebut dapat ditambah sampai 4 hari atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi, mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak.
c). Hasil Mediasi
Apabila mediasi berhasil, maka pihak-pihak yang bersengketa merumuskan dan membuat isi kesepakatan perdamaian secara tertulis yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan mediator, yang dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, dan para pihak diwajibkan untuk melaksanakan isi akta perdamaian. Apabila mediasi tersebut gagal, berdasarkan Pasal 18 Perma Nomor 1 Tahun 2008 mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan hal tersebut kepada Hakim. Selanjutnya persidangan dilanjut dengan acara biasa.
Tahap selanjutnya dalam persidangan biasa adalah pemeriksaan pokok perkara dan kesempatan jawab menjawab antara para pihak. Adanya acara jawab menjawab dan reflik duplik dalam Pengadilan Agama ini bertujuan untuk memberikan hak perlakuan hukum yang sama kepada para pihak dalam proses pemeriksaan persidangan. Kemudian dilanjutkan dengan acara pembuktian, dalam hal ini adalah pembuktian dalil-dalil gugatan, apabila gugatan tesebut dibantah oleh pihak lawan, maka pihak lawan berkewajiban memberikan alat bukti terhadap bantahan tersebut. Adapun alat bukti dalam sengketa ekonomi syariah diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan pasal 164 HIR, yaitu : Bukti tulisan atau surat; Saksi; Persangkaan; Pengakuan; Sumpah. Akhir dari acara pemriksaan di Pengadilan Agama adalah kedua belah pihak memberikan kesimpulan (konklusi) dan pendapat akhir sesuai dengan pandangan masing-masing para pihak mengenai pokok pokok perkara yang telah diperiksa dalam tuntutan atau permohonan yang diajukan.
Ketentuan Pasal 178 HIR /Pasal 189 RBg, bahwa apabila pemeriksaan perkara selesai. Majelis Hakim, karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.28 Putusan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan acara biasa ini terdiri dari, Pertama, Putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan, baik dikabulkan seluruhnya maupun sebagian.29Kedua, Putusan yang menyatakan gugatan Penggugat ditolak.
Upaya hukum atas putusan perdamaian, putusan dalam pemeriksaan acara istimewa (putusan digugurkan maupun putusan dibatalkan), tidak ada upaya hukum Banding, Kasasi, maupun Peninjauan Kembali. Selanjutnya dalam putusan verstek upaya hukum verzet, dimana Tergugat diberikan tenggang waktu selama 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan verstek untuk mengajukan verzet. Upaya hukum atas putusan dalam pemeriksaan dengan acara biasa, dimana para pihak bisa mengajukan upaya hukum Banding, dan para pihak tidak diperkenankan langsung memakai upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali terhadap putusan sengketa ekonomi syariah. Upaya hukum Banding tersebut, dengan ketentuan, yaitu, Pertama, apabila saat diucapkan putusan kedua belah pihak hadir, maka tenggang waktu yang diberikan untuk melakukan upaya hukum adalah 14 hari terhitung setelah hari pengucapan putusan tersebut. Kedua, Apabila saat diucapkan putusan tersebut ada salah satu pihak yang tidak hadir, maka upaya Banding terhadap putusan tersebut dapat dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung setelah hari disampaikan isi putusan tersebut kepada pihak yang tidak hadir.

2.5 Pencabutan, Perubahan, Kumulasi Gugatan dan Gugatan Balik

1.      Pencabutan Gugatan
Menurut Rv Pasal 271 dan 272, bahwa gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila tergugat belum membrikan jawaban, namun apabila tergugat sudah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari penggugat.
2.      Perubahan Gugatan
a.       Perubahan gugatan diperbolehkan apabila diajukan sebelum tergugat mengajukan jawaban, namun apabila tergugat sudah menyampaikan jawabannya maka perubahan tersebut harus sepersetujuan tergugat (Pasal 127 Rv).
b.      Perubahan diperbolehkan apabila: 1) tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, 2) tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, 3) tidak mengubah atau menambah petitum, 4) tidak mengubah pokok perkara, 5) tidak mengubah dasar dari gugatan (Pasal 127 Rv).[2]
c.       Perubahan gugatan dilarang: 1) apabila berdasarkan atas keadaan/fakta/peristiwa hukum yang sama dituntut hal yang lain, dan 2) penggugat mendalilkan fakta hukum yang baru dalam gugatan yang diubah.
3.      Kumulasi Gugatan
a.       Kumulasi dapat berupa:
a)      Kumulasi subjektif, yaitu penggabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam satu gugatan;
b)      Kumulasi objektif, yaitu penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan.
c)      Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan apabila penggabungan itu menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaan serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbeda/bertentangan.
d)     Beberapa tuntutan dapat diakumulasikan dalam satu gugatan apabila antara tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas yang dibuktikan berdasar fakta-fakta.[3]
e)      Apabila dalam salah satu tuntutan majelis hakim tidak berwenang memeriksa, sedangkan tututan lainnya majelis hakim berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.
4.      Gugatan Balik (Rekonvensi)
a.       Menurut Pasal 132 (a) HIR gugatan rekonvensi (gugatan balik) dapat diajukan dalam setiap perkara, kecuali;
1)      Pengadilan agama tidak berwenang memeriksa tuntutan balik itu berhubungan dengan pokok perselisihan (wewenang absolut);
2)      Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; dan
3)      Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim.
b.      Menurut Pasal 132 (b) HIR / Pasal 158 R.bg bahwa gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban bersama.
c.       Apabila dalam pemeriksaan perkara di pengadilan agama tingkat pertama tidak diajukan gugatan rekonvensi, maka pada pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan gugatan rekonvensi.
d.      Gugatan konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus dalam satu putusan kecuali apabila menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu.
e.       Gugatan rekonvensi hanya boleh diterima apabila berhubungan dengan gugatan konvensi.[4]
f.       Apabila gugatan konvensi dicabut, maka gugatan rekonvensi tidak dapat dilanjutkan.

2.6 Eksepsi Perkara Ekonomi Syariah dan Pengunduran diri Hakim

1.      Eksepsi Perkara Ekonomi Syariah
a.       Eksepsi (tangkisan) adalah tangkisan yang dilakukan tergugat terhadap gugatan penggugat di muka siding pengadilan agama agar hakim menetapkan gugatan tidak diterima atau ditolak.[5]
b.      Eksepsi Formal (prosesual eksepsi) adalah eksepsi yang berdasarkan pada hukum formal (hukum acara) yang berlaku, yang meliputi berikut ini.
1)      Eksepsi kewenangan absolut (attributief exceptie), diatur dalam Pasal 125 (2), 134, dan Pasal 136 HIR jo. Pasal 149 (2) dan Pasal 162 R.bg. Pengertiannya adalah pernyataan ketidakwenangan suatu kewenangan suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan lain dalam lingkungan peradilan yang berbeda. Eksepsi absolute dapat diajukan di setiap tahap pemeriksaan.
2)      Eksepsi Kompetensi relatif (distributief exceptie), diatur dalam Pasal 118 dan 113 HIR jo. Pasal 142 dan 159 R.bg, sedangkan yang dimaksud adalah  ketidakwenangan suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan lain dalam lingkungan peradilan yang sama. Eksepsi relatif ini harus diajukan pada sidang pertama atau pada kesempatan pertama yang dimuat bersama-sama dengan jawaban.
3)      Eksepsi relaif, meliputi:
a)      Eksepsi nebis in idem, yaitu suatu perkara tidak dapat diputus dua kali, apabila hal itu diajukan oleh salah satu pihak maka pihak lain dapat menangkisnya dengan alasan nebis in idem;
b)      Eksepsi diskualifikator, yaitu menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan atau kemungkinan salah penggugat menentukan tergugat baik mengenai orangnya dan/atau identitasnya;
c)      Eksepsi obscurlible, yaitu karena adanya suatu kekaburan surat gugatan yang diajukan penggugat, bisa jadi karena tidak dapat dipahami mengenai susunan kalimatnya, formatnya, atau hubungan satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan bertentangan.[6]

2.      Materiil Eksepsi
a)      Eksepsi yang diajukan oleh pihak tergugat berdasar hukum materiil atau eksepsi yang langsung mengenai materi perkara atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale); Materiil eksepsi dibedakan menjadi:
a.       Prematoir exceptie, yaitu suatu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat menurut hukum, karena masih bergantung pada syarat-syarat tertentu;
b.      Dilatoir exceptie, yaitu eksepsi yang menghalamgi dikabulkannya gugatan, seperti gugatan telah lampau waktu.
a.       Eksepsi atau tangkisan perkara ekonomi syariah yang diajukan oleh pihak tergugat adalah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara, kecuali jika eksepsi (tangkisan) itu mengenai tidak berwenangnya pengadilan agama untuk memeriksa perkara tersebut seperti sengketa akad ekonomi konvensional, maka harus diputus dengan putusan sela (Pasal 136 HIR).
b.      Apabila eksepsi (tangkisan) yang diajukan pihak tergugat itu tidak mengenai kewenangan pengadilan agama, maka diputus bersama-sama dengan pokok perkara, dan disebutkan secara utuh mengenai pertibangan hukumnya maupun dictum putusannya.[7]
3.      Pengunduran Diri Hakim
a.       Dalam perkara ekonomi syariah, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan ketua atau salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera atau dengan pihak yang diadili (Pasal 29 (3 dan 4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kuasaan Kehakiman).
b.      Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 29 (5) dan penjelasannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).[8]
c.       Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap Pasal 29 (5) UU No. 48 Tahun 2009, maka putusan dinyatakan tidak sah.
d.      Dikecualikan terhadap perkara verzet terhadap verstek, maka terhadap hal ini tidak termasuk dalam pengertian Pasal 29 (5) UU No. 48 Tahun 2009.[9]

2.7 Pengunduran Sidang dan Penggugat atau Tergugat Meninggal Dunia

1.      Pengunduran Sidang
a.       Dalam perkara ekonomi syariah, diterima pihak yang tidak hadir maka pengunduran dapat dilakukan hingga batas waktu yang cukup.
b.      Pengunduran sidang harus diucapkan di dalam persidangan, dan bagi mereka yang hadir, menyetujui pengunduran sidang yang diperlukan, sedangkan pihak yang tidak hadir harus diundang lagi (Pasal 159 HIR / Pasal 186 R.Bg).
c.       Hubungan pengunduran sidang diminta oleh panitera meminta kepada petugas register yang bersangkutan.
2.      Penggugat atau Tergugat Meninggal Dunia
a.       Jika penggugat setelah menerima gugatan perkara ekonomi syariah berlalu dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan perkaranya.
b.      Jika dalam proses memeriksa perkara ekonomi syariah, tergugat berlalu dunia, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh penggugat, selanjutnya penggugat dapat diminta gugatan kembali ke ahli waris tergugat.[10]

2.8 Proses Pembuktian Perkara Ekonomi Syariah

1.      Landasan Yuridis Pembuktian
a.       Proses, jenis, dan prosedur  pembuktian perkara ekonomi syariah adalah persyaratan yang diatur dan diterapkan dalam perka perdata lainnya, yaitu Pasal 163 HIR;  "Barang siapa mengatakan memiliki barang tentang suatu hak atau mengatakan suatu tindakan untuk menegakkan haknya atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan hak itu atau melakukan tindakan itu". 
b.      Hanya dalil yang disangkal saja yang wajib dibuktikan, untuk dalil yang tidak disangkal maka tidak perlu ada pembuktian. 
2.      Jenis-Jenis Alat Bukti[11]
Sesuai Ketentuan Pasal 164 HIR, merupakan 5 (lima) jenis alat bukti, yaitu:
a.       bukti surat; 
b.      bukti saksi;
c.       persangkaan;
d.      penerimaan;  dan sumpah.
1)      Bukti Surat
a.       Bukti Akta (Surat)
1.      Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadiri pegawai negeri yang memfasilitasi untuk menyediakan bukt yang cukup untuk kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-orang sekalian yang menerima hak dari Perjanjian (Pasal 163)  HIR).[12]
2.      Nilai kekuatan pembuktian akta yang disetujui diatu dalam Pasal 1870 KUH Perdata jo.  Pasal 285 R.Bg adalan sempurna (volledig bewijskracht) dan mengikat (bindend Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Salihan Ekonomi Syariah di Indonesia (bewijsknacht), sehingga batas minimalnya cukup atas dirinya sendiri, tidak perlu tambahan dari salah satu alat bukti yang lain. 
3.      Persyaratan formal akta otentik: dibuat atas persetujuan dan persetujuan dari dua pihak.  Meskipun ada juga yang menentang sepihak, seperti IMB, SIUP dan lainnya: b.  dibuat oleh, atau dihadiri para pejabat untuk itu, seperti notaris, gubernur, bupati, hakim, panitera, dan lain-lain.  djanjikan oleh pejabat yang membuat Sue unuun
4.      Syarat materiil diakui:
-          isi yang tertuang dalam akta yang disetujui langsung dengan apa yang disengketakan di pengadilan
-          isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum; 
-          pembuatanya sengaja dibuat untuk digunakan sebagai alat bukti; 
b.      Bukti Akta Bawah Tangan
1.      Ordonasi Tahun 1867 No. 29 memuat ketentuan-ketetuan tentang kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia atau dipersamakan mereka.[13]
2.      Pasal 2 Ordonasi Tahun 1867 mengutip: barang siapa yang menentangnya mengirim tulisan di bawah tangan, ditulis meminta atau menyangka tanda tangan, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapatkan hak dan bantuan, cukuplah jika mereka menerangkan tidak ada tulisan atau tanda tangan  itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.[14]
3.      Pasal 1 b Ordonasi Tahun 1867 mengutip: tulisan-tulisan di bawah tangan berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan dengan mereka yang menghargai l mereka terhadap siapa pun yang menulis-tulisan itu diajukan atau yang telah menyetujui memberikan kepada pembuktian yan sempurna seperti tentang akta otentik (lihat juga Pasal 18 1876, dan 1877 KUH Perdata).
4.      Apa akta bawah tangan dapat melekatkan kekuatan pembuktian, bahkan memiliki kekuatan pembuktian yan sama dengan akta yang didukung terpenuhi persyaratan formal dan materiil sebagai berikut.  Sebuah.  Dibuat tanpa sepihak atau tanpa campur tangan dan tanpa campur tangan para pejabat yang diundang.  b.  Ditransfer pembuat atau para pihak yang diganti.  c.  Isi dan tanda tangan menyetujui.
2)      Bukti Saksi
A.    Dalam menimbang kesaksian, hakim harus memperhatikan kesaksian kesaksian yang satu dengan yang lain, alasan atau alasan yang mendukung pernyataan saksi, cara hidup, adat dan martabat  atau kurang dipercaya (Pasal 172 HIR). 
B.     Pasal 145 HIR mengutip, untuk mereka yang tidak dapat diminta untuk menjadi anggota adalah: I. keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut partisipasi yang lurus dari salah satu pihak;  2. suami atau istri salah satu pihak walaupun telah bercerai;  3. anak-anak yang berumur tidak berhak dengan benar yang telah diterima 15 (lima belas) tahun;  4. orang tua, meskipun kadang-kadang ingatannya terang
C.     Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai alasan karena perkara terkait dengan hukum sipil dan tentang orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.
D.    Orang yang dimaksud dalam Pasal 146 (1a dan b) tidak berhak mengundurkan diri dari pada memberi kesaksian dalam perkara yang disebutkan dalam ayat di muka.  Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia.[15]
E.     Pengadilan agama dapat mendengar di luar ruangan sumpah anak-anak atau orang tua yang kadang-kadang terang ingatannya dikeluarkan dalam ayat (1), tetapi hanya bisa dijelaskan sebagai penjelasan saja. 
F.      Yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian kepada P'asal 146 ayat (1) HIR adalah: 1. saudara laki-laki dan laki-laki, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak;  2. keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki atau perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;  3. Sekalian Orang Yang Karena Martabatnya, Pekerjaannya Atau Kepemimpinan Yang Sah, Yang Dimaksudkan Dengan Penyimpanan Rahasia Akan Hanya Hanya Yang Terpisah Tentang Pengetahuan Yang Dibagikan Karena Martabat, Pekerjaan Atau Kepemilikan Itu. 
G.    Testimonium de auditu adalah keterangan yang diperoleh dan orang lain, tidak didengar atau diterima sendiri.  Kesaksian dapat digunakan sebagai sumber persangkaan.
H.    Unus testis nullus testis yang berarti "satu saksi bukan saksi" adalah pernyataan saksi saja, tanpa adanya bukti yang lain.  Unus testis nullus testis harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain untuk dapat membuktikan dalil yang harus dibuktikan.
3)      Persangkaan
A.    Persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang telah terbukti atau peristiwa yang dikenal sebagai Arah dari suatu peristiwa yang belum terbukti. 
B.     Persangkaan undang-undang mengatur dalam bab empat buku baru BW Pasal 1915 dan seterusnya.  Yang disebut dengan undang-undang persangkaan adalah persangkaan yang didasarkan pada ketentuan khusus undang-undang, membahas dengan tindakan-tindakan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
C.     Persangkaan hakim sebagai alat bukti memiliki bukti kebebasan, akan dipertanggungjawabkan sebagai alat bukti. Derkekuatan sempurna atau sebagai bukti permulaan atau akan tidak berhak atas kekuatan apapun juga.[16]
4)      Pengakuan
A.    Yang disebut pengakuan sebagai alat bukti adalah pengakuan yang diucapkan di pengadilan majelis hakim, cukup menjadi h untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah itu pengakuan yang diucapkannya sendiri, apakah dengan perantaraan orang lain yang meminta persetujuan khusus (Pasal 174 HIR  ).[17]
B.     Pengakuan yang diberikan di luar sidang yang diajukan atas pertimbangan dan kewaspadaan majelis hakim (Pasal 175 HIR
C.     Bukti penerimaan dianggap sebagai "onsplitsbaar aveu" (pengakuan.  , majelis hakim setuju untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, dihilangkan orang yang mangaku itu, kecuali jika debitur dengan maksud melepaskannya mengumumkan hal yang terbukti tidak benar
5)      Sumpah
A.    Jika sumpah telah diucapkan, hakim tidak perlu lagi untuk menerima  bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud (Pasal 177 HIR). 
B.     Ada 2 (dua) jenis sumpah, yaitu sumpah penambah (sumpah yang diberikan oleh hakim ketua) dan sumpah pemutus (sumpah yang dimohonkan pihak lawan).
C.     Yang membantah dengan sumpah penambah adalah jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan terhadap gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, tetapi jawaban adalah sama sekali ada dan tidak ada yang akan meneguhkan dia dengan pertimbangan yang ada dapatlah di pengadilan agama yang menyebabkannya menyuruh salah satu pihak  bersumpah di hadapan hakim memutuskan dengan melakukan perkara dapat dilakukan atau meminta dengan jumlah uang yang akan disetujui dapat ditentukan. 
D.    Dalam hal majelis hakim akan menambah bukti baru dengan sumpah penambah, harus dibuat dengan putusan sela lengkap dengan pertimbangan yang diberikan alasan-alasannya.[18] 
E.     Sumpah penaksir dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang akan diajukan atau dikabulkan.  Ketentuan Pasal 156 HIR, yaitu:
a.       bisa, sementara tidak ada barang yang dikirim gugatan itu atau pembelaan yang melawannya, salah satu pihak mempertanggungkan ke pihak yang lain. Sumpah di muka majelis keputusan pengadilan perkara tergantung sumpah itu berasal sumpah itu tentang apa yang dilakukan oleh pihak yang atas sumpahnya keputusan perkara itu bergantung
b.      jika perbuatan ini sama perbuatan yang dikerjakan oleh kedua pihak , bolehlah pihak yang enggan mengangkat sumaph yang dipertanggungkankan memenangkan itu untuk lawannya; 
c.       Barang siapa yang menentang sumpah dipertanggungkan dan enggan mengangkatnya atau meminta dia lawan lawan juga barang siapa yang sanggah sumpah, tetapi sumpah itu dapat mendukung dan mengangkat sumpah.
F.      Sumpah pemutus hanya dapat dimintakan oleh penggugat di agama, karena hal yang dilakukan penggugat  bukti apapun sedangkan tergugat menyangkal gugatan penggugat.  mengatakan tentang hal yang diangkat sumpah itu harus diucapkan dalam persidangan pengadilan agama, kecuali jika hal dapat dilangsungkan karena ada halangan yang sah. 
G.    Dalam hal sumpah pemutih diucapkan di tempat ibadah yang ditentukan dengan kepercayaan dianutnya, misalnya di masjid, maka sumpah dilakukan di tempat yang ditunjuk tersebut, dan dibuat berita acara tentang hal itu dan biaya yang timbul di sumpah ini ditanggung oleh pihak  berperkara.
H.    Sumpah penambah atau sumpah pemutus hanya dapat dilakukan pihak lawan yang diminta dengan sanggahan dalam hal ia tidak hadir.  harus disalahkan Pasal 158 ayat (1) HIR menyatakan.[19]

BAB III

PENUTUP

3.1.  Kesimpulan


Setiap perkara yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama sebelum diregister harus diperhatikan: Pertama, pastikan lebih dahulu perkara tersebutbukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. Kedua, pelajari secara cermat perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama antar para pihak.
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose-solution.
Menyelesaikan masalah ekonomi melalui jalur litigasi melalui beberapa tahap dan prosedur yang diajukan ke pengadilan yang daerah hukumannya meliputi daerah kedudukan hukum debitur. Lazimnya permohonan kepailitan dimaksud diajukan oleh seorang penasihat hukum yang memiliki izin praktik. Pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum. Ditegaskan lagi dalam pasal 281 Perpu 1 Tahun 1998 bahwa untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

DAFTAR PUSTAKA


Prinst, Darwan.2002. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Simatupang, Richard Burton.2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Mujahidin,Ahmad. 2010. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia.
Widjaja,Gunawan. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Nadia,yessi. 2002. Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non-Litigasi (Tinjauan terhadap Mediasi dalam Pengadilan Sebagai Alternatif). Diakses pada Oktober 2019