Fikih Pegadaian Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah

 Pegadaian Syariah

Abstrak: GadaiSyariah (Ar-Rahn) merupakan akad perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dengan pihak yang meminjam uang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang atau jaminan keamanan uang yang dipinjam. Oleh karena itu, gadai pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni dan berfungsi sosial, sehingga dalam berbagai literatur fikih muamalah akad ini merupakan akad tabarru’(akad derma) yang tidak mewajibkan imbalan. Praktik gadai ini telah ada sejak zaman Rasulullah. Maka dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia menurut sensus 250 juta jiwa akan memberikan peluang besar bagi pegadaian. Peningkatan jumlah nasabah, laba, maupun outlet bukan hanya terjadi pada pegadaian konvensional, tetapi juga terjadi pada pegadaian syari’ah. Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn, fatwa nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas dan : 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Penilaian dalam muamalah, harus diketahui ketentuan tentang rahn dan akad secara umum. Agar dalam bertransaksi benar-benar full syar’i dan keuntungan yang di dapat sah serta halal.

Kata Kunci: Gadai Syari’ah, ar-Rahn, Perbankan, Akad Gadai Syari’ah, Fiqih Muamalah

 Abstract: Pawn Shariah (Ar-Rahn) is an agreement between the lender and the borrower. This is intended to provide peace for the owner of money or a guarantee of security for borrowed money. Therefore, in principle pawning is a debt activity that is pure and has social functions, so that in the various muamalah fiqh literature, this contract is a tabarru 'contract (charity contract) which does not require compensation. This pawn practice has existed since the time of the Prophet. So it can be seen from the population of Indonesia according to the census of 250 million that it will provide great opportunities for pawnshops. The increase in the number of customers, profits, and outlets did not only occur in conventional pawnshops, but also occurred in syari'ah pawnshops. The basis for the operationalization of sharia pawning is the Fatwa of the National Sharia Council number: 25 / DSN-MUI / III / 2002 dated 26 June 2002 concerning rahn, fatwa number: 26 / DSN-MUI / III / 2002 concerning gold rahn and: 68 / DSN-MUI / III / 2008 about Rahn Tasjily. In the assessment of muamalah, it is necessary to know the provisions regarding rahn and the contract in general. So that the transaction is truly full syar'i and the benefits can be valid and lawful.
Keywords: Pawn Syari'ah, ar-Rahn, Banking, Akad Pawn Syari'ah, Fiqih Muamalah
Pendahuluan
               Islam sebagai agam yang universal, mengatur seluruh kegiatan manusia. Dalam kehidupan perekonomian, Islam bahkan mengaturnya dengan sebuah sistem yang sekarang disebut dengan sistem ekonmi syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu, seperti munculnya praktik riba, atau gharar. Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya masing-masing,  akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam syari'ah Islam.
               Gadai dalam Islam bertujuan untuk memberikan keamanan bagi pemberi hutang agar ia dapat tenang dan tak khawatir bahwa hutangnya tidak akan dilunasi. Akan tetapi sikap saling percaya dan amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih penting agar terbentuk ukhuwah Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat Islam.
               Gadai atau rahn yang dikutip dari pendapat M. Syafi’i Anotonio, dapat diartikan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Yang dijaminkan dan ditahan adalah barang yang memiliki nilai ekonomis. Atau dengan bahasa sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan atas hutang. 
               Jadi gadai atau rahn pada dasarnya adalah transaksi utang piutang yang disertai agunan dalam bentuk harta bergerak dari orang yang berutang (debitur) kepada orang yang member utang (kreditur) sebagai jaminan utangnya pada saat jatuh tempo, maka setelah tenggang waktu tertentu, kreditur bisa menjual harta bergerak yang dijadikan agunan itu dan hasil penjualannya dipakai untuk membayar utang tersebut.
 
 

Pengertian Gadai

Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan rungguhan. Dalam Islam ar-Rahn merupakan sarana saling tolong menolong (ta’awun) bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan jasa.[1] Sedangkan secara terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Jadi, ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan istilah gadai.[2]

Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya. Maka orang yang pegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lain.

Dasar Hukum Gadai

Para ulama fiqh telah sepakat (ijma’) bahwa gadai dibolehkan dalam Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam surat al- Baqarah/2: 283 Allah berfirman:

 وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلمَْ تجَِدُوْا كَاتِباً فَرِهَانٌ مَقْبـُوْضَةٌ (البقرة/2 :283

( Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegag (oleh orang yang berpiutang). (Q.S. al-Baqarah/2: 283)

Mayoritas ulama sepakat bahwa gadai (ar-rahn) boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan tidak bepergian (muqim), asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai (al-qabdh) 6 secara hukum oleh pemberi piutang. Kecuali golongan Zhahiri dan Mujahid melarang gadai dalam keadaan muqim, dengan melihat lahiriyah ayat tersebut. Pengambilan hukum larangan gadai dalam keadaan tidak bepergian dari ayat ini adalah dalil khithab (hukum kebalikan).

Sedangkan pegangan jumhur fuqaha’ tentang kebolehan melakukan gadai dalam keadaan tidak bepergian (muqim) adalah hadits yang berbunyi :

 إِنَّهُ صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهَنَ فىِ الحَْضَرِ .

Sesungguhnya Nabi SAW. menggadaikan dalam keadaan tidak bepergian.

Kemudian dalam sebuah riwayat dikatakan:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ االلهُ عَنـْهَا أَنَّ النَّبيِ َّ صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتـَرَى طَعَامًا مِنْ يـَهُوْدِيٍّ إِلىَ أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًامِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري ومسلم)

 Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan. (HR. al-Bukhari dan Muslim).[3]

Rukun-rukun Gadai

Pembicaraan mengenai rukun-rukun gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Menurut jumhur ulama, rukun gadai itu ada empat, yaitu shigat (lafal ijab dan qabul), orang yang berakad (ar- rahin dan al-murtahin), barang yang digadaikan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun gadai itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan oleh pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu).

Di samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad gadai ini, maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad, barang yang dijadikan jaminan, dan utang, menurut ulama hanafiyah termasuk syarat-syarat gadai, bukan rukunnya.

Syarat-syarat Gadai

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-ayarat gadai sesuai dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat gadai meliputi:

a.       Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn (gadai), dengan syarat akad gadai yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan dari walinya.

b.      Syarat shigat (lafal). Menurut ulama Hanafiyah akad ar-rahn (gadai) itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka gadai itu diperpanjang satu bulan; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sementara ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila syarat itu mendukung kelancaran akad itu, maka syarat tersebut dibolehkan. Namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabi’at akad gadai maka syaratnya batal. Sebagai contoh, orang yang berutang mensyaratkan apabila ia tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan, maka barang jaminan tidak boleh dijual. Syarat yang demikian itu tidak saja membatalkan syarat ar-rahn, tetapi sekaligus membatalkan akad.

c.       Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan hak wajib yang harus dikembalikan kepada orang tempat berutang; utang itu boleh (dapat) dilunasi dengan barang jaminan tersebut; dan utang itu jelas dan tertentu.

d.      Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan), menurut para pakar fiqh adalah:

Ø  Barang jaminan itu adalah barang yang dapat diperjual- belikan.

Ø  Barang jaminan adalah barang yang memiliki nilai ekonomis (mempunyai nilai harta secara hukum syara’).

Ø  Barang yang dibolehkah oleh syara’ mengambil manfaatnya, karenanya khamar tidak dapat dijadikan barang jaminan, disebabkan khamar tidak bernilai harta dan tidak bermanfaat dalam Islam.

Ø  Diketahui secara jelas, baik bentuk, jenis maupun nilainya.

Ø  Barang jaminan itu milik sah orang yang berutang.

Ø  Tidak terkait dengan hak orang lain, seperti harta serikat.

Ø  Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

Ø  Nilai barang jaminan seimbang dengan besarnya utang atau lebih.

e.       Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa gadai itu dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Para ulama menyebut syarat ini adalah qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang), sesuai dengan tuntutan surat al- Baqarah/2: 283 di atas, مقبوضة فرهان) barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Dengan demikian, apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi piutang, maka akad gadai bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.

Gadai Dalam Islam

1.      Status Barang Gadai

Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.[4]

Ulama Fiqih menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada ditangan penerima gadai (murtahin), dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai (rahin). Kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabdh al-marhun barang jaminan dikuasai secara hukum, apabila agunan itu dikuasai oleh murtahin maka akad rahn itu mengikat kedua belah pihak, karena itu, status hukum barang gadaian terbentuk pada saat terjadinya akad atau kontrak utang piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan.

2.      Jenis Barang Gadai

Barang gadaian yang dapat dijadikan jaminan pengikat utang. Yang dipegang oleh murtahin sebagai jaminan mempunya kriteria sebagai berikut:

a.    Barang-barang yang dapat dijual. Karena itu, barang-barang yangtidak berwujud tidak dapat dijadikan barang gadai. Misalnya menggadaikan buah dari sebuah pohon yang belum berbuah, menggadaikan binatang yang belum lahir.

b.    Barang gadaian harus merupakan harta menurut pandangan syara’, tidak sah menggadaikan sesuatu yang bukan harta, seperti bangkai, hasil tangkapan di tanah haram, arak, anjing serta babi.

c.    BarangBarang gadaian tersebut harus diketahui, tidak boleh menggadaikan sesuatu dengan (tidak dapat dipastikan ada tidaknya).

d.    Barang tersebut merupakan milik si rahin.

3.      Jenis Akad dalam Gadai

A.    Akad Qard Al-Hasan

Akad qard al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif. Hal dimaksud, pemberi gadai (nasabah/rahin) dikenakan biaya berupa upah/feedari penerima gadai (murtahin). Akad qard al-hasandimaksud, pada prinsipnya tidak boleh pembebanan biaya selain biaya aadministrasi

B.     Akad Mudharabah

Akad Mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai (rahin) atau orang yang menggadaikan harta benda sebagai jaminan untuk menambah modal usahanya atau pembiayaan produktif. Akad dimaksud, pihak pemberi gadai akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh kepada penerima gadai sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjamnya dilunasi.

C.     AkadAkad Ba’I Muqayyadah

Akad Ba’I Muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda dimaksud, mempunyai manfaat yang produktif. Misalnya pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh dana pinjaman, nasabah harus menyerahkan harta benda sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan oleh penerima gadai, baik oleh rahin maupun murtahin. Dalam hal ini nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas barang yang diberikan oleh murtahin atau pihak penerima gadai dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai kesepakatan antara keduanya.

D.    AkadAkad Ijarah

Akad ijarah adalah akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat barang. Dalam akad ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasa dengan sesuatu penggantian berupa kompensasi.

Dalam akad dimaksud, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang titipan dapat berupa harta benda yang menghasilkan manfaat atau tidak menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajir (pegadaian), sedangkan nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu yang dapat diambil manfaatnya disebut majur, sementara kompensasi atau imbalan jasa disebut ajran atau ujrah. Pelaksanaan akad ijarahdimaksud, berarti nasabah (rahin) memberikan fee kepada murtahin ketika masa kontrak berakhir dan murtahin mengembalikan marhun kepada rahin. Karena itu, untuk menghindari terjadinya riba dalam transaksi ijarah, maka pengenaan biaya jasa barang simpanan nasabah harus memenuhi persyaratan yaitu:

a.    Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.

b.    SifatnyaSifatnya harus nyata, jelas dan pasti, serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk terjadinya transaksi ijarah.

c.    Tidak terdapat tambahan biaya yang tidak tercantum dalam akad.

E.     AkadAkad Musyarakah Amwal Al-‘inan

Akad Musyarakah Amwal Al-‘inan adalah suatu transaksidalam bentuk perserikatan antara dua pihak atau lebih yang di sponsori oleh Pegadaian Syariah untuk berbagi hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi kepemilikan, dan berbagi risiko dalam sebuah usaha. Pola musyarakah dimaksud mendorong terjadinya investasi bersama antara pihak yang mempunyai modal minimum tetapi mempunyai kemampuan yang memadai untuk berusaha, dengan pihak yang mempunyai modal besar tetapi belum memanfaatkan secara optimal. Karena itu, Pegadaian Syariah dalam hal ini memperoleh laba dari usahanya dalam menghimpun dana (funding product), yaitu melalui penerapan akad musyarakah (partnership, project financing participation), yang diakadkan adalah dana dan kerja yang dapat dikelola sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung hingga batas waktu yang telah ditentukan atau disepakati oleh pihak- pihak.[5]

4.      Pemeliharaan Barang Gadai

Para ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai menjadi tanggungan dalam kedudukannya sebagai orang yang memegang amanat, kepada penggadai hanya dibebankan pembelanjaan barang gadai agar tidak berkurang potensinya.

Berdasarkan kedua pendapat diatas, maka pada dasarnya biaya pemeliharaan barang gadai adalah kewajiban bagi rahin dalam kedudukanya sebagai pemilik yang sah, namun apabila marhun menjadi kekuasaan murtahin dan rahin mengizinkan untuk memelihara maka yang menanggung biaya pemeliharaan marhun adalah murtahin. Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan tersebut, apabila murtahin diizinkan rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dengan biaya pemeliharaan. Namun apabila rahin tidak mengizinkan, maka biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan oleh murtahin menjadi hutang rahin kepada murtah

5.      Pemanfaatan Barang Gadai

Biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang diagunkan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), sedangkan penerima barang (murtahin) tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Penerima barang agunan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang memiliki utang tidak mampu melunasinya, ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya. Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Hal ini dikarenakan jumhur ulama beralasan dengan sabda Rasulullah Saw, yang berbunyi:

“Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni) Sebagian ulama Hanafiyyah memperbolehkan barang agunan dimanfaatkan apabila pemilik barang telah mengijinkan, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang agunan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi sebagian ulama Hanafiiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat sekalipun pemilik barang agunan itu mengijinkan, karena jika barang agunan itu dimanfaatkan itu merupakan riba yang dilarang syara’ . Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila dijadikan barang agunan tersebut adalah hewan, maka pemegang barang agunan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaannya yang dikeluarkan pemegang barang agunan. Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa hewan itu di-qiyas-kan dengan kendaraan. Illat-nya yang disamakan adalah hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki. dan diperah susunya dapat di-illat-kan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal yang ‘menghasilkan’, dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illat-nya adalah ‘hasilnya’, yaitu apabila hewan hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu, adanya izin dari penggadai rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan. Sedangkan apabila marhun itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian: 1. Apabila marhun berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam 2. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan sebagainya, maka tidak boleh mengambil manfaatnya. Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari marhun yang dapat ditunggangi dan diperah ialah berdasarkan hadist Nabi yang berbunyi:

Artinya:”Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Punggung hewan ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan meminum wajib menanggung biayanya.”(HR.Bukhari). Hadist lain yang dijadikan alasan murtahin dapat mengambil manfaat dari marhun adalah Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Hammad:

Artinya: “Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang menerima gadai boleh meminum susunya sesuai dengan kadar memberi makannya, apabila meminum susu itu melebihi harga memberi nafkahnya, maka termasuk riba”. (HR. Hammar bin Salamah) Hadist tersebut membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhun atas seizin dari pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun tersebut.[6]

Adapun manfaat yang dapat diambil dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut:

a.       Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main denga fasilitas pembiayaan yang diberikan peminjam (bank dan lembaga keuangan lain).

b.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank atau lembaga keuangan lain.

c.       Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.

Adapun manfaat yang langsung didapat bank dan lembaga keuangan lain adalah biaya-biaya nyata yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya 31 asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.

6.      Risiko Gadai

Adapun risiko yang mungkin terdapat pada aktifitas rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah :

a.       Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi),

b.      Risiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak[7]

7.      Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai

A.    Hak Pemegang Gadai

1)      Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin.

2)      Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun. Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai.

B.     Kewajiban Pemegang Gadai Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu diatas kelalaianya.

1)      Pemegang gadai tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri.

2)      Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.

C.     Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai.

1)      Hak Pemberi Gadai

a.       Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.

b.      Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih dan biaya lainya.

c.       Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.

2)      Kewajiban Pemberi Gadai

a.       Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimanya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin.

b.      Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhunbih kepada murtahin.[8]

Konsep Penggadaian Syariah

1.      Konsep Gadai Syariah menurut beberapa tokoh Islam

Berikut table yang menjelaskan tentang Konsep Gadai Syariah:

No

Konsep Gadai ( ar-rahn )

Tokoh Islam

1.

Menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang

Zainuddin Ali

2.

Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari hartanya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar

Ulama Syafi’iyah

3.

Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang bertindak sanggup membayar utangnya

Ulama Hanabilah

4.

Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat)

Ulama Malikiyah

5.

Perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau Sebagian utang dapat diterima

Ahmad Azhar Basyir

Tugas pokok Perum Pegadaian adalah menjebatani kebutuhan dana masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasarkan hukum gadai. Tugas tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktikpraktik lintah darat. Kantor pusat Perum Pegadaian berkedudukan di Jakarta, dan dibantu oleh kantor daerah, kantor perwakilan daerah dan kantor cabang. Jaringan usaha Perum Pegadaian telah eliputi lebih dari 500 cabang yang tersebar di wilayah Indonesia.

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah.  Pegadaian syariah dalam menjalankan operasionalnya perpegang pada prinsip syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai lomoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan/atau bagi hasil.[9]

Payung hukum gadai syariah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syariah berpegang pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 juni 2002 tentang rahn yang  menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diberbolehkan, dan Fatwa DSN MUI No: 26/DSNMUI/III/2002 tentang gadai emas. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.

Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahin, penggadai akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut dengan Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyutujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (Ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

2.      Berdirian Pegadaian Syariah

Keinginan masyarakat terhadap berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk menjebatani keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, anatara lain aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, kelembagaan, aspek sistem dan prosedur setra aspek pengawasan (Tim Peneliti dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP, 2005). Berikut adalah penjelasan dari aspek yang dibutuhkan dalam berdirinya pegadaian syariah:

A.    Aspek Legalitas 

Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan Pemerintah N0. 10 Tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian (Prospektus Perum Pegadaian, Jakarta 1993: 96-97), pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa anrata lain pada pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktik ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi perum pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan. Pertama, membantu perum pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang sesuai dengan prinsip syariat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman. Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan. Kedua, Membantu perum pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan perubahan PP No. 10 Tahun 1990 yaitu menghapus kata “riba” pada pasal 5 ayat (2)b, dan kata-kata “badan usaha tunggal” pada pasal 3 ayat (1)a. dengan usul yang kedua ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan yang dioperasikan sesuaai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

B.     Aspek Permodalan

Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan   yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian. Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas.

C.     Aspek Sumber Daya Manusia

Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta oleh pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah pinjaman tidaklah mudah. Apabila jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat menjadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini niali suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat. Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai. Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu mereka perlu dididik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan keterampilannya. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan gadai syariah untuk memperoleh bagi hasil yang memadai. Untuk juru taksir, pada tahap awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum Pegadaian.

D.    Aspek Kelembagaan

Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak menyimpang dari prinsip syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba. Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang tidak dilarang dalam agama Islam. Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan adanya suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut dewan pengawas syariah yang memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat.

E.     Aspek Sistem dan Prosedur

Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi harus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh karena itu sistem dan dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menyulitkan calon nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-qardhul hassan maupun hutang piutang gadai dalam bentuk almudharabah.

F.      Aspek Pengawasan

G.    Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan yang disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) merupakan pelaksaan amanah. Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada dewan komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Termasuk dalam organ pengawasan adalah dewan pengawasan syariah yang terdiri dari para ulama yang cukup dikenal masyarakat.[10]

Prinsip-prinsip Syariah dalam Akad Ar-Rahn pada Lembaga Penggadaian

Secara substantif, Pegadaian Syariah memiliki 3 (tiga) prinsip yang bersumber pada kajian ekonomi Islam. Prinsip pengembangan ekonomi tidak saja mengacu pada proses di mana masyarakat dari suatu negara memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa secara terus-menerus. Akan tetapi, Islam memiliki prinsip-prinsip pengembangan yang dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah dan menyeimbangkan antar-kehidupan di dunia dan di akhirat. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Prinsp Tauhid (Keimanan)

Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dalam pokok ajaran ini, menyatakan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta dan segala isinya dan sekaligus pemiliknya termausk manusia dan seluruh sunber daya yang ada. Karena itu Allah adalah pemilik hakiki, sedangkan manusia hanya diberi amanah untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan (Q.S 23: 115). Salah satu tujuan diciptakan manusia adalah untuk beibadah kepadaNya (Q.S 51: 56). Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan manusia (muamalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah.[11]

Tauhid itu membentuk 3 (tiga) pokok filsafat ekonomi Islam, yaitu: Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik Allah dan berjalan menurut kehendak-Nya (Q.S 5: 20 dan Q.S 2: 6). Kedua, Allah Saw adalah pencipta semua makhluk, dan semua makhluk tunduk kepada-Nya (Q.S 6: 142-145; Q.S 16: 10-16; Q.S 35: 27-29; dan Q.S 39:21). Dalam Islam, kehidupan dunia hanya dipandang sebagai ujian, yang akan diberikan ganjaran dengan surga yang abadi. Ketiga, iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Sedangkan muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu, akan mempertimbangkan akibatnya pada hari kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini mengandung maksud bahwa dalam memilih kegiatan ekonomi haruslah mempertimbangkan baik menghitung nilai sekarang maupun hal yang akan dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang ialah semua yang diperoleh, baik sebelum maupun sesudah mati (extended time horizon), seperti yang dijelaskan dalam (Q.S 75: 1-10; dan Q.S 99: 1-8.39).[12]

Studi tentang pembiayaan tidak lepas dari kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan dan mengembangkan harta. Pengembangan kekayaan dalam ekonomi konvensional menganut prinsip yang mengacu kepada teori bunga. Ajaran Islam memandang bahwa harta serta pengembangannya tidak bisa diakumulasi dengan cara riba sebagai teori bunga. Pada saat yang sama, kebiasaan untuk mendiamkan harta yang diperoleh tidak pula dianjurkan dalam Islam. Ketika seseorang memiliki harta kemudian mendiamkannya (idle assets), maka akan menyebabkan harta tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang kaya. Pada akhirnya, jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin menganga. Padahal, dalam harta milik seseorang (property rights) ada hak milik orang lain. Hal ini menunjukan bahwa Islam menghdendaki terjadinya perputaran kepemilikan harta secara lebih mereta.

Sistem pegadaian yang dianut ekonomi Islam selama ini didasarkan pada 2 (dua) sifat, yaitu:

1.      Konsumtif

Pembiayaan konsumtif dapat dilakukan dengan pendekatan:

·         sistem margin (keuntungan) melalui akad al-murâbahah (jual beli tangguh); dan

·         sistem pinjaman tanpa bunga melalui akad al-qard al-hasan atau yang lebih dikenal dengan pinjaman kebajikan.

2.      Produktif.

Adapun pembiayaan produktif dapat dilakukan dengan pendekatan sistem bagi hasil (profit and loss-sharing) melalui akad al-mudhârabah (kemitraan pasif); dan akad al-musyârakah (kemitraan aktif).

2.      Prinsip Ta’âwun (Tolong-Menolong)

Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharaj menyebutkan bahwa prinsip yang harus diletakan dalam transaksi gadai adalah ta’awun (tolong-menolong), yaitu prinsip saling membantu antar sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan Al-Quran “Dan tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong-menolong dalam berbuat keji dan permusuhan.” (QS. Al-Maaidah (4): 2).

Realitas prinsip ta’awun pada transaksi gadai mengindikasikan ikatan kuat antara tradisi manusia dengan agama yang muncul akibat konsekuensi logis terhadap berkembangnya aktivitas manusia yang bergerak secara cepat. Prinsip ini juga telah disampaikan Abu ‘Ubaid (w. 224 H) dalam al-Amwal. Berpandangan bahwa prinsip ta’awun sesama manusia dapat meningkatkan taraf hidup. Menurut Sa’id Sa’ad Martan, prinsip ini berorientasi pada sosial adalah usaha seseorang untuk membantu meringankan beban saudaranya yang ditimpah kesulitan melalui gadai syariah. [13]

3.      Prinsip Bisnis (Tijârah)

Afzalur Rahman menyatakan bahwa bisnis (perdagangan) adalah suatu kegiatan yang dianjurkan dalam Islam. Nabi sering kali menekankan pentingnya bisnis dalam kehidupan manusia. Namun demikian, dalam mencari laba harus dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Hal ini bertujuan agar kesejahteraan tercapai. Umar Chapra menyebutnya dengan istilah al-Falah. Muhammad Syafi’i Antonio berpendapat dalam kacamata Islam tidak ada dikotomi antara usaha-usaha untuk pembangunan ekonomi maupun sektor-sektor lainnya dengan persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti. Karena itu, kegiatan bisnis gadai syarikah, tanpa mengikuti aturan-aturan syariah, maka akan membawa kehancuran.

Prinsip-prinsip bisnis di atas, menjadi pedoman dalam usaha pegadaian sepanjang masa. Karena itu, prinsip-prinsip usaha pegadaian ialah:

1.      Harus didasari sikap saling ridha di antara kedua belah pihak, sehingga para pihak tidak merasa diruagikan atau dizalimi;

2.      Menegakkan prinsip keadilan dalam proporsi keuntungan;

3.      Kegiatan bisnis tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental dan moral;

4.      Bisnis harus terhindar dari praktik gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan) dan masyir (judi); serta

5.      Dalam kegiatan bisnis, baik utang-piutang maupun bukan, hendaklah dilakukan pencatatan (akuntansi). [14]

Dengan demikian, ketiga prinsip di atas menjadi acuan dasar dalam pengembangan Pegadaian Syariah, serta penerapannya dalam kehidupan so sio-ekonomi. Kurang kuatnya salah satu dasar tersebut, maka akan menyebabkan lambatnya gerak pengembangan lembaga bisnis itu sendiri, serta tidak akan mampu mencapai kesejahteraan hidup.

 

Kesimpulan

               Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu, seperti munculnya praktik riba, atau gharar. Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya masing-masing,  akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam syari'ah Islam.

Pegadaian dijadikan tumpuan untuk memperoleh dana dengan cepat. Hal ini dikarenakan prosedur pengajuan memperoleh dana di pegadaian cukuplah sederhana dan relative cepat serta mudah. Ketika seseorang membutuhkan dana dalam kondisi yang mendesak dan cepat, sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki dana cash atau tabungan maka pendanaan pihak ketiga menjadi altervative pemecahannya. Saat mengakses jasa perbankan bagi beberapa masyarakat akan menghadapi administrasi dan persyaratan yang rumit, sehingga sebagian orang akan datang pada rentenir, meski dengan bunga yang cukup tinggi. Bagi sebagian orang memiliki harta yang bisa dijadikan agunan, maka pegadaian pilihannya, sebab transaksi gadai paling aman, legal dan terlembaga.

Rahn merupakan produk penunjang sebagai alternatif pegadaian, terutama untuk membantu  nasabah dalam memenuhi kebutuhan insidentilnya yang mendesak. Terkait dengan rahn dalam praktik perbankan syariah, bank tidak menarik manfaat apa pun, kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan. Akad rahn dapat pula diaplikasikan untuk memenuhi permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan kepada nasabah.

Penerapan gadai syariah ini merupakan upaya realisasi dari ajaran Islam yang harus diyakini kebenarannya dan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ibadah dalam bentuk ekonomi nyata. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesuliatan dana, terutama didaerah-daerah.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

·         Haroen Nasrun, “Fiqh Mu’amalah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 251

·         Antonio Muhammad Syafi’i,”Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 128



[1] Nasrun Haroen, “Fiqh Mu’amalah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 251

[2] Muhammad Syafi’i Antonio,”Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 128

 

[3] Fadllan, “GADAISYARIAH; Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan”, https://www.researchgate.net/publication/312273871_GADAI_SYARIAH_Perspektif_Fikih_Muamalah_dan_Aplikasinya_dalam_Perbankan, 2014, (diakses 7 Oktober 2020)

[6] Rokhmat Subagiyo. Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn). Vol. 01, No. 01, Oktober 2014. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2020

[7] Rahn Dalam Perspektif Fiqih Mu’amalah

[8] Pegadaian Dalam Islam, http://repository.uin-suska.ac.id/7244/4/BAB%20III.pdf

[9] Sigit Triandaru dan Toko Budisantoso “ Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya” ( Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 223

[10] Anshori, Abdul Gofur, “Gadai Syariah Di Indonesia”, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), h. 76-80

[11] Ibid, h. 102

[12] Sasli Rais, Pegadaian Syariah, “Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)”, (Jakarta:  UI Press, 2008),  h. 23

[13] Imam Mustofa, “Fiqih Muamalah Kontemporer”, ( Jakarta:  PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 198

[14] Maman Suharman, Panji adam, “Penerapan Prinsip Syariah pada Akad Rahn di Lembaga Pegadaian”, https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=PENARAPAN+PRINSIP+SYARIAH+PADA+AKAD+RAHN+DI+LEMBAGA+PEGADAIAN+SYARIAH, 2018 (diakses 6 Oktober 2020)