Fikih Penyaluran Dana Pada Lembaga Keuangan Syariah

Penyaluran Dana

Abstrak

Penyaluran dana disebut sebagai pembiayaan (financing) pada bank syariah. Bank syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), dimana kegiatan operasionalnya bebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh Islam, yaitu maysir, garar, riba, dan batil. Dalam kegiatan penyaluran dana, bank syariah melakukan investasi dan pembiayaan. Menyalurkan dana ke masyarakat dalam hal ini bank memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Pinjaman yang diberikan dibagi dalam berbagai jenis, sesuai dengan keinginan nasabah. Sebelum pembiayaan diberikan bank terlebih dahulu menilai apakah pembiayaan tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian. Secara garis besar pembiayaan dapat dibagi dua jenis yaitu pembiayaan konsumtif dan pembiayaan produktif. Sedangkan jika berdasarkan tujuan penggunaannya pembiayaan syariah dibedakan menjadi 1) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli termasuk pembiayaan murabahah, pembiayaan salam dan pembiayaan istishna. 2) Pembiayaan dengan prinsip sewa termasuk pembiayaan Ijarah dan pembiyaan IMBT. 3) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil termasuk pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah, dan 4) Pembiayaan dengan akad pelengkap yaitu menggunakan akad Hiwalah, akad Rahn dan akad Qardh.

Keywords : financing, murabahah, salam, istishna, ijarah, IMBT, musyarakah, mudharabah, hiwalah, qardh, and rahn.

Kata Kunci : pembiayaan, murabahah, salam, istishna, ijarah, IMBT, musyarakah, mudharabah, hiwalah, qardh, dan rahn.

 



 

PENDAHULUAN

Penyaluran dana merupakan kegiatan utama perbankan, baik itu bank konvensional atau bank syariah. Penyaluran dana disebut sebagai kredit di bank konvensional, sedangkan pada bank syariah disebut sebagai pembiayaan. Lembaga keuangan syariah salah satunya adalah bank syariah memiliki fungsi sebagai intermediasi keuangan yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan.

Bank syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) dimana kegiatan operasionalnya bebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh Islam, yaitu maysir, garar, riba, dan batil. Dengan demikian, bank syariah berbeda dengan bank konvensional yang kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip bunga yang oleh sebagian besar ulama dikatakan sama dengan riba.

Bank syariah sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary) yang salah satu tugas pokonya adalah penyaluran dana. Dalam kegiatan penyaluran dana, bank syariah melakukan investasi dan pembiayaan. Dikatakan investasi karena prinsip yang digunakan adalah prinsip penanaman dana atau penyertaan dana dan keuntungan akan diperoleh tergantung dengan kinerja usaha yang menjadi objek penyertaan tersebut sesuai dengan nisbah bagi hasil yang diakadkan sebelumnya. Sedangkan, jika disebut pembiayaan karena bank syariah menyediakan dana untuk membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukannya dan layak memperolehnya.

 



 

PEMBAHASAN

Fiqh Penyaluran Dana

Penyaluran dana disebut sebagai pembiayaan (financing) pada bank syariah. Pembiayaan adalah suatu fasilitasi yang diberikan bank syariah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat yang surplus dana. Menyalurkan dana ke masyarakat dalam hal ini bank memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Pinjaman yang diberikan dibagi dalam berbagai jenis, sesuai dengan keinginan nasabah. Sebelum pembiayaan diberikan bank terlebih dahulu menilai apakah pembiayaan tersebut layak diberikan atau tidak. Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak dapat dikembalikannya pinjaman yang disalurkan bank dengan berbagai sebab.

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan dana atau uang yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[1]

Adapun secara garis besar pembiayaan secara garis besar dapat dibagi dua jenis yaitu[2]

1.        Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan bermotor, pembiayaan pendidikan dan apapun yang sifatnya konsumtif.

2.        Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembelian barang modal dan lainnya yang mempunyai tujuan untuk pemberdayaan sektor riil.

Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu : 1) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli, 2) Pembiayaan dengan prinsip sewa, 3) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dan 4) Pembiayaan dengan akad pelengkap.[3]

 

A.    Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli

Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang. Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of propety). Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni sebagai berikut :

 

1.      Pembiayaan Murabahah

Al-murabahah berasal dari kata Bahasa Arab al-ribh (keuntungan). Ia dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata) mufa’alat yang mengandung arti saling. Oleh karenanya, secara bahasa ia berarti saling memberi keuntungan. Secara terminology, ia diartikan dan didefinisikan dengan redaksi yang variatif. Ahmad al-Syaisy al-Qaffal mengatakan, al-murabahat ialah tambahan terhadap modal. Bagi al-Sayid Sabiq, murabahah ialah penjualan barang seharga pembelian disertai dengan keuntungan yang diberikan oleh pembeli, artinya ada tambahan harga dari nilai harga beli. Sementara menurut al-Syairizi, murabahah ialah penjualan di mana penjual memberitahukan kepada pembeli harga pembeliannya, dan ia minta keuntungan kepada pembeli berdasarkan kesepakatan antara keduanya.

Berdasarkan definisi di atas tampak bahwa secara substansi pengertian al-murabahat di kalangan ulama adalah sama meskipun diformulasikan dengan redaksi yang berbeda. Hal ini mengilhami DSN MUI sehingga menawarkan definisi al-murabahat dengan, “menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.”[4] Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, Murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bitsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh / cicil. Bai’ al-Murabahah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan usaha.

Syarat Bai’ al-Murabahah

a.       Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.

b.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan

c.       Kontrak harus bebas dari riba.

d.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.

e.       Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d) atau (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :

a.       Melanjutkan pembelian seperti apa adanya

b.      Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual

c.       Membatalkan kontrak

Skema Bai’ Al-Murabahah

a.       Negosiasi dan Persyaratan

b.      Akad Jual Beli

c.       Beli Barang

d.      Kirim Barang dan dokumen

e.       Terima

f.       Bayar

 

2.      Pembiayaan Salam

Pengertian akad salam sebagai teknis dalam penyaluran pembiayaan yang dilakukan oleh bank adalah, “Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.[5]

Rukun Bai’ As-Salam :

a.       Muslam (Pembeli)

b.      Muslam ilai (penjual)

c.       Modal atau uang

d.      Muslam fiih (barang)

e.       Sighat atau ucapan

Syarat Bai’ as-Salam :

a.       Berkaitan dengan modal transaksi bai’ as-salam, maka modal transaksinya harus diketahui dan berbentuk uang tunai serta pembayaran salam harus dilakukan di tempat kontrak.

b.      Berkaitan dengan barang, maka barang :

1)      Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.

2)      Harus bisa diidentifikasi secara jelas.

3)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang dilakukan dikemudian hari, namun mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan barang segera.

4)      Dibolehkan menentukan tanggal waktu dimasa datang untuk penyerahan barangnya.

5)      Tempat penyerahan barang harus disepakati pihak-pihak yang berakad.

6)      Tidak dibolehkan mengganti barang dengan barang lain yang berbeda. Tetapi jika barang tersebut diganti dengan barang lain yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, hal tersebut diperbolehkan.

Ketentuan umum Salam

a.       Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.

b.      Apabila hasil produksi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab, dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.

c.       Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua). Mekanisme seperti ini disebut dengan salam paralel.[6]

3.      Pembiayaan Istishna

Secara bahasa, al-istishna berarti permintaan pembuatan yang berupa pekerjaan. Adapun secara terminology, al-istishna ialah akad antara pemesan dan produsen untuk mengerjakan suatu barang tertentu atau akad untuk membeli suatu barang yang dibuat oleh produsen yang model dan segala peralatannya disediakan oleh pembuat.[7]

Ketentuan Umum

Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad Istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.[8]

 

B.     Pembiayaan dengan Prinsip Sewa

Pembiayaan dengan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa. Transaksi sewa dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip sewa sama saja prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.

 

1.      Ijarah & Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)

Ijarah adalah akad pemindahan hak penggunaan/pemanfaatan atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa, tanpa diikuiti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti). Menurut pengertian syara, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti. Al- ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/ milkiyyah) atas barang itu sendiri.

Ijarah muntahia bittamlik, disebut juga ijarah wa iqtina adalah perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa, atau dengan kata lain akad sewa yang diakhiri pemindahan kepemilikan ke tangan penyewa.

Landasan hukum Ijaroh adalah:

a.       QS Al-Baqarah ayat 233 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

b.      Hadits yang diriwayatkan dari ibnu abbas, bahwa Rasulullah bersabda: “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rukun dan syarat Ijaroh :

a.      Pernyataan ijab dan qabul

b.      Pihak-pihak yang berakad (berkontrak); terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik asset, LKS) dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari pengguna asset nasabah).

c.      Objek kontrak; pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan asset

d.      Manfaat dari penggunaan asset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan asset itu sendiri

e.      Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik asset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).

            Ketentuan objek Ijaroh :

a.              Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.

b.             Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.

c.              Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.

d.             Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

e.              Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.

f.               Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

g.              Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.

h.             Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.

i.                 Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diiwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

            Karakteristik Ijarah :

a.       Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :

1)      Kewajiban LKS sebagai pemberi sewa, yaitu :

a)            Menyediakan aset yang disewakan,

b)           Menanggung biaya pemeliharaan asset,

c)            Menjaminan bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.

2)      Kewajiban nasabah sebagai penyewa :

a)      Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak,

b)      Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materiil),

c)      Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

            Jenis Akad Ijarah :

            Dilihat dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi dua, yaitu:

a.       Ijarah manfaat (Al-Ijarah ala al-Manfa’ah)

Hal ini berhubungan dengan sewa jasa, yaitu memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut mu’ajir, upah yang dibayarkan disebut ujrah. Misalnya, sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini mu’ajir mempunyai benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, di mana mu’ajir mendapatkan imbalan tertentu dari musta’jir dan musta’jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.

b.      Ijarah yang bersifat pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-Amal) Hal ini berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional. Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’ajir adalah orang yang mempunyai keahlian, tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang membutuhkan keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mua’jir mendapatkan upah (ujrah) atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta’jir dan musta‟jir mendapatkan tenaga atau jasa dari mu’jir. Misalnya, yang mengikat bersifat pribadi adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat serikat, yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak. (Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sedangkan ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari‟ah. Selain dua jenis pembagian di atas, dalam akad ijarah juga ada yang dikenal dengan namanya akad al-ijarah muntahiya bit tamlik (sewa beli), yaitu transaksi sewa beli dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa. Dalam akad ini musta’jir sama-sama dapat mempergunakan obyek sewa untuk selamanya. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut ada dalam akad yang dilakukan di awal perjanjian. Karena akad ini sejenis perpaduan antara akad jual beli dan akad sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan penyewa atas barang yang disewa melalui akad yang dilaksanakan kedua belah pihak.

            Pembagian Akad Ijârah :

   Dilihat dari segi objeknya, maka ijârah dibagi menjadi 2 bagian yaitu ijârah ‘ala al-manâfi’i yang artinya sewa atas manfaat barang dan ijârah ‘ala ala‟amâl yang artinya sewa atas suatu pekerjaan. Ijârah ‘ala almanâfi’i adalah ijârah yang menjadikan manfaat dari barang sebagai objek akad, misalnya rumah, kendaraan dan lain sebagainya dengan remunerasi yang akan diterima si Pemilik Objek berupa ujroh atau fee. Sedangkan, ijârah ‘ala al-a’amâl adalah ijârah yang berkaitan dengan pekerjaan dengan remunerasi yang diterima berupa al-ajr yang berarti upah.

            Berakhirnya akad Ijarah :

Berakhirnya Akad Ijârah Para ulama menyatakan bahwa akad ijârah akan berakhir apabila :

a.       Obyek hilang atau musnah, seperti rumah sewaan terbakar dan lain sebagainya.

b.      Waktu perjanjian berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan ke pemiliknya. Apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya.

c.       Karena pembatalan oleh kedua pihak yang berakad, sebagaimana pembatalan dalam akad jual beli.

d.      Menurut ulama Hanâfiyah berakhirnya akad ijârah karena salah satu pihak yang berakad meninggal sebab akad ijârah tidak dapat diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijârah tidak batal/berakhir dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat boleh diwariskan dan ijârah sama dengan jual-beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

e.       Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab X tentang Ijarah pasal 253 dinyatakan bahwa: “Akad ijarah dapat diubah, diperpanjang, dan atau dibatalkan berdasarkan kesepakatan.” [9]

Skema Akad Ijarah & IMBT



 

 

C.    Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil

Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan mendapatkan barang dan jasa sekaligus, yang tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil, keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil, yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok bagi hasil dan digunakan dalam transaksi syariah adalah sebagai berikut:

 

1.      Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan pada perbankan syariah yang didasarkan pada akad bagi hasil ini menempatkan bank sebagai pihak penyandang dana. Untuk itu bank berhak atas kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan yang diperoleh oleh pemilik usaha (mudharib), sedangkan apabila bank hanya bertindak sebagai penghubung antara pengusaha dan nasabah, ia berhak atas kontraprestasi berupa fee (Anshori, 2007).

Penjelasan atas Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 bahwa:

“Yang dimaksud dengan akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul maal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian”.

Secara umum pembiayaan mudharabah perbankan syariah dikategorikan menjadi dua bagaian besar yaitu: pertama, mudharabah mutlaqah  adalah  investasi tidak terkait bukan merupakan kewajiban atau ekuitas bank karena bank tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut apabila tidak kerugian pengelolaan dana yang bukan disebabkan kelalaian atau kesalahan bank. (Mudrajad K. dan Suhardjono, 2002)

Bagi hasil mudharabah mutlaqah dapat menggunakan dua metode, yaitu profit sharing  atau  revenue sharing. Jika bank menggunakan  profit sharing  dan usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh  shahibul maal kecuali jika ditemukan kelalaian bank sebagai mudarib seperti tidak dipenuhinya akad. Jika bank menggunakan revenue sharing maka shahibul māl tidak akan menanggung kerugian, kecuali bank dilikuidasi dalam kondisi aset lebih kecil dari kewajiban (Rivai, 2006).

Kedua, mudharabah muqayyadah  adalah  apabila Bank bertindak sebagai agen dalam penyaluran dana  mudharabah muqayyadah  dan bank tidak menanggung resiko maka pelaporan tidak dilakukan dalam neraca tetapi di dalam laporan perubahan investasi terikat. Sedangkan dana yang diterima dan belum disalurkan diakui sebagai titipan apabila bank bertindak sebagai agen dalam penyaluran dana mudharabah muqayyadah  tetapi bank menanggung resiko atas penyaluran dana tersebut maka bank bertindak sebagai mudharib dan pelaporannya dilakukan dalam neraca sebesar porsi yang ditanggung oleh bank.  (Mudrajad K. dan Suhardjono, 2002).

Berkaitan dengan ketentuan umum pembiayaan mudarabah, fatwa DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan sebagai berikut:

a.          Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

b.         Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul māl (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

c.          Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

d.         Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

e.          Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

f.           LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat mudharabah, kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

g.          Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan. Namun, agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

h.         Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

i.           Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

j.           Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Beberapa permasalahan yang dihadapi sehingga mudharabah menjadi kurang berkembang, diidentifikasikan antara lain sebagai berikut (Humayon A. Dar and John R. Presley, 2001):

Pertama, kontrak profit loss sharing dikaitkan dengan agency problems manakala seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan usaha tetapi mempunyai insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan pribadi dari manager. Argumen ini berdasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses produksi, dan manakala ini terjadi pada kasus profit loss sharing, kaum kapitalis ragu-ragu untuk berinvestasi berdasarkan basis profit loss sharing. Sebagai contoh X meminjam uang pada bank syariah ABC kemudian ia melaporkan keuntungannya pada laporan laba rugi yang usahanya lebih rendah. Sehingga, tingkat profit-loss sharing yang diberikan kepada bank lebih rendah.

Kedua, kontrak profit loss sharing membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikitnya jaminan hak property pada kontrak profit loss sharing menyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi. Pada praktiknya di Indonesia, jaminan hak property atas profit-loss sharing belum diatur dengan tegas dan jelas.

Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan konsep mudharabah dan musyarakah yang dianutnya. Tetapi seringkali pelaksanaannya manajemen asset dari mudharabah dan musyarakah tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada aset riil. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia, pengelolaan aset pada perbankan syariah masih terpusat pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.

Keempat, batasan peran investor pada manajemen dan dikotomi struktur keuangan dari kontrak profit loss  sharing menimbulkan ketidak partisipasian. Mereka tidak berbagi kontrak berdasarkan partisipasi pengambilan keputusan. Disatu sisi terlihat hanya pihak manajemen yang mengelola dana sedangkan investor hanya menikmati hasilnya.

Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas). Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang disalurkan melalui sertifikat wadiah bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika pembiayaan tersebut berjangka pendek dan lebih berisiko lagi jika bank syariah menyalurkan pengelolaan dana melalui Jakarta Islamic Index.

Menurut           Muljawan        (2001),             bahwa Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat teratasi kelemahannya dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1.    Peningkatan kualitas preferensi Mudarib dalam menerima amanah dan shahibul mal.

2.    Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci dan pemakaian benchmarking.

3.    Penerapan standar akuntansi yang memadai.

Dibawah ini adalah gambar skema mudharabah yang dilakukan oleh Nasabah  (Mudharib) dengan Bank (shahibul māl). Gambar 1

 Skema Mudharabah

Sumber: Antonio, 1999

 

2.      Pembiayaan Musyarakah

Pasal 19 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan yang dimaksud musyarakah adalah:“Akad kerjasama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing”.

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/ DPbs tanggal 17 Maret 2008 kembali diatur hal yang sama mengenai persyaratan paling kurang dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad musyarakah, sebagai berikut:

1.       Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.

2.       Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebesar mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.

3.       Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad musyarakah serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah.

4.       Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad musyarakah dari nasabah yang antara lain aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition).

5.       Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati.

6.       Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.

7.       Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.

8.       Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.

9.       Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.

10.   Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar musyarakah.

11.   Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.

12.   Pengembalian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode pembiayaan, sesuai jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah.

13.   Pembagian hasil saham berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan dan

14.   Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proposional menurut porsi modal masing-masing.

Skema Akad Musyarakah

 

4.      Pembiayaan dengan Akad Pelengkap

Akad pelengkap adalah akad antara para pihak yang diadakan sebagai pelengkap atau pendukung akad pokok.[10] Pembiayaan dengan akad pelengkap ini ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan bukan ditujukan untuk mencari keuntungan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, pada akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.[11] Adapun yang termasuk dalam akad pelengkap adalah sebagai berikut :

 

1.      Hiwalah

Hiwalah merupakan transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek lembaga keuangan syariah fasilitas hiwalah digunakan untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai supaya dapat melanjutkan produksinya. Bank dapat imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut. Untuk dapat mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Misalnya seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karna kebutuhan supplier, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

 

 

 

 

 

Kontrak hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut[12]

a)      Factoring atau anjak piutang, yaitu para nabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut ke bank, lalu bank membayar piutang tersebut dan bank menangihnya dari pihak ketiga.

b)      Post dated check yaitu bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

 

2.      Rahn

Rahn merupakan menahan salah satu harta milik peminjam sebagai salah satu jaminan yang telah diterimanya. Dalam lembaga keuangan syariah rahn adalah transaksi gadai antara bank syariah dengan pemilik barang yang membutuhkan dana dimana pemilik barang tersebut dapat menggadaikan barang yang dimilikinya sebagai jaminan hutang kepada bank, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil barangnya setelah melunasi hutangnya kepada bank.[13] Bank akan membebankan jasa gadai sesuai dengan kesepakatan. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis dan nilai jual sekurang-kurangnya setara dengan pinjaman yang telah diterima oleh si peminjam. Dengan demikian, pihak yang menahan (Bank) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Dasar hukum diperbolehkan akad rahn yaitu terdapat pada Al-Qur’an, hadits, serta ijma’. Dalam Al-Qur’an, terdapat pada Surah Al-Baqarah [2] : 283 berikut ini :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

Artinya : “Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ...”.

Adapun salah satu hadits tentang rahn yaitu hadits nabi yang di riwayatkan oleh Al-Buhkari dan Muslim dari Aisyah r.a, ia berkata yang artinya : “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”

Ijma para ulama sepakat membolehkan akad rahn.

Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria berikut :

a)      Milik nasabah sendiri,

b)      Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,

c)      Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

Hukum mengenai pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a)      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

b)      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

c)      Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

d)     Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

e)      Penjualan Marhun :

1)      Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.

2)      Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

3)      Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

4)      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

f)       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

3.      Qardh

Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.[14] Nasabah qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini, bank menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang patut dan nasabah hanya berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman. Pengaplikasian Qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu[15] :

a)      Sebagai pinjaman talangan haji, nasabah calon haji akan diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan hajinya.

b)      Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.

c)      Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha jika diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.

d)     Sebagai pinjaman kepada pengurus bank. Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan pemberi pinjaman/Lembaga Keuangan Syari’ah telah memastikan ketidakmampuannya, maka pemberi pinjaman dapat :

a)      Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b)      Menghapus /write off sebagian atau seluruh kewajibannya.

Adapun sumber dana qardh berasal dari :

a)      Bagian modal Lembaga Keuangan Syari’ah;

b)      Keuntungan Lembaga Keuangan Syari’ah yang disisihkan, dan/atau

c)      Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknya kepada Lembaga Keuangan Syari’ah.


PENUTUP

Kesimpulan

Penyaluran dana disebut sebagai pembiayaan (financing) pada bank syariah. Bank syariah sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai islam. Pembiayaan adalah suatu fasilitasi yang diberikan bank syariah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat yang surplus dana.

Dalam penyaluran dana, produk pembiayaan syariah dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu Pembiayaan dengan prinsip jual-beli, pembiayaan dengan prinsip sewa, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dan pembiayaan dengan akad pelengkap.

Pembiayaan dengan Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Pembiayaan dengan Prinsip jual-beli ini termasuk pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna’. Pembiayaan dengan Prinsip sewa dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pembiayaan ini termasuk Ijarah dan IMBT atau Ijarah Muntahiya Bit Tamlik.

Pembiayaan dengan Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan mendapatkan barang dan jasa sekaligus, yang tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok bagi hasil dan digunakan dalam transaksi syariah yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan atau sebagai pelengkap atau pendukung akad pokok. Yang termasuk dalam akad pelengkap pembiayaan yaitu Hiwalah, Rahn dan Qardh.

Daftar Pustaka

•         Atang Abd Hakim, Fiqih Perbankan Syariah Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam Peraturan Perundang-undangan. Bandung: PT REFIKA ADITAMA, 2019.

•         Harun Santoso, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam : Analisis Pembiayaan Ijarah Pada Perbankan Syariah, STIE-AAS,Surakarta, 2015.

•         Fatwa DSN-MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh (diakses 04 Oktober 2020).

•         Fatwa DSN-MUI No.119/DSN-MUI/II/2018 Tentang Pembiayaan Ultra Mikro (Al-Tamwil Li Al-Hajah Al-Mutanahiyat Al-Shughra) Berdasarkan Prinsip Syariah (diakses 04 Oktober 2020).