Fikih Musyarakah Mutanaqishah (Diminishing Partnership) pada Lembaga Keuangan Syariah

 ABSTRAK

Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua  pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain. Dalam syirkah mutanaqishah harus jelas besaran angsuran dan besaran sewa yang harus dibayar nasabah. Dan, ketentuan batasan waktu pembayaran menjadi syarat yang harus diketahui kedua belah pihak. Harga sewa, besar kecilnya harga sewa, dapat berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang. Bagi Bank Syariah, penerapan skim musyarakah mutanaqisah harus mendapatkan keuntungan sama atau lebih besar apabila Bank menerapkan murabahah plus resiko yang sama atau lebih.

A.    PENDAHULUAN

Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyriku-syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqishtanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap. Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.

Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.

Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.

B.     Ketentuan Pokok Musyarakah Mutanaqishah

Di dalam musyarakah mutanaqishah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan pokok kedua unsur tersebut.

Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat (ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan akad syirkah [1] masing-masing pihak harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama, [2] antar pihak harus saling memberikan rasa percaya dengan yang lain, dan [3] dalam pencampuran pokok modal merupakan pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan obyek akad tersebut.

Sementara berkaitan dengan unsur sewa ketentuan pokoknya meliputi; penyewa (musta’jir) dan yang menyewakan (mu’jir), shighat (ucapan kesepakatan), ujrah (fee), dan barang/benda yang disewakan yang menjadi obyek akad sewa. Besaran sewa harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak.

Dalam syirkah mutanaqishah harus jelas besaran angsuran dan besar - an sewa yang harus dibayar nasabah. Dan, ketentuan batasan waktu pembayaran menjadi syarat yang harus diketahui kedua belah pihak. Harga sewa, besar kecilnya harga sewa, dapat berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang.

 

C.    ASPEK HUKUM MUSYARAKAH MUTANAQISHAH

Lembaga perbankan adalah highly regulated industry, apalagi perbankan syariah selain terikat oleh rambu-rambu hukum positif sistem operasional bank syariah juga terikat erat dengan hukum Allah, yang pelanggarannya berakibat kepada kemadharatan di dunia dan akherat. Oleh karena uniknya peraturan yang memagari seluruh transaksi perbankan syariah tersebut, dalam kajian ini akan dicoba dibahas mengenai pelaksanaan akad terutama musyarakah mutanaqishah yang dapat dilaksanakan di bank syariah. Kajian ini dilakukan dengan melihat kesesuaiannya dengan hukum positif di Indonesia, yaitu hukum perdata KUH Perdata dan Hukum Islam

Sandaran hukum Islam pada pembiayaan musyarakah mutanaqishah, pada saat ini, dapat disandarkan pada akad musyarakah (kemitraan) dan ijarah (sewa). Karena di dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur syirkah dan unsur ijarah.

Dalil hukum musyarakah adalah:

Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24:

 “. . . Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini….”

Al-Qur’an Surat al-Ma’idah [5], Ayat 1:

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….

” Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:

“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

 Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Kaidah fiqh:

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Dalil hukum Ijarah adalah:

 Al-Qur’an Surat al-Zukhruf [43], ayat 32:

“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar seba-gian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2], ayat 233:

“. . . Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Al-Qur’an Surat al-Qashash [28], ayat 26:

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”

Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.

” Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”

Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

 “Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”

D.    ILUSTRASI MUNYARAKAH MUTANAQISHAH

1. Negosiasi Angsuran dan Sewa

2. Akad/kontrak Kerjasama

            3. Beli barang (Bank/nasabah)

4. Mendapat Berkas dan Dokumen

            5. Nasabah Membayar Angsuran dan Sewa

6. Bank Syariah Menyerahkan Hak Kepemilikannya Tahapan dalam pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah untuk pengadaan suatu barang, adalah:

1. Nasabah mengajukan permohonan kepada bank untuk menjadi mitra dalam pembiayaan/pembelian suatu barang yang dibutuhkan nasabah dengan menjelaskan data nasabah, diantaranya berkaitan dengan pendapatan per bulan nasabah, sumber pengembalian dana untuk pelunasan kewajiban nasabah, serta manfaat dan tingkat kebutuhan nasabah atas barang sebut. Pengajuan permohonan dilengkapi dengan persyaratan administratif pengajuan pembiayaan yang berlaku pada masing-masing bank dan yang telah ditentukan dalam pembiayaan syariah.

2. Petugas bank akan menganalisa kelayakan nasabah untuk mendapatkan barang tersebut secara kualitatif maupun kuantitatif.

3. Apabila permohonan nasabah layak disetujui oleh komite pembiayaan, maka bank menerbitkan surat persetujuan pembiayaan (offering letter) yang didalamnya antara lain:

a. Spesifikasi barang yang disepakati;

 b. Harga barang;

 c. Jumlah dana bank dan dana nasabah yang disertakan;

 d. Jangka waktu pelunasan pembiayaan;

e. Cara pelunasan (model angsuran);

 f. Besarnya angsuran dan biaya sewa yang dibebankan nasabah.

4. Apabila nasabah menyetujui persyaratan yang dicantumkan dalam offering letter tersebut, maka pihak bank dan/atau nasabah dapat menghubungi distributor/agen untuk ketersediaan barang tersebut sesuai dengan spesifikasinya

5. Dilakukan akad musyarakah mutanaqishah antara bank dan nasabah yang memuat persyaratan penyertaan modal (kemitraan), persyaratan sewa menyewa dan sekaligus pengikatan jaminan berupa barang yang diperjualbelikan tersebut serta jaminan tambahan lainnya. Penyerahan barang dilakukan oleh distributor/agen kepada bank dan nasabah, setelah bank dan nasabah melunasi harga pembelian barang kepada distributor/agen. Setelah barang diterima bank dan nasabah, pihak bank akan melanjutkan menyerahkan barang tersebut kepada pihak nasabah dengan menerbitkan surat tanda terima barang dengan penjelasan spesifikasi barang yang telah disepakati..

 

 

E.     RESIKO YANG TIMBUL DALAM MUSYARAKAH MUTANAQISHAH RESIKO KEPEMILIKAN

Dalam pembiayaan musyarakah mutanaqishah, status kepemilikan barang masih menjadi milik bersama antara pihak bank syariah dan nasabah. Hal ini merupakan konsekuensi dari pembiayaan musyarakah mutanaqishah, dimana kedua belah pihak ikut menyertakan dananya untuk membeli barang

Pada saat transfer kepemilikan barang, pihak nasabah dapat menguasai kepemilikan barang sepenuhnya setelah dilakukan pembayaran bagian bank syariah oleh nasabah beserta besaran uang sewa yang disepakati Bersama

RESIKO REGULASI

Praktek musyarakah mutanaqishah untuk pembiayaan barang terikat dengan peraturan atau regulasi yang berlaku. Salah satu regulasi yang diberlakukan untuk pola musyarakah mutanaqishah adalah masalah pembebanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kepemilikan barang.

Pengenaan PPN didasarkan atas Undang-undang No. 18 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983. Dimana penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak merupakan obyek pajak di dalam UU PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-undang ini menyatakan bahwa segala jenis barang, berwujud baik bergerak ataupun tidak bergerak, maupun barang tidak berwujud merupakan obyek PPN.

RESIKO PASAR

Ketentuan pasar akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga suatu barang. Perbedaan wilayah atas kerjasama muasyarakah tersebut akan menyebabkan perbedaan harga. Jadi bank syariah tidak bisa menyamaratakan harga di. Disamping itu, Dalam pembiayaan kepemilikan barang dengan skim musyarakah mutanaqishah merupakan bentuk pembelian barang secara bersama-sama antara pihak bank syariah dengan nasabah. Dimana kepemilikan bank akan berkurang sesuai dengan besaran angsuran yang dilakukan nasabah atas pokok modal bank bersangkutan. Disamping besaran angsuran yang harus di bayar nasabah, dalam skim musyarakah mutanaqishah terdapat harga sewa yang harus di bayar nasabah tiap bulannya sebagai kompensasi keuntungan bank. Dalam sewa dapat berfluktuasi sesuai dengan situasi dan kondisi saat berlangsungnya akad kerjasama tersebut. Sewa yang ditentukan atas obyek barang akan dipengaruhi oleh; [1] waktu terjadinya kesepakatan, [2] tempat/wilayah, [3] supply dan demand atas barang tersebut.

RESIKO KREDIT ( PEMBIAYAAN )

Proses pelaksanaan pembiayaan musyarakah mutanaqishah yang dilakukan dengan cara mengangangsur setiap bulan akan terkena risiko kredit. Dimana dimungkinkan tejadinya wan prestasi dari pihak nasabah yang tidak mampu menunaikan kewajibannya setiap bulan. Ketidakmampuan nasabah melaksanakan kewajibannya untuk membayar angsuran setiap bulan berakibat pada kegagalan kontrak yang dapat menjadi penyebab munculnya kerugian pihak bank syariah.

F.     KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN MUSYARAKAH MUTANAQISHAH

Penerapan akad musyarakah mutanaqishah memiliki beberapa keunggulan sebagai pembiayaan syariah, diantaranya adalah: (1) Bank Syariah dan nasabah sama-sama memiliki atas suatu aset yang menjadi obyek perjanjian. Karena merupakan aset bersama maka antara bank syariah dan nasabah akan saling menjaga atas aset tersebut. (2) Adanya bagi hasil yang diterima antara kedua belah pihak atas margin sewa yang telah ditetapkan atas aset tersebut. (3) Kedua belah pihak dapat menyepakati adanya perubahan harga sewa sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan mengikuti harga pasar. (4) Dapat meminimalisir risiko financial cost jika terjadi inflasi dan kenaikan suku bunga pasar pada perbankan konvensional. (5) Tidak terpengaruh oleh terjadinya fluktuasi bunga pasar pada bank konvensional, dan/atau fluktuasi harga saat terjadinya inflasi.

Adapun kelemahan yang muncul dalam akad musyarakah mutanaqishah ketika diterapkan sebagai bentuk pembiayaan syariah adalah: (1) Risiko terjadinya pelimpahan atas beban biaya transaksi dan pembayaran pajak, baik pajak atas hak tanggungan atau pajak atas bangunan, serta biaya-biaya lain yang mungkin dapat menjadi beban atas aset tersebut. (2) Berkurangnya pendapatan bank syariah atas margin sewa yang dibebankan pada aset yang menjadi obyek akad.

Cicilan atas beban angsuran di tahun-tahun pertama akan terasa memberatkan bagi nasabah, dan menjadi ringan tahun-tahun berikutnya.

                                   

KESIMPULAN

Pada skim konvensional dan murabahah, tingkat harga cicilan barang yang menentukan tingkat keuntungan Bank. Cicilan ini dipengaruhi oleh harga pokok barang, harga barang yang dibeli nasabah, lamanya cicilan dan besarnya Down-Payment (DP).

Pada skim murabahah, tingkat suku bunga dan waktu pencicilan menjadi bench mark terhadap besarnya margin penjualan pada harga barang yang dibeli nasabah. Dimana tingkat cicilan bersifat tetap untuk jangka waktu tertentu.

Pihak Bank lebih menyenangi waktu pencicilan (pelunasan) dibawah 10 tahun daripada lebih dari 10 tahun. Hal ini disebabkan adanya resiko bahwa nilai uang yang dikaitkan dengan waktu dan kemungkinan tidak mismatch antara asset dan likuiditas akibat perubahan yang terjadi pada besarnya margin dari hasil pembiayaan dan bagi hasil yang harus dibayar kepada pihak ketiga yang berasal dari dana pihak ketiga.

Dalam kaitannya misalnya dengan harga sebuah rumah, ada survey dari suatu lembaga bahwa masyarakat menginginkan cicilan bersifat flat (tetap), DP sebesar 15 % dari harga rumah/barang dan cicilan tidak lebih besar dari 20 % pendapatan.

Bagaimana dengan penerapan skim musyarakah mutanaqisah? Skim ini cocok untuk waktu yang panjang melebihi 10 tahun pelunasan. Bagi Bank, keuntungan didapat bukan dari nilai cicilan tapi nilai sewa. Dengan waktu yang panjang nilai cicilan akan rendah sedangkan sewa bisa disesuaikan untuk kurun waktu tertentu.

Bagi Bank Syariah, penerapan skim musyarakah mutanaqisah harus mendapatkan keuntungan sama atau lebih besar apabila Bank menerapkan murabahah plus resiko yang