ANALISIS IMPLEMENTASI FIKIH PENYALURAN DANA PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

 Analisis Mini Riset Implementasi Penyaluran Dana Pada LKS

1) Analisis Implementasi Pembiayaan dengan Akad Salam & Murabahah (prinsip jual beli) di Lembaga Keuangan Syariah

Perbankan syariah secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai pahlawan bagi petani Indonesia dalam memecahkan permasalahan-permasalahanya tersebut. Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan. Secara konseptual, prospek perbankan syariah untuk mendukung kebangkitan sektor pertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang, yaitu dari potensi jumlah dana dan aset yang dimiliki perbankan serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia. Salah satu akad dalam bank syariah yang mampu menjawab masalah yang dialami petani Indonesia adalah Bai’ As-Salam. 

Secara umum Bai’ As-Salam adalah jenis transaksi jual beli yang pembayarannya dilakukan pada saat akad, namun penyerahan barang terjadi dikemudian hari dengan waktu yang telah ditentutan. Transaksi ini memberikan keuntungan baik pada pembeli ataupun penjual. Keuntungan tersebut adalah si pembeli mendapatkan harga yang lebih murah dan si penjual mendapatkan modal untuk membeli barang yang dipesan (Ahmad Roziq, dkk. 2014).

Akad salam tidak hanya dapat digunakan terbatas untuk komoditas pertanian saja, namun juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalkan pada produk garmer (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmer, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal ini berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmer tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmer tersebut. Bila garmer itu telah selesai diproduksi, maka produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara tunai maupun angsuran. Agar akad salam ini dapat diimplementasikan dengan baik di perbankan syariah, tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara bank syariah dengan para petani. Ketakutan bank syariah akan munculnya risiko gagal panen oleh petani akibat kelalaiannya dapat dimitigasi dengan menggunakan skema berikut (Widiana dan Arna. 2017): 

LKS  Seleksi petani  pembekalan petani akad salam  menerima hasil panen  menjual hasil panen.

Dalam skema tersebut, LKS atau dalam ini bank syariah dapat melakukan penyeleksian kepada petani yang dirasa mampu dan terpercaya untuk memasok komoditas berkualitas sesuai pesanan nasabah/pedagang. Selain itu, tidak hanya sekedar menjual dan membeli komoditas para petani, namun bank syariah juga berhak memberikan pembekalan bagi petani agar mampu meminimalisir terjadinya gagal panen serta cara menjaga kuantitas dan kualitas hasil panennya.

Implementasi pembiayaan dengan akad jual beli pada LKS salah satunya ada di Bank BRI Syariah yang dikenal dengan nama produk KPR BRISyariah iB. Produk KPR BRISyariah iB adalah salah satu produk financing atau pembiayaan Kepemilikan Rumah kepada perorangan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan menggunakan prinsip jual beli murabahah. Dimana pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di muka dan di bayar setiap bulan. 


2) Analisis Implementasi Pembiayaan dengan Akad Ijarah (prinsip sewa) di Lembaga Keuangan Syariah

Dalam pengertian ekonomi syariah, ijarah adalah berarti urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, yang dapat diserah terimakan, dan boleh diganti dengan upah yang telah disepakati. Transaksi ijarah itu sendiri pada dasarnya dilandasi dengan prinsip perpindahan manfaat. Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyewakan). Sementara itu pihak lain yang mendapatkan manfaat sewa disebut Musta’jir (orang yang menyewa = penyewa). Karena itu prinsip ijarah boleh dibilang sama dengan prinsip jual beli. Hanya saja perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Karena pada transaksi jual beli obyek transaksinya adalah barang, sementara pada transaksi ijarah obyek transaksinya sendiri adalah jasa.

Dalam praktik lanjutannya pada transaksi perbankan syariah, pada akhir masa sewa, maka bank syariah dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Itulah yang selama ini dikenal sebagai ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Sedangkan untuk harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. 

Implementasi Akad ljarah dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah ljarah sebagai produk pembiayaan perbankan syariah termuat dalam UU No. 21 Tahun 2008 dan peraturan lainnya. la disebut tujuh kali oleh UU dan terdapat di Pasal 1 ayat (25) huruf b dan e, Pasal 19 ayat (1) huruf f dan i, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan i, dan Pasal 21 huruf b angka 4. Makna ijarah dalam peraturan perbankan syariah mengacu kepada, dan bersumber dari, fatwa DSN MUI dan hukum Islam. Makna ini, meskipun dideskripsikan dengan redaksi yang berbeda, tetapi secara substansial memiliki kesamaan dan sejalan dengan makna yang terdapat dalam sumber pengambilannya. Penjelasan UU No.21 mengartikan ijarah dengan, "Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti kepemilikan barang itu sendiri." Makna ini berkoherensi bahkan sejalan dengan makna yang ditetapkan oleh beberapa PBI sehingga antara PBI dengan PBI dan dengan UU terjadi harmonisasi muatan substansi ayat. Ada lima PBI yang menjelaskan makna ijarah: (1) PBI No. 5/7/PBI/2003 Pasal 1 ayat (12); (2) PBI. No. 5/ 9/PBI/2003 Pasal 1 ayat (12); (3) PBI. No. 6/18/PBI/2004 ayat (12); (4) PBI. No. 6/19/PBI/2004 ayat (12); dan (5) PBI. No. 7/46/PBI/ 2005. Harmonisasi antara ayat tidak hanya sebatas substansi, bahkan sampai kesamaan definisi secara redaksional. Hal ini bisa terlihat antara PBI No. 5/7/PBI/2003 dan PBI. No. 5/9/PBI/2003; serta PBI No. 6/18/PBI/ 2004 ayat (12) dan PBI. No. 6/19/PBI/2004 ayat (12). Dua PBI yang disebut pertama dan kedua mengartikan ijarah sebagai, "Perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran 009 Adapun dua PBI yang disebut pada urutan ketiga dan keempat mengartikan ijarah ialah, "Perjanjian sewa menyewa suatu barang (aktiva ijarah atau uang muka ijarah) antara BPRS sebagai pihak yang meyewakan dengan nasabah sebagai pihak penyewa dalam jangka waktu tertentu". 

Adapun implementasi pembiayaan dengan akad ijarah di Lembaga Keuangan Syariah salah satunya adalah produk pembiayaan di Bank BNI Syariah yaitu :

a) Pembiayaan Griya Musyarakah Mutanaqisah (Griya MMQ) IB Hasanah. Pembiayaan konsumtif yang diberikan kepada anggota masyarakat untuk membeli properti atau rumah tinggal dengan menggunakan konsep kongsi kepemilikan rumah antara Nasabah dan Bank yang secara bersama-sama menyerahkan modalnya untuk membeli properti tersebut dengan menggunakan Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya nasabah sepakat untuk menyewa manfaat atas properti tersebut dengan menggunakan Akad Ijarah.

b) Pembiayaan Griya IB Hasanah. Dengan perpaduan prinsip murabahah (jual beli) dan ijarah (sewa) merupakan fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada individu untuk membeli, membangun, merenovasi rumah (termasuk ruko, rusun, rukan, apartemen dan sejenisnya), dan membeli tanah kavling serta rumah indent, dengan sistem angsuran tetap hingga akhir masa pembiayaan sehingga memudahkan nasabah mengelola keuangannya, sedangkan nasabah menggunakan objek dengan system sewa. 


3) Analisis Implementasi Pembiayaan dengan Akad Mudharabah (prinsip bagi hasil) di Lembaga Keuangan Syariah

Adapun implementasi pembiayaan dengan akad mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah salah satunya adalah produk pembiayaan di Bank Syariah Mandiri yaitu pembiayaan Mudharabah. Pembiayaaan Mudharabah merupakan salah satu pembiayaan yang dilakukan oleh PT Bank Syariah Mandiri. Pembiayaan mudharabah di Bank Syariah Mandiri (BSM) adalah pembiayaan dimana seluruh modal kerja yang dibutuhkan nasabah ditanggung oleh Bank sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan nisbah (bagi hasil) yang disepakati. Pihak nasabah mengajukan permohonan pembiayaan kepada pihak bank untuk mendanai suatu proyek atau usaha dengan kesepakatan bagi hasil antara kedua belah pihak, apabila proyek usaha tersebut dibagi antara pihak nasabah dengan pihak bank sedangkan apabila terjadi kerugian dari proyek usaha tersebut maka pihak nasabah hanya diwajibkan mengembalikan pembiayaan awal. Adapun salah satu implementasi perhitungan sistem bagi hasil atas pembiayaan mudharabah yang dilaksanakan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Manado merupakan sistem yang meliputi pembagian hasil usaha antara bank syariah dengan nasabah/mudharib sebagai pengelola dana, pembagian hasil usaha ini dapat di lihat dari dua faktor, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor secara langsung berupa : 1) Investment rate, 2) Jumlah dana pembiayaan yang tersedia, 3) ditentukannya nisbah sebagaimana yang telah disetujui dalam akad atau perjanjian, 4) nisbah bagi hasil pembiayaan mudharabah dapat berbeda-beda dari waktu ke waktu dalam satu pembiayaan, dan 5) Nisbah bagi hasil juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya. Sedangkan faktor tidak langsung berupa : penentuan angka-angka pendapatan dan biaya pembiayaan mudharabah, serta kebijakan Akuntansi.

Pada umumnya bank syariah melaksanakan sistem bagi hasil dengan cara membagi keuntungan dari hasil pendapatan dan hasil laba/keuntungan, tetapi sistem bagi hasil yang dilaksanakan di Bank Syariah Mandiri Cabang Manado ini adalah sistem bagi hasil dari hasil keuntungan bukan pendapatan dari keseluruhan bisnis nasabah/mudharib setelah itu baru di bagi sesuai porsi yang telah disepakati dalam akad kedua belah pihak. Penetapan nisbah bagi hasil keuntungan ditentukan berdasarkan pada perkiraan keuntungan yang diperoleh nasabah/mudharib dibagi dengan referensi tingkat keuntungan yang telah ditetapkan. Maka tingkat keuntungan bisnis/proyek yang dibiayai dihitung dengan mempertimbangkan sebagai berikut 1)Perkiraan penjualan yang meliputi dari volume penjualan setiap transaksi setiap bulan, fluktuasi hasil penjualan, rentang harga penjualan yang dapat dinegosiasikan dan marjin keuntungan setiap transaksi, 2) lama cash to cash cycle yang meliputi dari lama proses barang, lama persediaan dan lamanya piutang. 3) Perkiraan biaya-biaya langsung yaitu biaya langsung yang berkaitan dengan kegiatan penjualan seperti biaya pengangkutan, biaya pengemasan dan lain-lain, 4) perkiraan biaya-biaya tidak langsung yaitu biaya yang tidak langsung berkaitan dengan kegiatan penjualan, seperti biaya sewa kantor, gaji karyawan.  

Bagi Bank Syariah Mandiri yang menerapkan konsep bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah, dengan melihat kepada tujuan dari pembiayaan yang diminta oleh nasabah/mudharib, artinya penerapan bagi hasil atau keuntungan yang akan diperoleh sangat bervariasi tergantung kepada kesepakatan antara nasabah/mudharib dengan Bank Syariah Mandiri tersebut. Penentuan nisbah bagi hasil berdasarkan pendapatan ditentukan dengan perkiraan pendapatan yang diperoleh nasabah dibagi dengan referensi tingkat keuntungan yang telah ditetapkan. Perkiraan tingkat pendapatan bisnis yang dibiayai dihitung dengan mempertimbangkan perkiraan penjualan, lama cash to cash cycle dan perkiraan biaya-biaya langsung. Nisbah bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah merupakan faktor penting bagi Bank maupun nasabah/mudharib, oleh karena itu, perlu diketahui pokok-pokok perhitungan mudharabah, yaitu 1) Jika diperhitungkan adalah hasil netto, ditentukan nisbah bagi hasil masing-masing, kemudian baru direncanakan tentang pembayaran kembali modal mudharabah, 2) Jika yang diperhitungkan hasil, maka untuk mengetahui hasil yang diterima oleh Bank maupun nasabah, maka digunakan rumus sebagai berikut : 

S = P + A

Dimana :  S = setoran  nasabah ke Bank Syariah

P = keuntungan yang diperhitungkan

A = Angsuran atau cicilan pokok modal Mudharabah

Untuk menghitung hasil akhir dari permintaan, bahwa jika yang diperhitungkan adalah hasil dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan sistem rata-rata dan sistem efektif.

4) Analisis Implementasi Pembiayaan dengan Akad Pelengkap di Lembaga Keuangan Syariah

Berdasarkan pengertian akad pelengkap sendiri dapat diketahui bahwa akad-akad yang termasuk disini adalah akad pendukung dari akad utama yang ditujukan bukan untuk memperoleh keuntungan namun untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. 

Adapun implementasi pembiayaan dengan akad pelengkap di Lembaga Keuangan Syariah salah satunya adalah produk pembiayaan di Bank BRI Syariah yaitu Mikro BRI Syariah.  Terdapat beberapa jenis pembiayaan mikro BRI Syariah salah satu yang penulis bahas yaitu Mikro 75 iB. Skema pembiayaan mikro BRI Syariah menggunakan akad murabahah (jual beli) dengan tujuan pembiayaan untuk modal kerja, investasi dan konsumsi (setinggi-tingginya 50% dari tujuan produktif nasabah). Adapun yang penulis bahas disini adalah pembiayaan Mikro 75 iB untuk kebutuhan investasi.

Analisis :

Pembiayaan mikro merupakan suatu kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat yang diperuntukkan bagi usaha mikro dengan tujuan membantu para pengusaha kecil agar dapat mengembangkan usahanya yang terhambat oleh keterbatasan modal. Produk Mikro BRI Syariah menggunakan akad murabahah (jual beli) yang salah satu tujuannya untuk investasi. Pembiayaan mikro untuk kebutuhan investasi digunakan untuk keperluan penambahan modal untuk mengadakan perluasan usah, rehabilitasi, atau pendirian usaha, dan untuk memenuhi kebutuhan asset perusahaan, misalnya pembelian mesin dan pembelian aktiva tetap berupa tempat usaha baru.  Pembiayaan Mikro 75 Ib diperuntukkan bagi wira usaha dengan lama usahanya minimal 2 (dua) tahun. Pembiayaan Mikro BRI Syariah diberikan kepada calon nasabah dengan rentang umur 18 atau 21 sampai 65 tahun pada saat akhir jangka waktu pembiayaan.

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 111/DSN-MUI/IX/2017 jual beli murabahah (ba’i al-murabahah) adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba. Dengan demikian, pada bank BRI Syariah, bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli atau pemesan. Berdasarkan ketentuan umum murabahah dalam bank syariah, Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pembeli/pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungan. Sehingga bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah serta biaya yang diperlukan.

Pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah mempunyai limit pembiayaan yakni mulai dari Rp. 25 juta s.d Rp. 75 juta dengan tenor pembiayaannya 6-36 bulan (untuk modal kerja) dan 6-60 bulan (untuk investasi). Selain itu, pembiayaan ini juga harus memiliki jaminan/agunan (rahn) disertai dokumen agunannya. Adapun jaminan dalam Pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah dapat berupa : kendaraan bermotor, kios, los tanah kosong, tanah dan bangunan deposito BRI Syariah. Jaminan tersebut harus disertai dengan dokumen asli berdasarkan barang yang diagunkan seperti : Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), SHMSRS, AJB/Letter C/Girik, Petok D, BPKB, SHPTU/SIPTU, dan Gadai Deposito. 

Pada pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah, nasabah perlu melengkapi dokumen identitas, seperti : foto copy e-KTP calon nasabah dan pasangannya yang masih berlaku, foto copy KK dan akta nikah, foto copy akta cerai/surat kematian (untuk janda/duda), surat ijin usaha/ surat keterangan usaha (SKU asli), dan NPWP wajib ada limit pembiayaan > 50 juta.

Kemudian, ada aplikasi pengajuan pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah yaitu : formulir aplikasi pengajuan pembiayaan wajib dilengkapi dan ditandatangani oleh nasabah, catatan keunagn yang dibuat oleh nasabah atau nota-nota penjualan, surat asli SPPT PBB bukti lunas PBB tahun terakhir (ini wajib untuk jaminan tanah & bangunan), surat fc agunan dan IMB jika ada, dan bukti riwayat pembiyaan di bank. 

Adapun prosedur atau mekanisme pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah untuk kebutuhan investasi yaitu sebagai berikut  :

1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan Mikro 75 iB dan memenuhi persyaratan yang ditentukan BRI Syariah.

2. Setelah adanya kesepakatan, maka pihak bank memberi kuasa melalui akad wakalah (pemberian kuasa sebagai wakil) kepada nasabah untuk membeli barang kebutuhan investasi kepada penjual.

3. Nasabah sebagai kuasa dari pihak bank melakukan pembelian barang kepada supplier.

4. Penjual melakukan serah terima kepada BRI Syariah setelah terjadi transaksi jual beli.

5. Nasabah memberikan kwitansi jual beli kepada pihak bank.

6. Nasabah membayar cicilan kepada BRI Syariah dalam waktu yang telah ditetapkan saat akad.

Akad wakalah dalam pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah merupakan akad pelengkap yang mendukung akad utama yaitu akad murabahah. Akad wakalah tersebut untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan Mikro 75 iB BRI Syariah. Akad wakalah selama pembiayaan murabahah diperbolehkan berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah tercantum bahwa jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

PENUTUP

Kesimpulan

Penyaluran dana disebut sebagai pembiayaan (financing) pada bank syariah. Bank syariah sebagai lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai islam. Pembiayaan adalah suatu fasilitasi yang diberikan bank syariah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat yang surplus dana.

Dalam penyaluran dana, produk pembiayaan syariah dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu Pembiayaan dengan prinsip jual-beli, pembiayaan dengan prinsip sewa, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dan pembiayaan dengan akad pelengkap. 

Pembiayaan dengan Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Pembiayaan dengan Prinsip jual-beli ini termasuk pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna’. Pembiayaan dengan Prinsip sewa dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pembiayaan ini termasuk Ijarah dan IMBT atau Ijarah Muntahiya Bit Tamlik.

Pembiayaan dengan Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan mendapatkan barang dan jasa sekaligus, yang tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok bagi hasil dan digunakan dalam transaksi syariah yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan atau sebagai pelengkap atau pendukung akad pokok. Yang termasuk dalam akad pelengkap pembiayaan yaitu Hiwalah, Rahn dan Qardh.