Konsep Fikih Lembaga Keuangan Syariah

JURNAL KONSEP FIKIH LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

ABSTRAK

Fiqh lembaga keuangan syariah maksudnya pengetahuan ketentuan-ketentuan hukum tentang usahausaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci dalam ruang lingkup lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan syariah adalah lembaga yang dalam aktifitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atau dasar prinsip syariah. Kegiatan lembaga keuangan syariah dikelompokan menjadi 3 kelompok : 1. Kegiatan Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah “Funding”), 2. Kegiatan Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan istilah “Financing”), 3.Prinsip Jasa Keuangan (yang dikenal dengan istilah “Sevice”)

Kata kunci : Fiqih Muamalah, Lembaga Keuangan Syari’ah

 

ABSTRACT

Fiqh of Islamic financial institutions means knowledge of legal provisions concerning businesses to acquire and develop assets, buying and selling, accounts payable and services of pinning among community members according to their needs, which can be understood and the arguments of syara 'are detailed within the scope of financial institutions. sharia. Sharia financial institutions are institutions that, in their activities, both raising funds and distributing funds, provide and impose rewards or sharia principles. The activities of Islamic financial institutions are grouped into 3 groups: 1. Funding Activities (known as “Funding”), 2. Fund Distribution Activities (which in business is known as “Financing”), 3. Financial Services Principles (known as the term "Sevice")

Keywords: Fiqih Muamalah, Syari'ah Financial Institutions


PENDAHULUAN

Perkembangan lembaga keuangan syari’ah dewasa ini mencapai peningkatan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan banyak berdirinya lembaga-lembaga keuangan syari’ah dari mulai tingkat mikro sampai tingkat makro. Bahkan banyak lembaga-lembaga keuangan konvensional yang membuka unit baru pada lembaga keuangan yang berbassis syari’ah terutama pada lembaga perbankan, terbukti banyaknya bank konvensional yang membuka cabang syari’ah. Bank konvensional yang membuka cabang syari’ah diantaranya Bank Niaga, Bank Negara Indonesia 46, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mega, Bank Pembangunan Daerah. Bahkan sejumlah bank terkemuka di dunia, City Bank, Chase Manhattam Bank, ANZ Bank, dan Jardne Flemming telah membuka cabang syari’ah. Begitu juga di luar negeri, misalnya di Inggris bank yang membuka Islamic Window diantaranya HSBC, Llods TSB, Citygroup, British Islamic Bank of Britain. Alas an yang melatar belakangi pembukaan ini adalah terdapat unsur keadilan dalam konsep bank syari’ah, di samping telah bergesernya paradigma investor barat dalam berinvestasi bagi para investor barat ini sistem bagi hasil lebih logis dan fair dalam meraih keuntungan.

Dalam pelaksanaan atau praktek operasional lembaga keuangan syari’ah harus menggunakan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah adalah prinsip yang berdasarkan pada hukum- hukum Islam yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dalam suatu hukum Islam yaitu fiqih muamalah. Fiqih muamalah adalah seperangkat aturan tentang perbuatan dan hubungan antar manusia mengenai harta kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa. Selanjutnya fiqih muamalah juga diartikan sengketa antara mereka.3 Arti fiqih muamalah dalam arti sempit adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan anatar sesame umat manusia yang berkaitan dengan harta kekayaan yang cara memilikinya dengan melalui transaksi, pertukaran, maupun penyelesaian sengketa.4

Fiqih muamalah inilah yang kemudian bertransformasi ke dalam perundang-undangan hukum ekonomi syari’ah yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Urgensi penerapan hukum ekonomi syari’ah dalam pelaksanaan praktek dan operasional pada lembaga keuangan syari’ah sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan dalam mewujudkan lembaga keuangan syari’ah yang benar-benar berdasarkan kepada prinsip syari’ah yang sesuai dengan al-Quran dan al- Sunnah perlu adanya implementasi hukum ekonomi syari’ah di dalamnya. Agar dalam kenyataannya lembaga keuangan syari’ah tidak hanya berlabelkan syari’ah tetapi benar-benar melaksanakan transaksi dan pelayanan yang sesuai syari’ah.

 

 

PEMBAHASAN

Pengertian Fiqh Muamalah

Kata fiqh secara etimologi adalah (الفقه (yang memiliki makna pengertian atau pemahaman.Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqh diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.Secara bahasa Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang artinya bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan.2 Muamalah juga dapat diartikan sebagai segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya tanpa memandang perbedaan.

Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan dalam hukum islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan. Firman Allah dalam surat An Nahl ayat 89:

Yang artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS.An-Nahl: 89)3 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pengertian dari Fiqh Muamalah ialah pengetahuan ketentuan-ketentuan hukum tentang usahausaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.

Fiqh Lembaga Keuangan Syari’ah

Lembaga keuangan syariah adalah lembaga yang dalam aktifitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atau dasar prinsip syariah. Fiqh lembaga keuangan syariah maksudnya pengetahuan ketentuan-ketentuan hukum tentang usahausaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci dalam ruang lingkup lembaga keuangan syariah.

 

Konsep Dan Prinsip Syariah

1.      Kegiatan Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah “Funding”)

Artinya, Bank mengumpulkan dana dari masyarakat untuk disimpan dalam bank dimaksud. Dalam perbankan syariah, Prinsip/bentuk konkrit dari kegiatan Funding tersebut terdiri atas:

a.       Prinsip Wadi’ah (titipan).

yaitu penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

Jadi orang menaruh dana di dalam Bank tersebut. Bank selaku pihak yang menerima dana dimaksud dapat menyimpan dana tersebut dalam rekening yang berbentuk: Giro atau dalam bentuk tabungan biasa.

b.      Prinsip Mudharabah (bagi hasil).

Adalah: kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

Jadi nasabah yang menabungkan atau mendepositokan dananya pada Bank. Kemudian dana tersebut digunakan oleh Bank untuk membiayai suatu usaha, dan hasilnya dibagi antara Bank selaku pengelola dan nasabah selaku pemilik dana dengan nisbah tertentu. Bentuk Funding yang menggunakan prinsip mudharabah ini bisa berbentuk: Deposito atau tabungan biasa.

2.      Kegiatan Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan istilah “Financing”)

Dana yang terdapat di Bank, dapat disalurkan kembali oleh Bank kepada masyarakat,  dengan menggunakan 3 prinsip pokok, yaitu:

a.       Prinsip Jual beli, dimana bentuk akadnya bisa berupa:

a.1. Murabahah, yaitu: pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh Bank selaku shahib al mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dapat dilakukan secara tunai atau secara angsuran.

a.2. Istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual. Biasanya digunakan untuk pembiayaan manufaktur seperti: pemesanan mobil pada dealer, pemesanan pembelian rumah pada developer. dll.

a.3. Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. Biasanya jual beli yang objeknya di bidang agribisnis. Jadi seperti padi, gandum, tebu, dll.

 

b.      Prinsip Kerjasama Bagi Hasil, dimana akadnya bisa berbentuk:

b.1. Mudharabah, yaitu bentuk kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

b.2. Musyarakah adalah bentuk kerjasama dimana modal ditanggung bersama antara pelaksana dengan pemilik modal. Jadi, jika ada keuntungan maupun kerugian, maka untung rugi tersebut dibagi dua untuk bagian yang sama besarnya. Bedanya dengan mudharabah adalah: pada musyarakah Bank tidak semata-mata menjadi pemilik modal saja, melainkan juga bertindak sebagai pelaksana kegiatan/pekerjaan.

c.       Prinsip Sewa (Ijarah) adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Ijarah terbagi atas 2 bentuk, yaitu:

c.1. Sewa Menyewa murni (Ijarah murni)

c.2. Sewa menyewa dengan hak untuk membeli pada akhir masa sewa (Ijarah wal iqtiqna atau lebih dikenal dengan Ijarah Muntahiyah bi al tamlik atau dikenal juga dengan singkatan IMBT).

Bentuk IMBT ini sangat mirip dengan konsep sewa beli (leasing) pada hukum positif.

3.      Prinsip Jasa Keuangan (yang dikenal dengan istilah “Sevice”)

Dalam melaksanakan tugasnya dibidang jasa keuangan, pihak Bank mengutip biaya jasa. Bentuk jasa yang disediakan oleh pihak Bank adalah:

a.       Wakalah yang artinya pemberian kuasa dari nasabah kepada Bank untuk melakukan sesuatu, misalnya pembelian suatu barang.

b.      Kafalah Adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/ pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (peminjam)

Dalam hukum positifnya dikenal sebagai pemberian jaminan perorangan atau perusahaan (personal guarantee atau company guarantee), performance bond, bid bond, bank garansi.

c.       Hawalah adalah: pengalihan hutang dari muhil al-ashil kepada muhal’alaih  Dalam hukum positifnya dikenal sebagai pengalihan hutang (subrograsi). Dalam  prakteknya mengenai hiwalah ini akan dikembangkan menjadi bentuk pembiayaan factoring atau anjak piutang.

d.      Rahn (Gadai) adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan. Jadi, seperti pada konsep gadai yang berlaku pada hukum positif, dimana pihak pemilik barang menyerahkan barangnya kepada Bank. Bedanya adalah: pihak pemilik barang tidak membayar bunga dari pinjaman yang diterimanya, melainkan membayar biaya penitipan. Dimana biaya tersebut digunakan untuk sewa tempat penitipan dan asuransi barang yang digadaikan.

e.       Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

f.       Sharf adalah pertukaran antara emas dengan perak atau sebaliknya, atau pertukaran antara mata uang asing dengan mata uang lainnya (baik mata uang domestic maupun mata uang Negara lainnya). Konkritnya sharf ini adalah: jasa money changer atau perdagangan valas.

Nah, dari ketiga prinsip dasar inilah yang kemudian dikembangkan menjadi berbagai bentuk kontrak, yang dalam istilah ekonomi syariah dikenal sebagai Hybrid contract atau kontrak multijasa.

Produk Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan Konsep dan Prinsip Syariah

            Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usahanya. Produk perbankan syariah diantaranya, yaitu:

1.    Produk Penghimpunan Dana (Funding)

Produk bank atau perbankan syariah yang termasuk dalam produk penghimpunan dana ini yakni: tabungan, giro dan deposito. Masing-masing diuraikan di bawah ini:

a.    Tabungan

Dalam Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 disebutkan bahwa tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi'ah atau investasi dana berdasarkan mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Selain itu, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, diuraikan bahwa tabungan ada dua jenis, yaitu:

-     Tabungan yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa tabungan dengan berdasarkan perhitungan bunga.

-     Tabungan yang dibenarkan secara prinsip syariah yakni tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi'ah.

 

Tabungan Wadi’ah

Tabungan Mudharabah

· Bersifat simpanan

· Simpanan bisa diambil kapan saja atau berdasarkan kesepakatan

· Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

· Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana

· Sebagai mudharib bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan mudharabah dengan pihak lain

· Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang

· Pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening

· Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya

· Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan

 

 

 

b.    Deposito

Menurut Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, Deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS).

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito ada dua jenis, yakni:

-     Deposito yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga.

-     Deposito yang dibenarkan secara syariah yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah minimal tertentu, jangka waktu tertentu dan bagi hasilnya lebih tinggi daripada tabungan. Nasabah membuka deposito dengan jumlah minimal tertentu dengan jangka waktu yang telah disepakati, sehingga nasabah tidak dapat mencairkan dananya sebelum jatuh tempo yang telah disepakati, akan tetapi bagi hasil yang ditawarkan jauh lebih tinggi daripada tabungan biasa maupun tabungan berencana. Produk penghimpunan dana ini biasanya dipilih oleh nasabah yang memiliki kelebihan dana sehingga selain bertujuan untuk menyimpan dananya, bertujuan pula untuk salah satu sarana berinvestasi.

c.    Giro

Giro menurut Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008 adalah simpanan berdasarkan akad wadi'ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.

Sementara dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa giro adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Giro ada dua jenis:

-     Giro yang tidak dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga.

-     Giro yang dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi'ah.

Giro Wadi’ah

Giro Mudharabah

· Produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro untuk keamanan dan kemudahan pemakainya

· Bersifat titipan

· Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank

· Produk simpanan bank syariah dengan akad mudharabah yang penarikannya dapat dilakukan sesuai kesepakatan

· Penarikan sewaktu-waktu akan sulit dilakukan mengingat sifat dari akad mudharabah yang memerlukan jangka waktu untuk menentukan keuntungan

· Mendapatkan keuntungan melalui nisbah penghasilan

 

Giro adalah bentuk simpanan nasabah yang tidak diberikan bagi hasil, dan pengambilan dana menggunakan cek, biasanya digunakan oleh perusahaan atau yayasan dan atau bentuk badan hukum lainnya dalam proses keuangan mereka. Dalam giro meskipun pihak bank tidak memberikan bagi hasil, namun pihak bank berhak memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan di awal tergantung kepada kebaikan pihak bank.[1]

 

2.    Produk Penyaluran Dana (Lending)

Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (Financial Intermediary Institution) selain melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat, juga akan menyalurkan dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.  Dalam menyalurkan dananya, bank syariah menggunakan berbagai produk yang dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu:

a.    Jual Beli

-     Murabahah

§  Diartikan sebagai suatu perjanjian antara bank dengan nasabah dalam bentuk pembiayaan pembelian atau sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah.

§  Bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.

-     Salam

§  Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran terlebih dahulu secara penuh.

§  Dalam pembiayaan ini bank bertindak selaku pembeli sedangkan nasabah bertindak selaku penjual. Uang pembelian diberikan dimuka kepada nasabah.

-     Istishna

§  Didefinisikan sebagai kegiatan jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

§  Jual beli ini seperti akad salam namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.

b.    Bagi Hasil/Untung

-     Musyarakah, merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha.

-     Mudharabah, merupakan kerjasama di mana shahibul mal memberikan dana 100% kepada mudharib yang memiliki keahlian.

c.    Sewa

-     Ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang atau jasa, melalui upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.

-     Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT), adalah transaksi ijarah yang diikuti dengan proses pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.[2]

 

3.    Produk Jasa (Service)

a.    Hiwalah

Adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.

b.    Kafalah

Adalah pengalihan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

c.    Wakalah

Adalah suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan suatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan, dan orang lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya atas nama pemberi kuasa.

d.   Rahn

Adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.

e.    Sharf

Adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.[3]

Implementasi Fiqih Muamalah pada Lembaga Keuangan Syari’ah

LKS dengan prinsip syariah merupakan alternatif positif bagi sebagian masyarakat karena prinsip agama atau kepercayaan tidak bersedia memanfaatkan jasa-jasa bank atau lembaga konvensional yang memiliki prinsip sistem bunga yang dianggap merupakan pelanggaran terhadap syariah agama Islam karena tidak sesuai dengan konsep Islam yaitu perjanjian/akad yang tidak mengandung gharar(ketidak jelasan), maisir(perjudian) dan riba (bunga uang). LKS dalam melaksanakan  transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba, penimbunan (ihtikâr), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan atau permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan jual beli/bai‘al-ma’dûm (obyek tidak ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaanmasyarakat.

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati hatian. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini adalah Dewan Syariah Nasional (DSN MUI), yang untuk selanjutnya fatwa tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance), kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI), direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing- masing Bank Syariah danLKS.

Dewan Pengawas Syariah bertugas memberi nasihat dan saran kepada direksi agar kegiatan tetap berada dalam koridor syariah) Perkembangan industri keuangan syari’ah khususnya sektor perbankan di negara Indonesia tentunya membutuhkan sistem tata kelola yang menjamin tercapainya tujuan-tujuan LKS.

Sistem tata kelola lembaga keuangan syari’ah tentunya memiliki pendekatan yang berbeda dengan sistem tata kelola perbankan umumnya. Hal ini disebabkan adanya keharusan bagi lembaga keuangan syari’ah untuk memastikan terlaksananya prinsip-prinsip syari’ah pada seluruh produk, instrumen, operasi, praktek dan manajemen perbankan syari’ah. Oleh karenya, perbankan syari’ah membutuhkan sistem tata kelola yang dapat memastikan kepatuhan terhadap syari’ah. Sistem tata kelola yang dimaksud adalah sistem tata kelola syari’ah atau biasa disebut dengan istilah shariahgoveranance (SG) bagi lembaga keuangan syari’ah. SG menurut Isra memiliki kesamaan dengan konsep hisbah dalam sejarah. Dengan demikian sistem tata kelola syari’ah merupakan sistem tata kelola yang unik yang hanya ada pada lembaga keuangan syari’ah. Salah satu elemen penting dari sistem tersebut adalah keberadaan dewan syari’ah sebagai bagian struktur organisasiperusahaan.

Lembaga keuangan yang menawarkan produk dan layanan syari’ah tentu harus memiliki sistem tata kelola yang dapat memastikan prinsip syari’ah diterapkan dalam keseluruhan perusahaan. Istilah tata kelola syari’ah atau shariahgovernancedimunculkan oleh lembaga berstandar internasional seperti AAOIFI (AccountingandAuditingOrganizationfor Islamic Financial Institutions) dan IFSB (Islamic Financial Services Board) sebagai bentuk sistem tata kelola bagi lembaga keuangan syari’ah.

Tata kelola syari’ah menurut IFSB ialah “Seperangkat pengaturan kelembagaan dan organisasi dimana lembaga keuangan syari’ah dapat memastikan bahwa terdapat pandangan independen tentang kepatuhan syari’ah melalui proses penerbitan fatwa syari’ah yang relevan, penyebaran informasi fatwa dan review internal kepatuhan syari’ah. Definisi tersebut memiliki 3 (tiga) komponen utama, yaitu

1.      struktur organisasi perusahaan terdapat Dewan Pengawas Syari’ah dan fungsi yang koheren seperti Divisi Syari’ah dan Internal Audit;

2.      pendapat atau opini yang bersifat independen tentang pemenuhan. Sangat penting untuk memastikan semua aktivitas, transaksi dan operasi LKS mematuhi prinsip-prinsip syari’ah dan moral Islam.

Dewan Pengawas Syari’ah sebagai elemen penting dari shariahgovernance  menjadilembagaidealyangdapatmenjalankanfungsi  muhtasib  sebagai  institusi  internal  darisistem hisbah dalam konteks LKS modern. ruang lingkup kerangka shariahgovernance meliputi aspek exante dan ex-post kepatuhan syari’ah. Ex-ante merujuk kepada proses penerbitanfatwa dan penyebarannya. Sementara ex-post merujuk kepada proses reviewsharia internal secara periodik dan tahunan. Adapun proses ex- ante melalui tahapan pengajuan proposal produk, dokumentasi hukum, reviewsyari’ah dan penyebaran fatwa. Sementara proses ex- postterdiri dari reviewsyari’ah secara berkala dan tahunan.Dengan membagi aspek tata kelola syari’ah menjadi 4 (empat) aspek utama, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses dan fungsi dewan pengawas syari’ah. Adapun kerangka regulasi tata kelola syari’ah tersebut dapat dijabarkan.

Aspek regulasi berusaha untuk melihat bagaimana kerangka hukum pengaturan sistem tata kelola syari’ah. Apakah diatur dalam bentuk undang-undang tersendiri yang terpisah dari konvensional dan juga apakah diatur dalam bentuk peraturan dan guideline. Sistem tata kelola syari’ah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Konsep teknis dan operasionalnya selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Sistem tata kelola syari’ah diatur dalam bentuk undang- undang dan guideline yang dikeluarkan.Di Indonesia, sistem tata kelola syari’ah berdasarkan UU No. 21/2008 menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) sebagai pihak penting dalam pengawasan kepatuhan prinsip- prinsip yari’ah di internal perbankan syari’ah. DPS bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan LKS agar sesuai dengan prinsipsyari’ah.

Selanjutnya pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank  yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsipsyari’ah.

Dengan demikian, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Meskipun UU Perbankan Syari’ah tidak memberikan penjelasan yang rinci namun dijelaskan lewat PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG serta bagaimana peran masing-masing dari Dewan Komisaris, Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syari’ah. Dalam PBI ini juga dijelaskan tentang format selfassessment pelaksanaan GCG pada banksyari’ah.

Pada bagian pengawasan syari’ah dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung jawab, mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan kewajibannya Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut sebagai model kerangka SG yang menyeluruh bagi LKS. Format guidelines GCG ini cenderung hasil penyesuaian dengan guidelines GCG bagi bank dan lembaga keuangan konvensional yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasi perusahaan.

Berdasarkan kerangka regulasi, struktur tata kelola syari’ah bagi perbankan syari’ahdi Indonesia manganut 2 (dua) level pengawasan, yaitu pengawasan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) pada level nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) pada level internal perusahaan. Kedua jenis lembaga pengawas syari’ah ini disebut dalam UU No. 21/2008 dan PBI No. 6/24/PBI/2004. DSN adalah lembaga bentukan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang bertugas untuk mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariat) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari’ah. Status keorganisasian DSN adalah organisasi non-pemerintah tetapi fatwa yang dikeluarkannya bersifat mengikat bagi industri keuangan syari’ah sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah. Pada level perusahaan terdapatDPSyang                       melakukanpengawasanpelaksanaan fatwa DSN tentang prinsip syari’ah. Proses pengangkatananggota.

DPS merupakan hasil kerjasama antara Bank Indonesia (BI)/Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan DSN. Dengan demikian, DPS berperan dalam menjembatani hubungan antara BI sebagai organisasi pemerintah dan DSN sebagai organisasi nonpemerintah.Dengan demikian, Indonesia menganut sistem sentralisasi dan standarisasi fatwa keuangan syari’ah yang level pengawasannya pada industri dilakukan oleh DPS.

Hubungan antara DPS dan direksi dalam struktur organisasi perusahaan adalah hubungan koordinasi, yaitu DPS dapat memberikan nasehat dan saran kepada direksi terkait pelaksanaan prinsip syari’ah.Tugas dari Dewan Pengawas Syari’ah menurut UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Operasionalisasi dari tugas DPS tersebut selanjutnya yaitu:

             i.            memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;

           ii.            menilai aspek syari’ah terhadap pedoman operasional,  dan produk yang dikeluarkanbank;

         iii.            memberikan opini dari aspek syari’ah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank;

         iv.            mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepadaDSN;  dan

           v.            menyampaikan laporan hasil pengawasan syari’ah sekurang kurangnya setiap enam (6) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syari’ah Nasional dan Bank Indonesia, OJK.

Kesemua struktur, tanggung jawab dan fungsi ini  ditujukan kepada pemenuhan prinsip syariah oleh LKS dan merupakan suatu yang urgent. Sesuatu LKS yang beroperasional dengan hilah atau trik menyimpan atau mengaburkan transaksi ribawi dapat dihindarkan karena hilah adalah bentuk fraud atau kecurangan. Fraud ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terutama umat Islam yang berjumlah mayoritas dan ingin bertransaksi dengan cara yang sesuai syariah dengan menghindari riba, maysir dan ghoror.

 

KESIMPULAN

1.      Fiqh lembaga keuangan syariah maksudnya pengetahuan ketentuan-ketentuan hukum tentang usahausaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci dalam ruang lingkup lembaga keuangan syariah.

2.      Kegiatan lembaga keuangan syariah dikelompokan menjadi 3 kelompok : 1. Kegiatan Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah “Funding”), 2. Kegiatan Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan istilah “Financing”), 3.      Prinsip Jasa Keuangan (yang dikenal dengan istilah “Sevice”)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munawwir, Kamus Arab –Indonesia Terlengkap, (Surabaya:Pustaka Progresif,

1997)

Badruzzaman. Dudi, 2019, Jurnal “Implementasi Hukum Ekonomi Syari’ah Pada Lembaga Keuangan Syari`ah” Bandung : STAI Sabili Bandung (http://jurnal.unma.ac.id/index.php/Mr/index diakses pada 9 Oktober 2020)

Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, e-book Perbankan Syari’ah, (Jakarta: pkes Publishing, 2008)

Phuji Maisaroh. Produk Perbankan Syariah. (Slideshare.net/mobile/phujimaisaroh/produk-perbankan-syariah diakses pada 9 Oktober 2020)

Rachmad Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)