MAKALAH PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA DALAM KAJIAN PERSPEKTIF FILSAFAT EKONOMI ISLAM
Table of Contents
Sahabat sejuta warna kali ini saya postingkan makalah perbankan syariah dalam kajian filsafat ekonomi islam silahkan simak di bawah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekonomi adalah prilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk
memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi
(Mansfield dalam Anton, 2013:26).[1] Ilmu Ekonomi adalah suatu studi tentang
bagaimana orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa adanya uang,
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam
berbagai cara untuk menghasilkan barang dan jasa serta mendistribusikannya
untuk konsumsi sekarang dan masa datang, pada pelaku ekonomi.[2] sedangkan ilmu ekonomi islam tidak hanya
sekedar ilmu tetapi adalah sebuah system yang memasukan norma atau tata aturan
tertentu sebagai variable langsung atau tidak langsung yang mempengaruhi
fenomena ekonomi, norma atau tata aturan tersebut berasadari Allah Swt yang
meliputi batasan-batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi.[3]
Kegiatan ekonomi pasti berkaitan dengan
uang,dan uang pasti berkaitan dengan lembaga keungan. Halnya dengan ekonomi
islam atau ekonomi syariah pasti berkaitan dengan lembaga keuangan syariah atau
bank syariah. Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan
penting bagi bangsa Indonesia. Semua kegiatan usaha sekarang ini selalu
melibatkan pihak perbankan baik usaha kecil, menengah apalagi usaha besar.
Pengusaha dalam melakukan bisnisnya selalu membutuhkan dana untuk pengembangan
usaha dari pihak perbankan bahkan untuk kegiatan pengiriman uang dan juga
penjaminan dalam bertransaksi. Pekerjaan profesi juga banyak menggunakan jasa
perbankan terutama pada transfer uang atau juga pengembangan kantor dan lain
sebagainya. Para petani yang menggarap lahan luas juga memerlukan dana untuk
mengolah sawah atau kebun. Petani Tebu yang ada di sekitar eks karesidenan Pati
hampir semuanya mengambil pinjaman dana dari pihak perbankan. Para pedagang
kaki lima juga tidak ketinggalan menggunakan jasa perbankan dalam pengembangan
usahanya, maka semua aspek banyak yang melibatkan lembaga perbankan.[4]
Di dalam buku Apa dan Bagaimana Bank Islam
disebutkan bahwa:[5]
1. Bank
islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan ummat islam untuk
menghindar dari riba dalam kegiatan muamalahnya.
2. Bank
islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan ummat untuk memperoleh
kesejahteraan lahir dan batin melalui kegiatan muamalah yang sesuai dengan
perintah agama.
3. Bank
islam didirikan karena dilatarbelakangi oleh keinginan ummat islam untuk
mempunyai alternative pilihan dalam mempergunakan jasa-jasa perbankan yang
dirasakan lebih sesuai.
Oleh karena
itu, penyusun merasa tertarik untuk membahas materi tentang Perbankan Syariah
di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Filsafat Ekonomi Islam.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Rumusan Masalah
Untuk
merumuskan masalah makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Apa
pengertian bank syariah?
2.
Apa
tujuan bank syariah?
3.
Apa
fungsi bank syariah?
4.
Bagaimana
sejarah lahirnya bank syariah di Indonesia?
5.
Bagaimana
regulasi perbankan syariah di Indonesia?
6.
Bagaimana
perbankan syariah di Indonesia ditinjau dari perspektif kajian ekonomi islam?
1.2.2 Batasan Masalah
Penyusun dalam
makalah ini hanya akan membahas pengertian, fungsi, tujuan bank syariah,
sejarah lahir bank syariah, regulasi bank syariah dan perbankan syariah
ditinjau dari perspektif kajian filsafat ekonomi islam.
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan
maakalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk
mengetahui pengertian bank syariah.
2.
Untuk
mengetahui tujuan bank syariah.
3.
Untuk
mengetahui fungsi bank syariah.
4.
Untuk
mengetahui sejarah lahirnya bank syariah di Indonesia.
5.
Untuk
mengetahui regulasi perbankan syariah di Indonesia.
6.
Untuk
mengetahui perbankan syariah di Indonesia ditinjau dari perspektif kajian
ekonomi islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu lembaga yang
fungsi utamanyamenghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang
membutuhkannya dengan system tanpa bunga.[6] Dana yang
telah dikumpulkan oleh
bank syariah dari
titipan dana pihak ketiga atau titipan lainnya, perlu
dikelola dengan penuh amanah dan istiqomah. Dengan harapan dana tersebut
mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuk nasabah maupun
bank syariah. Prinsip
utama yang harus
dikembangkan bank syariah dalam
kaitan dengan manajemen dana adalah bahwa bank syariah harus mampu
memberikan bagi hasil
kepada penyimpan dana
minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang
berlaku di bank konvensional, dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih
rendah dari pada bunga yang diberlakukan di bank konvensional. [7] Oleh karena
itu, upaya manajemen
dana bank syariah
perlu dilakukan secara baik.
Baiknya manajemen dana
yang dilakukan bank
syariah akan menunjukkan kredibilitas di
depan kepercayaan masyarakat
untuk menyimpan dananya.
Sehingga, arah untuk mencapai likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank
syariah tercapai.
Dalam menjalankan aktivitasnya bank
syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut.[8]
1. Prinsip
Keadilan
Prinsip ini tercermin
dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan
yang disepakati bersama antara bank dan nasabah.
2. Prinsip
kesederajatan
Bank syariah menempatkan
nasabah penyimpan dana, pengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan
sederajat.
3. Prinsip
ketentraman
Produk-produk bank syariah telah
sesuai dengan prinsip dan kaidah muamalah yang akan membuat nasabah merasakan
ketentraman lahir dan batin.
2.2 Tujuan Bank Syariah
Adapun
tujuan didirikannya bank syariah, adalah sebagai berikut. [9]
1. Menyediakan
lembaga keuangan perbankan sebagai sarana mening katkan kualitas kehidupan
sosial ekonomi masyarakat terbanyak. Dengan adanya lembaga keuangan diharapkan
akan tersedianya kesempatan yang lebih baik untuk mengumpulkan modal dan
pemanfaatan dana, sehingga akan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dan
dengan demikian akan memberikan sumbangan pada peningkatan pembangunan nasional
yang semakin mantap, antara lain melalui meningkatkan kualitas dan kegiatan
usaha.
a. Sistem
bagi hasil yang berlandaskan keadilan dan peningkatarn keuntungan bagi kedua
belah pihak, akan merangsang orang- orang dan pengusaha-pengusaha kecil yang
lemah permodalannya untuk bekerjasama dengan bank Islam dalam permodalan guna
mendirikan usaha baru dan mengembangkan usaha yang tengah dijalankan. Hal
semacam ini diharapkan akan mengakibatkan munculnya kegiatan-kegiatan usaha
baru di dalam masyarakat, sehingga kuantitas dan kualitas kegiatan usaha akan
mengalami peningkatan
b. Dengan
munculnya kegiatan-kegiatan usaha baru dan pengembangan kegiatan usaha yang
telah ada, maka akan terbuka luas lapangan kerja baru, yangakan mengurangiangka
pengangguran, akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
2. Meningkatnya
partisipasi masyarakat banyak dalam proses pem- ank bangunan, terutama dalam
bidang ekonomi, karena:
a. Masih
cukup banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank, hal ini terjadi
karena di samping masih banyaknya orang Islam yang mempunyai pandangan bahwa
bunga bank itu sama dengan riba yang diharamnkan dalam Islam, juga banyak di
antara masyarakat kecil yang masih belum mengenal dan terbiasa dengan cara
kerja bank;
b. Dengan
adanya bank berdasarkan syariah Islam, masyarakat Islam yang tadinya enggan
bethubungan dengan bank, akan merasa terpanggil untuk berhubungan dengan bank
Islam. Ini sumbangan bagi pembangunan nasional.
3. Berkenbangnya
lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasar efisiensi dan keadilan
yang akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakak, sehingga menggalakkan
usaha-usaha ekonomi masyarakat banyak dengan antara lain memperluas jaringan
lembaga-lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah terpencil.
4. Ikhtiar
ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara
ckonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka
5. Berusaha
membuktikan bahwa konsep perbarıkan menurut syariah Islam dapat beroperasi
tumbuh dan berkembang melebihi bank bank dengan sistem lain.
2.3 Fungsi Bank Syariah
Seperti
halnya bank pada umumnya, bank syariah juga memiliki fungsi (kegunaan) yang
singat penting. Di antara fungsi-fungsi itu antara lain:[10]
1. memobilisasi
tabungan masyarakat, baik domestik maupun asing.
2. menvalurkan
dana tersebut secara efektit ke kegiatan-kegiatan usaha yang produktif dan
menguntungkan secara finansial, dengan tetap memperhatikan keinginan usaha
tersebut tidak termasuk yang dilarang oleh syariah
3. melakukan
fungsi regulator, turut mengatur mekanisme penyaluran dana ke masyarakat sesuai
kebijakan Bank Indonesia, sehingga dapat aktivitas moneter yang sehat dan
terhindar dari inflasi
4. menjembati
keperluan pemanfaatan dana dari pemilik modal dan pihak yang memerlukan,
sehingga uang dapat berfungsi untuk melancarkan perekonomian khususnya dan
pembangunan umum menjega amanah yang dipercayakan kepadanya sebagai lembaga
keuangan yang berdasarkan prinsip syariah.
2.4 Lahirnya Perbankan Syari’ah di Indonesia
Konsep teoritis mengenai bank Islam muncul
pertama kali pada tahun 1940- an, dengan gagasan mengenai perbankan yang
berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini, dapat disebutkan
pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci
mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar
Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah
(1944-1962). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam
dengan karyanya yang berjudul; A Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank syariah
di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah
muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976
dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK)
dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat
Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat
itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan muslim
dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi
perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para
ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan itu muncul lagi di tahun
1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang
berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada saat itu berusaha
mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang bisa
dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0
%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan
perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus 1990, maka dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI tersebut, maka dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi
dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah
memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dana
tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh menteri Kabinet
Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab,
Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya
Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai Yayasan penompang Bank
Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1
Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia mulai
beroperasi, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan
sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun
karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan
pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan
untuk menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir
tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat
yang jauh dari kota-kota besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank
Muammalat Indonesia kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat
muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan
pemerintah yang memihak kepada mereka. Secara yuridis, walaupun
pembicaraan-pembicaraan tentang bank berdasarkan prinsip syariah sudah lama ada
di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak
dibidang berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya
Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan Nomor 7
Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
seakan-akan memukul gong terhadap lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah
tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto Pasal 13 huruf (c) dari
undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk
bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil
tersebut kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi
kegiatan apapun dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia (dalam undang-undang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah).
Dengan demikian, Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) dari Undang-undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang merupakan dasar hukum yang utama bagi
eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 6 huruf (m) tersebut
berbunyi :
“Usaha bank meliputi: menyediakan pembiayaan dan/ atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf (c)
berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai pengejawantahan dari dasar hukum
utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh Pemerinah Republik Indonesia
telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip syariah dalam
bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank Bagi
Hasil yang disebutkan dalam Peraturan Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992 tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan
bank berdasarkan syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat (Pasal 1 ayat(1))
2. Jika
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sudah melakukan kegiatan bank
berdasarkan syariah, maka dia tidak boleh lagi merangkap melakukan juga
kegiatan-kegiatan lainnya (kegiatan konvensional) (pasal ayat (1) juncto Pasal 6.
3. Bank
berdasarkan syariah melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
syariat Islam (Pasal 2 ayat (1)) 4. Bagi hasil bagi penyediaan dana kepada
masyarakat termasuk juga kegiatan jualbeli (Pasal 2 ayat (2)) 5. Bank
berdasarkan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariat.
Adapun tujuan pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi
kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep
bunga.
2. Menyediakan
alternatif investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
3. Mengurangi
resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
4. Mendorong
peran perbankan secara optimal dalam menggerakka sektor riil dan membatasi
spekulasi atau pembiayaan yang tidak produktif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa bank
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia telah ada sebelum di undangkannya
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hal ini dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.[11]
2.5 Regulasi Bank Syariah di Indonesia
Pertama, Peraturan Bank Indonesia (PBl)
meliputi:[12]
1. Peraturan
Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang
Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah;
2. Peraturan
Bank Indonesia No. 4/1/PBl/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan
Kegiatan Bank Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank
Umum Konvensional;
3. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah;
4. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Kualitas Aktiva
Produktif Bagi Bank Syariah;
5. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah
6. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/26/Pbi/2003 tanggal 1 Desember 2003 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum Syariah;
7. Peraturan
Bank Indonesia No. 6/17/PB/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
8. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/18/PBl/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Kualitas Aktiva
Produktif Bagi Bank Pengkreditan Rakyat Syariah
9. Peraturan
Bank Indonesia No. 6/19/PB/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Syariah;
10. Peraturan
Bank Indonesia No. 6/21/PB/2004 tanggal 3 Agustus 2004 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha yang Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Peraturan
Bank Indonesia No. 6/24/PBV2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
12. Peraturan
Bank Indonesia No. 7/9/PBl/2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang Laporan Bulanan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Kedua, surat keputusan, meliputi; [13]
1. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank Umum Berdasarkan Syariah;
2. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ketiga, surat edaran yang meliputi: [14]
1. Surat
Edaran Bank Indonesia No. 5/26/BPS tanggal 27 Oktober 2003 tentang Pelaksanaan
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia;
2. Surat
Edaran Bank Indonesia No. 5/31/DSM tanggal 1 Desember 2003 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum Syariah.
2.6 Perbankan Syari’ah Indonesia Ditinjau dari
Filsafat Ekonomi Islam
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan
perbankan konvensional mengandung riba. Sementara hal tersebut dilarang oleh
agama Islam. Bahkan agama lain juga
melarang riba.Pendapat tentang bunga bank adalah riba memang para ulama terjadi
berbeda pendapat. Ada para ulama berpendapat haram, ada juga berpendapat
syubhat (samar) dan adanya juga mengganggap halal. Namun demikian Allah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya
:
وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini
berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanya-Nya kaum mu’minin dari praktek
dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang jahiliyah
bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang, “Engkau
melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka pemberi
hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya.
Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi
berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada
ayat ini Allah ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar
mereka selamat di dunia dan di akhirat”.[15]
Riba berarti tambahan baik berupa tunai,
benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain
jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh
tempo.[16]Riba dilarang dan
diharamkan dalam Islam, termasuk dalam kegiatan bank konvensional yang
menerapkan bunga. Sementara di Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama
Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang kegiatannya tidak mengandung riba.
Artinya perbankan yang dalam kegiatannya menerapkan prinsip-prinsip Islam yaitu
perbankan syari’ah, suatu perbankan yang
pelaksanaannya didasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan
Sunnah Rasul karena bagi umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah mutlak
ditaati dan dipedomani dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al Quran Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي
ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ
خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah
Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas, menunjukkan
bahwa sebagai umat Islam harus taat kepada Allah termasuk termasuk hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam
untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT.
Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan
iradat Allah. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan
satu bentuk dari iradat Allah dan karena itu, maka kepatuhan menjalankan aturan
Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah, merupakan perwujudan
dari iman kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran dan
Sunnah Rasul mengandung ajaran-ajaran
tentang akidah dan Syari’ah. Kemudian Syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah
dan muamalah. Ajaran
tentang akidah berkaitan dengaan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang
terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan
Allah, tentang hari Kiamat dan lain sebagainya. Ajaran tenatang akidah ini
bersifat permanen, pasti, dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan
sosial kultural manusia. Sedangkan ajaran tentang muamalah berkaitan dengan
persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan
prinsip-prinsip yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah.
Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai
Ketuhanan.
Namun demikian konteks muamalah harus
senantiasa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya tidak boleh lepas dari
ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al Quran, as Sunnah Nabi, ijtihad
ulama atau sering disebut dengan hukum
Islam sebagaimana Allah berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya
berbunyi:
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan Muamalah adalah
Mudharabah (kerjasama bagi hasil). Konsep Mudharabah inilah yang melahirkan
Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kelahiran Bank Syari’ah (Bank Islam)
dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas seorang muslim harus didasarkan kepada
syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia (muamalat).
Mudharabah (kerja sama antara pemilik
modal dan pelaksana). Dengan mudhorobah bank islam dapat memberikan tambahan
modal kepada pengusaha untuk perusahaanya dengan perjanjian bagi hasil, baik
untung ataupun rugi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.[17]
Kalimat “keuntungan menjadi milik bersama”
menjelaskan bahwa wakil bukanlah mudharib (pengelola mudharabah). Sebab
keduanya memperoleh keuntungan bersama adalah karena pemilik modal berhak
memperoleh keuntungan disebabkan modal yang ia berikan, karena keuntungan itu
adalah hasil dari pertumbuhan modalnya. Sementara mudharib (pengelola) juga
berhak memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang menyebabkan adanya
keuntungan.
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah
dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah seseorang yang memberikan modal
kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata “Saya memberikan modal ini
kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan keuntungannya untuk kita bersama secara
merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan sebagainya. Atau
dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara akad mudharabah tanpa
menentukan pekerjaa, temapt, waktu, sifat pekerjaannya, dan sipa yang boleh
berinteraksi denagannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah yang pemilik modal
menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilikk modal memberikan seribu dinar;
misalnya, pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar mengelolanya di
negeri tertentu, atau barang tertentu, atau tidak menjual dan membeli kecuali
dari orang tertentu.
Akad
mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutar uang. Banyak
diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan
uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak
memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal
itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerjasama antara pemilik modal
dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Secara umum dasar hukum mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan
usaha, sebagai berikut:
a.
Menurut Al Qur’an :
1.
Surat al-Muzzammil, 73 : 20 yang
artinya: “…dan sebagian mereka berjalan
di bumi mencari karunia Allah…
2.
Surat Al-jumuah, 62 : 10 yang artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah”.
3.
Surat al-Baqarah, 2 : 198 berbunyi yang
artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perdagangan)
dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat diatas, jelas menunjukkan secara
umun mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara kerjasama mencari rezki
yang ditebarkan Allah di atas bumi.
b.
Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn “Abd al
Muthalib yang artinya:
“Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al Muthalib jika
menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui
akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan
melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah dan tidak boleh dibelikan
hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu
dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang
dikemukakan ‘Abbas ibn Abd Muthalib ini sampai kepada Rasulullah dan Rasul
membolehkannya (HR. ath-Thabrani).
Dalam
riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah
dari Allah, yaitu: menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat sendiri”
(HR. Ibn Majah)..
Di samping itu, para ulama juga beralasan
dengan praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sementara sahabat lain
tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah itu di zaman
mereka kebannyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat,
hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh menetapkan bahwa akad
mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka hukumnya adalah
boleh.
Rukun mudharabah adalah pemodal,
pengelola, modal, nisbah keuntungan dan sighat atau akad. Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al
Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha,
keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau
dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.
Adapun
syarat-syarat mudharabah adalah:
1.Yang
terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap
bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi
orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik odal. Itulah
sebabnya, syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam
akad mudharabah.
2.Yang
terkait dengan modal disyaratkan : (a) berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c)
tunai dan (d) diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab
itu, jika modal tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak
dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya
dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal
itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal
mudharabah. Apabila modal itu tetap
dipegang sebagiannya oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan
seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah
tidak sah. Akan tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu
berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha itu.
3.Yang
terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas
dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu seperti
setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas,
menurut ulama Hanafiyah, akan itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila
pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama
Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugian tetap ditanggung sendiri oleh
pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara Islam dan
perbankan menjadi perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan
Islam untuk memungut maupun meminjami dengan perhitungan bunga (riba) dan
larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan
barang yang tidak Islami (haram). Untuk
itu, adanya perkembangan perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam sistem
perbakan nasional. Munculnya para pemain baru (new comers) mengindikasikan bank
syari’ah mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga
kini tercatat tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Uaha Syari’ah (UUS)
dengan jaringan 522 Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank
Perkreditan Rakyat Syari’ah.
Akan tetapi perkembangan perbankan
syari’ah secara institusi tidak dibarengi tingginya sikap masyarakat yang
secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun 2008, bank Indonesia
menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada kisaran 5,2
%, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah asset ± 72
triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal mengingat pangsa
pasar syari’ah di Indonesia sangat luas.
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas
bahwa konsep muamalah sebagai filosofis lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank
Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada juga ajaran syari’ah.
Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran muamalah
dapat berupa hubungan-hubungan manusia
dengan manusia yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
bidang keuangan dan perbankan yang merupakan bagian dari kegiatan perekonomian
dan karena pada dan zaman modern ini,
kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan,
lembaga perbankan inipun wajib diadakan.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Perbankan
syari’ah atau perbankan Islam adalah
suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba),
serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang
(haram).
2. Lahirnya
Perbankan di Indonesia diawali tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah
muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976
dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK)
dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu
muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Selanjutnya pada
tahun 1990an dibentuklah Kelompok Kerja MUI dan sebagai hasil kerja Tim
Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, pada
tanggal 1 November 1991 sebagai Bank Syari’ah pertama di Indonesia.
3. Perbankan
Syari’ah Indonesia ditinjau dari Filsafat Hukum Islam merupakan konsep
filosofis dari Muamalah Mudharabah yaitu suatu konsep kegiatan perbankan dengan
sistem bagi hasil dan berlandaskan hukum Islam dan tidak mengandung riba
sebagaimana sebelumnya ada pada Bank Konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Anton
dan Bambang. Filsafat Ekonomi Islam. 2013. Sahifa.
Ghazali. Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat.
2010. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hakim. Atang Abd.. Fiqih Perbankan
Syariah. 2011. Bandung: Refika Aditama.
Hasan. M. Ali. Zakat, Pajak, Asuransi dan
Lembaga Keuangan. 1997. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mashudi. Djohan, dkk. Pengantar Teori
Ekonomi. 2017. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Karim. Adiwarman A.. Ekonomi Mikro Islam.
2015. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ridwan. M.. Jurnal:”Bank Syariah di
Indonesia Kajian Perspektif Filsafat Hukum Islam”. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum
Qisti
Supriyadi. Ahmad. Jurnal:”Bank Syariah
dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Bangsa Indonesia”. Malia.
Vol.1, 2017. STAIN Kudus.
Tiar Ramon. Website: “Perbankan Syariah di
Indonesia Ditinjau dari Filsafat Hukum Islam”. (www.tiarramon.wordpress.com
diakses tanggal 15 mei 2019)
Usman. Rachmadi. Aspek Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia. 2012. Jakarta: Sinar Grafika.