Fikih Denda pada Lembaga Keuangan Syariah
Abstract
Fines are one
type of ta'zir punishment. Penalties in the form of having to pay in the form
of money: by the judge, imprisonment is sentenced to a month or ten million
rupiah. Ta'zir punishment can be divided into four parts, namely first; ta'zir
punishment related to the body, second; ta'zir punishment relating to independence, third; ta'zir punishment
relating to property, and fourth.
Keywords : Fines, penalties, judge
Abstrak
Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Hukuman yang
berupa keharusan membayar dalam bentuk uang: oleh hakim dijatuhkan hukuman
kurungan sebulan atau sepuluh juta rupiah. Hukuman
ta’zir dapat dibagi kepada empat bahagian, yaitu pertama; hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan badan, kedua; hukuman ta’zir yang berkaitan dengan
kemerdekaan, ketiga; hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, dan keempat.
Kata Kunci :
Denda, hukuman, hakim
A. Pengertian Ta’zir
Istilah Arab
yang digunakan untuk denda adalah غرمة. Secara bahasa
غرمة berarti denda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia denda mempunyai arti:
a. Hukuman yang berupa keharusan membayar
dalam bentukuang: oleh hakim dijatuhkan hukuman kurungan sebulan atau...sepuluh
jutarupiah;
b. Uang yang harus dibayarkan sebagai hukuman
(karena melanggar aturan,
undang-undang, dan sebagainya); lebih baik membayar.... dapat dipenjarakan.
Denda
merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir menurut bahasa adalah تأدیب
, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan ع و الرد , yang
artinya menolak dan mencegah. Ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur,
menghukum, mencela dan memukul.[1]
Istilah Arab yang digunakan
untuk denda adalah gharamah. Secara bahasa
gharamah berarti denda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia denda mempunyai arti;
a.
Hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang: oleh
hakim dijatuhkan hukuman kurungan sebulan atau...sepuluh juta rupiah.
b.
Uang yang harus dibayarkan sebagai hukuman (karena melanggar
aturan, undang-undang, dan sebagainya): lebih baik membayar......dapat
dipenjarakan.
Denda merupakan salah satu
jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi
pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu
Wal Man’u, yang artinya menolak dan mencegah.
At-ta’zir adalah larangan,
pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak
ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala
bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu
menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi.
Sedangkan
pengertian ta’zir menurut istilah, sebagai mana dikemukakan oleh Al-Mawardi
yaitu:
“Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (maksiat) yang belum
belum ditentukan hukumannya oleh syara’”.
Sedangkan Unais dan
kawan-kawan memberikan definisi ta’zir menurut syara’ sebagai berikut:
“Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak
mencapai hukuman had syar’i”.
Dari
definisi-definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’. Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir
terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan
tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari jarimah ta’zir adalah perbuatan
maksiat. Adapun yang dimaksud maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para fuqaha memberikan
contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak membayar zakat, meninggalkan
shalat fardhu, enggan membayar hutang padahal ia mampu, mengkhianati amanat,
seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil waqaf dan
lain sebagainya.[2]
Artinya: “Ta’zir adalah hukuman
yang diwajibkan karena adanya kesalahan, dimana pemberi syari’at tidak
menentukan hukumannya secara tertentu”.
Ta’zir menurut terminologi
fiqh Islam adalah tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak
ada sangsi hadd dan kiffaratnya. Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman
yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim atas pelaku tindak pidana
atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at
atau kepastian hukumannya belum ada.
Dasar hukum ta’zir yang
dijadikan rujukan dalam buku al-Ahkam Sultoniyah karya Mawardi adalah Hadith
Rasulullah SAW yaitu:
Artinya: “Di isyaratkan ta’zir itu
kepada yang mempunyai wibawa serta hukuman ringan atas kesalahan itu”.
Dalam hal ini seseorang yang
terbiasa dalam melakukan suatu perbuatan dosa dengan seseorang yang wibawa atau
melakukan perbuatan dosa karena suatu keteledoran maka terdapat pula perbedaan
hukuman yang dikenakan terhadap pelaku tersebut.
Fathi al-Duraini, guru besar
fiqh di Universitas Damascus, Suriah, mengemukakan definisi ta’zir. Hukuman yang
diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai dengan
kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang
ditetapkan pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang
wajib atas perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk dalam
kategori hudud dan kafarat, baik yang berhubungan dengan hak Allah SWT berupa
gangguan terhadap masyarakat umum, keamanan mereka, serta perundang-undangan
yang berlaku, maupun yang terkait dengan hak pribadi.[3]
B. Pembagian Denda
Pembagian Ta’zir Ulama fiqh membagi ta’zir
kepada dua bentuk, yaitu:
a.
Al-ta’zir ‘ala al-ma’asi (ta’zir
terhadap perbuatan maksiat)
Menurut ahli fiqh, yang
dimaksud dengan maksiat adalah melakukan suatu perbuatan yang diharamkan syara’
dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan syara’. Perbuatan ini tidak saja
yang menyangkut hak-hak Allah SWT, tetapi juga yang menyangkut hak-hak pribadi.
b.
Al-ta’zir li al-masalah ah al-‘ammah (ta’zir untuk kemaslahatan umum)
Menurut kesepakatan ahli fiqh, pada prinsip jarimah ta’zir
tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat maksiat. Akan tetapi,
syari’at Islam juga membolehkan para penguasa (hakim) menetapkan bentuk jarimah
ta’zir lain apabila kemaslahatan umum menghendaki penetapan tersebut. Namun
demikian, jarimah ta’zir yang ditetapkan penguasa itu, menurut ulama fiqh,
perbuatan itu sendiri bukan diharamkan, tetapi keharamannya terletak pada sifat
perbuatan itu. Sifat yang membuat keharaman itu adalah terkait dengan gangguan
terhadap kepentingan, kemaslahatan, dan keamanan masyarakat dan negara. Menurut
ulama fiqh, terhadap seluruh perbuatan itu, pihak penguasa boleh menetapkan
hukumannya, dan hukuman yang ditetapkan itu termasuk kategori ta’zir.[4]
C.
Jenis-Jenis
Hukum Denda atau Ta’Zir
Hukuman ta’zir dapat dibagi kepada empat
bahagian, yaitu pertama; hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan, kedua;
hukumanta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan, ketiga; hukuman ta’ziryang
berkaitan dengan harta, dan keempat; hukuman-hukuman Ta’zir yang lain-lain[5].
a. Hukuman
Ta’zir yang berkaitan dengan badan terbagi kepada dua, yaitu: pertama; hukuman
mati, dankedua; hukuman dera.
b. Hukuman
Ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan dibagi kepada dua, yaitu: pertama;
hukuman penjara, dan kedua; hukuman pengasingan.
c. Hukuman
Ta’zir yang berkaitan dengan harta, yaitu status harta yang dimiliki oleh
pelaku, yaitu hartanya ditahan.
d. Hukuman-hukuman
Ta’zir yang lain. yang dimaksud dengan hukuman-hukuman ta’zir yang lain adalah
selain hukuman ta’zir yang disebutkan di atas, yaitu:
1) Peringatan
keras
2) Dihadirkan
di hadapan siding
3) Diberi
nasehat
4) Celaan
5) Pengucilan
6) Pemecatan
7) Pengumuman
kesalahan secara terbuka
D.
Hukuman
Denda
Mengenai pemberlakuan denda, terdapat perbedaan
pendapat ulama fiqh. Sebagian berpendapat bahwa hukuman denda tidak boleh
digunakan, dan sebagian lagi berpendapat boleh digunakan. Ulama Mazhab Hambali,
termasuk Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah, mayoritas ulama Mazhab
Maliki, ulama Mazhab Hanafi, dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa seorang hakim boleh menetapkan hukuman denda terhadap suatu
tindak pidana ta’zir.
Alasan yang mereka kemukakan adalah sebuah
riwayat dari Bahz bin Hukaim yang berbicara tentang zakat unta. Dalam hadits
itu Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
membayar zakat untanya dengan patuh, akan menerima imbalan pahalanya, dan siapa
yang enggan membayarnya, saya akan mengambilnya, serta mengambil sebagian dari
hartanya sebagai denda dan sebagai hukuman dari tuhan kami....”. (HR.
al-Nasā’ī)
Seorang hakim boleh menetapkan hukuman
denda terhadap suatu tindak pidana ta’zir, apabila menurut pertimbangannya
hukuman denda itulah yang tepat diterapkan pada pelaku pidana. Menurut mereka,
dalam jarimah ta’zir seorang hakim harus senantiasa berupaya agar hukuman yang
ia terapkan benar-benar dapat menghentikan (paling tidak mengurangi) seseorang
melakukan tindak pidana yang sama. Oleh sebab itu, dalam menentukan suatu
hukuman, seorang hakim harus benar-benar mengetahui pribadi terpidana, serta
seluruh lingkungan yang mengitarinya, sehingga dengan tepat ia dapat menetapkan
hukumannya. Jika seorang hakim menganggap bahwa hukuman denda itu lebih tepat
dan dapat mencapai tujuan hukuman yang dikehendaki syara’, maka boleh
dilaksanakan.[6]
Imam al-Syafi’i Qawl al-Jadīd, Imam Abū
Hanifah dan sahabatnya, Muhammad bin Hasan al-Syaybānī, serta sebagian ulama
dari Mazhab Maliki berpendapat bahwa hukuman denda tidak boleh dikenakan dalam
tindak pidana ta’zir. Alasan mereka adalah bahwa hukuman denda yang berlaku
diawal Islam telah di nasakhkan (dibatalkan) oleh hadis Rasullah SAW.
Di samping itu mereka juga beralasan pada
keumuman ayat-ayat Allah SWT yang melarang bersikap sewenang-wenang terhadap
harta orang lain, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 188: “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim...”.
E. Syarat
Penggunaan Hukuman Denda
Denda
keterlambatan ini dimaksudkan sebagai sanksi atau hukuman, supaya tidak
mengulangi perbuatan maksiat kembali.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, sanksi dapat diberikan kepada orang yang
inkar janji, dan ketentuan seseorang disebut ingkar janji dijelaskan dalam Pasal
36, yang menyebutkan bahwa:
“Pihak
dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya:
a. Tidak
melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya.
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan
apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat.
b) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan”.
Sedangkan mengenai jenis
sanksinya disebutkan dalam Pasal 38, yaitu: “Pihak dalam akad yang melakukan
ingkar janji dapat dijatuhi sanksi:
a. Membayar
ganti rugi
b. Pembatalan
akad
c. Peralihan
resiko
d. Denda,
dan/atau
e. Membayar
biaya perkara”.
Sedangkan
mengenai penggunaan hukuman denda, sebagian fuqaha dari kelompok yang
membolehkan penggunaannya, mereka mensyaratkan hukuman denda harus bersifat
ancaman, yaitu dengan cara menarik uang terpidana dan menahan darinya sampai
keadaan pelaku menjadi baik. Jika sudah menjadi baik, hartanya dikembalikan
kepadanya, namun jika tidak menjadi baik, hartanya diinfakkan untuk jalan
kebaikan. Seorang hakim boleh menetapkan hukuman denda terhadap suatu tindak
pidana ta’zir, apabila menurut pertimbangannya hukuman denda itulah yang tepat
diterapkan pada pelaku pidana. Menurut mereka, dalam jarimah ta’zir seorang
hakim harus senantiasa berupaya agar hukuman yang ia terapkan benar-benar dapat
menghentikan (paling tidak mengurangi) seseorang melakukan tindak pidana yang
sama. Oleh sebab itu, dalam menentukan suatu hukuman, seorang hakim harus
benar-benar mengetahui pribadi terpidana, serta seluruh lingkungan yang
mengitarinya, sehingga dengan tepat ia dapat menetapkan hukumannya. Jika
seorang hakim menganggap bahwa hukuman denda itu lebih tepat dan dapat mencapai
tujuan hukuman yang dikehendaki syara’, maka boleh dilaksanakan.
F. Hal-
hal yang Bisa dijatuhi Denda
Suatu
hal yang disepakati oleh fuqaha bahwa hukum Islam menghukum sebagian tindak
pidana ta’zir dengan denda.[8]
Contohnya adalah sebagai berikut:
a. Pencuri
buah yang masih tergantung di pohonnya dijatuhi hukuman denda dua kali lipat
dari harga buah yang dicuri.
b. Hukuman
bagi orang yang menyembunyikan barang yang hilang adalah denda dua kali lipat
dari nilainya.
c.
Hukuman bagi orang yang enggan
menunaikan zakat adalah dengan mengambil secara paksa setengah kekayaannya.
Fuqaha pendukung hukuman denda menetapkan bahwa hukuman denda hanya dapat
dijatuhkan pada tindak pidana-tindak pidana ringan.
Kesimpulan
Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Istilah Arab yang digunakan untuk denda adalah gharamah. Secara bahasa gharamah berarti
denda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia denda mempunyai arti; Denda adalah Hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang: oleh
hakim dijatuhkan hukuman kurungan sebulan atau sepuluh juta rupiah.
Mengenai
pemberlakuan denda, terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Sebagian berpendapat
bahwa hukuman denda tidak boleh digunakan, dan sebagian lagi berpendapat boleh
digunakan. Ulama Mazhab Hambali, termasuk Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim
al-Jauziah, mayoritas ulama Mazhab Maliki, ulama Mazhab Hanafi, dan sebagian
ulama dari kalangan
[1] https://core.ac.uk/download/pdf/229025455.pdf (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
[2] http://eprints.walisongo.ac.id/3084/3/2105190_Bab2.pdf (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
[3] http://digilib.uinsby.ac.id/3641/4/Bab%202.pdf (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
[4] http://digilib.uinsby.ac.id/3641/4/Bab%202.pdf (Diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
[5] Ahmad Syarbaini. “Teori
Ta’Zir Dalam Hukum Pidana Islam”. Jurnal Ius Civile Vol 2, No 2. 2018. Hal 8.
[6] Fathul Aminudin Aziz. “Hukum Denda Dalam Keuangan Publik Islam Di Indonesia”. Jurnal
Al-Manahij. Vol. XII No. 2, Desember 2018. Hal 323
[7] http://eprints.walisongo.ac.id/3084/3/2105190_Bab2.pdf
(Diakses pada tanggal 04 Oktober 2020)
[8]
Ibid.