Fikih Produk Jasa Pada Lembaga Keuangan Syariah

 Produk Jasa Dalam Lembaga Keuangan Syariah


Abstrak

Lembaga Keuangan Syariah sebagai lembaga keuangan dengan prinsip syariah awalnya hadir sebagai pilihan sekaligus solusi untuk muslim yang ingin terhindar dari praktek bank atau lembaga keuangan konvensional yang menggunakan system ribawi namun akhirnya juga dapat menjadi pilihan bagi selain umat muslim. Lembaga Keuangan Syariah saat ini telah ada dan berkembang dengan cukup pesat. Telah banyak varian dari Lembaga Keuangan Syariah diseluruh Indonesia dan termasuk pula adalah Bank Syariah. 

Kata kunci: Produk atau Jasa, Lembaga Keuangan Syariah

PENDAHULUAN

Lembaga Keuangan Syariah merupakan lembaga keuangan yang beroperasional dan berjalan dengan prinsip syariah Islam. Prinsip syariah Islam ini berbeda dari perbankan atau lembaga keuangan konvensional. Penyelenggaraan Lembaga Keuangan Syariah berarti wajib bertanggung jawab secara syariah untuk menjaga tidak hanya agar praktek dalam Lembaga Keuangan Syariah itu bebas riba saja tapi juga harus bebas dari unsur-unsur maysir/ judi dan Ghoror/spekulasi/judi. Islam memerintahkan untuk menjauhi hal-hal tersebut karena hal tersebut dianggap sebagai berbuat zhalim atau kerusakan penyelenggara Lembaga Keuangan Syariah dituntut memiliki tidak hanya visi bisnis an sich yang bertujuan mengeruk laba yang setinggi tingginya dengan mengesampingkan syariah namun juga harus memiliki visi syariah. Proses agar Lembaga Keuangan Syariah tetap berada dalam prinsip-prinsip syariah ketika beroperasional menjadi tanggung jawab bersama antara lain pengelola Lembaga Keuangan Syariah dan institusi negara yang ditunjuk untuk melakukan proses dan prosedur agar Lembaga Keuangan Syariah tetap dalam koridor yang seharusnya dan tidak melakukan hilah/trik hanya sekedar kamuflase berkedok syariah dalam parktek dan operasionalnya. Kontrak dan produk di perbankan syariah adalah dua hal yang tak terpisahkan karena setiap produk di perbankan syariah harus didasarkan pada kontrak dan prinsip syariah islam. Jika melihat dari aspek produk, aspek kontrak dan prinsip syariah yang membedakan antara produk perbankan syariah dan produk perbankan konvensional. Berdasarkan tujuan bank syariah, ada untuk mendapatkan keuntungan di dunia dan keuntungan di akhirat (profit dan fallah oriented). Untuk lebih jelasnya, pada Artikel ini penulis bermaksud untuk menguraikan mengenai pengertian, dasar hukum, tujuan dan fungsi, serta produk jasa lembaga keuangan syariah.   

Pengertian Lembaga Keuangan Syariah

Bank berasal dari kata bangue (bahasa Perancis) dan dari kata banco (bahasa Italia) yang berarti peti / lemari atau bangku. Peti/ lemari dan bangku menjelaskan fungsi dasar dari bank komersial, yaitu : pertama, menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping function), kedua, menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction function). 

Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 

Pengertian bank syariah atau bank Islam dalam bukunya Edy Wibowo adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bank ini tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Quran dan hadits. 

Pengertian Produk Jasa produk dalam Islam adalah suatu yang dihasilkan proses produksi yang baik, bermanfaat dapat dikonsumsi, bedaya guna dan dapat menghasilkan perbaikan material, moral dan spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang islam merupakan pengertian produk dalam islam. Barang dan ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi barang dalam ekonomi islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan juga berdayaguna secara moral. 

Menjaga kualitas produk dan jasa bahkan memperbaiki kualitasnya harus selalu dilakukan. Jangan sampai kualitas produk tidak sesuai dengan seharusnya. Rasulullah SAW dimasa mudanya selau berbisnis dengan menjaga kualitas barang dagangan sehingga beliau menjadi sangat dipercaya oleh pelanggannya. Beliau pernah menegur keras seorang pedagang kurma yang menyembunyikan kurma berkualitas rendah pada tumpukan bawah dagangannya. Inovasi terhadap produk dan jasa juga harus terus dilakukan, sebagaimana hadist Rasulullah yang mengingatkan bahwa kehidupannya hari ini harus lebih baik dari kemarin. Orang yang kehidupannya sama dengan kemarin disebut merugi, apalagi yang lebih buruk dari kemarin. 

Dasar Hukum Lembaga Keuangan Syariah

Dalam dunia ekonomi, yang dinamakan sebagai produk adalah mencakup tiga aspek, yaitu produk tahan lama, produk tidak tahan lama, dan jasa. Jadi, jasa secara eksplisit disebut sebagai produk atau komoditas. Jasa merupakan produk yang terdiri atas barang yang tidak tampak oleh mata, tapii dapat dirasakan kehadirannya. Dengan demikian, dalam terminologi fiqih jasa masuk kedalam kategori harta manfaat.

Adapun dasar hukum yang memperkuat adanya jasa pada lembaga keuangan syariah (LKS) antara lain:

1. Al-Qur’an

a. Q.S Al-b aqarah ayat 267


 



Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari usahamu  yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganllah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Dari ayat diatas jelas bahwa dalam memberikan jasa hendaknya berikan pelayanan (service) yang baik sehingga tidak menyia-nyiakan amanat yang menjadi tanggung jawabnya.

b. Q.S Al-Maidah ayat 2

 

Artinya:

“….dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggan. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Melalui ayat diatas, Allah memerintahkan kita untuk saling menolong didalam koridor “mengerjakan kebajikan dan takwa” dan Allah melarang sebaliknya. Jadi interaksi itu boleh dilakukan kapanpun dan dengan siapapun selama tidak melanggar batasan yang telah tertuang dalam ayat al-qur’an. 

2. Hadits 

Hadits Muslim Sahabat Abu Hurairah RA meriwayatkan hadits yang berbunyi:

“Barang siapa yang menghilangkan (memberikan solusi) kesukaran seorang mukmin didunia maka kelak Allah akan menghilangkan kesukarannya dihari kiamat. Barang siapa yang memeberikan kemudahan bagi orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusan duniawi dan akhiratnya. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (keburukannya) didunia dan akhiat, dan Allah akan senantiasa membantu hamba-Nya selama dia mau membantu saudaranya.”

Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang keutamaan yang didapatkan seseorang jika dia mau memberikan bantuan dan pelayanan atau jasa kepada sesama demi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Baik pertolongan dalam bidang materi, memberikan nasihat dan lain sebagainya. 

3. Fatwa DSN-MUI No 124/DSN-MUI/XI/2018

Dasar hukum jasa dalam lembaga keuangan syariah (LKS) selain terdapat dalam Al-qur’an dan Hadits, juga terdapat pada Fatwa DSN-MUI No 124/DSN-MUI/XI/2018 tentang penerapan prinsip syariah dalam pelaksanaan layanan jasa penyimpanan transaksi efek serta pengelolaan infrastruktur investasi terpadu. 

Fungsi Lembaga Keuangan Syariah

Fungsi lembaga keuangan syariah diantaranya memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana sebagai sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Secara terperinci fungsi lembaga keuangan syariah yaitu: 

a. Pengalihan asset (Asset transmutation)

Bank dan lembaga keuangan nonbank akan memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati berdasarkan prinsip-prinsip syariah

b. Transaksi (transaction)

Bank dan lembaga keuangan nonbank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi baran dan jasa

c. Likuiditas (liquidity)

Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimiliki dalam bentuk produk-produk berupa giro, tabungan, deposito, dan sebagainya.

d. Efesiensi (efficiency)

Bank dan lembaga keuangan nonbank dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanan. Peranan bank dan lembaga keuangan nonbank sebagai broker yaitu mempertemukan pemilik dan pengelola moda. Lembaga keuangan memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan. 

Dalam redaksi lain, fungsi dan peran lembaga keuangan syariah sebagai berikut:

a. Memperlancar pertukaran produk (barang dan jasa) dengan menggunakan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah

b. Menghimpun dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah

c. Memberikan pengetahuan/informasi kepada pengguna jasa keuangan sehingga membuka peluang keuntungan sesuai prinsip syariah

d. Lembaga keuangan memberikan jaminan hukum mengenai keamanan dana masyarakat yang dipercayakan sesuai dengan prinsip syarih

e. Menciptakan likuiditas sehingga dana yang disimpan dapat digunakan ketika dibutuhkan sesuai dengan prinsip syariah.

Tujuan Lembaga Keuangan Syariah

Menurut Rodhoni dan Hamid dalam nanda (2012:17) tujuan berdirinya lembaga keuangan syariah adalah: 

a. Mengembangkan lembaga keuangan syariah (bank dan nonbank syariah) yang sehat berdasarkan efesiensi dan keadilan, serta mampu meningkatkan partisipasi masyarakat banyak sehingga menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan cara memperluas ke daerah-daerah terpencil

b. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi yang akan melestarikan pembangunan nasional antara lain:

1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha

2) Meningkatkan kesempatan kerja

3) Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak

4) Meningkatkan pastisipasi masyarakat banyak dakam proses pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi keuangan yang banyak dari masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan bank ataupun lembaga keuangan lainnya. 

5) Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi, perilaku bisnis dan meningkatkan kualitas hidup mahasiswa.

Prinsip Operasional Lembaga Keuangan Syariah

Beberapa prinsip opersional dalam lembaga keuangan syariah adalah sebagai berikut: 

a. Keadilan, yaitu prinsip berbagi keuntungan atas dasar penjualan yang sebenarnya berdasarkan kontribusi dan risiko masing-masing pihak.

b. Kemitraan, yaitu prinsip kesetaraan diantara para pihak yang terlibat dalam kerja sama posisi nasabah investor (penyimpanan dana), dan penggunaan dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan.

c. Transparansi, dalam hal ini sebuah lembaga keuangan syariah diharuskan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan kepada nasabah investor atau pihak-pihak yang terlibat agar dapat mengetahui kondisi dana yang sebenarnya. 

d. Universal, yaitu prinsip dimana lembaga keuangan syariah diharuskan memberikan suku, ras, dan golongan dalam masyarakat dalam memberikan layanannya sesuatu dengan prinsip islam sebagai Rahmatan lil alamin 

Dalam operasionalnya lembaga keuangan syariah juga harus memperhatikan kepada hal-hal berikut:

a. Pembayaran terhadap jaminan dengan nilai berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

b. Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana

c. Islam tidak memperbolehkan ‘’menghasilkan uang dari uang’’. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsic.

d. Unsur gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan hasil yang akan mereka perleh dari sebuah transaksi

e. Investasi hanya boleh diberikan kepada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam sehingga usaha minuman keras, misalnya, tidak boleh didanai oleh perbankan syariah. 

Produk-Produk Jasa Dalam Lembaga Keuangan Syariah 

1. Wakalah 

A. Pengertian dan Rukun Wakalah 

Wakalah adalah pelantikan seorang untuk mengambil tempat orang yang melantiknya untuk mengerjakan suatu tugas bagi pihaknya. Wakalah merupakan salah satu perjanjian yang memberikan kuasa orang yang mewakili kepada wakil untuk menjalankan suatu kerja bagi pihak diwakili itu. Misalnya seorang nasabah minta Bank Islam untuk mewakilinya untuk membeli sejumlah saham dari sebuah perusahaan tertentu bagi pihaknya dengan membuat bayaran yang disetujui. Setelah pembelian tersebut selesai, maka pihak Bank menyerahkan saham saham itu kepada nasabah, dengan itu selesailah hubungan Wakalah antara Nasabah dengan Bank bersangkutan. 

Dalam kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Bank Indonesia dijelaskan pengertian wakalah sebagai berikut: Wakalah - perwakilan, penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat (power of attorney) – adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Praktek wakalah dalam lembaga keuangan syariah mengharuskan adanya, muwakil (nasabah atau investor), wakil (bank) dan taukil (obyek atau wewenang yang diwakilkan) Wakalah bil Ujrah adalah akad wakalah dengan memberikan fee atau imbalan kepada wakil dalam Glossori Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, memberikan penjelasan pengertian wakalah sebagai berikut: Wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.

Sedang menurut para pengikut madzhab Syafi`i, wakalah adalah pelimpahan seseorang atas apa yang bisa ia lakukan dan bisa digantikan oleh orang lain untuk bisa dilaksanankan pada saat ia masih hidup. Adanya ketentuan harus pada saat ia (pemberi mandat) masih hidup adalah untuk membedakan dengan akad wasiat. Dalam prinsip wakalah rukun wakalah adalah : 

a. Pemberi kuasa (Muwakil) 

b. Penerima kuasa (Wakil) 

c. Obyek yang dikuasakan (Taukil) 

d. Ijab Qabul (Sighat)

Menurut jumhur ulama, rukun wakalah itu ada empat, yaitu pemberi wakalah, wakil, sesuatu yang dimandatkan atau diwakilkan dan shighot (ijab qabul). Wakalah halal dalam Islam dengan menurut syarat syarat tertentu (Al Fiqh Al Islam wa Adillatuhu Dr Wahbah Zuhaili. bmi) yaitu :

a. Pihak orang yang diwakili dan wakil harus terdiri dari mereka  yang dipertanggungjawabkan. 

b. Orang yang diwakili harus mempunyai kuasa untuk mengendalikan perkara yang diwakili. 

c. Wakil hendaklah menyatakan dengan jelas perkara diwakili saat perjanjian. 

d. Wakil harus menyebutkan nama orang / pihak yang diwakili saat menjalankan tugas Wakalah yang berkaitan dengan Hibah, Pinjaman, Pegadaian, Wadi’ah, Hutang Piutang, Musyaarakah dan Mudharabah. Adapun ketika menjalankan tugas Wakalah dalam Jual Beli dan Sewa menyewa tidak perlu menyebutkan nama pihak yang diwakili.

B. Ketentuan Wakalah 

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan Tentang Wakalah

1. Pernyataan Ijab Qobul harus di nyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)

2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh di batalkan secara sepihak 

Kedua : Rukun dan Syarat Wakalah

1. Syarat-syarat muwakil (yang mewakilkan), adalah :

a. Harus seorang pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan

b. Orang mukalaf atau anak mumayyiz dalam batasbatas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaatbaginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya

2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)

a. Cakap hukum

b. Dapat mengerjakan tugas yang di wakilkan kepadanya

c. Wakil adalah orang yang di beri amanat 

3. Hal-hal yang di wakilkan 

a. Di ketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili

b. Tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam

c. Dapat di wakilkan menurut Syari’ah Islam

C. Jenis Wakalah 

Wakalah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Wakalah Muthlaqah, yaitu wakalah yang tidak terikat dengan syarat tertentu ( selain dari syarat yang di tetapkan islam ), tidak terbatas waktu, dan tidak terikat dengan keadaan tertentu.

2. Wakalah Muqaiyadah, yaitu wakalah yang terikat dengan syarat tertentu, atau terbatas waktu, atau terikat dengan syarat tertentu.

D. Produk Lain dengan akad Wakalah 

Penerapan akad wakalah dalam perbankan syariah tidak hanya di pergunakan untuk transaksi transfer atau pengadaan barang murabahah, namun dapat di terapkan untuk yang lainnya, seperti:

1. Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor

2. Anjak Piutang Syari’ah 

2. Kafalah 

A. Pengertian dan Rukun Kafalah 

Kata kafalah (zuhaili, bmi,) mempunyai banyak padanan kata,antara lain hammalah, dhomanah dan za’amah. Sedangkan orang yang menjamin disebut dhamiin, kafiil, qabiil, za’iim atau shabir. Semua istilah tersebut mempunyai arti yang sama, yaitu penjamin, hanya saja, istilah dhamin lebih populer dipergunakan dalam perkara yang berkaitan dengan harta, hamiil dalam masalah diyat (denda pembunuhan), za’iim dalam permasalahan harta dalam jumlah yang sangat besar, sedangkan kata za’iim lazim dipergunakan untuk semua urusan tersebut.

Menurut madzhab Hanafi (zuhaili, bmi) memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, hutang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berhutang, dan hutang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.

Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran hutang, dan dengan demikian keduanya di pandang berhutang.

Kafalah dan Dhamanah mempunyai arti yang sama, yaitu jaminan. Yang mana yang dimaksud dengan Jaminan adalah bertanggung jawab atas hak yang thabit / wajib bagi orang lain atau menghadirkan seseorang yang mempunyai suatu tanggung jawab untuk diambil tindakan atau mendapatkan suatu barang pengganti kepada pihak yang berhak. Dengan ini, berarti jaminan adalah : menempatkan tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.

Rukun Kafalah adalah :

a. Pihak penjamin (kaafil) 

b. Pihak yang dijamin (Makful) 

c. Obyek penjaminan (Makful alaih) 

d. Ijab kabul (Sighat)

Rukun kafalah menurut sebagian besar ulama (zuhaili, bmi) adalah: 

a. penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang tidak cacat muamalahnya secara hukum, maka anak-anak dan orang idiot tidak sah. 

b. Barang yang dijamin/hutang (madhmun): sesuatu yang boleh diganti dengan sejenisnya secara hukum, yaitu hutang atau benda selain uang yang merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam qishash dan hudud. 

c. Pihak yang dijamin (makful anhu/madhmun anhu): orang yang dituntut/yang berhutang baik hidup atau sudah mati.

d. Sighah akad: ijab dari penjamin 

e. (menurut madzhab syafi’i), pemilik hutang (madhmun lahu): orang yang berpiutang atau berhak menerima pembayaran hutang.

B. Jenis Kafalah 

1) Kafalah bi an nafs, yaitu merupakan akad memberikan jaminan atas dirinya (personal guarantee) 

2) Kafalah bi al mal, yaitu merupakan jaminan pembayaran hutang atau pelunasan hutang

3) Kafalah bit taslim, jenis ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa pada waktu masa sewa berakhir 

4) Kafalah al munjazah, jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan untuk kepentingan / tujuan tertentu. 

5) Kafalah al mualaqah, jaminan ini merupakan menyerdahanaan dari kafalah al munjazah, dimana jaminan dibatasi hanya untuk jangka waktu tertentu.

C. Ketentuan Kafalah 

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Wakalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut:

Pertama :

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihakuntuk menunjukkan kehendak nereka dalam mengadakan kontrak (akad) 

2) Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan 

3) Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Kedua : 

1) Pihak penjamin (Kafill) 

a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat 

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hokum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut 

2) Pihak orang yang berhutang (Ashil, Makfuul’anhu)

a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin 

b. Dikenal oleh penjamin 

3) Pihak orang yang berpiutang (Makfuul lahu) 

a) Diketahui identitasnya 

b) Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa. 

c) Berakal sehat 

4) Obyek penjaminan (makfuul bihi) 

a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan 

b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin 

c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan. 

d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya. 

e. Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan)

Produk Lain dengan akad Wakalah 

Beberapa produk yang di laksanakan oleh perbankan syariah dengan akad kafalah adalah :

a. Letter of Credit ( L/C ) dengan akad Kafalah bil Ujroh

b. Penjaminan Syari’ah

3. Sharf 

A. Pengertian dan Rukun Sharf

Pada transaksi sharf disyaratkan adanya saling menyerahkan mata uang hasil penukaran sebelum keduanya berpisah secara fisik, agar tidak terjadi riba nasiah, berdasarkan hadits rasulullah “(jual beli) emas dengan emas harus sepadan dan tunai. Perak dengan perak harus sebanding dan tunai.”.Juga sabda Rasul “jangan menjual yang tidak ada dengan yang ada”.

Jika kedua pelaku berpisah sebelum ada qabdh, baik terhadap satu atau kedua alat tukar, maka transaksi tersebut gugur karena tidak terpenuhinya persyaratan qabdh dan agar tidak menjadi transaksi jual beli hutang sehingga terjadi riba yang berupa lebihnya nilai salah satu alat tukar.

Ash Shaft adalah jual beli mata uang. Asalnya mata uang hanya emas dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak disebut Dirham. Mata uang dari kedua jenis itu disebut mata uang intrinsik. Zaman sekarang, mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang dibeli nilai tertentu. Mata uang dari jenis-jenis tersebut disebut mata uang menurut nonimal

Rukun dari sharf adalah : 

a. Penjual (Ba’i) 

b. Pembeli (Musytari) 

c. Mata uang yang diperjual belikan (Sharf) 

d. Nilai tukar (Si’rus Sharf) 

e. Ijab Qabul (Sighat) 

Tukar menukar mata uang boleh terjadi antara : 

a. Jenis logam yang sama (emas dengan emas, perak dengan perak).

b. Jenis logam yang berlainan (emas dengan perak, emas dengan nikel) 

c. Logam dengan uang kertas (emas dengan kertas) 

d. Uang kertas dengan uang kertas (selembar uang Rp. 10.000, 

dengan beberapa lembar uang ribuan).

Dalam taraf international, tukar menukar uang mata uang juga selalu terjadi antara mata uang setempat dengan mata uang asing dan antara mata uang asing dengan mata uang asing lainnya. Tukar menukar mata uang atau jual beli mata uang hukumnya Jaiz (boleh boleh saja) dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Jika mata uang yang ditukar itu emas dengan emas atau perak dengan perak, maka harus sama berat atau sama timbangan dan penyerahan barangnya dilakukan pada waktu yang sama. 

b. Jika mata uang yang ditukar itu emas dengan perak, maka penyerahan barangnya harus dilakukan pada waktu yang sama. Menurut kebanyakan ulama Fiqih, mata uang selain emas dan perak tidak termasuk barang ribawi. Karena itu, serah terima dalam tukar menukar mata uang selain emas dan perak tidak diharuskan dilakukan pada waktu yang sama.

Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu ke waktu. Tukar menukar mata uang negara yang sama dan berlainan jenis bahannya seperti $ 100.000 koin emas USD dengan $ 500.000 uang kertas USD hukumnya Jaiz.Berjanji untuk menukarkan uang asing dengan mata uang setempat pada waktu tertentu dan dengan harga yang ditetapkan, hukumnya Jaiz.

Pada prinsipnya jual beli valuta asing yang sejalan dengan prinsip syariah adalah apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang sama, maka nilai mata uang tersebut harus sama dan penyerahannya juga dilakukan pada waktu yang sama (spot). Sedangkan apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang berbeda maka nilai tukar uang tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan / harga pasar dan diserahterimakan secara tunai (spot).

B. Ketentuan Sharf 

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Sharf sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 28/DSN-MUI/III/2002 (Fatwa, 2006) sebagai berikut: 

Pertama : Ketentuan umum 

Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 

a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan) 

b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)

c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).

d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Kedua : Jenis-jenis transaksi valuta asing

a. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu ( over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 

b. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang dinalainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnyaadalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan dikemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 

c. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena pengandung unsur maisir (spekulasi) 

d. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

4. Hawalah / Hiwalah 

A. Pengertian dan Rukun Hawalah 

Hawalah atau Hiwalah adalah akad pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya. 

Rukun hawalah (zuhaili, bmi) menurut mazhab Hanafi Ijab dari muhil (yang berutang yang memindahkan utangnya) dan Qabul dari muhal (pemberi utang) dan muhal `alaih (yang menerima pemindahan) dengan lafazh tertentu yaitu istighat hawalah: ijab misalnya muhilberkata kepada dain (pemberi utang); saya pindahkan utangku kepada si fulan, dan qabul dari muhal dan muhal `alaih, misalnya salah seorang dari mereka mengatakan, saya terima atau saya ridhai, sebab harus adany keridhaan muhal `alaih menurut mazhab Hanafi karena, hawalahadalah transaksi atasnya dengan pemindahan hak (utang) kepadanya, maka dia tidak sempurna kecuali dengan keridhaannya, karena dia yang akan bertanggung jawab atas utang, maka itu tidak harus kecuali dia memberi iltizam (konsisten) dengannya, dan keadaannya madin bagi muhil tidak melarang dari sifat komitmennya (terhadap aqad) karena manusia bertingkat-tingkat dalam menunaikan utang, ada yang mudah ada yang sulit. 

B. Jenis Hawalah menurut Mazhab Hanafi

1. Hawalah Mutlaqah 

Seseorang memindahkan utangnya kepada seseorang dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu, Syi`ah Imamiyah dan Zaidiyah menurut pendapat yang kuat mereka juga sepakat, dan hawalah mutlaqah menurut mazhab yang tiga 

selain mazhab Hanafi, yaitu kalau muhal `alaih tidak punya utang pada muhil ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak (dain, madin dan muhal `alaih). 

2. Muqayyadah 

Memindahkan dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya, inilah hawalah yang boleh (jaiz), berdasarkan kesepakatan ulama-ulama. (Ini menurut Dr Assanhury dekat kepada makna pelunasan dengan utang, dari pada hawalah dengan makna yang lebih halus pada fiqh undang-undang (Al Wasith:240). Assanhuri juga berpendapat bahwa hawalah pada Fiqh Islam tidak mengakui hawalah yang bermakna Fiqh Barat yang bermacam-macam aliran. Mazhab Malik menegaskan bahwa hawalah utang dengan syarat-syarat tertentu, dengan jalan hibah utang, atau menjual utang kepada selain madin (Al Wasith : 240). 

C. Ketentuan Hawalah

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Hawalah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000 (Fatwa, 2006) sebagai berikut: 

1. Rukun hawalah adalah muhil yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muthai yakni orang yang berpiutang kepada muhil, muhal alaih yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab qabul). 

2. Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal alaih. 

5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakandalam akad secara tegas. 

6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan mulai berpindah kepada muhal alaih. 

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 31/DSNMUI/VI/2002 Tentang Pengalihan Hutang dijelaskan ketentuan sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan Umum

a. Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.

b. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.

c. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.

d. Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.

Kedua : Ketentuan Akad

Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut: 

a. Alternatif satu 

1) LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.

2) Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.

3) LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.

4) Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud alternatif I ini 

b. Alternatif kedua 

1) LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.

2) Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.

3) LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.

4) Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini 

c. Alternatif ketiga 

1) Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.

2) Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip alQardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSNMUI/IV/2001.

3) Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.

4) Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talanganyang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2 

d. Alternatif keempat 

1) LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.

2) Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.

3) LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah alMuntahiyah bi al-Tamlik.

4) Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSNMUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi alTamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.

D. Produk Lain dengan akad Wakalah 

1. Penyelesaian Utang Dalam Impor


5. Rahn 

A. Pengertian dan Rukun 

Akad rahn (zuhaili, bmi ) menurut syara` adalah menahan sesuatu denan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara` sebagai jaminan hutang,hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang semuanya atau sebagian. Juga termasuk rahn adalah transaksi yang menggunakan surat berharga (sebagai jaminan) dengan barang.

Unsur-unsur rahn ada empat (zuhaili, bmi) yaitu rahin (pemilik barang), murtahin (pemegang barang), marhun atau rahn (baran   gadaian) dan marhun bih (hutang). Adapun rukun rahn, menurut madzhab Hanafi adalah ijab qabul dari rahin dan murtahin, sebagaimana di setiap transaksi yang lain.

B. Ketentuan Rahn

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Rahn sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tertanggal 26 Juni 2002 (Fatwa, 2006) sebagai berikut: 

Pertama : Hukum 

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Kedua : Ketentuan Umum 

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan Marhun 

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasii hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpaan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

6. Prinsip Syariah Lain Jasa Layanan

Disamping prinsip-prinsip syariah yang telah dibahas diatas, bank syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya dalam bidang jasa layanan dapat mempergunakan prinsip syariah yang sangat erat dengan produknya, seperti misalnya tentang Letter of Credit (L/C) dan Kartu Pembayaran.

A. Letter of Credit Syariah 

Salah satu bentuk jasa perbankan adalah memberikan fasilitas transaksi ekspor-impor yang dilakukan oleh nasabah, yang dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C). Berikut beberapa ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan hal tersebut.

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah mengatur sebagai berikut: 

Pertama : Ketentuan Umum 

a) Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. 

b) L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah. 

Kedua : Ketentuan Akad 

Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk: 

1) Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: 

a) Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor; 

b) Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;

c) Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

2) Akad Murabahah dengan ketentuan: 

a) Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir; 

b) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (usance); 

c) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan. 

d) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang. 

3) Akad Salam/Istishna’dan Murabahah, dengan ketentuan: 

a) Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ denganmewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.

b) Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank; 

c) Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan. 

d) Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.

4) Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan: 

a) Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepadabank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran. 

b) Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor 

5) Akad Musyarakah dengan ketentuan: 

Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah mengatur sebagai berikut: 

Pertama : Ketentuan Umum : 

a) Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuaidengan prinsip syariah.

b) L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai’. 

Kedua : Ketentuan Akad : 

Akad untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah dapat berupa: 

a) Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: 

Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; 

Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; 

Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase. 

b) Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan: 

Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; 

Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;

Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank).

Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); 

Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk: 

- Pembayaran ujrah; 

- Pengembalian dana mudharabah; 

- Pembayaran bagi hasil. 

Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. 

c) Akad Musyarakah dengan ketentuan: 

Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;

Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; 

Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank); 

Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); 

Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk: 

- Pengembalian dana musyarakah; 

- Pembayaran bagi hasil. 

d) Akad Al-Bai’ (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan: 

Bank membeli barang dari eksportir; 

Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir; 

Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir; 

Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuing bank) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).

B. Kartu Pembayaran (Card) 

Syariah Card diperlukan dalam rangka memberikan kemudahan,keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, Bank Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis Kartu Kredit, yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Sedangkan Syariah Charge Card untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card. Berikut beberapa ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang berkaitan dengan hal tersebut. 

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syari’ah Charge Card mengatur sebagai berikut:

Pertama Ketentuan Hukum: 

Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan ketentuan sebagai berikut: 

Kedua : Ketentuan Umum 

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan: 

a) Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai padatempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan. 

b) Membership fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaandari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;

c) Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn); 

d) Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud). 

e) Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial. 

f) Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial. 

Ketiga : Ketentuan Akad 

Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah: 

a) Untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal ijarah. 

b) Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal ijarah.

Keempat :

a) Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card : 

Tidak boleh menimbulkan riba. 

Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat. 

Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu. 

Tidak mengakibatkan utang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn). 

Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya. 

b) Ketentuan Fee: 

Iuran keanggotaan (Membership fee) Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan fasilitas kartu. 

Merchant Fee (ujrah) 

Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dariharga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn). 

Fee Penarikan Uang Tunai 

Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang Tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. 

Kelima: Denda-denda 

a) Denda Keterlambatan (Late Charge) Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatanpembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.

b) Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

2) Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card mengatur sebagai berikut:

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini, yang dimaksud ini:

a) Syariah card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan system yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.

b) Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (bamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, lajir atau qabil al-bithaqah). 

c) Membership Fee (rusum al-udhuwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan

d) Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tehsil al-dayn).

e) Fee penarikan uang tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan tunai (rusum sahh al-nuqud)

f) Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telag jatuh tempo

g) Denda keterlambatan (late change) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Kedua: Hukum

Syariah card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.

Ketiga: Ketentuan akad

Akad yang digunakan dalam syariah card adalah:

a) Kafalah: dalam hal ini penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi pemegang kartu dengan merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu. Atas pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).

b) Qardh: dalam hal ini penerbit adalah pemberi pinjaman (muqhrid) kepada pemegang kartu (muqhtarid) melalui penarikan tunai daribank atau ATM bank penerbit kartu

c) Ijarah: dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa system pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee.

Keempat: ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card

a) Tidak menimbulkan riba

b) Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah

c) Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.

d) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.

e) Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah

Kelima: Ketentuan Fee

a) Iuran keanggotaan (membership fee)

b) Merchant Fee

c) Fee penarikan uang tunai

d) Fee kafalah

e) Semua bentuk fee diatas harus ditetapkan pada saat aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

Keenam: Ketentuan Ta’widh dan denda

a) Ta’widh

b) Denda keterlambatan (late change)

KESIMPULAN

Pengertian Produk Jasa produk dalam Islam adalah suatu yang dihasilkan proses produksi yang baik, bermanfaat dapat dikonsumsi, bedaya guna dan dapat menghasilkan perbaikan material, moral dan spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang islam merupakan pengertian produk dalam islam. Barang dan ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi barang dalam ekonomi islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan juga berdayaguna secara moral.

Adapun dasar hukum yang memperkuat adanya jasa pada lembaga keuangan syariah (LKS) antara lain: Al-Quran, hadits dan fatwa Dewan Syariah Nasional. Fungsi lembaga keuangan syariah diantaranya memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana sebagai sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Produk jasa lembaga keuangan syariah diantaranya: Wakalah, Kafalah, Sharf, Hawalah/hiwalah, Rahn, Prinsip syariah lain jasa layanan (Letter Of Credit Syariah dan Kartu pembayaran (card)).  

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’i. Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alfabeta, cet ke-4, 2006, h. 2

Fadillah, Rahmat. Hadits-Hadits Tentang Jasa (Free-Based Served), Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics (IIJSE) Vol. 2. No. 2 Januari 2020. 

https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/ diakses pada tanggal 8 Oktober 2020

Mensari, Rizki Dian. Islam dan Lembaga Keuangan Syariah. Padang: UIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat, 2017. Hlm 247-249 dalam ejournal.iainbengkulu.ac.id diakses pada tanggal 06 Oktober 2020

repo.iain-tulungagung.ac.id diakses pada tanggal 06 Oktober 2020

Suharso, Drs. Dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Semarang : CV.Widya Karya, h. 75

Suprayogi, Noven. Analisis Keoptimalan Fungsi Baitul Maal Pada Lembaga Keuangan Mikro Islam (Studi Kasus Pada BMT Nurul Jannah di Gresik dan BMT Muda Di Surabaya. Universitas Airlangga, 2014. Dalam e-journal.unair.ac.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020  

Wibowo,Edy dkk. Mengapa Memilih Bank Syariah?, Bogor: Ghalia Indonesia cet.I, 2005, h. 33

Usman, Abdul Halim. Management Strategi Syariah Teori, Konsep dan Aplikasi, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2015), hal. 133

Wiroso, Produk Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti, 2009). 

Zaini, Muhammad Ardy. Konsep Al-quran dan Hadits Tentang Operasional Bank Syariah. Iqtishoduna Vol.4 No. 1 April 2014.